LOGIN"Sejak ayahmu menerima uangku, kamu memang sudah menjadi milikku, Serena." Lantaran kasihan, Max Evans terpaksa menerima tawaran untuk membeli seorang gadis remaja yang bukan tipenya. Namun karena usianya yang masih remaja, Max hanya menjadikannya sebagai seorang pelayan. Tapi siapa sangka seiring waktu berjalan, gadis bernama Serena itu mampu memikat hatinya. Bahkan Max tak segan memberinya pendidikan tinggi. Namun, Max sadar dia harus bisa mengendalikan diri karena perbedaan usia yang terlalu jauh. Hanya saja tiap kali menghindari Serena, selalu saja terjadi sesuatu yang membuat mereka semakin dekat.
View More“Saya jamin masih perawan, Tuan. Baru sebulan lalu usianya genap tujuh belas tahun.”
Suara penuh bujukan itu terdengar menjijikkan di telinga Max Evans. Alih-alih tergiur, pria dengan rahang tegas yang duduk di kursi utama ruangan luas itu justru menyatukan alis tebalnya.
“Dia putrimu?” Mata tajamnya menyipit, berharap tebakannya salah.
“Benar, Tuan.” Pria berwajah berantakan yang berlutut di depan Max itu menjawab tanpa ragu.
Wajah tampan Max sedikit terkejut, meski hanya sebentar sebelum kembali datar. Tak lama, salah satu sudut bibirnya terangkat.
“Bagaimana bisa ada seorang ayah tega menjual putrinya?” tanya Max pelan, tapi penuh penekanan. Seketika kepanikan muncul pada pria kumal di depannya.
“Tuan, saya terpaksa. Hidup saya sulit, dan anak itu hanya jadi beban. Pekerjaan apa pun yang dia lakukan tidak pernah becus. Tidak ada hal yang bisa dibanggakan darinya.”
Penjelasan itu membuat Max semakin tahu siapa orang di hadapannya. Max Evans sadar dirinya bukan pria suci, tapi tidak dia sangka ada manusia yang lebih busuk darinya.
Jack Gilbert, pemabuk, penjudi, dan pembuat onar. Menumpuk utang dan sering melakukan tindakan kriminal. Sikapnya yang keji kepada sang putri semakin menjadi-jadi saat istrinya meninggal dua tahun lalu karena penyakit.
Itu sedikit info yang Max dapatkan tentang pria tidak tahu malu itu dari asistennya.
Sudah tidak bertanggung jawab, tapi masih begitu tega menjual putrinya untuk mendapatkan uang. Pria ini sungguh hina.
Mata Max membaca profil sang gadis yang tertera di tabletnya. Serena Gilbert, tujuh belas tahun, lulus sekolah cepat berkat jalur akselerasi karena prestasinya. Artinya anak itu cukup cerdas. Nasibnya sangat sial memiliki ayah seorang penjudi.
Pandangan Max menyapu sosok Serena yang berlutut di lantai. Gadis itu terlihat kacau—berpakaian lusuh sebatas lutut, rambut panjang dikucir berantakan. Jelas Jack memperlakukannya dengan buruk.
Di saat itu, tiba-tiba tangan Jack menarik kasar lengan putrinya, membuat gadis itu memekik kesakitan.
“Lihat, Tuan Max. Baru tujuh belas tahun. Segar, tidak pernah tersentuh. Saya yakin dia bisa memuaskan Anda!” Jack menyeringai seperti iblis, tak peduli tangisan gadis yang dia cengkeram.
“Ayah, lepaskan aku. A-aku tidak mau di sini.” Gadis itu memohon di tengah isak, tubuhnya gemetar.
Plak!
“Diam! Jangan banyak bicara!” bentak Jack selagi memukul kepala putrinya. Dengan suara rendah, tapi bisa didengar Max, pria itu mengancam, “Kalau kamu tidak diam dan berakhir ditolak, percaya atau tidak aku akan menjualmu ke Mariana, si germo rumah hiburan itu!”
Mendengar itu tubuh Serena menegang, dan mulutnya kontan terkunci rapat.
Wajah marah Jack langsung berubah manis saat kembali menatap Max. “Jadi, bagaimana, Tuan? Apa Anda tertarik membelinya?”
Max hanya menatap dingin. Nyali Jack benar-benar besar karena berani menawarkan putrinya dalam keadaan seperti itu.
Dan lagi, tujuh belas tahun? Max memang gemar mengoleksi wanita, tapi dia cukup waras untuk tidak menyentuh gadis di bawah umur.
Di saat yang bersamaan, Calvin—asisten Max—meliriknya. Namun, Max masih terdiam, tidak menolak, atau pun mengiyakan.
Akhirnya, Calvin pun angkat suara. “Berapa harga yang kamu tawarkan?”
Jack langsung tersenyum senang. “Hanya dua ratus juta, Tuan! Dua ratus juta, dan gadis perawan ini akan jadi milik Anda!”
Mata biru Calvin melebar. Dua ratus juta? Apa Jack Gilbert kurang waras?
Dalam transaksi gelap semacam ini, harga standar gadis lusuh dan kumal paling tinggi hanya berkisar puluhan juta. Lima belas sampai tiga puluh juta sudah dianggap wajar, bahkan seratus juta pun hanya dipatok untuk mereka yang memang rupawan, bersih, dan jelas masih perawan.
Tapi Jack, dengan penuh percaya diri, berani menuntut angka dua ratus juta untuk anaknya yang bahkan datang dalam keadaan compang-camping. Bagi Calvin, itu bukan sekadar harga tinggi, itu sudah bentuk keserakahan yang nyaris menertawakan logika pasar gelap itu sendiri!
Calvin tersenyum sinis. “Apa kamu sudah gila, Jack Gilbert? Berani sekali menawarkan gadis kumal dengan harga setinggi itu pada Tuan Max!”
Jack menyeret paksa putrinya lebih dekat. “Tuan Calvin, lihatlah.”
Gadis itu meringis saat rahangnya dicengkeram paksa, wajahnya didongakkan agar terlihat jelas.
“Putri saya memang kumal, tapi dia cantik. Anda hanya perlu memolesnya sedikit.”
Saat itulah Max akhirnya melihat wajah si gadis dengan jelas. Sayangnya, Jack tidak sepenuhnya salah. Meski tampak lusuh, ada kecantikan nyata di baliknya, terutama mata cokelatnya. Ada cahaya memukau yang terpancar di sana, sesuatu yang menarik dan menyentuh hati.
Dalam hati, Max merasa sedikit iba. Nasib gadis itu buruk sekali karena memiliki ayah sebrengsek itu. Kalau saja lahir di keluarga normal, mungkin dia bisa memiliki sejumlah pencapaian luar biasa, dengan kecantikan dan kecerdasan yang dia punya.
Dan kalau Max tidak membelinya, dia yakin Jack akan membawa gadis malang itu ke tempat yang lebih buruk.
Melihat Max hanya terdiam, Jack kembali berucap, “K-kalau dua ratus juta tidak bisa, s-seratus juta saja! Seratus juta dan putri saya ini menjadi milik Anda, Tuan!”
Calvin melirik Max, dan melihat pria itu masih saja bungkam seraya menutup mata, dia pun menegaskan, “Tuan Max tidak berminat. Bawa gadis itu pergi. Daripada menjualnya, lebih baik kamu rawat putrimu itu dengan baik!”
“Tapi, Tuan Calvin—”
Calvin mengangkat tangan, jelas mengusir. “Jangan buang waktu kami.”
Jack menggeram, menyesali keputusannya tidak mendandani putrinya lebih dulu sebelum datang.
“Bahkan di saat begini pun, kamu masih tetap tidak berguna!” hardiknya sambil menyeret putrinya. “Ayo pergi! Akan aku bawa kamu ke tempat Mariana!”
Si gadis terperanjat. “Tidak, Ayah. Aku tidak mau ke sana. Aku tidak—“
“Apa kamu punya hak menolak?!” Jack kembali menyeret paksa gadis itu keluar dari ruangan besar Tuan Max. Di kepala Jack saat ini hanya memikirkan cara cepat mendapat uang.
Dari atas kursinya, tatapan Max Evans tidak lepas dari pemandangan itu. Hingga tanpa sadar telapak tangannya terkepal. Wajahnya terlihat lebih dingin dari sebelumnya, dan—
“Berikan apa yang dia mau,” ucap pria itu tiba-tiba.
Semua orang terkejut, terutama Calvin. “Tuan?!”
Max menatap Calvin, “Keputusanku sudah bulat.” Dia beralih pada gadis yang sekarang menatapnya dengan mata membesar. “Aku akan membelinya.”
Serena!" seru Lety. Dia tergopoh-gopoh menghampiri Serena yang sudah bersiap pergi. Sejak Serena menjadi anak kuliahan, wanita seksi itu mendapat tugas tambahan baru dari Jessica yaitu menyiapkan bekal untuk Serena. Tentu saja Lety tidak terima begitu saja awalnya. Namun begitu tahu Max yang memerintahnya langsung dia tidak bisa menolaknya lagi. "Ini bekal kamu," katanya dengan bibir mengerucut. Dia mengangsurkan tas bekal dengan wajah tak ikhlas. Serena mengulum senyum sambil menerima tas itu. "Makasih, Kak Lety." "Jangan besar kepala. Aku melakukan ini karena perintah Tuan Max, kalau tidak mana mungkin aku—" ucapan Lety terhenti dan matanya terbelalak saat tiba-tiba Serena merangkul lengannya. "Iya, iya. Aku tau, Kak." Serena tersenyum, mengabaikan wajah cemberut Lety. Karena dia tahu Lety sebenarnya peduli padanya. Sama seperti Bibi Jessica. Setelah dinyatakan lolos dan tak lama kemudian resmi menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi ternama di kota, hanya Jessica dan L
Satu detik, dua detik, sampai tiga detik Serena menunggu. Tapi tidak terjadi sesuatu yang seperti ada di dalam pikirannya. Keningnya berkerut samar. Sebenarnya apa yang sedang Max Evans lakukan? Secara perlahan dan hati-hati Serena membuka sedikit matanya. Dia terperanjat seketika saat netranya bisa langsung menangkap keberadaan Max Evans yang kini tengah tersenyum aneh sambil menatapnya. Dan Serena baru saja sadar bahwa jarak mereka juga tidak sedekat tadi. "Kamu menunggu apa?" tanya Max dengan nada geli, yang sontak membuat pipi Serena memanas. "Sa-saya nggak menunggu apa-apa." "Masih kecil, jangan berpikiran yang aneh-aneh." Nada menggoda Max membuat wajah Serena makin memerah. "Saya nggak berpikir apa-apa!" bantahnya tak terima. Tapi— Gadis itu menghindari tatapan Max, menutup wajahnya dengan telapak tangan menyadari kebodohannya. Reaksi itu sukses mengundang tawa kecil Max. Pria itu menggeleng sambil menahan geli. Dalam keadaan malu wajah Serena terlihat sangat menggemaskan
Terbiasa menyelesaikan soal paling sulit saat masih sekolah membuat Serena bisa dengan mudah mengerjakan soal ujian masuk mandiri. Hanya dengan sedikit mengingat mata pelajaran dari buku yang Calvin berikan, jendela otaknya seolah terbuka lebar. Serena melangkah ringan begitu keluar dari ruang ujian bersamaan dengan peserta lain. "Hai, halo." Kepala Serena menoleh saat mendengar seseorang menyapa. Seorang laki-laki tinggi kurus berdiri tidak jauh darinya seraya menyunggingkan senyum. Serena baru akan menyapa balik ketika menyadari sesuatu. Mungkin saja laki-laki itu sedang menyapa orang lain di belakangnya. Untuk memastikan, Serena menengok ke belakang, bahkan sekelilingnya. "Aku menyapa kamu," ujar laki-laki itu tiba-tiba, seakan tahu apa yang tengah Serena lakukan. "Aku?" Dengan alis terangkat Serena menunjuk dirinya sendiri. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum makin lebar. Serena bisa melihat ada satu lesung pipi yang membuat lelaki itu tampak makin charming. "Iya. Kamu Sere
Penat bergelayut ketika malam makin larut. Dua tangan Serena merentang. Meregangkan sedikit otot yang tegang lantaran terus berkutat dengan buku dan pensil. Pukul sebelas malam ketika Serena memutuskan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Dia meraih botol minumnya yang kosong berniat mengisinya kembali di dapur. Lampu terang mansion berganti redup saat Serena keluar dari kamar. Beberapa bagian bahkan gelap. Sengaja dimatikan. Sudah terlalu larut, gadis itu tidak menemukan siapa pun yang biasa berkeliaran seperti pelayan. Jam segini mereka sudah pasti pulang ke paviliun. Serena mempercepat langkah. Rumah sebesar ini dalam keadaan sunyi sudah seperti setting film horor. Lumayan membuat kuduk merinding. Jarak dari kamar ke dapur pun terasa makin panjang. Begitu sampai dapur, cepat-cepat Serena mengisi botolnya dengan air putih di water dispenser. "Kenapa lama sekali penuhnya sih?" gerutu Serena yang merasa waktu jadi makin lambat. Bibirnya melengkung tipis saat pada akhirnya d
"Enak sekali jam segini kamu sudah bebas tugas?" Lety mengikuti langkah Serena yang menjauhi ruang utama. Si pelayan paling kepo itu kembali merasa iri setelah Jessica meminta Serena berhenti tugas menjelang pukul lima sore. "Ini perintah Tuan Max. Karena besok Serena harus mengikuti ujian masuk kuliah," terang Jessica ketika Lety protes soal jam kerja. Bibir Lety sampai maju lima senti. Merasa makin diperlakukan tidak adil. "Bi, memang Serena harus kuliah? Pelayan seperti kita tidak perlu sampai harus kuliah kan? Ilmu di sana nggak akan terpakai di sini.""Mungkin Tuan Max punya tujuan lain. Lagi pula Serena masih sangat muda." Jessica bersedekap tangan, menatap anak buahnya itu. "Lebih baik kamu jangan cari masalah seperti Nina." Mendengar itu membuat Lety kontan terperanjat. Nina, rekan kerjanya dipecat langsung setelah mencari gara-gara dengan Serena. Dari situ Lety paham, bahwa tuannya memiliki perhatian khusus pada gadis itu. "Aku bukannya cari masalah, Bi. Tapi—" Lety berh
Gosip Serena kuliah dengan cepat menyebar. Sejak kedatangannya, gadis itu kerap menjadi topik hangat di kalangan pelayan mansion Max Evans. Tanggapan mereka bermacam-macam. Ada yang hanya sekedar iri, ada juga yang benci karena merasa tersaingi. Kening Serena mengerut ketika datang ke area dapur dan melihat para seniornya menatapnya tajam. Dia berusaha mengabaikan dan lanjut berjalan menuju sink untuk membersihkan peralatan makan bekas Max Evans. "Oh, jadi ini pelayan yang katanya menarik hati Tuan Max?" Serena baru saja meletakan piring kotor di sink saat salah seorang pelayan menegurnya dengan nada sinis. Gadis itu hanya bisa menghela napas berat lalu menyalakan kran air. Tidak menghiraukan. Namun baru satu piring dia cuci, seseorang menarik bahunya sehingga piring itu terlepas dan jatuh ke sink. Menimbulkan bunyi peraduan piring yang nyaring. "Ups, jatuh ya? Sori, sengaja." Lalu tawa mengejek mereka terdengar. Namun Serena tetap tidak bereaksi. Dia kembali meraih piring itu.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments