Share

Bab 3

Author: Devi Puspita
Luna menundukkan kepala, kelopak matanya bahkan tidak terangkat sedikit pun.

“Bukannya Paula bakal tinggal di sini? Aku hanya merapikan barang-barang supaya dia nggak merasa terganggu melihatnya.”

Rocky menggenggam pergelangan tangannya, lalu menariknya ke dalam pelukan.

“Kamu masih marah padaku?”

“Nggak.”

“Luna, kamu sangat nggak pandai berbohong.”

Rocky mencubit dagunya dan mengangkatnya, memaksanya untuk menatap dirinya.

“Aku sudah bilang berkali-kali, aku hanya sekadar menemani dia bermain sandiwara. Kalau benar-benar mau menikahinya, aku pasti sudah menangkapnya pulang dengan paksa empat tahun lalu.”

Luna menatap matanya, lalu tiba-tiba tersenyum.

“Rocky.”

Suaranya sangat pelan, tapi setiap katanya terdengar sangat jelas, “Kamu sendiri yang paling tahu siapa sebenarnya yang mau kamu nikahi.”

Baru saja selesai bicara, tiba-tiba terdengar dering ponsel yang menenggelamkan suara Luna.

Rocky melihat layar ponsel, lalu cepat-cepat mengangkat panggilan itu.

Setelah menjawab panggilan itu, Rocky pun hanya berkata, “Aku ada urusan di kantor.”

Lalu, bergegas pergi.

Menatap sosoknya yang menjauh, Luna mendadak merasa perlu atau tidaknya dirinya berterus terang dengannya sudah tak penting lagi.

Ada hubungan yang sama saja seperti permen yang sudah kadaluwarsa.

Luarnya terlihat utuh, tapi sesungguhnya sudah berubah di dalamnya.

Meski ditelan paksa, yang tersisa hanya kepahitan.

Tak lama setelah Rocky pergi, sebuah pesan whatsapp dari Paula masuk.

Foto itu memperlihatkan Rocky sedang berlutut dengan satu kaki, jemarinya yang panjang memegang pergelangan kaki Paula, dengan penuh perhatian mengikatkan tali merah untuknya.

Tiba-tiba, Luna teringat dulu dirinya pernah mengajak Rocky ke kuil.

Luna berlutut lama di depan kios kecil, memilih tali merah, lalu menoleh dan mendapati Rocky berdiri berdiri tiga langkah jauhnya, wajahnya terlihat penuh ketidaksabaran sambil melirik jam tangan, “Kamu percaya hal-hal takhayul begini?”

Saat masih melamun, pesan lain dari Paula masuk.

[Aku hanya bilang sekilas kalau aku kurang enak badan, Rocky langsung pergi ke kuil untuk minta tali merah yang paling manjur, lalu memberikannya padaku.]

[Pernahkah dia melakukan hal ini padamu?]

[Luna, sadarlah. Rocky nggak pernah mencintaimu.]

Luna menggenggam ponsel erat-erat, cahaya dingin dari layar membekukan sisa hangat di matanya.

Iya.

Rocky memang tak pernah mencintainya.

Mulai sekarang, dirinya pun tak akan lagi mengharapkan cintanya.

….

Dua hari berikutnya, Rocky tidak pulang.

Hingga hari ketiga, Luna baru melihatnya lagi di acara perpisahan Paula.

Rocky mengenakan setelan jas hitam yang rapi, mendorong kursi roda perlahan di antara kerumunan.

Paula duduk di atas kursi roda, selimut menutupi kainnya, tampak begitu lemah bagaikan bunga yang mudah layu.

Paula hanya dengan sedikit mendongak, Rocky langsung membungkuk dan bertanya apakah dirinya tidak nyaman.

Sudut bibir Luna terangkat, membentuk senyuman sinis.

Katanya hanya bersandiwara dengan Paula.

Namun, tatapan mata itu jelas sama penuh perasaan seperti empat tahun lalu.

Tak lama kemudian, acara perpisahan pun resmi dimulai.

Ayahnya mengumumkan kondisi Paula dengan mata berkaca-kaca, “Putriku memang nggak beruntung, tapi juga termasuk beruntung. Hidupnya singkat, tapi dia punya keluarga yang menyayanginya dan juga seorang kekasih yang setia….”

Layar besar menyala, menampilkan foto-foto Paula sejak kecil hingga dewasa.

Saat ulang tahun pertama, dikelilingi kedua orang tuanya.

Saat berusia sepuluh tahun, ayahnya mengajarinya bermain piano.

Usia delapan belas tahun, diwisuda sambil dipeluk hangat seluruh keluarga.

Di setiap momen itu, Luna hanyalah latar belakang samar, yang diam-diam menyaksikan kebahagiaan yang tak pernah menjadi miliknya.

Gambar berganti, sosok di samping Paula kini adalah Rocky.

Rocky membawa bunga untuknya saat menang lomba.

Menjadi model yang diam saat Paula melukis.

Berpelukan mesra di pernikahan….

Dari masa berseragam sekolah hingga menikah, waktu terus berganti, tapi ketulusan di mata Rocky tak pernah berubah.

Saat semua orang larut dalam haru, tiba-tiba foto-foto itu hilang dan berganti menjadi tulisan merah berdarah di atas latar hitam!

[Paula, dasar jalang yang pantas masuk neraka!]

[Merebut suamiku! Kamu sama saja dengan ibumu! Wanita murahan yang kerjanya hanya merebut suami orang!]

[Aku doain semoga kamu mati tak tenang dan tak akan pernah bisa bereinkarnasi!]

Suasana langsung hening beberapa detik.

Lalu, ruangan pun gempar!
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 24

    Waktu berlalu begitu cepat.Seperti biasa, di hari tahun baru ini, Luna pergi ke kuil pinggiran kota untuk mendoakan anak-anak di pantai asuhan.Udara awal musim semi di pegunungan masih membawa hawa sejuk.Luna merapatkan selendang wolnya, lalu berlutut di atas bantalan doa dan bersujud.Asap tipis dari dupa di tungku membubung mengitari patung, aroma cendana menenangkan hatinya.Setelah itu, dia berjalan menuju pohon tua menjulang di halaman kuil, lalu mengikat sehelai kain merah di pohon harapan.Tiba-tiba, pandangannya jatuh pada seorang biksu berjubah abu-abu yang sedang menunduk menyapu dedaunan.Siluet yang begitu familiar membuat napas Luna tercekat.Itu adalah Rocky.Pewaris Grup Riyandi yang arogan dan tak terkalahkan itu, kini tampak kurus hingga tulang pipinya terlihat menonjol. Sorot mata penuh kesombongannya pun sudah sirna.Digantikan dengan ketenangan yang nyaris hampa.“Itu Master Indra,” ujar seorang samanera kecil yang melihat Luna menatap Rocky, lalu berinisiatif me

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 23

    Setengah tahun kemudian, Albert menyiapkan sebuah pernikahan megah untuk Luna.Kebun megah paling mewah di Kota Marina dipenuhi mawar putih, cahaya matahari berkilau di antara menara sampanye.Luna berdiri di depan cermin besar di ruang rias, menatap dirinya dalam balutan gaun pengantin putih. Rasanya seperti berada di dunia lain.Enam bulan lalu, setelah pemeriksaan di rumah sakit, Luna duduk di lorong rumah sakit selama satu jam penuh.Dalam satu jam itu, dia memikirkan banyak hal.Misalnya, Keluarga Halim membutuhkan penerus, sedangkan dirinya tidak bisa melahirkannya.Atau hubungannya dengan Albert saat itu belum terlalu dalam, putus lebih awal mungkin juga bukan pilihan yang buruk.Sampai akhirnya Albert meneleponnya, barulah Luna tersadar.“Kamu lagi di mana?” tanya Albert dengan tenang seperti biasa melalui telepon.“Aku… lagi belanja di luar.”Albert sepertinya tidak menyadari keanehan suranya. Dengan santai, Albert berkata, “Setengah jam lagi kirimkan alamatmu. Aku suruh sopir

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 22

    Sejak resmi menjalin hubungan dengan Albert, kehidupan Luna berjalan tenang seperti biasa.Hanya saja, ada satu hal yang selalu jadi beban di hatinya.Dulu, saat dirinya dijebak Albert hingga mengalami keguguran, dokter pernah bilang bahwa pendarahan hebat membuat rahimnya rusak parah dan kecil kemungkinan bisa hamil lagi.Meski Albert sudah berulang kali menegaskan bahwa ada atau tidaknya anak baginya tidak penting sama sekali.Luna tahu benar Albert boleh saja tidak peduli. Tapi sebagai pewaris satu-satunya Grup Halim, Keluarga Halim jelas tidak akan sependapat.Kesadaran itu bagaikan duri yang terus menusuk hatinya.Hari itu, Luna datang ke rumah sakit untuk pemeriksaan.Setelah memeriksa hasil tes, dokter hanya bisa menggeleng pasrah, “Untuk saat ini belum ada cara yang efektif. Saranku, jangan terlalu memaksakan diri.”Luna menggenggam hasil pemeriksaan itu saat keluar dari ruang dokter.Kertas di tangannya terasa ringan, tapi seakan menekan seberat ribuan kilo.Tiba-tiba, Luna sa

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 21

    Hari ketika novel Luna meraih penghargaan, salju tipis turun di luar jendela.Luna berdiri di depan jendela memandang pemandangan bersalju, tak sadar entah sejak kapan Albert sudah muncul di depannya, lalu menyampirkan mantel kasmir di pundaknya.“Aku sudah pesan tempat di restoran berputar, kita rayakan di sana malam ini, ya.”Begitu tiba di restoran, pelayan mengantar mereka ke sebuah ruang makan VIP dengan pemandangan kota.Tiga sisi ruangan dipenuhi jendela kaca dari lantai hingga langit-langit, memperlihatkan gemerlap malam seluruh kota.Di tengah meja makan ditutupi taplak merah beludru, tersusun rapi tempat lilin kristal dan mawar merah ekuador.Albert mengangkat gelasnya dan menyentuh pelan gelas Luna.Lalu, entah dari mana, dia mengeluarkan setumpuk surat yang diikat dengan tali merah yang sudah agak pudar, lalu mendorongnya ke hadapan Luna.“Aku sudah siapkan kejutan untukmu, bukalah.”Luna melepaskan tali merah itu.Tulisan di amplop sudah agak samar, tapi huruf L di sudut k

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 20

    Suara sirene ambulans perlahan menjauh.Hujan terus menampar wajah Luna yang pucat, bercampur dengan air matanya.Dia berdiri di jalan depan vila, ujung jarinya masih terasa lengketnya darah Rocky.Sebuah sorotan lampu mobil yang menyilaukan menembus lebatnya hujan.Sebuah maybach hitam berhenti mendadak tepat di hadapannya, Albert bahkan tak sempat membuka payung, langsung berlari turun, menyelimuti Luna dengan mantelnya dan memeluknya.“Luna.” Albert memeluknya erat-erat, seolah ingin menyatukannya ke dalam tulangnya.“Jangan takut, aku akan menjemputmu pulang.”Wajah Luna terbenam di bahunya, mencium aroma cedar yang familiar.Pelukannya begitu kuat hingga tulang rusuknya teras nyeri, tapi anehnya malah membuat tubuhnya berhenti gemetar.Di dalam mobil, pemanas menyala hangat. Albert menyelimuti Luna rapat-rapat dengan selimut tebal.Baru setelah itu, Albert berkata perlahan, “Belakangan ini, aku sudah menghubungi tujuh perusahaan besar, termasuk Grup Kumon dan Grup Ledon. Kami sepa

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 19

    Waktu berlalu perlahan dalam upaya Rocky untuk menyenangkan Luna.Rocky memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan harta berharga, mulai dari barang antik di balai lelang hingga gaun mewah buatan khusus, semuanya dikirimkan bagaikan air mengalir ke hadapan Luna.Namun kini, hadiah semahal apapun tak lagi mampu menggerakkan hati Luna sedikit pun.Luna selalu duduk sendirian di taman, di pangkuannya ada laptop, jari-jarinya mengetikkan bunyi ritmis di atas keyboard.Awalnya, Rocky hanya mengira itu sekadar cara Luna menghabiskan waktu.Hingga suatu sore, asistennya menyerahkan tablet.“Pak Rocky, coba lihat ini….”Ekspresi asistennya terlihat rumit, seolah ada hal yang sulit diungkapkan.Rocky melihat ke arah tablet dan di layar jelas terpampang sebuah novel yang sedang ditulis oleh Luna.Hanya membaca sekilas saja, raut wajah Rocky langsung memuram.Tokoh utama wanita dalam cerita itu, ternyata memiliki pengalaman yang sama persis dengannya!Ternyata selama ini, Luna menggunakan cara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status