Share

Bab 4

Penulis: Devi Puspita
Semua orang pun menoleh ke arah Luna.

Luna terdiam di tempat, belum sempat menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba terdengar suara teriakan kaget ibu tirinya.

“Paula!”

Paula pingsan karena ketakutan mendengar kutukan itu.

Seketika, raut wajah Rocky pun berubah. Dia langsung membungkuk dan menggendong Paula, lalu bergegas menuju ruang medis.

Otak Luna kosong, sampai sebuah tamparan keras mendarat di wajahnya, barulah dia tersadar.

“Bagaimana bisa aku melahirkan anak sekeji kamu?!” marah ayahnya, urat di pelipisnya sampai menonjol.

“Kakakmu sudah sakit parah, tapi kamu masih tega mengutuknya?!”

Luna terhuyung-huyung mundur setengah langkah, hingga tak sengaja menabrak menara sampanye di sampingnya. Airnya berceceran ke lantai.

Dia pun terjatuh di atas pecahan kaca, menahan rasa sakit sambil menjelaskan, “Bukan aku!”

“Diam!” bentak ayahnya.

“Dari awal aku sudah tahu, kamu iri karena kami memperlakukan kakakmu dengan baik. Tapi dia itu sudah sekarat, kamu sama sekali nggak punya rasa kasihan sedikit pun padanya?”

“Cepat, kurung anak durhaka ini!”

….

Luna dilempar ke sebuah ruangan gelap yang sempit.

Sejak kecil dia takut gelap, ditambah lagi dirinya menderita klaustrofobia.

Begitu pintu tertutup, napasnya langsung terengah-engah. Kegelapan seperti ombak besar yang menyerbu dari segala arah.

Dia memukul-mukul pintu dengan sekuat tenaga, darah di telapak tangannya meninggalkan bekas merah menyala di papan kayu, “Buka pintunya! Kumohon lepaskan aku!”

Namun, hanya ada kesunyian di luar sana.

Tenaganya pun habis, dirinya merosot duduk di lantai. Napasnya semakin tersengal dan pandangannya berangsur gelap.

Entah sudah berapa lama berlalu.

Saat kesadarannya hampir hilang, akhirnya pintu terbuka. Dia pun buru-buru merangkak keluar.

Namun, detik berikutnya….

“Husssh!”

Satu ember penuh darah kental yang busuk disiramkan tepat ke tubuhnya!

Disusul ember kedua dan ketiga….

Luna tersedak dan hampir tak bisa bernapas.

Dalam pandangan yang kabur, samar-samar dia melihat sosok yang sangat dikenalnya berdiri di ambang pintu.

Itu Rocky.

Pria itu berdiri di antara cahaya dan kegelapan, tatapan matanya dingin menatap bawahannya yang terus menyiramkan ember-ember darah ke arahnya, tanpa sekalipun menghentikan mereka.

Hingga ember terakhir disiramkan.

Barulah Rocky melangkah perlahan ke depan Luna, membungkuk, lalu mengusap wajahnya dengan sapu tangan sutra. Tapi, nada bicaranya sangat dingin.

“Paula sudah bangun. Dia nggak menyalahkanmu karena mengutuknya, malah memohon agar kamu dimaafkan. Katanya kamu hanya kerasukan, bukan benar-benar sekejam itu.”

“Aku yang menyuruh orang menyiapkan darah anjing hitam ini, untuk mengusir roh jahat.”

Rocky terhenti sejenak, lalu melanjutkan lagi, “Tapi kalau mau ada hasilnya, kamu harus berendam di sini tiga hari tiga malam.”

Mata Luna pun dipenuhi rasa takut. Dia meronta dan mencengkeram tangan Rocky, menjelaskan, “Benar-benar bukan aku yang mengutuknya, percayalah padaku….”

“Luna.”

Rocky melepaskan jarinya satu per satu, gerakannya pelan, tapi kejam. Dia melanjutkan, “Melakukan kesalahan itu harus menerima hukuman. Anak umur tiga tahun bahkan tahu itu.”

Merasa kehangatan di jari-jarinya semakin menghilang, Luna membuka mulutnya dan perjuangan terakhirnya pun berubah menjadi sebuah permohonan yang begitu tak berdaya.

“Kumohon jangan tinggalkan aku di sini, aku takut gelap….”

“Lalu bagaimana dengan Paula?” Tatapan Rocky dingin, melanjutkan, “Saat mengutuknya, kamu pernah berpikir dia juga takut?”

Luna terdiam.

Dia teringat pada malam hujan badai dulu, saat listrik di rumah padam, dirinya hanya bisa meringkuk di sudut ruangan dengan tubuh gemetar.

Saat itu, Rocky menyalakan lilin-lilin hingga seluruh ruangan bercahaya, lalu memeluknya erat sambil mengusap lembut punggungnya dengan telapak tangan yang hangat, “Jangan takut, Luna. Ada aku di sini.”

Namun kini, pria yang sama justru hendak mendorongnya masuk ke dalam kegelapan yang tak berujung.

Tiba-tiba, rasa sakit seperti terkoyak meledak dari perutnya.

Luna reflek memegang perutnya, merasakan cairan hangat mengalir dari bawah tubuhnya.

Saat menyadari kemungkinan dirinya keguguran, tangannya yang gemetar mencengkeram ujung celana Rocky, nada suaranya bahkan sudah berubah.

“Rocky, perutku sakit sekali. Sepertinya aku keguguran… kumohon, tolong antar aku ke rumah sakit….”

Rocky tampak menegang sesaat, lalu mengernyit dan menjawab, “Kamu nggak hamil, bagaimana mungkin keguguran?”

Luna kesakitan hingga pandangannya menggelap, “Benaran… aku mengandung anakmu….”

“Cukup!” Rocky jelas tidak percaya dan hanya meninggalkan kalimat dingin, “Aku akan menjemputmu tiga hari lagi.”

Kemudian, dia pun berbalik badan dan pergi.

Luna hanya bisa mengeluarkan erangan lirih seperti anak binatang yang terluka, ujung jarinya mencengkeram lantai sekuat tenaga. Tapi, tetap tak mampu menahan sosok pria yang semakin menjauh.

Jari-jari yang kejang mencoba menggapai udara, akhirnya hanya bisa terjatuh lemas.

Luna terkapar lemas di genangan darah.

Sebelum kesadarannya hilang, senyuman miris muncul di bibirnya.

Rocky….

Kali ini, aku benar-benar kenal siapa dirimu sebenarnya.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 24

    Waktu berlalu begitu cepat.Seperti biasa, di hari tahun baru ini, Luna pergi ke kuil pinggiran kota untuk mendoakan anak-anak di pantai asuhan.Udara awal musim semi di pegunungan masih membawa hawa sejuk.Luna merapatkan selendang wolnya, lalu berlutut di atas bantalan doa dan bersujud.Asap tipis dari dupa di tungku membubung mengitari patung, aroma cendana menenangkan hatinya.Setelah itu, dia berjalan menuju pohon tua menjulang di halaman kuil, lalu mengikat sehelai kain merah di pohon harapan.Tiba-tiba, pandangannya jatuh pada seorang biksu berjubah abu-abu yang sedang menunduk menyapu dedaunan.Siluet yang begitu familiar membuat napas Luna tercekat.Itu adalah Rocky.Pewaris Grup Riyandi yang arogan dan tak terkalahkan itu, kini tampak kurus hingga tulang pipinya terlihat menonjol. Sorot mata penuh kesombongannya pun sudah sirna.Digantikan dengan ketenangan yang nyaris hampa.“Itu Master Indra,” ujar seorang samanera kecil yang melihat Luna menatap Rocky, lalu berinisiatif me

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 23

    Setengah tahun kemudian, Albert menyiapkan sebuah pernikahan megah untuk Luna.Kebun megah paling mewah di Kota Marina dipenuhi mawar putih, cahaya matahari berkilau di antara menara sampanye.Luna berdiri di depan cermin besar di ruang rias, menatap dirinya dalam balutan gaun pengantin putih. Rasanya seperti berada di dunia lain.Enam bulan lalu, setelah pemeriksaan di rumah sakit, Luna duduk di lorong rumah sakit selama satu jam penuh.Dalam satu jam itu, dia memikirkan banyak hal.Misalnya, Keluarga Halim membutuhkan penerus, sedangkan dirinya tidak bisa melahirkannya.Atau hubungannya dengan Albert saat itu belum terlalu dalam, putus lebih awal mungkin juga bukan pilihan yang buruk.Sampai akhirnya Albert meneleponnya, barulah Luna tersadar.“Kamu lagi di mana?” tanya Albert dengan tenang seperti biasa melalui telepon.“Aku… lagi belanja di luar.”Albert sepertinya tidak menyadari keanehan suranya. Dengan santai, Albert berkata, “Setengah jam lagi kirimkan alamatmu. Aku suruh sopir

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 22

    Sejak resmi menjalin hubungan dengan Albert, kehidupan Luna berjalan tenang seperti biasa.Hanya saja, ada satu hal yang selalu jadi beban di hatinya.Dulu, saat dirinya dijebak Albert hingga mengalami keguguran, dokter pernah bilang bahwa pendarahan hebat membuat rahimnya rusak parah dan kecil kemungkinan bisa hamil lagi.Meski Albert sudah berulang kali menegaskan bahwa ada atau tidaknya anak baginya tidak penting sama sekali.Luna tahu benar Albert boleh saja tidak peduli. Tapi sebagai pewaris satu-satunya Grup Halim, Keluarga Halim jelas tidak akan sependapat.Kesadaran itu bagaikan duri yang terus menusuk hatinya.Hari itu, Luna datang ke rumah sakit untuk pemeriksaan.Setelah memeriksa hasil tes, dokter hanya bisa menggeleng pasrah, “Untuk saat ini belum ada cara yang efektif. Saranku, jangan terlalu memaksakan diri.”Luna menggenggam hasil pemeriksaan itu saat keluar dari ruang dokter.Kertas di tangannya terasa ringan, tapi seakan menekan seberat ribuan kilo.Tiba-tiba, Luna sa

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 21

    Hari ketika novel Luna meraih penghargaan, salju tipis turun di luar jendela.Luna berdiri di depan jendela memandang pemandangan bersalju, tak sadar entah sejak kapan Albert sudah muncul di depannya, lalu menyampirkan mantel kasmir di pundaknya.“Aku sudah pesan tempat di restoran berputar, kita rayakan di sana malam ini, ya.”Begitu tiba di restoran, pelayan mengantar mereka ke sebuah ruang makan VIP dengan pemandangan kota.Tiga sisi ruangan dipenuhi jendela kaca dari lantai hingga langit-langit, memperlihatkan gemerlap malam seluruh kota.Di tengah meja makan ditutupi taplak merah beludru, tersusun rapi tempat lilin kristal dan mawar merah ekuador.Albert mengangkat gelasnya dan menyentuh pelan gelas Luna.Lalu, entah dari mana, dia mengeluarkan setumpuk surat yang diikat dengan tali merah yang sudah agak pudar, lalu mendorongnya ke hadapan Luna.“Aku sudah siapkan kejutan untukmu, bukalah.”Luna melepaskan tali merah itu.Tulisan di amplop sudah agak samar, tapi huruf L di sudut k

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 20

    Suara sirene ambulans perlahan menjauh.Hujan terus menampar wajah Luna yang pucat, bercampur dengan air matanya.Dia berdiri di jalan depan vila, ujung jarinya masih terasa lengketnya darah Rocky.Sebuah sorotan lampu mobil yang menyilaukan menembus lebatnya hujan.Sebuah maybach hitam berhenti mendadak tepat di hadapannya, Albert bahkan tak sempat membuka payung, langsung berlari turun, menyelimuti Luna dengan mantelnya dan memeluknya.“Luna.” Albert memeluknya erat-erat, seolah ingin menyatukannya ke dalam tulangnya.“Jangan takut, aku akan menjemputmu pulang.”Wajah Luna terbenam di bahunya, mencium aroma cedar yang familiar.Pelukannya begitu kuat hingga tulang rusuknya teras nyeri, tapi anehnya malah membuat tubuhnya berhenti gemetar.Di dalam mobil, pemanas menyala hangat. Albert menyelimuti Luna rapat-rapat dengan selimut tebal.Baru setelah itu, Albert berkata perlahan, “Belakangan ini, aku sudah menghubungi tujuh perusahaan besar, termasuk Grup Kumon dan Grup Ledon. Kami sepa

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 19

    Waktu berlalu perlahan dalam upaya Rocky untuk menyenangkan Luna.Rocky memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan harta berharga, mulai dari barang antik di balai lelang hingga gaun mewah buatan khusus, semuanya dikirimkan bagaikan air mengalir ke hadapan Luna.Namun kini, hadiah semahal apapun tak lagi mampu menggerakkan hati Luna sedikit pun.Luna selalu duduk sendirian di taman, di pangkuannya ada laptop, jari-jarinya mengetikkan bunyi ritmis di atas keyboard.Awalnya, Rocky hanya mengira itu sekadar cara Luna menghabiskan waktu.Hingga suatu sore, asistennya menyerahkan tablet.“Pak Rocky, coba lihat ini….”Ekspresi asistennya terlihat rumit, seolah ada hal yang sulit diungkapkan.Rocky melihat ke arah tablet dan di layar jelas terpampang sebuah novel yang sedang ditulis oleh Luna.Hanya membaca sekilas saja, raut wajah Rocky langsung memuram.Tokoh utama wanita dalam cerita itu, ternyata memiliki pengalaman yang sama persis dengannya!Ternyata selama ini, Luna menggunakan cara

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status