"Ummi, Abah sudah carikan rumah buat ummi yang dekat dengan rumah Abah dan Umma Najma. InsyaaAllah Minggu depan sudah bisa ditempati."
"Alhamdulillah kalau begitu Abah, ummi nurut saja sama Abah. Apakah Abah sudah bilang ke mbak Najma?"
"Belum, Ummi. Tak enak jika membahas hal seperti ini hanya melalui sambungan telepon. Besok Abah akan bilang sama Umma Najma."
Ini adalah malam ketujuhku bersama Salwa, yang artinya besok sudah waktunya aku kembali bersama istri pertamaku. Aku sudah sangat merindukannya, ini adalah kali pertama aku berjauhan dengannya selama seminggu. Biasanya hanya sehari dua hari aku tidak bertemu dengannya jika ada kegiatan luar kota, dan itupun jarang karena aku lebih memilih mengutus asistenku untuk keluar kota karena tak mau meninggalkan istriku seorang diri.
Saat ini aku sedang berada di dalam kamar tidur kami, sebelum tidur kami biasakan diri untuk mengobrol agar lebih mendekatkan diri satu sama lain. Aku memilih membelikan rumah untuk Salwa di kompleks perumahanku bersama istri pertamaku karena aku tak mau bolak balik dengan jarak yang lumayan jauh.
Aku tak mau mengumpulkan istriku dalam satu atap seperti pesan Abi. Awalnya Najma meminta agar Salwa ikut tinggal bersama kami, tapi aku tak mau hal itu terjadi karena kemungkinan terjadinya hal hal yang tak di inginkan semakin besar peluangnya.
"Abah, apakah sebelumnya Abah pernah berjauhan dengan mbak Najma dalam jangka waktu seperti sekarang ini?"
"Tidak pernah, ummi. Abah tak pernah meninggalkan Umma Najma selama seperti sekarang ini."
"Abah rindu mbak Najma?"
"Jangan tanyakan seperti itu ummi. Sekarang lebih baik kita bahas tentang kita saja, jangan membahas Umma Najma saat ummi bersama Abah, kerena itu akan melukai hati ummi."
"Ummi hanya bertanya Abah," ucapnya.
"Iya Abah tahu, jika ummi bertanya kabar Umma Najma akan Abah jawab, tapi jika bertanya soal seperti itu maaf Abah tak akan menjawab begitupun jika yang bertanya itu Umma Najma, Abah juga tak akan menjawab. Abah hanya ingin menjaga perasaan kalian agar tidak ada rasa sakit dan cemburu."
"Terimakasih sudah menjaga perasaan kami Abah. Maafkan Ummi, ummi janji tak akan bertanya seperti itu lagi."
"Tak apa, Ummi. Doakan Abah agar Abah menjadi suami yang adil buat kalian berdua."
"Selalu Abah,"
"Ya sudah, sekarang tidur, ya."
Aku mengajak Salwa sambil mengeratkan pelukan kami.
Dapat kurasakan istri mudaku itu mengangguk, sebelum kembali menatap wajahku. "Selamat malam, Abah."
"Selamat malam, Ummi." Kucium keningnya serta kedua netranya.
******
"Abah, jam berapa Abah akan kembali ke rumah mbak Najma?"
Tanya Salwa saat kami baru selesai sarapan dan duduk di teras rumah yang di temani secangkir kopi dan camilan. Ibu tidak ada, beliau sedang pergi ke pasar.
"Nanti sore, Ummi."
"Ya sudah, ummi siapin baju-baju Abah dulu, ya," Salwa hendak bangkit, tapi mendengar penjelasanku dia mengurungkan niatnya.
"Nggak usah, Ummi. Baju-baju Abah yang di sana masih banyak, itu memang di simpan buat di sini."
"Oh, begitu Abah."
"Iya Ummi. Sekarang ummi siap-siap gih, kita ke mall hari ini, beli keperluan ummi."
"Nggak usah, Abah. 'Kan kemaren lusa sudah,"
"Nggak mau nih jalan-jalan sama suami?"
Salwa tersenyum malu-malu, aku lekas menariknya membawa ke kamar agar dia berganti pakaian yang lebih bagus.
"Pakai baju yang Abah belikan kemarin Ummi,"
"Baik, Abah."
"Abah tunggu di ruang tamu,"
Setelah selesai bersiap, Salwa menghampiriku dengan menggunakan baju gamis warna Army yang begitu pas dengan warna kulitnya.
"Handphone Abah ada di kamar, nggak mau dibawa?"
"Nggak usah, lagian itu belum keisi penuh baterainya."
"Oh," balasku.
"Udah siap, Ummi?"
"Sudah Abah," jawabnya
"Ya sudah, yuk berangkat!"
Kami pun berangkat menuju mall untuk membeli beberapa keperluan Salwa. Setibanya di mall, aku menggandeng tangan Salwa untuk memasuki pusat perbelanjaan yang begitu besar ini.
Kami menuju pusat baju muslimah untuk membelikan Salwa beberapa potong baju. Tak lupa aku pun membelikan beberapa helai baju untuk Umma Najma.
Selesai berbelanja, kami menuju restauran yang tersedia di dalam mall.
"Kita makan siang sekalian," ajakku mumpung kami sedang di luar, pun biar Salwa tak perlu memasak ketika sampai di rumah nanti.
"Iya, Abah."
Setelah selesai makan siang, kami memutuskan untuk pulang. Lalu lintas siang ini begitu macet karena sekarang merupakan jam makan siang dan jam pulang sekolah. Tak lupa kami membungkuskan makan siang juga untuk ibu.
Jam satu siang barulah kami tiba di rumah, rasa lelah membuatku ingin segera mengistirahatkan tubuh ini di atas ranjang.
"Abah, sholat Dzuhur dulu," Salwa mengingatkanku ketika aku mulai memejamkan mata di pembaringan. Dia baru memasuki kamar karena harus memberikan makanan yang tadi dibeli kepada ibu.
"Ah, iya. Ummi mandi duluan saja, nanti Abah ganti ummi."
Selesai mandi kami melaksanakan sholat berjamaah di musholla bersama ibu juga. Selesai sholat aku mengajak Salwa untuk beristirahat sebelum nanti sore aku meninggalkan istri mudaku ini karena sudah waktunya aku bersama istri pertamaku.
****
"Ummi, jaga diri ummi baik-baik saat tak bersama Abah, Abah akan tetap menghubungi selama Abah di rumah Umma Najma."
"Iya, Abah. Abah hati-hati di jalan, ummi titip buah mangga ini ya buat mbak Najma."
Salwa menyerahkan satu kresek buah mangga madu yang sudah matang, memang di halaman samping rumah Salwa ada beberapa pohon mangga madu yang buahnya sangat lebat dan sudah mulai memasuki masa panen.
"Iya, terimakasih udah ngasih oleh-oleh buat Umma Najma, Ummi." ucapku sambil mengelus kepalanya yang tertutup khimar.
"Sama-sama, Abah."
"Abah pulang, assalamualaikum," pamitku.
"Wa'alaikum salam," balasnya.
Kecupan di kening Salwa tak lupa ku daratkan sebagai tanda perpisahan kami.
*****
Saat Adzan maghrib berkumandang, aku baru tiba di rumah. Aku begitu heran melihat keadaan rumah yang begitu sepi, bahkan lampu pun tak ada yang menyala. Kemana istriku?"Assalamualaikum, Umma?" Aku memasuki rumah sambil memanggil istriku.
Satu persatu saklar lampu ku tekan agar rumah ini tak gelap lagi. Aku gegas menuju tempat tidurku, mungkin Najma sedang beristirahat, tapi tak mungkin, ia tak akan tidur saat sudah memasuki waktu ashar ke atas.
"Umma, Umma di mana?"
Aku meraih handphone ku di dalam saku celanaku, handphone yang sedari siang tidak aku nyalakan sama sekali. Saat aku nyalakan, terdapat puluhan panggilan tak terjawab dari nomor Najma juga nomor Mbak Hanifah tetangga depan rumah.
Ada juga beberapa pesan dari aplikasi balon hijau, aku segera membuka pesan dari mbak Hanifah.
Deg!
Aku begitu terkejut membaca pesan yang dikirim mbak Hanifah sekitar tujuh jam yang lalu.
Aduduuh, kenapa yaa?? Ada apa dengan Umma Najma????
Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun