Mag-log inSetelah menikah dengan Reno, seorang pria sederhana namun penuh cinta, Alena menjalani kehidupan pernikahan yang damai. Namun, krisis ekonomi menghantam keluarga kecil mereka, membuat Reno kehilangan pekerjaannya. Dalam keputusasaan untuk membantu suaminya dan membayar utang-utang mereka, Alena menerima tawaran bekerja sebagai asisten pribadi Adrian, seorang CEO muda, ambisius, dan penuh karisma. Di balik kesuksesan dan kekayaannya, Adrian memiliki sisi gelap: sifatnya yang dingin, egois, dan obsesif. Dalam perjalanan waktu, Alena tak hanya menjadi asistennya, tetapi juga terjebak dalam hubungan terlarang sebagai istri simpanannya. Kehidupannya yang awalnya penuh cinta berubah menjadi labirin rasa bersalah, gairah terlarang, dan rahasia kelam. Di sisi lain, Reno yang mencurigai perubahan sikap Alena mulai mencari tahu kebenaran. Dalam perjalanan mengungkap rahasia, Reno harus menghadapi dilema: mempertahankan cinta sejatinya atau membiarkan Alena memilih jalannya sendiri. Sementara itu, Adrian, yang perlahan mulai menunjukkan sisi manusiawinya, dihadapkan pada konflik antara ambisi, keinginan, dan cinta yang sebenarnya. Alena berada di persimpangan besar dalam hidupnya—memilih untuk kembali ke cinta yang sederhana bersama Reno atau terus terjebak dalam pesona dunia Adrian yang penuh gairah dan ketidakpastian.
view moreDi pagi yang cerah, sinar matahari menyelinap melalui tirai tipis di dapur kecil mereka. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, berpadu dengan suara gesekan spatula Alena yang sibuk memasak telur dadar untuk sarapan mereka. Reno, dengan rambut acak-acakan, duduk di meja makan sambil membaca koran usang yang ia dapatkan dari tetangga.
“Makanannya hampir siap, ya,” kata Alena sambil menoleh ke arah Reno. Wajahnya yang berseri-seri adalah hal pertama yang membuat Reno merasa harinya akan baik-baik saja.
“Kalau kamu yang masak, apa pun bakal terasa enak,” balas Reno sambil menyeringai, mencoba mencairkan suasana.Mereka duduk bersama di meja makan kecil itu, menikmati sarapan sambil berbicara tentang rencana sehari-hari. Reno berbagi tentang tugasnya di kantor, yang mulai terasa berat akibat tekanan dari atasannya. Alena mendengarkan dengan penuh perhatian, menggenggam tangan Reno untuk menenangkan kegelisahannya.
Namun, ada sesuatu yang tak diucapkan Reno. Perusahaan tempat ia bekerja sedang mengalami masa sulit, dan ada kemungkinan besar pengurangan karyawan. Reno tahu bahwa ia harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, tetapi ia tidak tega mengkhawatirkan Alena.
Setelah sarapan, Reno bersiap berangkat kerja. Ia mengenakan kemeja sederhana yang sudah mulai memudar warnanya, tapi ia tetap terlihat rapi di mata Alena. Sebelum pergi, ia mencium kening Alena dan berkata, “Jangan lupa istirahat, ya. Jangan terlalu banyak kerja di kebun.”
Alena tertawa kecil dan menjawab, “Kamu juga hati-hati di jalan.”Setelah Reno pergi, Alena mulai membereskan rumah kecil mereka. Ia menyapu lantai, mengelap jendela, dan merapikan bantal-bantal di sofa. Pekerjaan rumah mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang, tetapi bagi Alena, itu adalah cara untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya.
Siang itu, Alena duduk di meja kerjanya yang sederhana. Ia mengeluarkan bahan-bahan kerajinan tangan yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Tangan Alena yang terampil mulai mengukir pola-pola halus di atas kayu kecil untuk membuat gantungan kunci. Meski pekerjaan ini melelahkan, ada rasa puas yang ia rasakan setiap kali melihat hasil karyanya selesai dengan sempurna.
Sambil bekerja, pikirannya melayang pada Reno. Ia tahu betapa keras suaminya bekerja di pabrik untuk mencukupi kebutuhan mereka. Alena ingin membantu lebih banyak, tetapi ia juga tahu Reno tidak ingin ia terlalu lelah.
Saat sore menjelang, Alena memutuskan untuk berjalan ke pasar kecil di dekat rumah mereka. Ia membawa beberapa kerajinan tangan yang telah selesai untuk dijual kepada pelanggan tetapnya. Pasar itu adalah tempat yang ramai, penuh dengan pedagang yang menawarkan berbagai barang, mulai dari sayuran segar hingga pakaian murah. Alena mengenal banyak orang di sana, dan mereka sering kali menyambutnya dengan senyuman hangat.
Ketika malam tiba, Reno pulang dengan langkah lelah. Ia disambut oleh aroma masakan Alena yang menggugah selera. Di meja makan, Alena sudah menyiapkan hidangan sederhana namun lezat: sup ayam hangat dan nasi putih.
“Kamu pasti lelah. Ayo makan dulu,” kata Alena sambil menuangkan sup ke mangkuk Reno.
“Terima kasih, Lena. Kamu selalu tahu bagaimana membuat hariku lebih baik,” jawab Reno dengan senyum tipis.
Setelah makan malam, mereka duduk bersama di ruang tamu. Reno bercerita tentang pekerjaannya di pabrik, sementara Alena mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka saling berbagi cerita, mencoba melupakan sejenak kekhawatiran mereka.
“Aku tahu semuanya tidak mudah sekarang, tapi aku yakin kita bisa melewati ini,” kata Alena sambil menggenggam tangan Reno.
“Aku juga percaya itu, Lena. Selama kita bersama, aku merasa kuat,” balas Reno dengan suara pelan.
Malam itu, sebelum tidur, mereka berbaring di tempat tidur yang sederhana namun nyaman. Reno memeluk Alena dengan erat, seolah-olah ia tidak ingin melepaskannya. Meski banyak kekhawatiran yang membayangi pikiran mereka, cinta yang mereka miliki tetap menjadi sumber kekuatan utama mereka.
Kabut malam mengendap perlahan di atas lereng tempat kecelakaan itu terjadi. Hujan telah mereda, menyisakan rintik-rintik kecil yang jatuh dari daun seperti bisikan alam yang belum pulih sepenuhnya dari kekacauan.Adrian tidak sepenuhnya sadar. Tubuhnya masih terbaring di tanah basah, napasnya pelan—hangat, tapi lemah. Di sela-sela kabut yang menutupi pandangannya, ia hanya melihat remang cahaya dan bayang-bayang yang bergerak cepat. Ia tidak tahu apakah itu nyata atau hanya ilusi dari tubuhnya yang mulai menyerah.Ia bisa mendengar suara—tercekik, jauh, hampir seperti gema dalam mimpi.Suara seseorang berlari.Daun-daun terguncang.Dan… tembakan.Satu suara.Kemudian dua.Lalu hening.Adrian memaksa matanya terbuka. Ia ingin melihat Alena. Ia ingin memastikan bahwa perempuan itu berhasil kabur. Tetapi setiap kali ia mencoba menggerakkan tubuhnya, rasa sakit menyerang seperti aliran listrik yang menyambar.“A-Alena…” suaranya seperti bisikan yang patah. “Lari…”Namun angin malam hanya
Hujan belum juga berhenti malam itu. Langit seolah menangis bersama bumi, menumpahkan segala beban dan rahasia yang selama ini tertahan. Di dasar lereng yang licin, mobil Adrian terbalik, remuk dengan asap putih yang masih mengepul dari kap mesin yang hancur.Air menetes dari rambut Victor Lau yang berdiri beberapa meter di depan mobil itu. Tubuhnya tegap, jas hitamnya kini basah kuyup, tapi sorot matanya tetap tajam, tak goyah sedikit pun. Ia menatap reruntuhan logam itu seperti seorang pelukis yang menatap hasil akhir lukisan yang telah lama ia rencanakan.“Kau tidak pernah belajar, Adrian,” katanya pelan, hampir seperti gumaman yang diucapkan dengan nada puas. “Kau pikir kau bisa menipu semua orang. Tapi akhirnya, kau hanya menipu dirimu sendiri.”Ia melangkah lebih dekat, sepatu kulitnya menjejak lumpur tanpa suara. Hujan mengguyur wajahnya, tapi ia tidak peduli. Satu-satunya hal yang penting baginya malam itu adalah memastikan pe
Malam itu, udara terasa berat. Langit di luar gelap pekat, tanpa satu pun bintang yang berani muncul. Adrian duduk sendirian di ruang kerjanya—ruangan yang dulu penuh kehidupan, penuh rencana besar, penuh kebanggaan. Sekarang hanya tersisa kesunyian yang menusuk, seolah tembok-tembok itu menyerap sisa napasnya yang berat.Lampu meja redup memantulkan bayangan wajahnya di permukaan kaca jendela. Wajah yang dulu penuh percaya diri kini terlihat lelah dan rapuh. Pandangannya kosong, jarinya bergetar di atas segelas minuman yang bahkan tak lagi ingin ia sentuh.Ia menatap meja kerjanya. Ada bingkai foto di sana—foto lama, dirinya bersama Alena. Mereka tersenyum, berdiri di depan bangunan yang dulu mereka impikan bersama. Dulu, ia pikir ia memiliki segalanya: cinta, kekuasaan, dan kendali atas hidupnya. Sekarang, semua itu terasa seperti mimpi yang terlalu jauh untuk dijangkau kembali.Ia menghela napas dalam-dalam, lalu bergumam pelan,“Aku telah menghancurkan segalanya dengan tanganku se
Hari-hari terasa semakin panjang bagi Adrian. Setiap pagi, suara dering telepon, surat panggilan pengadilan, dan berita-berita yang menyorotinya menjadi rutinitas yang menghantui. Nama Adrian Hartono kini tidak lagi identik dengan kesuksesan atau kejayaan, melainkan dengan kata-kata seperti penipuan, manipulasi, dan korupsi.Ia duduk di ruang kerjanya—ruangan yang dulu menjadi simbol kekuasaannya—kini seperti penjara tak berdinding. Dokumen-dokumen berserakan di atas meja, berita-berita dari media online menampilkan wajahnya dengan tajuk besar:“Pengusaha Terkenal Terancam Hukuman Penjara: Fakta Mengejutkan Tentang Skandal Hartono Group.”Adrian menatap layar laptopnya tanpa benar-benar melihat. Tatapannya kosong, pikirannya berputar cepat. Ia masih berusaha memahami bagaimana semuanya bisa hancur secepat ini. Dalam beberapa bulan saja, seluruh kerja keras bertahun-tahun berubah menjadi reruntuhan.Di tengah kesunyian itu, ponselnya berdering. Nama di layar membuat dadanya sedikit men












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.