Sequel 'Pemuas Hasrat Dosen Tampanku' "Siapa bilang kalau selingkuh itu buruk dan menikah itu baik? Bagaimana kalau hal itu malah jadi terbalik? Apa yang akan kau lakukan Jiyya?" Jiyya telah menikah dengan Bestian, pria yang menjadi cinta pertamanya kurang lebih satu dekade setelah pertemuan terakhirnya dengan Joan. Namun pernikahan yang Jiyya jalani jauh dari kata sempurna, dan seiring waktu dia mulai menyadari bahwa dia berhak mendapatkan lebih dari pada apa yang dia miliki. Apalagi ketika Joan kembali memasuki hidupnya dan tanpa disangka dia justru dihadapkan pada pilihan takdir. Mempertahankan rumah tangganya dengan Bestian atau perasaannya terhadap Joan.
View More“Mau pergi lagi?” kata Jiyya tatkala melihat pria itu sudah berpakaian rapi di kamar tidur mereka. Dia tampak sudah sangat segar, meskipun begitu tetapi tampangnya masih saja tetap datar dan terkesan dingin.
“Aku ada jadwal penerbangan pagi.”
Jiyya memandang pria itu dengan senyum lebar, walau matanya masih setengah mengantuk. Dia pun segera beranjak dan meraih dasi yang sedang coba Bestian kenakan. “Kenapa tidak dibangunkan? Sebagai seorang istri aku harus melayanimu ‘kan?”
Tetapi belum sempat Jiyya memasangkannya, pria itu keburu merebut dasi yang ada di tangan Jiyya dan berbalik. “Kau tidak perlu melakukannya.”
Jiyya terdiam. Suasana terasa canggung dan membuat perasaan Jiyya semakin terasa melankolis. Banyak hal yang mengganjal di pikiran Jiyya detik itu juga. Dia merasa bahwa Bestian mencoba terus menjaga jarak darinya. Bahkan lebih jauh daripada saat mereka terpisah setelah lulus SMA.
Mereka sudah menikah kurang lebih satu dekade memang, sangat wajar bila api cinta yang membara telah berubah menjadi bentuk baru. Tetapi Bestian terlalu banyak berubah dari yang dia ingat. Dia menjadi sangat dingin terhadapnya padahal kehadiran pria itu di rumah pun nyaris tidak terasa karena seringnya dia lebih banyak di luar sana dengan alasan bekerja dan bisnis yang membuat pria itu harus berpindah-pindah dengan jangka waktu tak pasti. Jika diperhatikan Bestian sendiri tidak pernah berusaha terbuka lagi. Bahkan sikapnya kali ini pun terang-terangan tidak menganggapnya sebagai istri.
“Suami istri mana yang hubungannya sedingin ini?” ujar Jiyya dengan ekspresi sendu yang kontan menarik perhatian Bestian segera.
“Lalu maumu apa?” sahutnya tegas dan jelas seraya menatapnya lurus tanpa berkedip. Sorot mata yang dia bagi terasa begitu asing.
Tersentak dengan ungkapan singkat dari suaminya, Jiyya menatapnya tak percaya. “Apa mauku? Bestian… sebenarnya bagaimana caramu melihatku? Apa aku bagimu? Ini moment dimana kau pulang ke rumah setelah bebulan-bulan kita tak bersama, sikap macam apa yang kau perlihatkan padaku?” Akhirnya Jiyya tak tahan untuk tidak bertanya. Disini dia betul-betul berusaha menjadi seorang istri yang sempurna meskipun pria itu tidak terlihat berusaha melakukan perannya dengan baik.
“Jiyya, aku harus berangkat sekarang. Jangan memulai drama di pagi-pagi buta. Aku tidak punya waktu untuk ini.”
“Drama? justru kau yang melakukannya. Apa-apaan sikapmu ini? Apa kau sudah tidak mencintaiku lagi?”
Bestian tiba-tiba saja tertawa pahit mendengar perkataan Jiyya.
“Kau menggelikan sekaligus mengerikan, Jiyya. Kita sudah terikat dalam pernikahan, apa masih perlu kau membahas soal cinta lagi denganku?”
“Memangnya itu cukup? Kita memang terikat dalam pernikahan ini, tetapi kau kuperhatikan semakin hari semakin tidak mengganggapku sebagai istri. Kau tidak pernah menghubungi keluargamu! Kau bahkan tidak pernah menanyakan keadaan putrimu! Apa kau tahu perasaanku? Hah! Kupikir kau tidak pernah tahu!”
Meskipun dia mengungkapkan semua hal yang dia rasakan secara membabi buta, tetapi Jiyya bisa merasakan ketegangan yang luar biasa diantara mereka berdua dan berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak jatuh dari pelupuk mata. Lebih pada merasa denial untuk menerima jawaban yang telah jelas di depan matanya.
“Memangnya apa perasaanmu? Kau membenciku sekarang? mau kuceraikan saja biar kau puas sekalian?”
Kata-kata itu keluar begitu saja bagai pecahan kaca, melukai udara diantara mereka berdua. Mendadak suasana di kamar tidur berubah mencekam.
Jiyya terdiam, jantungnya berdetak kencang. “Apa maksudmu? bukan itu Bestian. Bukan itu! apa kau sungguh tidak punya hati? Kenapa kau tiba-tiba membawa-bawa soal cerai. Ada apa dengan pola pikirmu?”
Sorot mata pria itu jelas mengintimidasinya. Tatapan yang sangat dingin yang kembali menusuknya. Lantai di bawah kakinya terasa goyah, seperti tanah yang tiba-tiba hilang pijakan. Pria itu seperti telah memiliki alasan yang sama sekali tidak bisa Jiyya hadapi. “Sudahlah hentikan semua narasi lebay kekanakanmu ini. Jika kau tak sanggup menghadapiku tapi tidak ingin bercerai denganku, lebih baik jangan pedulikan aku lagi.”
Belum sempat Jiyya bereaksi, Bestian keburu melangkah pergi dengan koper di tangan. Seperti biasa lelaki itu akan meninggalkan rumah untuk waktu yang tidak ditentukan, dan sialnya perpisahan mereka kali ini justru diakhiri dengan sesuatu yang tidak menyenangkan dan Jiyya bahkan tidak kuasa untuk mencoba lari dan mencegah pria itu pergi. Kedua kakinya tidak mau diajak kompromi. Alih-alih mencoba mendamaikan situasi seperti biasanya bila mereka sedang bertengkar begini. Kali ini Jiyya malah terpuruk dilantai sambil menangis.
Kenapa kata-kata yang diucapkan suaminya terdengar begitu menyakitkan?
Sejujurnya kalau mau arogan, Jiyya bisa memiliki hidup yang lebih baik dari ini. Ada banyak hal yang bisa dia lakukan, tetapi entah bagaimana dia justru memilih opsi hidup yang nyaris tak berwarna begini. Padahal dulu dia sempat bahagia, dan berpikir bahwa pernikahannya dengan Bestian adalah salah satu perwujudan impiannya. Namun setelah menjalani pernikahan ini pria itu seakan membawa seluruh sumber kebahagiaannya pergi dan Jiyya terjebak di dunia yang membosankan ini sendiri dengan berbagai tanggung jawab sebagai seorang istri sekaligus seorang ibu yang harus melimpahkan kasih sayang dan cinta kepada putrinya sendiri.
Jujur saja bila saat bertengkar begini, jauh dilubuk hati angannya selalu kembali ke detik dimana pria itu menawarinya komitmen penuh. Bukan suaminya, tapi pria lain. Pria yang mencintainya tetapi hubungan mereka terhalang oleh status sebagai mahasiswi dan dosen. Joan… dosennya. Pria yang merenggut kesuciannya, pria yang meski mereka tidak bersama tetapi Jiyya menyimpan kenangan bersamanya di sudut hati.
Apa kabarnya ya? apakah hidupnya akan berbeda kalau saja dulu dia menerima uluran tangan pria itu?
“Mama… kenapa Mama menangis?” putrinya tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan menghambur memeluknya. Luna, putri kecilnya yang teramat sangat sensitif dan selalu berusaha menguatkannya. Alasan mengapa Jiyya masih bertahan dalam pernikahannya bersama Bestian.
Namun kalau terus-terusan berat sebelah seperti ini, Jiyya tidak yakin bahwa dia masih punya minat untuk mempertahankan pernikahan ini.
Cepat-cepat Jiyya menghapus air mata sekaligus pemikiran terakhirnya dan balas memeluk Luna dengan sangat erat. “Maafkan Mama, sayang. Mama sudah sangat lelah.”
***
Beberapa hari setelah peristiwa tak mengenakan yang Jiyya alami dengan suaminya, itu adalah hari Sabtu yang cerah dengan angin sepoi yang sempurna untuk meringkan seluruh problematika. Hari itu adalah harinya berbelanja dan dia memilih untuk berkeliling pasar tradisional alih-alih ke supermarket. Entah dorongan dari mana, tapi itulah yang terjadi. Dia berkeliling dari satu kios ke kios lain, memilih berbagai buah, sayur, dan daging segar sebagai bahan makanan untuk satu minggu ke depan. Untuk beberapa alasan, Jiyya merasa untuk pertama kalinya dia menyukai suara-suara yang tercipta di sepanjang jalan dari setiap pedagang yang berusaha mempromosikan dagangan mereka, pembeli yang menawar harga lebih murah, juga beberapa orang yang bercakap-cakap tentang sesuatu diiringi tawa dan tepukan ringan.
Ya… inilah seharusnya kehidupan berjalan, hangat, semarak, dan bahagia.
Jiyya pun berhenti pada salah satu kios buah yang menarik perhatiannya. Dia menyapa si pemilik dan hendak mengambil buah apel untuk dia masukan ke keresek untuk ditimbang, sampai tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang. Beruntungnya Jiyya punya refleks yang lumayan bagus jadi dia tidak menjatuhkan buah-buahan lain dari meja. Jiyya hendak berbalik dan berteriak kepada orang itu ketika sebuah lengan yang sangat familiar terjulur dari belakang untuk menyambar buah apel yang dia jatuhkan saat mencoba menyeimbangkan diri.
Sambil menggertakan gigi dan menghembuskan napas pelan, dia mendongak dan menatap tajam punggung orang yang mengganggu aktivitasnya. Namun napasnya tercekat dengan kedua mata melotot begitu dia menghadap ke arah Jiyya. Bukankah dia…
“Sir… Joan?”
Kurang tidur dan overthingking adalah dua hal yang merupakan sebuah serangan paling mematikan. Tetapi Jiyya sedikit banyak bisa tetap bertahan dan menjalani harinya. Namun sialnya, dia sempat kena serangan jantung gara-gara mengira bahwa pria yang berdiri di sisi gedung sebagai Joan padahal bukan. Tidak heran, semua orang yang mengenalnya jadi khawatir dan menanyakan keadaannya. Jiyya mengabaikan kekhawatiran mereka dengan menunjukan bahwa dia sangat sehat dan baik-baik saja. Setidaknya bila diluar begini Jiyya punya kegiatan yang bisa mengalihkan pikiran.Untungnya setelah beberapa lama, dia betulan merasa jauh lebih baik dari pada saat pagi hari tadi. Ketika sudah menunjukan pukul empat sore, Jiyya memutuskan untuk segera pulang. Mengingat putrinya pun pastinya sudah pulang les sekarang dan Jiyya harus sudah menyiapkan makan malam untuk mereka. Dia tidak sabar mendengarkan celotehan putrinya tentang apa saja yang dia pelajari hari ini, dan mulai membayangkan beragam masakan yang per
Jiyya tidak menyangka bahwa semua orang menyisakan satu kursi tepat disebelah Silvana, yang tampaknya punya tujuan supaya dirinya merasa lebih nyaman berada dalam lingkup pertemuan setelah sekian lama. Dan begitu Jiyya tiba, sahabatnya itu langsung menghambur memeluknya, lalu menarik dirinya untuk ikut duduk bersama.“Jiyya, aku benar-benar rindu padamu. Sudah lama aku tidak melihatmu!” katanya dengan dramatis yang khas. Tipikal Silvana, seperti biasa.“Yang benar saja, kau melihatku dua hari yang lalu saat sedang belanja, Silvana,” jawab Jiyya dengan suara yang terkesan datar.Silvana hanya terkekeh garing mendengar ucapan sahabatnya. “Ah? Hahaha… kau ini, tidak mengerti kodenya ya?” ujar Silvana dengan menurunkan nada suara pada kalimat terakhir setelah tawa garingnya.Jiyya menggelengkan kepala dan kemudian dia pun mulai mengedarkan pandangan ke seluruh meja yang telah terisi untuk menyapa semua orang dengan sopan. Ada Leon dan Dean yang memberinya senyum lima jari, dan tak lupa J
“Kenapa malah balik bertanya?” Meski jawaban yang dia dapatkan berupa tanya balik dari Jiyya, Joan justru menatap wanita itu dengan sorot menggoda yang kembali hadir pada kedua matanya. Sambil menyeringai, dia kembali menggoda Jiyya dengan sangat entang. “Kau tahu, aku tidak bisa melupakan moment panas kita. Moment dimana aku mengambil keperawananmu, Jiyya.” “A—apa—” Jiyya mendadak tergagap, rona merah mewarnai pipinya. Dan disaat itu pula dia sadar bahwa Joan hanya sedang mengolok-ngolok dirinya. “Kau tahu kalau itu bukan topik yang sedang kita bicarakan disini!” Jiyya menyentakan lengannya dari meja dan berbalik menghadap pria itu sambil mendengus. Melihat seberapa ekspresifnya Jiyya, Joan malah terkekeh tulus. Tawa langka yang jujur saja selalu menular padanya. “Kau sekarang mirip sekali dengan Luna tadi,” ujarnya sambil tertawa pelan, ekspresi geli terpancar di wajah si pria. Jiyya melirik sedikit, berusaha mempertahankan ekspresi kesalnya tetapi tawa Joan justru malah menular
Jiyya tidak bertemu dengan Joan lagi selama beberapa hari setelah kejadian lari pagi waktu itu. Dia bisa saja bilang kalau alasan mengapa mereka tidak bersua adalah karena dirinya sibuk dirumah, tapi itu hanya argumentasi yang setengahnya benar saja.Bagian lainnya adalah Jiyya memang sengaja menghindari lelaki itu sebisa mungkin.Kata-kata yang Joan ucapkan agak melukai dirinya terlalu dalam lantaran kata-kata itu terlalu dekat dengan apa yang memang Jiyya pikirkan jauh di lubuk hatinya. Dan pria itu berhasil menyuarakannya keras-keras hingga Jiyya tidak sanggup mendengarnya sendiri. Dia tahu bahwa pertemuannya dengan Joan akan sedikit menyulitkan Jiyya untuk kembali menutup diri. Jadi Jiyya sebisa mungkin menjauhi tempat-tempat potensial pertemuan mereka saat keluar rumah, meskipun itu berarti dia harus melalui jalan yang memutar. Jiyya hanya merasa butuh waktu untuk mengingatkan pada dirinya sendiri tentang mengapa hidup yang telah dia pilih adalah opsi terbaik.Tapi sialnya jelas
Udara pagi masih menyisakan embun yang menempel pada dedaunan. Jalan setapak di tepi pemukiman masih tampak lenggang, hanya sesekali terdengar kicau burung dan roda sepeda yang melintas. Tidak banyak memang. Jiyya menarik napas dalam-dalam merasakan segarnya udara menelusup ke dalam paru-paru. Rambutnya terikat ekor kuda bergoyang mengikuti setiap langkahnya yang ringan. Cuma di moment inilah dirinya merasa sedikit lebih hidup dan keluar dari rutinitas membosankan. Jogging pagi menelusuri semua tempat, membuatnya merasa begitu bebas dan seolah pagi ini hanyalah miliknya, tanpa gangguan dari siapapun.Namun diantara bunyi langkahnya sendiri, Jiyya bisa mendengar ada suara ritme lain. Langkah kaki yang terdengar mengikuti di belakang. Agak aneh, lantaran setahunya hanya dia yang punya rutinitas seperti ini di sekitar kediamannya. Jadi pada akhirnya, Jiyya putuskan untuk melirik dan sekali lagi kedua matanya dibuat terkejut atas siapa yang sedang membuntutinya sekarang.“Sir Joan?”Senyu
“Oh, ya ampun. Jiyya? benarkan? Long time no see. Mendadak cuaca hari ini jadi sangat indah, ya?” balasnya seolah sama sekali tidak terkejut atas pertemuan mereka. Lihat bagaimana Joan menghadapinya dengan senyum khas andalan sembari mengangkat buah apel di tangan sebagai sebuah salam seolah ini hal biasa. Seolah dia sudah memperkirakan pertemuan ini sejak awal.Oh jangan bercanda. Telah berapa lama mereka tidak bersua? Sepuluh? Dua belas tahun? Entahlah…. Jiyya tidak yakin. Yang pasti terakhir mereka bertegur sapa adalah di pernikahan Silvana. Setelah itu mereka tidak pernah saling bertemu satu sama lain, seolah semesta membantu mereka untuk tidak lagi terhubung. Tapi sekarang… kemunculannya yang tidak diduga ini seolah mengangkat sesuatu yang telah lama ada di dalam benak Jiyya. Sesuatu yang telah dia jaga dan simpan rapat-rapat.Tak ingin menjadi satu-satunya yang menampakan keterkejutan, Jiyya segera mengatur ekspresi lalu menyambar buah apel yang ada ditangan Joan dan memasukanny
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments