Home / Romansa / MAIN HATI / Chapter 8

Share

Chapter 8

Author: Velmoria
last update Last Updated: 2024-02-21 18:51:18

—Lila Winter

“Kau takut?” bisikku. Dan kulihat Gray mengangguk. “Yang benar saja.” Kudorong wajahnya menjauh dariku.

“Lilaaa!” Seperti bocah, Gray bersiap memelukku. Malahan merengek. Di luar, Pretty Wings masih saja berusaha membuka pintu dan menggedor-gedor kaca jendela mobil.

“Jangan berisik. Diam dan lihat apa yang dia lakukan pada mobilmu.” Aku mengerut marah, sekaligus menunjuk ke arah Pretty Wings yang sedang beraksi.

“Lila, aku benar-benar ketakutan.” Gray memberitahuku lagi. Sangat dekat. Nyaris mencium daun telingaku.

Aku memberinya ekspresi tidak tertarik. Mengabaikannya dan lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Pretty Wings di luar sana.

Hei, hei. Dasar orang gila! Tiba-tiba saja dia meraih sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ah, benar-benar gila!

“Gray, cepat keluar!”

“Apa?”

“Keluar kataku.”

“Tapi—”

“Kau mau dilempari batu olehnya?” Mendorongnya ke arah pintu, aku tidak tahan dengan gerak lamban dan ragu-ragu darinya.

Gray akhirnya menurut setelah aku berusaha menyingkirkan tubuhnya untuk membuka pintu.

Batu besar itu sudah dilemparkan oleh Pretty Wings dan lolos masuk ke tempat dudukku. Gray tengah mematung di samping mobil.

“Lari!” Aku berteriak padanya.

Menyusul Gray yang telah lari karena perintahku, aku tidak sadar bahwa Pretty Wings meraih rambutku. Dia menariknya dengan kekuatan penuh, sementara aku berusaha menggapai apa pun yang bisa kudapatkan.

Kotak tisu yang ada di dashboard. Walau tidak berat, setidaknya bisa menghalau si wanita gila ini.

“Lila!”

“Lilaaaa!”

Di luar, Gray yang terasa lebih mirip orang gila, terus menerus meneriakkan namaku.

Dia ketakutan seperti pengakuannya padaku tadi. Tidak melakukan apa pun selain hanya kudengar teriakannya.

Kotak tisu berhasil kupukul ke tubuh Pretty Wings yang sedikit lebih kurus dariku. Dia mengerang marah, tapi sempat melepas cengkeramannya di rambutku.

Aku berhasil keluar lewat pintu pengemudi dan membantingnya, sebelum Pretty Wings berhasil menyusulku.

“Kenapa masih di sini? Lari dan minta bantuan, Bodoh!” Aku memaki Gray yang lemas tidak berdaya.

“A-aku—”

“Jangan takut. Ada aku. Ayo!” Kupegang pergelangan tangannya erat-erat. Menariknya kasar agar mengikutiku.

Kami berlari. Aku memimpin di depan. Mencari tempat yang pas di malam yang kian sunyi. Perempatan masih sedikit jauh dari tempat kami berada.

“Lila, kita sembunyi di situ.” Graymenunjuk ke arah sampingnya.

Lorong gelap di belakang dua bangunan yang berdampingan. Tempat yang sepertinya tidak digunakan lagi. Atau mungkin akan dirobohkan untuk membangun sarana lain.

Dia menarikku ke sana. Gelap. Tidak ada cahaya sama sekali, kecuali dari langit malam di atas kepala kami.

“Keluarkan ponselmu. Cari bantuan. Telepon siapa saja yang bisa membantu.” Aku memerintah, tapi mataku menatap ke jalanan di luar sana. Berharap sungguh bahwa Pretty Wings tidak akan mengejar kami.

Mana mungkin!

Pretty Wings jelas menyusul untuk mendapatkan kami. Dia sudah berlarian dengan batu di tangan. Aku melihatnya melintas di depan lorong tempat kami bersembunyi.

Tapi sungguh, aku tidak yakin dia—akh, benar! Dia kembali!

“Gray, matikan ponselmu. Dia melihat cahaya dari sini.” Berbisik tegas, aku merasakan getaran di sisiku. Gray ketakutan.

Pretty Wings berjalan mendekati lorong. Pasti di matanya, dia tidak lagi melihat cahaya dalam gelap.

Aku mengajak Gray berjongkok. Membiarkan dia tetap berada di belakangku.

“Lila, Lilaaa. Aku takut.” Dia berbisik ngeri. Tidak berpura-pura. Dari suaranya, terdengar begitu. Bergetar dan merengek. Aku merasa sedang bersama bocah lima tahun.

Andai dia berakting, akan kuhajar wajahnya nanti. Tunggu sampai Pretty Wings berhenti mengincar kami.

“Diam!” Sedikit membentak, aku membenturkan lutut terlipatku dengan lututnya. “Perhatikan saja apa yang dilakukan si wanita gila itu. Kalau sampai kita ketahuan olehnya, itu salahmu.”

“Hah?” Gray terdengar bingung, tapi kemudian hening saat aku mengabaikannya.

Pretty Wings berjalan lambat-lambat ke arah lorong gelap di mana kami bersembunyi, bukan. Bukan bersembunyi, tapi berjongkok dalam keadaan bisu.

“Saat hitungan ketiga, terus mundur secara perlahan tanpa merubah posisi. Kau mengerti?” Masih berbisik, aku memberitahu sambil tetap memperhatikan pergerakan Pretty Wings.

Wanita gila itu rupanya benar-benar penasaran. Dia masuk ke dalam lorong dengan mata memicing. Mencoba melihat keberadaan kami. Aku yakin dia bisa melihat kami. Dia tidak buta.

Jaraknya sudah dekat. Hanya beberapa meter lagi.

“Satu.”

“Hah?” Gray malah kebingungan.

Anak ini bodoh atau gila seperti Pretty Wings? “Dua.”

Hening dari Gray. Sepertinya dia mulai mengerti. Lihat, Pretty Wings tinggal beberapa langkah lagi.

“Tiga.”

Gray mulai mundur. Memang sulit bergerak, tanpa merubah posisi. Berjongkok sambil mundur, bukan hal yang mudah. Beberapa kali kaki panjangnya nyaris menendangku.

Entah bagaimana, Gray tiba-tiba mengangkat tubuhku dengan menyelipkan tangannya di kedua ketiakku.

Oh, oh! Dia menyeretku agar menjauh karena bahaya memang datang. Dalam kegelapan yang cuma diterangi cahaya dari langit malam, bisa kulihat Pretty Wings bersiap melemparkan batu di tangannya ke arah kami.

Gray berteriak ketakutan, padahal si bodoh ini seharusnya tidak perlu begitu. Meski dia takut sekali pun. Karena itu hanya akan mengundang kepanikan yang lain.

Pretty Wings salah sasaran. Dia melempar ke arah lain. Mungkin penglihatannya sedikit buruk atau terkejut karena teriakan Gray yang melengking. Menyakitkan telinga.

Dia mengejar kami yang berlari tidak tahu arah harus ke mana. Kali ini, Gray berada di depan walau terus saja berteriak ketakutan.

Dasar bocah!

Menoleh sekilas, aku semakin merasa bahwa Pretty Wings mirip zombie. Ekspresi wajahnya sudah sulit kukenali antara marah, sedih atau senang.

Jarak kami cukup dekat. Dia hanya perlu menjulurkan lengan untuk menangkapku atau setidaknya, menjambak rambutku seperti tadi.

Aku bingung kenapa Pretty Wings tidak melakukannya. Apa dia senang bermain kejar-kejaran seperti ini?

“Lila, ke sini!”

Suara Gray mengejutkanku. Aku kehilangan dia dan tidak tahu di mana—hah? Sejak kapan dia naik ke atas sana?

Aku mendongak, melihat Gray sudah ada di balkon belakang salah satu bangunan.

“Naik lewat tangga itu!” Gray berteriak histeris.

Pretty Wings ikut berhenti di belakangku. Gila! Jarak kami sedekat ini!

“Lila cepaaat!” Teriakan Gray makin menyebabkan rasa panik. Padahal, aku jarang bertingkah mengikuti emosi lawan bicaraku.

Cepat kunaiki tangga yang bau karatannya terendus hidung. Tangga lurus tanpa pegangan. Saat menoleh ke belakang, Pretty Wings sedang mendongak dan aku yakin, dia berniat menyusulku.

“Lilaaaa, cepaaat!”

“Diam, Bodoh! Kenapa kau berisik sekali?”

“Segera lemparkan tangganya!” Gray mengabaikan peringatanku.

Apa dia gila? Pretty Wings sudah menyusulku, walau baru dua atau tiga anak tangga yang dinaikinya. Dia bisa terjatuh dari ketinggian bila aku membuang tangganya.

Aku sudah sampai di balkon. Gray mendekatiku, bukan. Dia malah berjalan ke arah tangga dan mendorong tangga itu dengan sekuat tenaga.

Aku diam melihat aksinya. Rasa takut membuatnya kehilangan dirinya sendiri. Melihat ke bawah, samar tampak Pretty Wings terbaring di tanah. Bagusnya, tubuh kurus itu tidak tertimpa tangga.

“Apa dia mati?” Gray sudah ada di sampingku.

“Entahlah. Jika dia sampai mati, kau harus bertanggung jawab.”

Gray menghela napas. Dia mengeluh sambil bergumam tidak jelas. Kuperhatikan tangannya yang ada di sisi tubuhnya. Bergetar. Dia gemetaran.

Setakut itukah?

“Sekarang bagaimana?” Berkacak pinggang, aku berencana mengalihkan perhatiannya dari rasa takut.

“Apanya?” Dia masih melihat ke bawah, ke tempat Pretty Wings terkapar. “Maksudmu, dia?”

“Kita.”

Sepasang mata gelap Gray segera menatapku. “Kita?”

“Ya, kita. Kau sudah membuang tangganya. Kita tidak bisa turun dan mana mungkin mendobrak pintu besi itu!” Kutunjuk satu-satunya pintu yang ada di balkon.

“Kau benar.” Gray tiba-tiba sibuk mondar-mandir di depanku. “Sekarang, kita harus bagaimana?”

Aku menggeleng tidak habis pikir. Rasa takut benar-benar membuatnya jadi bodoh.

“Ponselmu, Gray.” Aku mendekat. Menadahkan telapak tanganku. “Kemarikan. Biar aku yang cari bantuan.”

“Oh, aku lupa!” Dia berseru. Mirip bocah.

“Jangan berakting, Gray.”

“Tidak. Aku tidak berakting, Lila.”

Kuabaikan penyangkalan Gray dan mulai mencari nama paman Eddie di kontaknya. Entah kenapa aku merasa tidak perlu izin darinya untuk melakukan hal semacam ini.

“Kau menghubungi siapa?”

“Ibumu,” jawabku asal.

“Aku tidak punya ibu, Lila.”

Tanganku berhenti menyentuh layar ponselnya. Menatapnya tanpa ekspresi. “Aku cuma bercanda.”

“Tapi aku tidak bercanda. Aku memang tidak memiliki ibu.” Gray seakan sengaja mengatakan hal itu untuk membuatku tertekan, merasa bersalah.

Okay. Aku tahu harus apa. “Aku minta maaf.”

“Tidak apa-apa. Aku bahkan tidak mengenal siapa ibuku. Dia meninggal saat melahirkanku.”

Oh, Tuhan. Kenapa dia sengaja menceritakannya padaku? Justru saat ini, dia sedang membuatku merasa tertekan dengan perasaan bersalah.

“Kau bisa minta ayahmu untuk memberikan fotonya padamu, Gray.” Aku sudah mulai mengetik pesan. Rasanya tidak pas menghubungi paman Eddie karena mungkin saja dia sudah tidur.

“Aku selalu mengantongi foto ibuku. Mau lihat?” Dia pamer.

“Iya. Nanti aku lihat. Di sini gelap. Aku ingin melihatnya di tempat terang.” Aku tidak beralasan. Memang sebenarnya, aku sungguh-sungguh ingin mengenali wajah ibunya.

Merasa bersalah? Ah, ya. Aku merasa bersalah. Ucapan asalku tadi sepertinya melukai hatinya. Walau dia jelas-jelas tidak memperlihatkannya padaku.

“Janji?” Dia menyodorkan jari kelingkingnya ke hadapanku.

Kuamati dia masih dengan tatapan datarku. “Okay. Aku janji.” Kukaitkan jari kelingkingku dengannya.

“Terima kasih, Lila.”

“Untuk apa?”

“Untuk semua kebaikanmu hari ini.”

Akhirnya dia kembali jadi Gray yang berisik. Seperti awal aku mengenalnya.

Ponsel Gray bergetar. Notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Dari paman Eddie.

“Kau meminta bantuan pada paman Eddie?”

“Hmm.”

“Kenapa tidak meminta bantuan pada Ray?”

Hah? “Kau kenal bocah itu?”

“Dia adikmu.”

“Itu sudah jelas.”

Gray tertawa. “Aku tidak pernah dengar hal-hal buruk tentangmu dari Ray. Tapi sepertinya, dia sengaja tidak menceritakan tentang sifat aslimu pada orang-orang terdekatnya.”

“Sejak kapan kau mengenaliku sebagai kakaknya Ray?”

“Tadi. Di rumah paman Eddie.”

“Sebelumnya, bocah itu menceritakan apa tentangku?”

“Hmm … tidak ada.” Gray kemudian tertawa. Dia senang bertingkah konyol dan bicara omong kosong, ternyata.

“Kau tahu bukan itu yang kumaksud.”

“Okay okay.” Gray mengangkat kedua tangannya di udara. “Aku senior Ray di kampus. Aku temannya Ruby. Aku mengenal Ray darinya karena mereka sering terlihat bersama.”

“Hanya itu?”

“Apa lagi yang ingin kau tahu?”

Aku tidak menjawab. Enggan menyatakan isi pikiranku padanya. Bocah ini mungkin sama saja dengan Ray. Kerap membuatku kesal.

“Ah, mengenai dia yang tidak pernah menceritakan hal-hal buruk tentangmu?”

Aku tidak mengangguk, walau kurasa itu yang ingin kutanyakan padanya sejak tadi. Dia seperti sengaja mempermainkanku.

“Memang tidak pernah, Lila.” Gray tersenyum lebar. Entah apa artinya itu.

“Hmm.”

“Sungguh. Dia hanya menceritakan padaku bahwa dia memiliki seorang kakak perempuan yang lebih tua lima tahun darinya. Dan kalian jarang bicara karena kau yang enggan terbuka padanya.”

Tidak sepenuhnya salah. Aku memang tidak terbuka, tapi bukan berarti aku membencinya.

“Dia bicara benar tentangmu, ‘kan?”

Aku mengangguk. Tiba-tiba saja ingat bahwa dia benar-benar tidak sopan padaku sejak kami bertemu. “Panggil aku Kakak. Aku lebih tua lima tahun darimu.”

“Aku tidak mau. Aku hanya lebih muda empat tahun darimu.”

“Apa bedanya? Walau hanya empat tahun, aku tetap lebih tua darimu.”

“Jangan ributkan perihal usia, Lila. Hanya empat tahun. Meski begitu, aku sudah dewasa dan mengerti akan banyak hal.”

Kenapa dia marah? Abaikan saja dia. Lagaknya seperti pak tua. Sejak awal aku sudah merasa bahwa dia ini memang hanyalah bocah banyak bicara, seperti Ray. Mereka bertiga—termasuk Ruby—adalah kombinasi yang pas. Cocok bergaul satu sama lain.

“Jadi, apa hebatnya merasa lebih tua, Lila Winter?”

“Tidak hebat. Sama sekali tidak. Aku hanya menegaskan jarak saja.”

“Jarak? Apa karena aku lebih muda?”

“Bukan.”

“Apa karena aku temannya adikmu?”

“Aku tidak peduli itu.”

“Lalu, apa?”

Tepat ketika aku ingin mengabaikan pertanyaannya, bersamaan dengan dering ponsel Gray yang terdengar di antara kami.

“Paman Eddie.” Dia menyodorkan ponselnya padaku.

Aku menerimanya. “Ya, Paman?”

“Paman ada di dekat mobil Gray. Kalian di mana?”

“Sebentar, Paman. Biar kubagikan lokasinya.”

Setelah mengirimkan lokasi, aku mengakhiri panggilan dan melihat ke bawah.

“Hei, ke mana perginya Pretty Wings?”

“Apa?” Gray panik kembali. Dia mendekat dan nyaris membuatku terjatuh dari atas balkon. Dasar gila!

“Pretty Wings mungkin terbangun saat kita lengah atau sedang berbincang. Dia lalu pergi begitu saja, mungkin.”

“Aku tidak yakin, Lila.”

Sungguh, sebenarnya pun, aku tidak yakin. Apa Pretty Wings benar-benar bangun dari pingsannya?

“Anak-anak, kalian baik-baik saja?”

Itu paman Eddie!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MAIN HATI   Chapter 44

    —Lila WinterAku hamil.Tentu saja aku sudah kembali berhubungan dengan suamiku Ferdi, sejak hari itu. Dan aku yakin, ini bayi kami berdua. Darah dagingku dan Ferdi.Terkadang aku melupakan fakta yang lain, yang terasa salah, tapi selalu bisa terjadi kapan pun, di mana pun dan pada siapa pun.Devon Woody yang mendekati—ah, bukan. Bukan mendekati, tapi akan melangsungkan pernikahannya dengan sepupuku, si bodoh Ruby Marion.Itu lelucon baru, Lila! Konyol sekali melihatnya!Bukan lelucon, tapi fakta yang meresahkan. Terutama ketika perutku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda membesar sampai aku tidak bisa melihat kedua kakiku lagi, karena tertutupi perut bulatku.“Ini bayiku, ‘kan?” bisik Dev setengah menggoda. Dia bahkan mengusap perutku dengan penuh kasih sayang. Matanya berkilat penuh harapan atau sesuatu yang lebih dari itu.Kami sedang berada di taman belakang rumah paman Eddie. Paman mengadakan pesta kecil untuk perayaan rumah baru, hadiah dari Ruby. Percuma menjadi penyanyi terken

  • MAIN HATI   Chapter 43

    —Devon WodyEsme tidak melepas tatapannya dariku, saat mendengar keinginan dan kebenaran yang kubawa padanya hari ini.“Terdengar tidak lucu.” Esme berusaha tertawa. Tawa canggung mengudara di sekelilingnya yang nyaris frustrasi. Seluruh tubuhnya mewakili perasaannya. Terlihat tidak berdaya. Hanya karena berita yang kusampaikan.‘Hanya karena?’ Hei, Dev, kau sungguh kejam!“Semua yang kuungkapkan dan yang sudah kau dengar, sama sekali bukan hal yang lucu, Esme.”Tawa itu hilang seketika. Menyisakan cuma segaris senyum miris yang dipaksakan. “Kenyataannya, kau baru mengakui hal ini setelah sekian lama berhasil membodohiku?”“Aku tidak membodohimu.” Maaf, mungkin kau merasa seperti itu selama ini. Buruk, memang. Kuakui, tidak akan kusangkal.“Tidak membodohiku, tapi kau mengikuti semua yang kukatakan seolah kau menolaknya, meski diam-diam kau memang menginginkannya, bukan?”“Ya.” Memudahkannya lebih baik dengan jawaban ya atau tidak.Esme mendengus, menggeleng-gelengkan kepalanya sejena

  • MAIN HATI   Chapter 42

    —Lila WinterSelesai sarapan, ayah memanggilku. Pembicaraan yang ingin kami lakukan. Sepagi ini, tidak ada siapa pun lagi di rumah kedua orang tuaku. Ibu yang terakhir kali kulihat, berpamitan untuk ke butik.Ray, Gray dan Ruby bahkan pergi lebih awal. Entah apa yang mereka bertiga rencanakan, yang jelas seolah hanya mereka saja yang tahu akan hal itu.“Ada yang terluka?” Pertanyaan pertama ayah setelah aku menutup pintu ruang kerjanya di belakangku.Aku menggeleng cepat. “Tidak ada luka parah. Hanya beberapa memar.”“Duduklah. Ayah akan langsung memberitahumu, karena pasti inilah yang paling ingin kau dengar secepatnya dari Ayah.” Menatapku dari kursi kerjanya, ayah mengambil satu di antara tumpukan dokumennya.Aku mendekat. Berdiri tepat di depan meja kerja ayahku. Menunggu dengan perasaan tidak tenang. Karena sejujurnya, aku tidak tahu hal apa yang ingin kuketahui secepatnya dari ayahku ini.“Bacalah. Kau harus memeriksa detailnya. Setelah itu, Ayah yang akan langsung mengantarkanm

  • MAIN HATI   Chapter 41

    —Devon WoodySisa tiga manusia lagi yang perlu kulumpuhkan untuk bisa mencapai ke atas, ke tempat Lila berada.Satu tembakan mendarat di kening pria yang ternyata berniat memukulku menggunakan balok, dari arah belakangku.Balok terjatuh bertepatan dengan kemunculan—ah, si bocah ternyata.Gray ada di sana. Berdiri tegak dan waspada pada keadaan. Pistolnya berada di sisi tubuhnya. Tergenggam seolah dia ahli dalam menggunakannya.“Ada berita buruk untukmu dan berita baik untuk Lila.” Gray si bocah, bicara dengan raut menjengkelkan.Kuabaikan rasa tidak sukaku dengan bertanya. “Ada apa?”“Ferdi masih hidup. Jadi, sebaiknya kau tahu apa yang harus kau lakukan mulai sekarang. Dia menunggu kepulangan Lila.”Apa? Masih hidup? Itu berita buruk untukku. Sangat buruk.“Urus sendiri sisanya. Aku yang akan menjemput Lila.” Berkata lagi, Gray segera berjalan mundur menjauhiku.Walau keberatan sekalipun, aku tidak bisa mencegahnya karena dua pria yang masih tersisa sudah menyerangku dengan pukulan.

  • MAIN HATI   Chapter 40

    —Lila WinterBenar. Jangan diam di tempat.Menyeka air mata, aku berdiri. Mencari cara untuk pergi dari sini, meski itu mustahil terjadi.Semua celah yang memungkinkan, terus kuperhatikan dan kuteliti. Tidak ada. Tidak ada celah yang kupikir bisa memberiku setitik harapan.Hingga satu jam terasa begitu cepat berlalu. Hanya tersisa dua puluh menit untukku yang tidak akan merubah pendirianku. Tidak untukmu, Aaron Heimir!Gemetar tubuhku. Berulang kali mondar-mandir dengan langkah tidak karuan di dalam kamar menyesakkan ini. Semakin waktunya terasa dekat, detak jantungku makin tidak karuan.Jam tua di dinding bahkan terlihat siap memberiku kejutan yang mengerikan.Mendadak, aku mendengar suara dan merasakan getaran yang membuatku semakin gemetaran. Ledakan!Seperti gempa bumi, aku panik dalam kebisuan diriku sendiri. Seakan momen di mana ledakan serta kebakaran di restoran terjadi, terulang kembali saat ini padaku.Hanya saja, kali ini aku sendirian. Tanpa Dev di sisiku.Segera, aku berl

  • MAIN HATI   Chapter 39

    —Lila WinterKurasa, aku hanya perlu bernapas dengan benar. Wajahku sudah dibenamkan berulang kali ke dalam air dingin, meski bukan air es, tetap saja itu teramat tidak menyenangkan. Perih seakan menembus paru-paruku, tidak hanya di mata dan hidung.“Jalang, sebaiknya kau bicara sebelum tuan besar turun tangan.” Peringatan pria yang sedang memegangi rambutku, mencengkeram erat hingga kepalaku terasa akan lepas dari tempatnya, membuatku yakin mereka serius sesuai dengan ancamannya.“Aku tidak paham kenapa mendadak wanita ini jadi bisu,” kesalnya lagi sambil membenamkan wajahku kembali ke dalam air. Kali ini aku berusaha menahannya dengan lebih baik. Karena apa? Karena siksaannya lebih lama dari yang sebelumnya. Kepalaku memutar ulang momen di mana tanganku memegang gagang telepon dan bicara dengan ayahku di seberang sana.“Nak, tetap bertahan selama beberapa jam. Ayah butuh sedikit lebih lama untuk mencapai tempatmu berada saat ini.”“Tapi, Ayah, aku tidak bisa meninggalkan Devon seor

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status