Share

BAB 3.

Author: Lady ArgaLa
last update Last Updated: 2024-05-15 22:54:31

Pagi itu, pemakaman almarhumah Marni berjalan dengan lancar. Tak ada yang berani bertanya lagi kemana perginya bayi dari Mirna dan Dika, sebab saat di tanya Pak ustad semalam Dika langsung histeris dan meraung tanpa henti. Dika mengamuk sehingga Pak ustad dan Pak Bagus terpaksa mengurungnya di kamar hingga pagi ini.

Sekarang, satu-satunya orang yang mungkin saja tahu dimana bayi itu berada hanya Bu Mala. Hanya saja kondisinya masih belum memungkinkan untuk ditanyai.

"Pakde, saya turut berduka cita ya. Padahal semalem masih ketemu sama neng Mirna, masih di kasih kue juga sama Dika. Yang sabar ya, Pakde insyaallah almarhum sudah tenang di syurga- Nya."

"Iya, nduk. Maafkan semua kesalahan almarhumah ya."

Leha yang bertandang bersama suaminya mencoba menghibur Pak Bagus yang duduk seorang diri di dalam rumah, setelah itu Leha bergabung dengan ibu ibu tetangga dan saudara Bu Mala di dapur, tengah menyiapkan hidangan untuk acara tahlilan nanti malam.

"Eh, Mbak Leha baru dateng?" sapa salah satu tetangga Leha, Minten namanya.

Leha gegas duduk di samping Minten yang tengah mengupas bawang untuk membuat bumbu.

"Eh, Nten. Terus itu bayinya si Mirna gimana? Kasian ya baru lahir ibunya sudah meninggal," bisik Leha dengan bibir mencong mencong khas ibu ibu gosip.

Minten tersentak mendengar ucapan Leha, pun demikian beberapa ibu ibu yang ada di sana. Serentak menoleh dengan tatapan berbeda beda.

"Ssttttt ... jangan kenceng kenceng ngomongnya, Mbak." Minten menyikut tubuh Leha yang agak condong ke arahnya.

Leha yang bingung justru semakin penasaran.

"Memangnya kenapa?"

Setelah memastikan ibu ibu lain kembali ke kesibukannya masing masing, Minten pun menjawab pelan.

"Katanya ... bayinya Mbak Mirna hilang, Mbak."

"Hah? Hilang? Kok bisa?" seru Leha kaget. Namun segera menutup mulutnya karna suaranya terlalu kencang.

"Aaarrggghhhh! Huuaaaahhhhh!!!!"

Brakkk

Braaakkk

Braaangggg

"Astagfirullah!" ucap ibu ibu yang membantu di dapur, pasalnya suara ribut tadi berasal dari dalam kamar almarhumah dimana Dika masih di kurung di sana karna terus mengamuk jika mendengar nama atau bayinya di sebut.

"Sudah, jangan di omongin lagi. Kalian denger sendiri kan? Kasian Mas Dika pasti masih sedih. Wes Leha, sini kamu bantu goreng kentang aja ceritanya nanti lagi di rumah." Bu Siti tetangga sebelah melambai sambil menyodorkan baskom berisi kentang bersih.

Para ibu ibu pun kembali sibuk di dapur, kali ini tak ada lagi yang bicara sampai semua selesai.

*

*

*

Malamnya sebelum para tamu tahlilan datang, Pak Bagus masuk ke kamar Marni.

Kamar itu tampak berantakan, sedang Dika berdiri menghadap jendela yang untungnya di pasangi teralis sehingga ia tak bisa lari dan berpikir untuk menyakiti dirinya sendiri. Dari pantulan cahaya lampu di luar tampak wajah Dika yang sembab dan pucat.

"Le," panggil Pak Bagus lirih.

Dika bergeming, setelah satu helaan nafas berat ia pun berbalik dan menatap sendu bapak mertuanya.

"Sudah lebih baik? Kita makan dulu ya, sebelum tamu tamu datang. Kamu belum makan sejak kemarin, le."

Dika menurut tanpa banyak protes, lalu mereka pun pergi ke dapur untuk makan. Di sana semua hidangan sudah di tata rapi siap di hidangkan, ibu ibu yang membantu akan datang sebelum azan isya.

"Kamu istirahat lah dulu, bapak mau bawakan makan untuk ibu," ucap Pak Bagus setelah menyelesaikan makannya.

Dika mengangguk sembari menghabiskan sisa nasinya tanpa berselera. Sampai para ibu ibu yang akan membantu datang Dika masih belum menyelesaikan makannya sehingga membuatnya terpaksa membawa makanan itu ke kamar.

Sementara itu di kamar Bu Mala.

Wanita paruh baya yang baru saja kehilangan anak semata wayangnya itu masih tak hentinya menangis, walau tak lagi meraung dan histeris namu air mata tak pernah kering membasahi pipinya yang mulai tampak kerutan.

"Bu, makan dulu. Biar ada tenaganya," lirih Pak Bagus seraya duduk di sisi sang istri.

Bu Mala hanya diam, matanya menatap lurus ke depan. Air mata mengalir deras di pipinya.

Pak Bagus memegang erat tangan Bu Mala, lalu meletakannya di pipinya. Perlahan air bening pun mengalir dari kedua netra tua Pak Bagus.

"Bu, cukup bapak sudah kehilangan Mirna, anak kesayangan kita. Jangan buat bapak kehilangan separuh jiwa bapak yang lainnya."

Bu Mala melirik suaminya, tatapan sendu itu membuat hatinya iba. Pak Bagus benar, Mirna sudah tenang di sana tak seharusnya ia pun bersikap demikian dan membuat suaminya merasa sendirian.

"Makan ya, bu." Pak Bagus mengusap lelehan air mata di wajah Bu Mala.

Perlahan Bu Mala mengangguk, dan menerima suapan demi suapan dari suaminya. Setelah di rasa cukup, Pak Bagus meninggalkan Bu Mala untuk menemani tamu yang akan tahlilan di rumahnya malam ini.

*

*

*

Setelah semua warga pulang dan Dika pun sudah kembali masuk ke kamarnya. Pak Bagus masuk ke kamar pula, menemui Bu Mala di sana yang masih duduk diam di ranjang namun sudah tak ada lagi air mata di wajahnya.

"Bu, ada yang mau bapak tanyakan kalau ibu sudah lebih tenang."

Bu Mala menoleh lalu mengangguk samar.

"Bapak mau tanya. ..."

"Pak, kunci dulu pintunya," bisik Bu Mala lirih sekali.

Walau bingung namun akhirnya Pak Bagus pun beranjak untuk mengunci pintu kamarnya.

"Bapak mau tanya tentang bayinya Mirna kan?" tanya Bu Mala setelah Pak Bagus kembali duduk.

Pak Bagus tertegun rupanya Bu Mala sudah tahu lebih dulu.

"Iya, bu. Apa ibu tahu dimana cucu kita? Kenapa sewaktu bapak sampai tidak ada tanda tanda bayi itu, bu?" bisik Pak Bagus pelan.

Bu Mala membuang nafas kasar, lalu menatap ke arah lain. Nafas Bu Mala tampak tersengal dan air mata kembali siap tumpah dari netranya.

"Bu?" Pak Bagus mendekat lalu merangkul pundak Bu Mala.

"Ibu ... ibu juga tidak tahu dimana bayinya Mirna, Pak. Waktu itu ... waktu itu setelah bapak pergi ...."

Bu Mala mulai menceritakan semua yang terjadi di malam tragedi itu dengan detail, tak sedikitpun yang tertinggal tentang apa saja yang ia lihat langsung.

"Dan ... dan ibu ingat sekali, sebelum Mirna jatuh ... da- darah yang ikut keluar dari mulut Mirna pun ikut hilang seperti menguap , Pak. Ada apa sebenarnya ini, Pak? Apa ada yang sengaja membuat putri kita meninggal dengan tragis seperti itu?" isak Bu Mala berusaha menjaga intonasi suaranya agar tetap pelan.

Pak Bagus yang sejak tadi mendengarkan dengan seksama pun ikut menangis mengenang tragisnya akhir hidup putri kesayangannya. Berbagai kenangan kebersamaan mereka berkelebat dalam benaknya, seperti kaset yang di putar mundur sampai ke saat saat dimana Pak Bagus terkenang saat Mirna lahir dan ia yang menggendongnya untuk pertama kali. Saat itu, tanda lahir seperti bulan sabit berwarna hitam kecil di lengan kanannya menjadi tanda kesayangannya.

"Sudah, bu sudah. Kasihan Mirna kalau kita terus meratapinya seperti ini, yang ikhlas ya, bu. Biar Mirna juga tenang, sekarang kita istirahat."

Pak Bagus membimbing Bu Mala berbaring, dan sejurus kemudian tak ada lagi percakapan di antara keduanya.

*..

*

*

Di rumah Leha.

"Duhhhh, udah hampir subuh begini segala pengen pipis. Males banget," gerutu Leha sambil menuruni pembaringan hendak ke kamar mandi.

Sekilas ia melihat simboknya yang masih pulas, seorang wanita sepuh yang merupakan neneknya. Mereka hanya tinggal berdua di rumah itu.

"Hiyyy dinginnya," gumam Leha saat akan memasuki kamar mandi di area dapur.

Cuaca gerimis membuat hawa di sekitar sangat dingin. Cepat cepat Leha masuk ke kamar mandi dan menuntaskan hajat nya.

"Hhmmmm ... hmmmmm ... hhhmmmmm"

Leha mematung, tangannya yang akan membuka pintu kamar mandi dari dalam melayang di udara. Wajahnya berubah tegang saat mendengar suara yang asing dari dalam dapurnya.

"Hmmm ... hmmm ... hmmmmm ..."

Suaranya seperti orang bersenandung, namun sangat lirih dengan nada sedih.

Leha mengusap tengkuknya yang mere mang, namun karna cemas dengan simboknya yang sendirian di kamar membuat Leha menberanikan diri mengintip dari celah pintu kamar mandi yang terbuka sedikit.

Betapa terkejutnya Leha saat melihat punggung seseorang dengan rambut panjang terurai tengah duduk di meja makan dan membelakangi nya. Suara senandung semakin jelas terdengar dari sosok tersebut.

Leha memberanikan diri melangkah keluar, walau tubuhnya sudah gemetar tak karuan.

Saat akan menyentuh punggung perempuan berambut panjang itu, tiba-tiba sosok itu menoleh dan wajahnya tepat menghadap Leha. Dengan lidah biru terjulur panjang.

"Aaakkkhhhhh!" pekikan Leha memecah keheningan dini hari itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 45.

    Rumah peninggalan Bu Ambar sudah tak lagi aman, jin pesugihan yang di pelihara Pak Yono rupanya mulai mengincar Ranti sebab tak ada lagi yang memberinya makan setelah Pak Yono di penjara dan menjadi gila. Setelah kejadian tersebut, Pramono memutuskan membawa Ranti untuk tinggal di kediamannya saja, membawa serta bebek bebek dan unggas Pak Yono yang lain untuk di rawat di sana."Mas, jangan pergi jauh jauh ya." Ranti tampak cemas saat akan kembali memasuki rumah Pramono yang berhasil menorehkan luka untuk yang ke sekian kalinya untuknya.Pramono menoleh dan mengelus kepala sang istri. "Insyaallah nggak, kebun Mas kan di belakang rumah ini. Ada bebek juga sekarang, jadi nggak perlu pergi jauh jauh. Tapi kalau nanti adek mau jalan jalan bilang ya, di rumah terus kan pasti bosen." Ranti mengangguk riang dan mereka pun memulai hidup baru mereka di sana dengan lebih tenang.***Kembali ke pondok pesantren Daruttaqwa.Di teras rumah Ustad Yusuf yang lebih akrab di sapa abah oleh para sa

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 44.

    Di sana di depan matanya sendiri Pramono melihat Ranti tengah mengarahkan sebilah belati ke lehernya. Matanya tampak kosong menjelaskan jika bukan inginnya melakukan semua itu. Bahkan suara teriakan Pramono saja seperti tak terdengar olehnya. Saat belati hampir menyentuh kulit lehernya yang mulus, Pramono bergerak cepat menepis tangan Ranti hingga pisau itu terjatuh ke bawah ranjang."Astagfirullah, dek! Nyebut, dek kamu ngapain?" seru Pramono cemas bukan main. Namun bukannya menjelaskan,Ranti justru jatuh pingsan."Ya Allah, ada ada aja cobaan. Dek! Dek Ranti, bangun." Pramono mengangkat tubuh Ranti keluar, di depan kamar tampak Leha menghampiri dengan wajah tegang."Kang! Kenapa teriak teriak? Astagfirullah, kenapa Ranti, kang?" cecarnya kaget."Nanti saja ceritanya, dek. Tolong bawain bantal." Pramono melewati Leha dan terburu buru melangkah ke ruang tanu dimana sang ibu berada bersama Bu Mala dan Azzam." Loh loh, le? Kenapa Ranti?" tanya Mak Yem heran, pun demikian dengan Bu

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 43.

    Setelah berpulangnya Bu Ambar, Ranti kembali menempati rumah mereka. Selain karna Pak Yono tidak ada juga ada banyak unggas peliharaan mereka yang butuh di urus. Untungnya Pramono berhasil meyakinkan istri kecilnya itu untuk kembali, dan berjanji akan membantunya mengurus unggas unggas mereka untuk bekal masa depan mereka."Terima kasih ya, Mas sudah mau bertahan sejauh ini." Ranti bersandar di dada bidang Pramono, saat mereka tengah duduk di teras belakang yang menghadap langsung ke kandang unggas yang luas.Pramono mengelus pundak istrinya, lembut dan penuh kasih sayang. Tak rasa jijik mengingat apa yang terjadi pada Ranti, melainkan rasa ingin melindungi yang semakin besar dalam dirinya."Sama sama, kalau adek sudah merasa lebih baik nanti kita ke kantor polisi ya. Kasus bapak perlu segera di tuntaskan, dek." Ranti mendongak, menatap lekat mata suaminya. "Mas ... yakin?" "Adek masih takut?" Ranti mengangguk samar. "Terlalu mengerikan untuk tidak takut, Mas." Pramono merasak

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 42.

    Saat tengah kebingungan dengan asal bau bangkai yang sangat tidak enak tersebut, dari arah jalan tampak Bu Mala dan Pak Bagus tengah menggandeng Azzam, bocah itu tampak sangat senang menenteng joran pancing sambil bercanda dengan keduanya."Loh, Pram? Ngapain?" sapa Pak Bagus saat telah sampai di depan halaman Pak Yono. Pramono turun lalu menyalami tangan Pak Bagus dan Bu Mala, di ikuti Ranti yang tampak terus menunduk menyembunyikan wajahnya."Ini, Lek mau jenguk ibu mertuaku. Tapi rumahnya kok sepi e? Paklek sama bulek tahu nggak kemana?" Pak Bagus tampak saling pandang sejenak dengan Bu Mala, sedang Azzam sudah lebih dulu kembali ke rumah mereka untuk mandi."Nggak tahu, le. Sudah beberapa hari juga Bu Ambar nggak keliatan, kami kira malah pulang kampung atau nginep di tempatmu," jelas Bu Mala apa adanya.Kembali angin bertiup, awan mendung berarak sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Dan saat itu kembali bau bangkai yang menyengat kembali menyeruak."Huek! Astagfirullah,

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 41.

    Mata bening Aini mengerjab, kembali terpejam saat cahaya dari luar terlalu silau baginya."Bunda!" Sultan naik ke tempat tidur dan langsung berbaring di tubuh sang bunda, tangan kurus Aini bergerak alami memeluk tubuh sang putra."Alhamdulillah," ucap Alfi dan Umi Maryam berbarengan, keduanya kompak mendekat pada Aini yang mulai membuka mata. Tatapan matanya tak lagi kosong seperti biasanya."Mbak, alhamdulillah. Mbak baik baik saja kan, Mbak? Mbak inget Afi kan? Mbak inget Sultan kan?" cecar Alfi dengan luapan kegembiraan yang luar biasa. Aini duduk dan merangkul Sultan erat, matanya mulai basah oleh air."Iya, dek iya Mbak inget semuanya. Mbak inget, mbak seneng sekali akhirnya bisa pulang," jawab Aini. Dan inilah dia, Aini yang selama ini di kenal Alfi dan orang orang sekitar. Sosoknya yang penyayang dan lemah lembut, juga sangat keibuan hampir tak pernah meninggikan suaranya walau dalam keadaan sangat marah sekalipun. Mungkin akan sangat sulit di percaya jika Alfi bercerita j

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 40.

    Dika termenung di depan pusara baru di hadapannya, pusara itu milik mayat yang di ketemukan dalam kondisi mengenaskan setelah di makan buaya tempo hari. Usut punya usut, rupanya mayat itu adalah salah satu dari anak buah Pak Wirya. Sugiarto namanya, seorang duda yang sudah tak punya orang tua dan keluarga Tak ada yang tahu bagaimana kejadian awal kecelakaan itu, karna tidak adanya saksi mata. Sedang Pak Wirya pun kini masuk dalam daftar pencarian orang hilang."Kita pulang, Mas?" tanya Gus Amar setelah berbincang sejenak dengan petugas dari kepolisian yang menangani kasus hilangnya Pak Wirya. Dika mengangguk, lalu perlahan mengikuti langkah Gus Amar kembali ke pondok pesantren."Gus, apa boleh saya bertemu dengan Aini?" tanya Dika sesaat setelah mereka tiba di kediaman. Gus Amar mengernyit, sudah beberapa waktu sejak Dika mengembalikan Aini pada Alfi, dan kini kakak beradik itu memilih tinggal tak jauh dari kawasan pondok atas permintaan Umi Maryam yang masih khawatir dengan kese

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status