Share

BAB 2.

Author: Lady ArgaLa
last update Last Updated: 2024-05-15 22:53:58

Bu Mala dan Pak Bagus saling pandang beberapa saat sebelum akhirnya berlari menuju pintu kamar Marni yang terbuka lebar dan suara suara aneh masih terdengar dari dalam sana. Namun sejak tadi tak terdengar sama sekali suara Andika yang turut menemani sang istri di dalam sana.

"Astagfirullah! Marni! Kamu kenapa, nduk?" bu Mala menjerit saat melihat kondisi anaknya.

Pun Pak Bagus yang ikut duduk di atas ranjang yang sama dimana anak dan istrinya berada.

"Dika, kenapa sama Marni?" Pak Bagus bertanya dengan suara keras, saking cemasnya dengan kondisi anak semata wayangnya.

Bagaimana tidak, saat ini Marni sedang dalam posisi duduk dengan dua tangan bertumpu di depan lututnya, sedang matanya melotot ke atas hingga hanya terlihat putihnya saja. Sedang mulutnya terbuka lebar dengan lidah terjulur, suara suara aneh yang sejak tadi terdengar rupanya berasal dari Mirna yang seperti mengorok atau sesekali seperti tersedak.

Dika tampak pias, ia tak berani mendekat dan memilih berdiri di dekat jendela kamar yang terbuka sedikit.

"Ya Allah, Pak bagaimana ini? Anak kita, Pak!" bu Mala menjerit histeris kala Marni mendadak mengejang dengan suara mengorok yang aneh wajahnya perlahan memerah seperti kepiting rebus.

"Bapak ke rumah Pak ustad dulu!"

Pak Bagus yang tak kalah panik langsung bergegas menuju rumah ustad kampung yang merangkap imam masjid di desa mereka, saking paniknya Pak Bagus bahkan sampai lupa mengenakan alas kaki.

Saat di jalan rupanya beberapa warga sudah berbondong bondong berjalan bersama ke arah rumahnya, sepertinya bidan Saras yang pergi tadi sudah memberitahu warga tentang apa yang terjadi di rumah Marni.

"Pak Bagus! Pak Bagus! Sampean mau kemana?"

"Iya, Pak Bagus? Gimana keadaannya Marni?"

Pak Bagus berhenti, mengatur nafas sejenak.

"Ustadz! Ustadz Rizal!" dengus Pak Bagus dengan nafas tersengal.

"Saya di sini, Pak Bagus." seorang lelaki paruh baya dengan kaos dan sarung maju ke depan.

Tanpa banyak bicara Pak Bagus langsung menarik tangannya menuju rumah dengan di ikuti warga lainnya.

Sementara itu, di rumah.

"Marniiii ... Ya Allah, Marni. Apa yang terjadi sama kamu, nduk? Kamu mau melahirkan, kenapa seperti ini?" raung Bu Mala sambil memeluk erat tubuh Marni yang bergerak tak karuan, seperti menahan rasa sakit yang sangat dalam posisi duduk.

Dika hanya memandang dari jauh, dengan tatapan yang sulit di artikan. Namun dari gerak tubuhnya sangat kentara jika ia tak berani mendekat kepada Marni.

"Gggrrhhhh ... hoookkkk ... hhhrrkrkkkkk ..."

Marni kembali mengeluarkan suara suara aneh dari tenggorokannya, wajahnya perlahan berubah menjadi biru.

Bu Mala menegang, melepas pelukannya dari tubuh Marni yang penuh keringat dan menatap ngeri ke arahnya.

Pasalnya saat ini ada sesuatu yang bergerak dan mendesak keluar dari tubuh Marni. Perlahan, namun pasti ... sesuatu itu akan segera keluar.

"Astagfirullahaladziim, Marni ... " bu Mala bergumam lirih dengan satu tangan menutup mulut dan wajah yang basah oleh air mata.

Di depannya, Marni saat ini telah membuka lebar mulutnya. Lidahnya perlahan memanjang keluar dengan suara menggelegak bercampur bunyi ngorok yang aneh.

Mata Bu Mala melotot lebar saat perlahan dada dan leher Marni membesar, wajahnya yang biru kelam pun melebar seperti karet yang elastis. Sampai akhir nya Bu Mala memejamkan mata dan membuang muka ke arah lain kala suara robekan terdengar di telinganya. Di susul bunyi berdebam dari tubuh Marni yang jatuh ke atas kasur dalam kondisi mengenaskan.

Sesaat suasana kembali hening, Bu Mala menberanikan diri mengintip anaknya. Dan jeritan histeris langsung memenuhi kamar berukuran 3 x 3 meter tersebut.

"MARNIIIIII!!!!!!"

Pak Bagus yang baru saja tiba kembali di rumah langsung menerobos masuk, di ikuti para warga yang sangat penasaran pada apa yang tengah terjadi di rumah kembang desa tersebut.

Sampainya Pak Bagus di kamar, tampak Bu Mala sudah memeluk erat tubuh Marni yang kaku dan biru dengan lidah panjang terjulur sambil menangis histeris. Sedang Dika menatap Pak Bagus dengan tatapan syok dan wajah banjir air mata.

Tanpa membuang waktu, Pak Bagus dan juga Dika langsung mendekat dan turut memeluk tubuh dingin Marni yang dapat di pastikan telah berubah menjadi jasad.

"Innalillahi wa innalillahi rojiun," gumam Pak ustad Rizal yang membuntuti Pak bagus sejak tadi.

Para warga yang mendengar langsung syok, beberapa warga lantas berlari ke sisi rumah dan mencoba mengintip apa yang terjadi lewat celah jendela yang terbuka tadi. Dan seperti dugaan, sebagian besar langsung berlari menjauh karna kaget dan takut.

"Astagfirullah, kok bisa seperti itu ya?"

"Itu si Marni masih hidup? Atau udah meninggal? Tapi mukanya biru semua begitu?"

"Pak ustad tadi ngucap innalillahi, ya pasti udah meninggal lah. Kasihan ya, cantik, kembang desa hidupnya enak malah meninggal muda, tragis pula."

"Kira kira kenapa ya? Masa lahiran aja sampe begitu. Kok jadi takut mau nikah."

Dan masih banyak lagi bisik bisik santer warga yang datang tanpa di undang tersebut.

Pak ustad Rizal segera meminta warga membantu mempersiapkan pemakaman, rencananya jenazah Marni baru akan di kebumikan besok. Namun jasadnya sudah harus di urus sejak saat ini.

Bu Mala yang tampak sangat terpukul beberapa kali jatuh pingsan saat tubuh Marni yang mulai kaku di bawa untuk di mandikan. Untungnya Pak Bagus tegar, sehingga ia bisa membantu mengurus dan menenangkan istrinya. Sedang Dika, walau dengan banjir air mata ia ikut mengurus jenazah sang istri tercinta.

Setelah semua urusan jenazah selesai, tepat dini hari Pak ustad Rizal mendekati Dika yang duduk melamun di sisi jenazah sang istri yang sudah tertutup kain kafan.

"Nak Dika."

Pak ustad Rizal duduk di samping Dika, memegang pundaknya dengan lembut.

"Saya tidak menyangka istri saya ... akan pergi secepat ini, Pak ustad." Dika mulai menangis. "Padahal seharusnya kami sedang berbahagia menyambut anggota baru keluarga kami, tapi ... tapi kenapa ..."

Dika tak menerus kan ucapannya dan justru kembali tergugu dengan bahu terguncang hebat.

Pak ustad Rizal mendesah pelan, lalu menunggu hingga Dika cukup tenang.

"Yang ikhlas, Nak Dika. Insyaallah almarhumah husnul khotimah, Nak Marni meninggal saat melahirkan, dan menurut islam meninggalnya sama dengan syahid. Insyaallah, Nak Marni sudah bahagia di sana." Pak ustad menenangkan sembari mengusap punggung Dika.

Dika mengangguk samar, namun matanya tak lepas dari jenazah sang istri.

Pak ustad Rizal tampak menatap sekitar, melihat beberapa warga yang ikut berjaga mulai terkantuk kantuk bahkan sebagian ada yang sudah tertidur pulas di ruang tamu. Pun demikian dengan Pak Bagus dan Bu Mala yang sudah masuk ke kamarnya karna kondisi Bu Mala yang mendadak lemas.

Saat di rasa semua aman, Pak ustad Rizal menepuk pundak Dika sampai lelaki itu menoleh padanya.

"Maaf kalau saya lancang, tapi ... apa saya boleh tahu dimana bayi Nak Dika dan Marni yang baru dilahirkan?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 45.

    Rumah peninggalan Bu Ambar sudah tak lagi aman, jin pesugihan yang di pelihara Pak Yono rupanya mulai mengincar Ranti sebab tak ada lagi yang memberinya makan setelah Pak Yono di penjara dan menjadi gila. Setelah kejadian tersebut, Pramono memutuskan membawa Ranti untuk tinggal di kediamannya saja, membawa serta bebek bebek dan unggas Pak Yono yang lain untuk di rawat di sana."Mas, jangan pergi jauh jauh ya." Ranti tampak cemas saat akan kembali memasuki rumah Pramono yang berhasil menorehkan luka untuk yang ke sekian kalinya untuknya.Pramono menoleh dan mengelus kepala sang istri. "Insyaallah nggak, kebun Mas kan di belakang rumah ini. Ada bebek juga sekarang, jadi nggak perlu pergi jauh jauh. Tapi kalau nanti adek mau jalan jalan bilang ya, di rumah terus kan pasti bosen." Ranti mengangguk riang dan mereka pun memulai hidup baru mereka di sana dengan lebih tenang.***Kembali ke pondok pesantren Daruttaqwa.Di teras rumah Ustad Yusuf yang lebih akrab di sapa abah oleh para sa

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 44.

    Di sana di depan matanya sendiri Pramono melihat Ranti tengah mengarahkan sebilah belati ke lehernya. Matanya tampak kosong menjelaskan jika bukan inginnya melakukan semua itu. Bahkan suara teriakan Pramono saja seperti tak terdengar olehnya. Saat belati hampir menyentuh kulit lehernya yang mulus, Pramono bergerak cepat menepis tangan Ranti hingga pisau itu terjatuh ke bawah ranjang."Astagfirullah, dek! Nyebut, dek kamu ngapain?" seru Pramono cemas bukan main. Namun bukannya menjelaskan,Ranti justru jatuh pingsan."Ya Allah, ada ada aja cobaan. Dek! Dek Ranti, bangun." Pramono mengangkat tubuh Ranti keluar, di depan kamar tampak Leha menghampiri dengan wajah tegang."Kang! Kenapa teriak teriak? Astagfirullah, kenapa Ranti, kang?" cecarnya kaget."Nanti saja ceritanya, dek. Tolong bawain bantal." Pramono melewati Leha dan terburu buru melangkah ke ruang tanu dimana sang ibu berada bersama Bu Mala dan Azzam." Loh loh, le? Kenapa Ranti?" tanya Mak Yem heran, pun demikian dengan Bu

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 43.

    Setelah berpulangnya Bu Ambar, Ranti kembali menempati rumah mereka. Selain karna Pak Yono tidak ada juga ada banyak unggas peliharaan mereka yang butuh di urus. Untungnya Pramono berhasil meyakinkan istri kecilnya itu untuk kembali, dan berjanji akan membantunya mengurus unggas unggas mereka untuk bekal masa depan mereka."Terima kasih ya, Mas sudah mau bertahan sejauh ini." Ranti bersandar di dada bidang Pramono, saat mereka tengah duduk di teras belakang yang menghadap langsung ke kandang unggas yang luas.Pramono mengelus pundak istrinya, lembut dan penuh kasih sayang. Tak rasa jijik mengingat apa yang terjadi pada Ranti, melainkan rasa ingin melindungi yang semakin besar dalam dirinya."Sama sama, kalau adek sudah merasa lebih baik nanti kita ke kantor polisi ya. Kasus bapak perlu segera di tuntaskan, dek." Ranti mendongak, menatap lekat mata suaminya. "Mas ... yakin?" "Adek masih takut?" Ranti mengangguk samar. "Terlalu mengerikan untuk tidak takut, Mas." Pramono merasak

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 42.

    Saat tengah kebingungan dengan asal bau bangkai yang sangat tidak enak tersebut, dari arah jalan tampak Bu Mala dan Pak Bagus tengah menggandeng Azzam, bocah itu tampak sangat senang menenteng joran pancing sambil bercanda dengan keduanya."Loh, Pram? Ngapain?" sapa Pak Bagus saat telah sampai di depan halaman Pak Yono. Pramono turun lalu menyalami tangan Pak Bagus dan Bu Mala, di ikuti Ranti yang tampak terus menunduk menyembunyikan wajahnya."Ini, Lek mau jenguk ibu mertuaku. Tapi rumahnya kok sepi e? Paklek sama bulek tahu nggak kemana?" Pak Bagus tampak saling pandang sejenak dengan Bu Mala, sedang Azzam sudah lebih dulu kembali ke rumah mereka untuk mandi."Nggak tahu, le. Sudah beberapa hari juga Bu Ambar nggak keliatan, kami kira malah pulang kampung atau nginep di tempatmu," jelas Bu Mala apa adanya.Kembali angin bertiup, awan mendung berarak sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Dan saat itu kembali bau bangkai yang menyengat kembali menyeruak."Huek! Astagfirullah,

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 41.

    Mata bening Aini mengerjab, kembali terpejam saat cahaya dari luar terlalu silau baginya."Bunda!" Sultan naik ke tempat tidur dan langsung berbaring di tubuh sang bunda, tangan kurus Aini bergerak alami memeluk tubuh sang putra."Alhamdulillah," ucap Alfi dan Umi Maryam berbarengan, keduanya kompak mendekat pada Aini yang mulai membuka mata. Tatapan matanya tak lagi kosong seperti biasanya."Mbak, alhamdulillah. Mbak baik baik saja kan, Mbak? Mbak inget Afi kan? Mbak inget Sultan kan?" cecar Alfi dengan luapan kegembiraan yang luar biasa. Aini duduk dan merangkul Sultan erat, matanya mulai basah oleh air."Iya, dek iya Mbak inget semuanya. Mbak inget, mbak seneng sekali akhirnya bisa pulang," jawab Aini. Dan inilah dia, Aini yang selama ini di kenal Alfi dan orang orang sekitar. Sosoknya yang penyayang dan lemah lembut, juga sangat keibuan hampir tak pernah meninggikan suaranya walau dalam keadaan sangat marah sekalipun. Mungkin akan sangat sulit di percaya jika Alfi bercerita j

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 40.

    Dika termenung di depan pusara baru di hadapannya, pusara itu milik mayat yang di ketemukan dalam kondisi mengenaskan setelah di makan buaya tempo hari. Usut punya usut, rupanya mayat itu adalah salah satu dari anak buah Pak Wirya. Sugiarto namanya, seorang duda yang sudah tak punya orang tua dan keluarga Tak ada yang tahu bagaimana kejadian awal kecelakaan itu, karna tidak adanya saksi mata. Sedang Pak Wirya pun kini masuk dalam daftar pencarian orang hilang."Kita pulang, Mas?" tanya Gus Amar setelah berbincang sejenak dengan petugas dari kepolisian yang menangani kasus hilangnya Pak Wirya. Dika mengangguk, lalu perlahan mengikuti langkah Gus Amar kembali ke pondok pesantren."Gus, apa boleh saya bertemu dengan Aini?" tanya Dika sesaat setelah mereka tiba di kediaman. Gus Amar mengernyit, sudah beberapa waktu sejak Dika mengembalikan Aini pada Alfi, dan kini kakak beradik itu memilih tinggal tak jauh dari kawasan pondok atas permintaan Umi Maryam yang masih khawatir dengan kese

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status