Share

Satu Tubuh Dua Jiwa

"Emang cemen mereka semua, beraninya cuma ngomongin di belakang. Pas disamperin, langsung pada ngilang." Kalina melempar ponselnya ke ranjang saat menyadari kalau anggota yang tersisa di grup W* hanya tinggal dia dan Wisnu.

Beberapa menit hanyut dalam lamunan sembari menatap langit-langit kamar, tiba-tiba pintu dibuka oleh seseorang.

Kalina melotot dan langsung meloncat ke ranjang saat menyadari ternyata Wisnu yang ada di hadapan sekarang, sementara tubuhnya hanya terbungkus dalaman. Tepat sepeninggal Hendri dia memang langsung menanggalkan semua pakaian, mengingat dress pas badan yang dikenakan serasa tak nyaman.

"Nggak sopan. Ketok pintu dulu bisa, kan?" sungut Kalina sembari berusaha menutupi tubuhnya dengan bedcover tebal.

"Memangnya apa yang mau kamu tutupi? Lagipula aku sudah melihat semuanya," cetus Wisnu datar. Dia berjalan santai mencabut charger pada ponselnya.

"Ng ... tapi, kan ... itu--tau, ah. Keluar sana!" Tiba-tiba Kalina gelagapan dengan wajah merah padam.

Namun, bukannya segera berlalu, Wisnu malah membuat Kalina kikuk saat dia sengaja mendekatkan diri.

"Ternyata bukan cuma sikapmu yang berubah, penampilanmu juga sedikit membuatku gerah. Rambutmu dipotong, kan?"

Dahi Kalina bertaut. "Gerah? Maksudnya?" Lelaki tampan dengan kulit tan itu menarik diri dan mengedikkan bahu. "Sebentar? Sejak kapan kamu peduli dengan penampilanku?"

Wisnu menatap Kalina sekilas, lalu memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celananya. "Kadang kalau bosan sesekali aku memang memperhatikan. Lagi pula perubahan gaya rambut itu cukup mencolok setelah sepuluh tahun kamu membiarkannya panjang tergerai."

"So, what?" Kalina tersenyum miring.

"Nothing." Wisnu berbalik dan berjalan keluar. Namun, sebelum sempat langkahnya mencapai ambang pintu, ucapan Kalina berhasil membuatnya berdiri geming.

"Gimana dua bulan ini? Lebih bebas bercumbu dengan selingkuhanmu?"

Lelaki itu berbalik, dan menatap Kalina sama tajam dan menantang. "Menurutmu?"

Kalina terdiam sejenak.

"Kutunggu kabar kehamilan Yuna segera. Mungkin cepat atau lambat pelakor itu akan menjadi maduku," cibir Kalina sarkastis.

"Bukannya sudah kubilang, pantang bagiku untuk menikahi dua wanita, atau menghamili wanita yang bukan istriku."

"Jadi, cepat atau lambat kamu akan menceraikanku, lalu menikahinya, begitu?" terka Kalina cepat.

Wisnu tak menjawab. Bersamaan dengan itu pintu diketuk, dan suara seseorang terdengar dari luar.

"Mobil sudah saya siapkan, meeting akan berlangsung setengah jam dari sekarang!"

Pintu terbuka. Dari baliknya Kalina bisa melihat seorang lelaki seumuran Wisnu, berperawakan tinggi tegap dengan setelah formal menunduk di hadapan lelaki itu.

"Kita berangkat sekarang!"

"Hai, Revan. Gimana kabarmu? Udah sarapan? Hati-hati di jalan, pastikan kamu selamat sampai tujuan. Sampai ketemu nanti sore." Asisten pribadi Wisnu bernama Revan itu nampak terganggu melihat Kalina dengan heboh melambaikan tangan ke arahnya, padahal Wisnu yang notabennya sang suami tengah berada tepat di hadapan sekarang.

"Abaikan dia! Setelah kembali otaknya memang sedikit terganggu," cetus Wisnu sembari menarik tangan Revan agar segera berlalu dari kamar itu.

***

"Kenapa, sih, Ci?" Kalina terlihat risi melihat Cici memindai tubuhnya dengan saksama dan dalam tempo yang lama.

"Nyonya berubah," imbuh Cici.

"Berubah apanya? Kamu kira Power Rangers."

"Tuh, kan."

"Oke, mungkin ada yang sedikit berubah. Tapi, aku masih Kalina, Kalina Fathira!"

"Kok, saya nggak yakin, ya?" Cici memicingkan mata penuh selidik.

"Sejak kapan Nyonya suka pake kaos oblong sama celana training?"

"Ya ampun. Di kamar doang, Ci. Nanti pas keluar juga aku ganti pake lingerie."

"Nggak lingerie juga kali."

"Makanya."

Cici mengerucutkan bibir. "Saya nyaris putus asa selama dua bulan ini, Nya. Mereka bener-bener dakjal dalam bentuk yang berbeda-beda. Selama lebih dari enam puluh hari, sama sekali nggak ada polisi yang dilibatkan dalam pencarian Nyonya. Mereka juga berusaha keras menutupi tentang kecelakaan ini dari keluarga Nyonya di Surabaya."

Kalina tertegun, senyum getir tersungging di bibir. "Aku tahu, Ci. Makanya aku memutuskan kembali dalam keadaan seperti ini. Sebenarnya banyak yang ingin kuceritakan padamu, tapi aku butuh lebih banyak waktu."

Cici meraih tangan Kalina dan menggenggamnya erat. "Nggak apa-apa, Nya. Pelan-pelan aja. Sekarang mending Nyonya ganti baju dan siap-siap turun! Kepala koki udah prepare untuk makan siang nanti."

Kalina menghela napas pasrah. "Nasib menantu rasa pembantu."

***

Di balik tembok pembatas antara dapur dan ruang makan, Kalina berpangku tangan memperhatikan ibu mertua, dan dua istri iparnya.

Tatapan perempuan berambut sebahu itu terlihat sulit diartikan, ketika dia mengingat masa-masa sulit selama dua bulan ke belakang.

"Aku tahu di balik wajah-wajah tenang itu ada perasaan gelisah yang mati-matian kalian sembunyikan. Seberapa kuat pun keinginan kalian untuk menyingkirkan, faktanya kehadiranku masih sangat dibutuhkan demi kepentingan bisnis yang sudah kalian jalin sejak sepuluh tahun terakhir," gumam Kalina pelan.

"Nya!" Tepukan di bahu diiringi suara nyaring Cici menginterupsi Kalina. Dia menoleh sembari menenggakkan proporsi tubuhnya yang semula sedikit bungkuk.

"Ya, Ci."

"Di belakang ada yang nyari. Mobil Alphard warna hitam."

Mengetahui siapa orang bersangkutan yang tengah menunggunya sekarang, Kalina bergegas melepas apron dan pamit pada Cici.

"Kalau ada yang tanya bilang aja aku mampir ke butik, ya."

"Siap, Nya."

Sesaat setelah pamit pada Cici, Kalina langsung berlari kecil ke belakang rumah seluas 3000m² itu. Mengenakan kaca mata hitam sembari menjingjing tas tangan kulit asli yang mengkilat, lalu mengambil tempat di depan, samping pengemudi.

"Seharusnya kamu nggak perlu bertindak berlebihan begitu, mereka mungkin saja mulai curiga! Apalagi setelah Wisnu melihat bagaimana caramu menyapaku tadi," ujar suara berat itu.

"Kenapa? Ada masalah? Emangnya dia ngedumel sepanjang waktu?" balas Kalina santai.

"Bukan begitu, aku cuma takut dia curiga tentang hubungan kita."

"Hubungan kita? Mungkin maksudnya hubunganmu dan Kalina," ejek perempuan itu.

"Kamila!"

"Oh, c'mon, Revan. Orang telmi juga bisa tahu kalau kamu menyukainya. Kalau enggak mana mungkin kamu berusaha sekeras ini merencanakan segala cara untuk menukar saudara kembar yang sudah terpisah sejak lama."

Revan membeku.

"Meskipun secara fisik kita identik, cara pikirku dan Kalina jelas berbeda. Jadi, selagi Kalina terbaring koma, biarkan aku yang memberi pelajaran pada keluarga dakjal yang sudah memperlakukan saudaraku bak sampah tak berguna!"

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status