Beberapa menit sebelum insiden mobil menerobos pembatas jalan dan terjun bebas ke sungai yang ada di bawahnya."Pergi kemana mereka?!" Sekuat tenaga dan pantang menyerah, Leonardo mengejar Arsenio yang sudah lebih dulu melarikan diri itu.Ingatan serta penglihatan yang dimiliki begitu tajam, sehingga ia hafal plat nomor mobil yang Arsenio dan Bastian kendarai. Kemampuan Leonardo dalam mengendarai mobil tidak kalah hebat, hampir menyamai pembalap F1, padahal tidak ada darah pembalap mengalir dalam raga. Leonardo menyalip kendaraan demi kendaraan di depannya tanpa kesulitan. Kecepatan mobilnya menembus angka 100 km/jam. Padahal kondisi jalanan malam ini cukup ramai. Leonardo tidak merasa risih sama sekali. Setiap incinya sudah diperhitungkan."Itu, mereka!" Leonardo berseri-seri karena setelah beberapa menit berlalu dan bergelut dengan jalanan beraspal Sky Blue City, ia melihat mobil Arsenio melaju cukup kencang juga.Leonardo tidak melepaskan kemudinya. Namun, ia juga tidak mengalihk
"Ada apa ini? Mengapa kalian berkumpul di sini?"Pertanyaan tersebut, sontak membuat panik semua orang. Terutama Arsenio, baru saja keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, kini sudah mengalami cidera lagi. Entah bagaimana reaksi sang ayah setelah melihatnya?Alexander Guan memasuki ruangan dengan dibantu Cale karena beliau duduk di kursi roda. Pria paruh baya itu, baru saja pulang setelah perjalanan bisnis beberapa hari terakhir.Raut wajah Alexander Guan, seketika berubah tatkala melihat Arsenio bertelanjang dada, tepat di belakangnya ada Bastian, serta beberapa kotak obat tergeletak di atas meja, menimbulkan pertanyaan besar di benak."Apa yang terjadi?" Pertanyaan yang sama lolos begitu cepat dari mulut Alexander Guan. Semua tertunduk kecuali Arsenio."Ayah ... Ayah sudah pulang." Langkahnya tertatih-tatih dan terseok tanpa dibantu Bastian karena ia yang meminta, lalu menghampiri Alexander Guan yang berjarak lima meter di sana. "Mengapa jalanmu seperti orang pincang?"Pertany
"Bagaimana bisa, notifikasi itu muncul berbarengan dengan aku menyatakan perang kepada Malik di hadapan Ayah?" Pertanyaan yang mengusik pikiran. Namun, coba untuk dilupakan sejenak.Tubuh yang sudah sangat lelah, terasa lebih segar saat berendam dalam air hangat. Pikiran coba dinetralisir supaya lebih tenang."Ah, rasanya segar sekali ..." Arsenio berdecak sambil memejamkan mata. Merasakan setiap sistem sarafnya mulai kendur. Bukan apa-apa, pertarungan di Casino, sungguh menguras tenaga dan pikiran. Kondisi yang memang belum pulih sepenuhnya, serta jam terbang yang belum banyak, menjadi kendala besar. Salah satunya saat melompat dari lantai lima hotel Berlian. Arsenio membuka matanya. Mengubah posisi menjadi duduk dan bersandar. Teringat satu hal yang tiba-tiba mengusik isi kepala. "Mengapa notifikasi soal Casino itu, tidak ada? Seharusnya aku mendapatkan hadiah karena sudah menang?"Keningnya mengerut sehingga ada beberapa guratan di wajah. "Apa sistemnya eror?"Bukan itu saja yang
Di tempat terpisah, sesaat setelah Malik menghubungi Alexander Guan. "Kau mendengarnya sendiri bukan? Aku sudah melakukan apa yang kau perintahkan. Jadi, lepaskan adikku sekarang juga!" tegas Malik, sambil melempar ponselnya ke atas meja. Geram disertai marah. Tatapan nanar itu, diarahkan pada sosok pemuda tiga puluh tahun yang tak memiliki hati dan perasaan.Leonardo beringsut dari sofa, mengeluarkan ponsel dari saku celana. Kemudian menekan satu kontak dari ribuan nomor yang tersimpan.[Cepat, lepaskan gadis payah itu!]Leonardo begitu saja mengakhiri sambungan telponnya. "Kau dengar? Aku sudah meminta anak buahku untuk melepaskan adik tersayangmu itu." Dia berkata dengan nada mengejek.Malik mengepalkan sebelah tangannya. Leonardo melirik dan tersenyum miring. "Ingat! Kerja keras kita belumlah selesai sampai di sini. Aku bisa melakukan lebih dari ini, jika kau berani berkhianat!" ancamnya, sebelum akhirnya melenggang pergi dari ruangan tersebut. Malik masih terpaku di posisinya.
Beberapa hari telah berlalu. Kondisi Arsenio pun telah pulih sepenuhnya. Kejadian di Hotel Berlian, akan menjadi pembelajaran sangat berarti bagi Tuan Muda Keluarga Guan itu.Melompat dari ketinggian, bukanlah cara yang ampuh untuk meloloskan diri. Akan tetapi, jika sudah sangat mendesak, tidak salahnya untuk dicoba. Hari ini Arsenio memilih outfit santai. Kaos polos lengan pendek warna hitam, celana yang panjangnya hanya sebatas lutut warna coklat muda. Sedangkan Bastian, kali ini pun berpenampilan cukup berbeda. Mungkin biasanya, kemeja putih, jas hitam dan celana panjang, selalu melekat di tubuh Bastian, tapi untuk sekarang, Arsenio ingin Bastian bergaya santai. Kemeja lengan pendek, tapi celana tetap panjang. "Sepuluh hari berlalu, bagaimana kabar All Star Group sekarang? Kapan Ayah membuka All Star Group lagi?" tanya Arsenio santai sambil menyeruput secangkir kopi, tepat di tepi kolam renang. "Tuan Alex, masih belum mengatakan apa-apa soal membuka kembali gedung All Star Grou
"Mau pergi kemana kamu, buru-buru sekali?" tanya Alexander Guan penasaran, ketika melihat Arsenio menuruni anak-anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Pakaiannya pun sangat rapi, seakan ada acara penting yang harus dihadiri. Namun, saat berada di ujung anak tangga, Arsenio bungkam dan gelagapan. Bola matanya bergerak cepat ke kiri dan kanan. Seolah sedang berusaha menyembunyikan sesuatu."Kenapa diam? Sebenarnya kamu mau pergi kemana? Di mana Bastian? Mengapa tidak bersama kamu?" cecar Alexander Guan meradang, lantaran tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut putra semata wayangnya itu.Bastian yang selalu menempel di sisi Arsenio, memang tidak menunjukkan batang hidungnya. Alexander Guan, mempertanyakan hal tersebut. "Saya di sini, Tuan." Bastian datang dari arah belakang. Langkahnya terhenti satu meter dari Arsenio dan yang lainnya. Sebelum Arsenio bisa menjawab, Bastian sudah lebih dulu berkata. Pembawa Bastian yang tenang, tidak memudahkan seseorang untuk bisa meneb
[Baiklah. Aku tunggu kamu di rumah.]"Kau mendengarnya sendiri bukan? Saat ini Arsenio sedang dalam perjalanan menuju kemari. Aku sudah mengikuti semua perintahmu!" Elisha mengakhiri sambungan telponnya dan membuang benda pintar itu ke sembarang tempat. Kemudian, menjatuhkan tubuh seksinya ke sofa, memasang wajah geram sambil melipat kedua tangan di dada. Leonardo berdiri tidak jauh dari Elisha. Memasang senyuman dingin tanpa berkedip. "Orang-orangku akan mengawasi kalian saat Arsenio datang. Jangan coba-coba melawan atau aku akan berbuat lebih jauh dari ini!" ancam Leonardo sebelum akhirnya melenggang pergi dari ruangan tersebut.Dua pria memakai kaos hitam lengan pendek dan ketat itu, mengekor kepergian Leonardo.Sementara itu, Malik menatap dingin punggung Leonardo, sampai benar-benar hilang dari pandangan.PLAAAAAKKKKK ....Tidak ada angin tidak ada hujan, Malik menampar pipi Elisha begitu saja tanpa alasan jelas, saking kencangnya tamparan sampai meninggalkan bekas merah di waj
Leonardo beringsut dari sofa, mengayunkan kaki pasti, menghampiri Elisha di ujung anak tangga. "Mari, Tuan Putri." Setelah mengikis jarak, Arsenio mengulurkan tangan kanan, sedikit membungkuk, menunjukkan kesan romantis layaknya pangeran di negeri dongeng.Elisha tersipu malu, berseri-seri sembari menutup mulutnya dengan tangan kiri. Merasa terkesan dengan perlakuan sang kekasih, yang begitu romantis. "Terima kasih." Dia mengangkat tangan kanan, kemudian Arsenio meraihnya cepat. Dikecupnya punggung tangan itu dengan sentuhan lembut. Elisha makin klepek-klepek dibuatnya, tetapi, Arsenio seperti ingin muntah sekarang. Meski tertekan, ia mencoba untuk menunjukkan senyuman terbaik.Arsenio mendongak, dapat terlihat oleh netranya sebuah alat pelacak berukuran sangat kecil menempel di antara Berlian, di kalung yang Elisha kenakan.Berkat Sistem Mafia, membuat panca indera Arsenio semakin tejam. Terutama pada mata. Ia seolah memiliki ketajaman bagaikan singa yang sedang memburu mangsanya.