LOGINWARNING 21+ Di kosan barunya, Dimas—seorang programmer—tak pernah menyangka akan kembali bertemu Karina, guru les privat yang dulu diam-diam ia kagumi. Kekaguman yang dulu sempat berujung pada satu kesalahan fatal—saat Dimas mencium sang guru di tengah sesi belajar. Sejak itu, Karina menghilang tanpa jejak. Kini mereka bertemu lagi dalam keadaan yang jauh berbeda. Karina adalah pemilik kos tempat Dimas tinggal—dan juga seorang istri yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Suaminya kasar, tak setia, dan hanya memanfaatkan Karina demi menutup hutang keluarga. Sampai suatu malam, saat luka dan amarah menelan logika, Karina datang dengan mata sembab dan suara bergetar. “Dimas... hamili aku.” Akal sehat Dimas menolak. Gila. Tidak mungkin dia melakukannya. Karina mantan gurunya, pemilik kosnya, orang yang dia hormati, juga ... Wanita yang bersuami. Namun ... tubuh Dimas, juga setan dalam jiwanya menggelora, 'Bukankah suaminya kasar, tak setia dan tak lebih layak untuk membahagiakannya dibanding dirimu?' Detik itu, urat kewarasan Dimas terputus. Follow ig author : @harucchi224
View More“Mmhh!” Desahan manja itu lolos ketika tangan kekar pria menyelusup masuk ke balik kemeja sang wanita. Merangkak naik, sementara bibir mereka saling melumat tanpa jeda.
Suara decakkan bersahutan dengan deru napas yang terengah. Tubuh sang wanita menegang ketika sebelah tangan pria itu mulai menjelajah bagian bawah, bermain liar di area sensitifnya. “Aahh!” lenguhan itu terdengar mengacaukan pikiran. Hingga … Tok! Tok! Tok! Karina mendecak, matanya dipejamkan kuat. Jemarinya menekan layar ponsel, menjeda video panas yang tengah ditontonnya. Pandangannya turun, beralih pada gaun malam tipis dan pendek yang menampilkan kemolekan tubuhnya. Gaun malam yang banyak orang bilang ‘baju dinas’ pemikat suami, namun tak memberi makna apa pun bagi suaminya sendiri. Tok! Tok! Tok! Karina mendesis geram, matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Siapa yang mengetuk pintu semalam ini? Menghela napas berat, Karina bangkit dari sisi ranjang, berjalan perlahan menuju pintu depan, tanpa merasa perlu mengganti atau menutupi gaun malamnya. Paling juga sang adik ipar, Annaya—yang mampir sepulang kerja untuk mengantar makanan. Karina berjalan sambil mengusap lengan. Malam itu dingin, namun tak lebih dingin dari ranjangnya. Walau setiap saat berpakaian minim, menonton film dewasa demi mengetahui cara terbaik memancing gairah suami, semua selalu berakhir sia-sia. Tok! Tok! Tok! “Sebentar ….” Karina membuka kunci. Desau angin yang berhembus masuk membuatnya sedikit bergidik ketika pintu berayun terbuka. Namun, ternyata tubuhnya masih bisa jauh meremang saat menemukan sosok yang hadir di hadapannya. Karina membeku. Lidahnya kelu. Sekujur tubuhnya menegang. Ingin rasanya dia membanting pintu dan berlari masuk ke dalam. Seseorang yang berdiri di hadapannya kini … “Kak … Karina?” pria itu membuka suara. Suara yang berat, lebih berat dari yang terakhir Karina ingat. Pupil mata Karina bergetar. Dimas. Wajah itu masih belum banyak berubah walau sepuluh tahun telah berlalu. Yang berbeda hanya, garis rahang yang lebih tegas, rambut cambang yang kini sedikit tumbuh, dan fitur wajah lainnya yang jelas menunjukkan wajah pria yang lebih dewasa. Bagaimana mungkin Karina lupa? Wajah ini … adalah wajah yang pernah membuat hatinya bergetar karena dua hal kontra: damba, juga dilema. “Kamu …” Karina menelan saliva, berusaha mengusir segenap gundah, yang nyatanya gagal. Tangannya mengusap lengan dengan gerakan kaku. Gelisah menguasainya. Kenapa Dimas harus muncul di kala Karina dalam situasi seperti ini? “Ada perlu apa?” tanya Karina sedikit gemetar. Dimas tak menjawab. Namun Karina tersadar. Tatapan Dimas padanya kini begitu lekat, menelusuri tubuhnya seakan menemukan sesuatu yang dia inginkan. Hingga deheman singkat Karina mengembalikan fokus pria itu kembali pada wajahnya. Sejenak, Dimas tampak mengatur ekspresi wajahnya. “Saya baca tulisan di depan, ada kamar kos kosong di sini. Jika boleh, saya berniat untuk pindah malam ini.” Karina mengerutkan kening. Ditatapnya sebuah koper kabin di sisi Dimas. Juga ransel besar yang digendongnya. Sepertinya benar kalau Dimas memang ke sini untuk menyewa kamar kos—bukan untuk menemuinya secara personal. Memang, lantai dua tempat tinggalnya ini, disewakan sebagai kos-kosan. Ada tiga kamar dengan satu dapur, satu kamar mandi dan satu ruang cuci jemur yang digunakan bersama. Lima hari lalu, salah satu penghuni kamar kos memang baru saja pindah keluar. Tidak disangka-sangka calon penghuni baru akan datang secepat ini. Akan tetapi, dari sekian banyak manusia di bumi, kenapa harus Dimas? Mantan anak didik Karina dulu, saat Karina masih berprofesi sebagai guru privat bahasa Inggris ke rumah. Bocah SMA yang menjadi alasannya berhenti mengajar. Dan juga … laki-laki yang mengukir kenangan buruk hingga Karina tak ingin lagi melanjutkan pekerjaannya sebagai guru privat. “Kak?” Seruan Dimas memecah lamunan Karina. Karina mengerjap. “Tunggu sebentar. Saya ambil kunci.” jawabnya tenang. Walau jauh di dalam hati, ombak besar sedang menerjang. Haruskah dia menerima Dimas tinggal di sini? Setelah membawa kunci, Karina mengajak Dimas naik ke sebuah tangga yang berada di teras. Dimas menurut, berjalan tenang di belakang Karina. Sementara wanita itu sendiri, batinnya sibuk menenangkan diri. Saat berdiri untuk membuka kunci pintu kamar kos, Karina merasakan kehadiran nyata Dimas di sisinya. Posturnya tinggi, tegap, lengan atasnya berisi. Betapa waktu telah banyak mengubahnya. Dimas sudah bukan lagi Dimas berseragam putih abu-abu yang Karina ejek kerempeng itu. Gemerincing dari kunci di tangan Karina masih terus terdengar. Berkali-kali Karina keliru menentukan kunci yang tepat. Ditambah lagi, presensi Dimas yang tak henti mengacak-acak fokusnya. Tanpa sengaja, sudut mata Karina menelisik tangan kekar Dimas yang samar terlihat. Lengan berurat yang berbalut jam tangan pria itu … entah bagaimana mengundang getaran di dada. Menarik potongan memori tentang kegiatan dewasa yang baru saja dia lihat di ponsel. Sesuatu yang semestinya dirasakan pasangan yang sudah menikah. Namun, tidak dalam kehidupan pernikahan Karina. Sesaat pikiran Karina melayang, membayangkan bila tangan itu menjamah dirinya. Kira-kira, seperti apa rasanya? “Perlu dibantu?” suara berat Dimas menyeret Karina kembali pada dunia nyata. Karina berdehem, mencoba mengusir setan gila yang berbisik di telinganya barusan. Tepat detik itu, pintu berhasil terbuka. Karina melangkah masuk, membiarkan Dimas mengekor di belakangnya. Sebuah hembusan napas dia hela, berharap suaranya kembali tertata. Karina lalu melakukan pengenalan dengan nada datar bagai robot yang sudah hapal di luar kepala. “Kami sudah sediakan kasur single, satu lemari pakaian, satu meja kerja, satu bantal, satu kipas angin. Nggak ada AC. Kamar mandi, dapur, kulkas, jemuran dan ruang cuci jemur, dipakai bersama-sama. Kebersihan tanggung jawab bersama. Jika membawa alat elektronik tambahan, tolong infokan ke saya.” Karina memutar bahu, menatap Dimas dengan alis terangkat. “Kalau mau merokok silakan di balkon, sudah disediakan asbak di sana. Untuk peraturan, yang paling utama selain dilarang membuat kebisingan ….” Karina terdiam, mengambil jeda sesaat. “Adalah nggak boleh membawa masuk perempuan.” ucap Karina tegas. Dimas menatap Karina lekat, lama, kemudian senyumnya terbit. Lengkungan tipis itu penuh makna, yang tak berani Karina terjemahkan artinya.Annaya datang mendekat sambil membawa ponsel yang memperdengarkan nada sambung. Benda itu dia letakkan di meja ruang tamu, memperlihatkan layar yang menampilkan panggilan ke kontak bernama ‘Mas Reno’. ‘Tuut … tuut ….’ Suara nada sambung itu menjadi satu-satunya yang terdengar di tengah senyap, menciptakan ketegangan yang mencekik Karina.“Halo?” suara berat pria terdengar dari speaker ponsel Annaya.“Reno, Ini Mama.”“Kenapa, Ma?”“Mama mau kasih tau kamu, Mama akan tanda tangan surat pelunasan hutangnya Karina—”“Tunggu dulu, Ma!”Pundak Karina menegang. Tentu Reno tak akan diam saja.“Dengar dulu, kesepakatannya kan kalau Karina melahirkan anakku. Anak itu masih di dalam kandungan, belum tentu dia lahir.”Gejolak amarah mendorong getaran di tangan Karina perlahan mengepal. Gemuruh panas di dadanya bagai mendesak untuk diluapkan. “Apa maksud kamu belum tentu dia lahir? Sembarangan kamu, Reno.” alis Mama bertaut curam, nada suaranya meninggi.“Yaa memang benar kan, Ma? Nanti sajal
“Kar ….” suara Dimas yang serak itu terdengar lirih di tengah sunyi, menggetarkan satu sisi dalam diri Karina. Sisi dirinya yang terasa begitu haus, yang menginginkan kehadiran Dimas secara ‘lebih’.Karina merasakan sekujur tubuhnya menegang. Degup di dalam dadanya berdentum keras. Aroma maskulin yang menguar sangat tipis dari kulit Dimas di depannya bagai sihir yang menggerakkan tangannya di luar kendali—jemarinya kini mendarat lembut di sisi wajah Dimas, lalu naik ke rambutnya, menggelitik jemarinya untuk menjelajah ke belakang leher.Saat sentuhannya berakhir, detik itu, dia dapat merasakan deru napas Dimas berubah. Karina meneguk saliva, menata napasnya yang tanpa terasa, tak lagi beraturan. Seluruh fitur wajah Dimas yang terasa begitu dekat kini … mengundang gejolak rindu yang sejak lama meronta dan terus dia pendam. Namun sekarang telah menemukan penawarnya. Tatapan Dimas padanya tak lagi selembut sebelumnya. Kali ini tajam, dalam, menyiratkan dorongan yang Karina tahu maknany
“Ibu Karina, pasangan Pak Reno Wijaya?” suara perawat yang memanggil dari ambang pintu ruang poli terdengar nyaring menggema. Dimas menegakkan punggung, bangkit dan membungkuk perlahan. Walau tanpa menoleh pun, dia yakin, Rachel di belakang pasti tengah menatap penuh curiga ke arahnya.Satu tangan Dimas bergeser, pindah merangkul pundak Karina dari belakang. Mulutnya berdehem kecil, berupaya mengatur suaranya agar tak terdengar gugup. “Sayang, kita dipanggil. Ayo, kubantu berdiri.” gumam Dimas dengan nada datar, menyelami sandiwaranya sebagai seorang pria lain yang juga bernama ‘Reno Wijaya’.Dengan langkah pelan namun tegas, Dimas memapah Karina ke arah ruang poli. Tubuhnya sedikit dimiringkan untuk menutupi wajah Karina dari pandangan Rachel. Sementara kepala Karina dia benamkan ke bahu, seolah Karin hanyalah istri yang tengah menahan lelah di pelukan suaminya. Hingga, langkah mereka memasuki ruang poli dan pintu ditutup oleh perawat.“Selamat siang, Bu Karina.” dokter menyapa ram
“Dim ….” Karina meringis kecil. Tangannya menjangkau area perut. Sebuah pemandangan yang membuat dada Dimas terasa ngilu bagai terhunus duri. Dia tahu, ada sesuatu yang mengancam nyawa calon bayinya. “Aku takut ….” Karina tampak menahan napas, sebelah tangannya mencengkeram kaos di pundak Dimas.Dimas menggeleng. Berusaha mengenyahkan beragam skenario buruk yang bermunculan di kepala. Kepanikan menyergap. Jantungnya berdetak cepat. “Sakit banget?” ucapnya terbata. Karina mengerjap sesaat. “Nggak … nggak terlalu intens. Tapi aku takut ….” Karina memindahkan pandangannya ke arah Dimas. “Takut kalau ini tanda bahaya.”Detik itu, waktu seolah berhenti. Hanya denging panjang dan suara detak jantung Dimas sendiri yang mengisi pendengaran. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Dimas bangkit. Dadanya bergemuruh, batinnya dipenuhi rasa takut.Takut kehilangan darah dagingnya, yang bahkan belum dia sapa sama sekali.“Kamu bisa turun tangga?”Belum sempat Karina menjawab, Dimas lekas memotong. “Ngga
Tok! Tok! Tok!Tangan Karina tergesa-gesa meremas kertas ucapan dari Dimas dan menyimpannya ke dalam kepalan tangan.“Kak Karinaa! Dipanggil Mama diminta ke dapur sebentar kak!”Karina mengusap kasar pipinya yang masih basah. Dia berdehem singkat, berupaya agar suara dan ekspresinya kembali tertata.“Iyaa, Kakak keluar sebentar lagi.” Dalam gerakan cepat, Karina merapikan semua hadiah pemberian Dimas, lalu membuang kertas ucapan dari Dimas yang sudah membentuk bola kecil ke dalam keranjang sampah.Saat langkahnya berayun menuju dapur, pikirannya dipenuhi satu tekad: dia harus cepat-cepat keluar dari kehidupan rumah tangga ini.Hutangnya harus segera dinyatakan lunas. Mama harus segera menandatangani status lunas.“Ma,” Karina berdiri di ambang pintu dapur. Sang Mama mertua sedang mencuci tangan di wastafel.“Kamu jemurin cucian ya. Sudah Mama siapkan di ember, tinggal jemur. Jangan santai-santai.” Mama mengeluarkan titahnya tanpa menatap Karina. Mengernyitkan dahi, Karina memalingkan
[ Dimas : Malam ini, aku nggak ada meeting apa pun. Aku tunggu. ]Karina membaca pesan terakhir yang dikirim Dimas. Matanya yang berair masih mengilatkan binar kecewa. Walau, jauh di dalam hati, luka yang menganga seperti baru dijahit kembali. Ada rasa hangat yang perlahan menyisip, membuatnya merasa lebih tenang, meski dadanya masih belum sepenuhnya ringan.“Karina! Kamu ini hape terus!” Mama mertua yang sedang mengupas bumbu di dapur menoleh ke arah Karina di belakangnya. “Ini lho, Mama kan minta tolong cuci ikannya! Jangan manja! Ibu hamil nggak boleh santai-santai. Nanti anaknya Reno ikutan jadi pemalas, gimana?”Karina memicing tajam, antara ingin membantah, tetapi pilihannya hanyalah pasrah. Mau tak mau, Karina melangkah mendekat ke wastafel. Memandang ikan segar yang dikumpulkan di dalam baskom. Aroma amisnya lekas mengisi penuh penciuman. Membuat perut Karina lekas bergejolak.“Ma, bau ikannya kuat banget. Aku takut … muntah.” Jari Karina spontan menutup hidung. Hampir saja o






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments