WARNING 21+ Di kosan barunya, Dimas—seorang programmer berusia 25 tahun, kembali bertemu Karina, guru les privat yang dulu pernah dia kagumi. Wanita itu adalah pemilik kosnya, dan kini telah menikah. Namun terjebak dalam rumah tangga mengerikan dengan suami kasar dan tak setia. Kemudian, ketika Karina menemukan bahwa kekasih suaminya hamil, wanita itu datang pada Dimas dengan berderai air mata, "Dimas, hamili aku.” Maka, hubungan yang harusnya sebatas penghuni kos-Ibu kos perlahan berubah menjadi cinta terlarang yang bisa terbongkar kapan saja dan oleh siapa saja—suami Karina, atau bahkan penghuni kos lain.
View More“Mmhh!” Desahan manja itu lolos ketika tangan kekar pria menyelusup masuk ke balik kemeja sang wanita. Merangkak naik, sementara bibir mereka saling melumat tanpa jeda.
Suara decakkan bersahutan dengan deru napas yang terengah. Tubuh sang wanita menegang ketika sebelah tangan pria itu mulai menjelajah bagian bawah, bermain liar di area sensitifnya. “Aahh!” lenguhan itu terdengar mengacaukan pikiran. Hingga … Tok! Tok! Tok! Karina mendecak, matanya dipejamkan kuat. Jemarinya menekan layar ponsel, menjeda video panas yang tengah ditontonnya. Pandangannya turun, beralih pada gaun malam tipis dan pendek yang menampilkan kemolekan tubuhnya. Gaun malam yang banyak orang bilang ‘baju dinas’ pemikat suami, namun tak memberi makna apa pun bagi suaminya sendiri. Tok! Tok! Tok! Karina mendesis geram, matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Siapa yang mengetuk pintu semalam ini? Menghela napas berat, Karina bangkit dari sisi ranjang, berjalan perlahan menuju pintu depan, tanpa merasa perlu mengganti atau menutupi gaun malamnya. Paling juga sang adik ipar, Annaya—yang mampir sepulang kerja untuk mengantar makanan. Karina berjalan sambil mengusap lengan. Malam itu dingin, namun tak lebih dingin dari ranjangnya. Walau setiap saat berpakaian minim, menonton film dewasa demi mengetahui cara terbaik memancing gairah suami, semua selalu berakhir sia-sia. Tok! Tok! Tok! “Sebentar ….” Karina membuka kunci. Desau angin yang berhembus masuk membuatnya sedikit bergidik ketika pintu berayun terbuka. Namun, ternyata tubuhnya masih bisa jauh meremang saat menemukan sosok yang hadir di hadapannya. Karina membeku. Lidahnya kelu. Sekujur tubuhnya menegang. Ingin rasanya dia membanting pintu dan berlari masuk ke dalam. Seseorang yang berdiri di hadapannya kini … “Kak … Karina?” pria itu membuka suara. Suara yang berat, lebih berat dari yang terakhir Karina ingat. Pupil mata Karina bergetar. Dimas. Wajah itu masih belum banyak berubah walau sepuluh tahun telah berlalu. Yang berbeda hanya, garis rahang yang lebih tegas, rambut cambang yang kini sedikit tumbuh, dan fitur wajah lainnya yang jelas menunjukkan wajah pria yang lebih dewasa. Bagaimana mungkin Karina lupa? Wajah ini … adalah wajah yang pernah membuat hatinya bergetar karena dua hal kontra: damba, juga dilema. “Kamu …” Karina menelan saliva, berusaha mengusir segenap gundah, yang nyatanya gagal. Tangannya mengusap lengan dengan gerakan kaku. Gelisah menguasainya. Kenapa Dimas harus muncul di kala Karina dalam situasi seperti ini? “Ada perlu apa?” tanya Karina sedikit gemetar. Dimas tak menjawab. Namun Karina tersadar. Tatapan Dimas padanya kini begitu lekat, menelusuri tubuhnya seakan menemukan sesuatu yang dia inginkan. Hingga deheman singkat Karina mengembalikan fokus pria itu kembali pada wajahnya. Sejenak, Dimas tampak mengatur ekspresi wajahnya. “Saya baca tulisan di depan, ada kamar kos kosong di sini. Jika boleh, saya berniat untuk pindah malam ini.” Karina mengerutkan kening. Ditatapnya sebuah koper kabin di sisi Dimas. Juga ransel besar yang digendongnya. Sepertinya benar kalau Dimas memang ke sini untuk menyewa kamar kos—bukan untuk menemuinya secara personal. Memang, lantai dua tempat tinggalnya ini, disewakan sebagai kos-kosan. Ada tiga kamar dengan satu dapur, satu kamar mandi dan satu ruang cuci jemur yang digunakan bersama. Lima hari lalu, salah satu penghuni kamar kos memang baru saja pindah keluar. Tidak disangka-sangka calon penghuni baru akan datang secepat ini. Akan tetapi, dari sekian banyak manusia di bumi, kenapa harus Dimas? Mantan anak didik Karina dulu, saat Karina masih berprofesi sebagai guru privat bahasa Inggris ke rumah. Bocah SMA yang menjadi alasannya berhenti mengajar. Dan juga … laki-laki yang mengukir kenangan buruk hingga Karina tak ingin lagi melanjutkan pekerjaannya sebagai guru privat. “Kak?” Seruan Dimas memecah lamunan Karina. Karina mengerjap. “Tunggu sebentar. Saya ambil kunci.” jawabnya tenang. Walau jauh di dalam hati, ombak besar sedang menerjang. Haruskah dia menerima Dimas tinggal di sini? Setelah membawa kunci, Karina mengajak Dimas naik ke sebuah tangga yang berada di teras. Dimas menurut, berjalan tenang di belakang Karina. Sementara wanita itu sendiri, batinnya sibuk menenangkan diri. Saat berdiri untuk membuka kunci pintu kamar kos, Karina merasakan kehadiran nyata Dimas di sisinya. Posturnya tinggi, tegap, lengan atasnya berisi. Betapa waktu telah banyak mengubahnya. Dimas sudah bukan lagi Dimas berseragam putih abu-abu yang Karina ejek kerempeng itu. Gemerincing dari kunci di tangan Karina masih terus terdengar. Berkali-kali Karina keliru menentukan kunci yang tepat. Ditambah lagi, presensi Dimas yang tak henti mengacak-acak fokusnya. Tanpa sengaja, sudut mata Karina menelisik tangan kekar Dimas yang samar terlihat. Lengan berurat yang berbalut jam tangan pria itu … entah bagaimana mengundang getaran di dada. Menarik potongan memori tentang kegiatan dewasa yang baru saja dia lihat di ponsel. Sesuatu yang semestinya dirasakan pasangan yang sudah menikah. Namun, tidak dalam kehidupan pernikahan Karina. Sesaat pikiran Karina melayang, membayangkan bila tangan itu menjamah dirinya. Kira-kira, seperti apa rasanya? “Perlu dibantu?” suara berat Dimas menyeret Karina kembali pada dunia nyata. Karina berdehem, mencoba mengusir setan gila yang berbisik di telinganya barusan. Tepat detik itu, pintu berhasil terbuka. Karina melangkah masuk, membiarkan Dimas mengekor di belakangnya. Sebuah hembusan napas dia hela, berharap suaranya kembali tertata. Karina lalu melakukan pengenalan dengan nada datar bagai robot yang sudah hapal di luar kepala. “Kami sudah sediakan kasur single, satu lemari pakaian, satu meja kerja, satu bantal, satu kipas angin. Nggak ada AC. Kamar mandi, dapur, kulkas, jemuran dan ruang cuci jemur, dipakai bersama-sama. Kebersihan tanggung jawab bersama. Jika membawa alat elektronik tambahan, tolong infokan ke saya.” Karina memutar bahu, menatap Dimas dengan alis terangkat. “Kalau mau merokok silakan di balkon, sudah disediakan asbak di sana. Untuk peraturan, yang paling utama selain dilarang membuat kebisingan ….” Karina terdiam, mengambil jeda sesaat. “Adalah nggak boleh membawa masuk perempuan.” ucap Karina tegas. Dimas menatap Karina lekat, lama, kemudian senyumnya terbit. Lengkungan tipis itu penuh makna, yang tak berani Karina terjemahkan artinya.“Dim, bercanda doang kali. Yang dibercandain juga bukan lo. Kok lo yang emosi?” tukas Jimmy. Tak ada guratan rasa bersalah sama sekali, baik di wajahnya maupun nada suaranya.Dan reaksi itu bagai bensin yang disiram ke bara api di dada Dimas.“Bercanda lo ngerendahin orang, sialan!” jawab Dimas dengan nada geram. Tangannya mengepal. Dan dia tahu, Agus dan Genta sudah melirik gentar ke arah kepalan tangannya.Agus berkedip, sedikit kikuk, menyenggol Jimmy seolah memberi kode. Jimmy membuang pandangan ke arah lain, tampak kesal. Sementara Genta mengangkat kedua tangannya, mencoba mencairkan suasana.“Udah, udah. Jangan panas gini ya, guys. Kita kan mau ngobrol. Nah, ini ada undangan nih. Jangan lupa datang ya.” Genta membagikan undangan satu per satu. Namun, Dimas berdiri. Meninggalkan ruangan kembali ke kamar. Brak! Pintu ditutup.Dimas menempelkan punggung di daun pintu. Tangannya mengusap wajah, lalu naik mencengkeram rambut. Matanya terpejam selagi napasnya dihela dalam-dalam.Sek
Sambil memeluk segunung cucian kering di tangan, Dimas melangkah ke kamar setelah kembali dari balkon belakang. Dilihatnya Jimmy sedang berjongkok di ambang pintu kamarnya sendiri. Tangannya sibuk menggenggam ponsel yang berisik—ramai dengan bunyi notifikasi WA dan Line yang bersahut-sahutan.Dipikir-pikir, seharian ini Jimmy terus berada di kosan. Apa dia tidak bekerja?“Lo libur?” Dimas menegur dengan nada ringan. Tangannya membuka kenop pintu.“Oh, nggak. Ini kerja. Lagi mantau update-an.”“Kerja dimana lo?” Tanya Dimas sambil melangkah masuk ke kamar. Dibiarkannya pintu terbuka lebar, supaya suara Jimmy tetap bisa terdengar.“Menitdotcom. Jurnalis.” suara Jimmy terdengar samar. Tak lama, suara itu kembali menyapa telinga.“Eh, Dim. Ke sini bentar.”Dimas yang hampir melipat cucian lantas beranjak ke luar, bersandar di daun pintu kamarnya yang terbuka. Kedua alisnya naik saat pandangannya bertemu Jimmy.“Nanti malam ngumpul di depan ya, di situ depan TV.” Jimmy menggerakkan daguny
Dimas hilang kendali. Sebelah tangannya mencengkeram sisi wajah Karina, sementara satu tangannya yang lain menahan pinggul Karina, menariknya merapat. Bibirnya menjelajah bibir Karina bagai kelaparan. Napas keduanya saling beradu, tersengal, tak beraturan, persis jantungnya yang memburu cepat.Udara pengap membuat tubuh mereka berkeringat. Namun bagi Dimas, pemandangan Karina yang menatapnya sayu dengan kulit menyemut peluh justru mendorong keluar seluruh jiwa buasnya.Erangan Dimas lolos ketika tangan Karina menjelajah masuk ke dalam kaosnya, meraba otot-otot perutnya yang keras. Makin merontalah bagian bawahnya. Dimas bergerak makin liar, wajahnya turun, menyusuri garis leher Karina, menikmati ceruknya.Entah seberapa tipis akal sehat Dimas yang tersisa. Karena detik selanjutnya, Dimas melepas kasar pengait bra Karina. Membiarkan benda itu meluncur ke lantai. Meninggalkan pemandangan Karina dengan bagian atas tubuhnya yang tak lagi berpenghalang.Di ujung batas akalnya, muncul sebua
Dimas menunggu beberapa detik. Hanya terdengar suara tangis tertahan dari seberang. Dadanya ikut menegang.“Saya turun sekarang.” gumamnya setengah panik, lebih pada pernyataan daripada permohonan.Dimas mematikan sambungan telepon. Lalu beranjak menuruni anak tangga dengan langkah lebar. Udara pengap menyambut, suasana gelap yang sedikit remang karena cahaya matahari dari kisi-kisi di atas pintu depan menyergap pandangan.Pria itu menoleh ke sana ke mari, mencari di mana kemungkinan Karina berada. Hingga, terdengar suara isakan samar yang tampaknya berasal dari sebuah kamar yang pintunya ditutup. Dimas melangkah menghampirinya.Tok! Tok! Tok!“Kar ….”Setelah beberapa saat, kenop pintu bergerak. Pintu berayun terbuka. Karina muncul di baliknya dengan wajah berlinang air mata.Dimas menghela napas berat. “Kamu dipukul lagi?”Karina tak menjawab. Namun matanya terus menatap wajah Dimas, tatapan memilukan yang mengajak Dimas ikut merasakan perih. Keduanya hanya saling menatap, hingga …
Reno di lantai dua. Fakta itu bagai mimpi buruk yang mengacak-acak nyali Karina. “Aku harus keluar sekarang.” Karina menepis kasar tangan Dimas. Namun pria itu malah menarik tanganya.“Tunggu.”Karina mendongak, memicing sengit.“Kalau dia lukai kamu sekali lagi ….” Dimas mengambil jeda, tatapannya teguh, “Aku yang maju.” Karina membeku. Matanya berkilat sendu. Sesaat benaknya dipenuhi kecamuk dilema. Kenapa … ketika dia pada akhirnya menemukan rasa aman, datangnya justru dari laki-laki lain … yang bukan suaminya?“Karinaa!!” Suara garang itu kembali terdengar.Karina kembali menangkis tangan Dimas, lalu keluar dari ruangan kecil itu menuju ke dalam rumah. Di depan pintu balkon yang berhadapan langsung dengan tangga menuju lantai satu, dia bertemu Reno. Pria itu berdiri tegak di atas anak tangga tertinggi. Matanya menyorot tajam. Tangannya menekan susuran tangga begitu erat. Di sisi lain, ada Jimmy yang berdiri di depan pintu kamarnya sendiri. “Nah, itu Mbak Karina tuh Pak.” sahut
“Kar?” di tengah upaya mengatur napas, Dimas menatap tangannya yang dicekal, pandangannya lalu pindah ke wajah Karina.Wanita itu tampak mengernyit, seperti menahan sesuatu.“Dim … kamu ….” Karina meringis lirih. Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang bersenandung. Lagu metal yang dia nyanyikan sumbang, suaranya dibuat-buat serak setengah menjerit. Dan … suara itu mendekat.Kepanikan mendesak Dimas menarik Karina cepat, menyeretnya masuk ke dalam ruangan kecil mirip kamar mandi tak terpakai yang kini beralih fungsi jadi ruang mesin cuci.Dalam ruangan sempit itu, napas keduanya bersahutan. Saling memburu. Ruangan lembab itu terasa semakin pengap. Tubuh Karina bersandar di dinding, persis berhadapan dengan Dimas yang mencengkeram kedua bahunya. Dimas tersentak, tersadar sesuatu yang kini dia sesali.Buat apa dia menyeret Karina masuk ke sini? Merasa tertangkap basah melakukan hal mesum? Padahal kejadian tadi murni kecelakaan. Harusnya dia jelaskan saja kronologinya jikalau
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments