Nila menoleh ke belakang, karena terkejut saat pintu kamar itu tertutup dengan sendirinya.
"Perasaan barusan anginnya biasa saja," batin Nila. Namun dengan cepat ia mengabaikannya. "Sudah selesai mandinya? Ayo kita makan!" seru Nila menghampiri Wira di dalam kamar mereka. "Sudah, ayo!" sahut Wira. Mereka berdua yang semula berada di kamar depan, kemudian berjalan ke ruangan tengah. Mereka berdua segera makan malam, sebelum beristirahat. "Tadi Aa ketemu sama Mama kamu di jalan." Wira membuka obrolan disela-sela mereka makan. "Oh ya? Terus gimana Rekasi Mama? Apa dia nanyain kabar aku?" tanya Nila. Walaupun Retna telah mengusirnya, namun tidak dipungkiri Nila sangat merindukannya, walaupun baru beberapa hari mereka tidak berkomunikasi dan bertemu. "Masih sama, Neng. Bahkan Aa saja yang mau menyalaminya, Mama malah menepis tangan Aa. Tapi tidak apa-apa, kita berdoa saja semoga Mama dibukakan hatinya. Kita buktikan sama Mama, kita bisa hidup bahagia," jawab Wira. Hati Nila mencelos, segitu bencinya sang ibu terhadap Wira. "Jangan sedih, aku akan berusaha membahagiakanmu. Semoga kelak aku bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari ini. Aku ingin pernikahan kita bahagia, dan kelak Mama bisa menerimaku." Wira mencoba menenangkan hati Nila. Nila menyandarkan kepalanya di bahu Wira. "Iya, A, aku doain semoga impian kita terkabul." Selesai makan malam, Nila dan Wira masuk ke dalam kamar. Mereka berdua tak langsung tidur, melainkan berbaring bersama sambil bercengkrama. "A, aku mau tanya sesuatu sama kamu. Tapi Aa tidak boleh marah sama aku. Jika Aa marah, bisa dipastikan aku akan sangat sedih," imbuh Nila. Wira mengacak rambut Nila dengan gemas, "Belum juga nanya, sudah mengancam akan sedih. Memangnya mau nanya apa sih, kok sampai segitunya?" tanya Wira. "Dih, Aa ... Rambut aku jadi berantakan dong." Nila menyugar rambutnya. "Jadi mau nanya apa?" tanya Wira. Sebelum bertanya, Nila menarik nafas terlebih dahulu. Mengumpulkan keberanian, supaya pertanyaannya tidak membuat Wira tersinggung dan sedih. "Aa belum pernah cerita sama aku, tentang kematian kedua orang tuamu. Aku mau tahu, apa penyebab kematian ibu sama bapak kamu, A?" tanya Nila. Benar saja apa yang ditakutkan Nila. Mendengar pertanyaan itu, wajah Wira berubah muram. "Aku minta maaf jika pertanyaanku membuatmu sedih. Tapi aku berhak tahu, karena aku istrimu, A. Tadi saat aku belanja dengan Lita, ada seorang ibu-ibu yang menyebutkan bahwa kematian kedua orang tuamu sangat tragis. Dan kamu tahu? Semenjak saat itu, aku menjadi kepikiran sama ucapan ibu-ibu tadi. Sebenarnya apa yang terjadi kepada ibu dan bapakmu?" tanya Nila. Wira mengepalkan tangan kuat, rahangnya mengeras, teringat akan tragedi yang menimpa kedua orang tuanya. Baginya, kejadian itu tidak akan pernah terlupakan, dan menjadi pengalaman buruk dalam sejarah hidupnya. "Kenapa nggak dijawab, A?" tanya Nila. "Cukup! Diam, diam kamu nggak usah menanyakan hal itu. Tidak usah ikut campur dalam masalah itu!" Wira menjambak rambutnya kasar. Membuat Nila terkejut dan tak menyangka, reaksi Wira akan seperti itu. Wajah Wira memerah, membuat Nila tak enak hati. "Sebesar itukah trauma A Wira? Sampai-sampai dia membentak ku seperti itu?" batin Nila. "A, maafkan aku. Aku nggak tahu jika pertanyaanku akan membuat kamu semarah itu," ucap Nila. "Pergi kamu dari sini, pergi!" bentak Wira. Nyes! Hati Nila begitu sakit mendengar Wira mengusirnya dari dalam kamar. Semula Nila enggan pergi, tapi melihat Wira yang seperti itu, membuatnya terpaksa keluar dari dalam kamar. Nila keluar dan duduk di ruang tengah. Tak terasa, air matanya menetes di pipi putihnya. Berkali-kali Nila menyeka air matanya yang terus berjatuhan. Nila tak mampu berkata apa-apa lagi. Hanya Isak tangis yang keluar dari mulutnya. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 23.15. Nila masih berdiam diri di ruang tengah. Ingin kembali ke kamarnya pun, ia tak berani. Sedangkan Wira, Nila tak tahu apa yang sedang ia lakukan di dalam kamar. Rasa kantuk mulai menghampiri Nila. Semilir angin malam pun membuat bulu-bulu yang ada di tangannya berdiri berjejer bak duri-duri halus. Bingung hendak tidur dimana, Nila pun menatap kamar tengah yang sempat ia masuki tadi. "Apa aku tidur di kamar itu saja?" batin Nila. Nila pun berdiri dan berjalan menuju kamar itu. Ceklek! Kriet! Pintu pun dibuka dengan perlahan, menimbulkan suara decitan dari engsel yang sudah berkarat. Nila terfokus pada kolong tempat tidur. Gundukan tanah yang sempat ia lihat tadi, sudah tak ada di tempat itu. Mungkin di dalam tanah itu ada makhluk sejenis hewan yang suka menggali tanah, pikir Nila. Tak ingin berpikiran yang tidak-tidak, Nila segera masuk dengan membawa sarung yang akan ia gunakan sebagai seprei. Setelah memasang sarung, Nila segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur besi tua itu. Di setiap gerak tubuhnya, suara decitan besi yang beradu membuat gaduh seisi kamar. Nila menatap langit-langit, teringat akan Wira yang tega mengusirnya tadi. Sesakit apa yang Wira rasakan, sehingga perangainya yang semula sangat lembut, kini berubah menjadi kasar. Nila berguling ke arah kanan, menghadap dinding bilik bambu, yang beberapa bagian sudah berlubang namun dengan ukuran kecil. Sunyi, sepi, menjadi temannya malam ini. Nila mencoba memejamkan matanya, berharap segera berlabuh ke alam mimpi, melupakan sejenak sakit hati karena Wira. Sementara di kamar yang berbeda, Wira tengah menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Bayangan di masa lalunya kini teringat lagi. "Aaa ... Sakit, tolong! Akhiri penderitaanku, tolong!" Suara itu, suara menyakitkan, suara dimana detik-detik orang tuanya meregang nyawa. Kulit terkelupas, kaki tiba-tiba lumpuh dan mulut mengeluarkan hewan-hewan kecil berupa belatung campur darah. Di depan mata kepala, Wira menyaksikan kedua orang tuanya menghembuskan nafas terakhir. "To-long sa-ya!" pekik ibu Wira, kemudian menghembuskan nafas terakhir. Wira menangis di sudut kamar dengan kaki menekuk. Ia menenggelamkan kepalanya diantara kedua lutut. Pukul 01.30 Gludak! Ranjang yang ditempati Nila mendadak bergoyang. Membuat Nila yang sedang terlelap, terbangun karena guncangan yang cukup membuatnya terkejut. Nila bangun dan menoleh ke sisi kiri ranjang. Tidak ada apapun, yang ada hanya bantal lapuk, yang sudah berbau jamur. Dirasa tak ada yang aneh, Nila kembali merebahkan tubuhnya lagi. Ia ingin segera beristirahat. Gludak! Kreeek! Lagi dan lagi ranjang besi yang ia tiduri, berguncang kembali. Seperti ada seseorang yang tidur dan membalikkan badan. Namun setelah dilihat, memang tidak ada apapun. Kejadian ini, cukup membuat perasaan Nila tidak enak. Nila mencoba membuang jauh perasaan itu. Ia harus berpikir positif, karena tinggal di rumah ini bukan hanya untuk sehari dua hari. Kembali Nila membaringkan tubuhnya lagi. Kali ini menghadap pintu. "Aku disini ....""Aaaa!" Nila menjerit ketika melihat makhluk gundukan tanah itu berada di dalam kamarnya.Wira pun tak kalah kaget, ia terjingkat ketika melihat makhluk itu.Namun, setelah menampakkan dirinya beberapa detik, makhluk itu kemudian menghilang begitu saja."Ternyata bau itu berasal dari makhluk itu. Bu-bukannya Mak Onam sudah meninggal, tapi kenapa makhluk itu masih ada?" tanya Wira tergugup.Nila terdiam, sambil menekan rasa takutnya. Walau pun sudah beberapa kali Nila melihatnya. Namun, Nila masih merasakan ketakutan."A, sepertinya tugas kita belum selesai," lirih Nila.Alis Wira mengernyit, tidak mengerti dengan ucapan Nila."Maksud kamu, Neng?" tanya Wira."Kamu ingat perkataan Mama kemarin malam? Mama bilang, dia pernah mendengar makhluk itu meminta tolong untuk disempurnakan," jawab Nila.Wira berpikir sejenak, kemudian bersuara."Ah iya, kita melupakan hal itu. Tunggu-tunggu, kok aku jadi berpikiran sama sesuatu yang ada di gubuk Mak Onam, ya!" seru Wira.Kini giliran alis Nila y
"Nila, ini aku!" bisik seseorang yang tengah memeluk Nila dari belakang.Nila mengurai pelukannya lalu membalikkan badannya."Me-melati," lirih Nila tak menyangka bahwa Melati ada di hadapannya.Melati mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Nila, ini aku, Melati."Di belakang Melati, Nila melihat ada Abah Kosmos, Abah Ikin dan tetua desa yang lain."Kok bisa?" Nila merasa bingung."Sudah, nanti saja aku cerita. Mana yang lain? Di sini ada hewan buas, jadi kamu jangan berisik," lirih Melati.Nila mengangguk, "Mereka ada di dalam.""Ya sudah ayo gabung sama mereka," ajak Melati."Sebentar, aku harus menghancurkan batu cincin ini dulu. Aku mau cari batu," ujar Melati.Dengan hati-hati, Abah Ikin berinisiatif mencarikan batu dan menyerahkannya kepada Nila.Dengan cepat Nila menghancurkan batu cincin itu. Tak ayal, suara teriakkan dari dalam gubuk menggema memenuhi atmosfer hutan itu."I-itu," ucap Melati."Iya, itu suara Mak Onam, dan batu ini merupakan sumber kekuatannya. Maafkan aku, Melati
Abah Uta segera mengambil obor yang lain.Beberapa inchi lagi, api telah mendekat ke arah kedua benda milik Mak Onam itu."Maafkan aku, Onam. Kamu sudah banyak merugikan orang lain. Terpaksa aku melakukan ini," gumam Abah Uta.Brus!Seketika api menyentuh kedua benda berupa buntelan kecil itu."Aaaa ... Kurang ajar kau, Uta. Aaaaa!" Teriakkan Mak Onam di atas batu, membuat semua orang menoleh. Mereka menyaksikan tubuh Mak Onam ambruk dan tidak bergerak lagi di atas batu.Kini, mereka bisa bernafas lega. Kedua benda itu telah habis terbakar, dan Mak Onam telah kalah."Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Apa kita mencari Abah Kosmos dulu? Aku lihat dia hanyut tadi. Aku harap beliau selamat," imbuh Wira."Begini saja, kita berpencar menjadi dua kelompok. Beberapa dari kita mencari Abah Kosmos, dan yang lain ikut saya ke kedalaman hutan. Saya ingin membawa putri saya dari sana. Saya khawatir jika Melati terus menerus berada di dalam hutan," sahut Abah Uta.Semua mengangguk setuju,
Huek!Wira berusaha menahan mual saat sesuatu yang ia sentuh itu mengeluarkan bau tak sedap. Wira sangat kesusahan melihatnya. Namun yang jelas, perasaan Wira sangat tidak enak.Wira bangkit dan meraba saku celananya. Ia teringat jika tadi saat istirahat di tempat kerja, ia sempat membeli korek untuk menyalakan rokok."Syukurlah ada," gumam Wira.Tangan gemetar Wira mulai menyalakan korek api itu."Ya Tuhan!"Wira beringsut mundur, dan kembali mematikan korek tersebut. Sesuatu di depan Wira sangat mengejutkannya. Ketika korek itu dinyalakan, jelas Wira melihat kepala menyembul dari dalam tanah dengan wujud mengerikan. Mungkin selama ini, makhluk inilah yang meneror warga bahkan juga istrinya, pikir Wira.Jantung Wira berdetak begitu kencang. Takut, sudah pasti, meski pun ia seorang lelaki, jika dihadapkan dalam situasi seperti ini maka ia akan berubah menjadi pengecut.Wira kembali menyalakan korek itu. Berusaha tidak memperdulikan makhluk itu yang masih ada. Wira gegas mencari oborny
Setelah melintasi aliran air terjun, Wira dan abah Kosmos kembali melewati kawasan hutan, menyusuri jalanan setapak menuju perkampungan.Tak ada percakapan diantara mereka berdua. Hanya helaan nafas yang terdengar saling bersahutan. Perjalanan malam ini terasa begitu menegangkan. Mereka akan berjuang mencari benda-benda milik mak Onam.Krosak!Langkah Wira terhenti, ketika mendengar sebuah suara dari arah belakangnya. Abah Kosmos yang berada di depan Wira menyentuh tangan Wira dan menyuruhnya untuk terus berjalan melalui sebuah isyarat tangannya."Sebisa mungkin kamu tidak boleh menoleh ke belakang atau pun ke samping. Ingat tujuan kita, jika kamu tidak ingin semuanya sia-sia," bisik abah Kosmos yang kini berjalan sejajar dengan Wira.Wira menelan saliva kasar, sambil mengangguk mengiyakan ucapan abah Kosmos.Mereka berdua terus saja berjalan. Sebuah suara kembali terdengar di telinga Wira. Namun, Wira selalu mengingat perkataan abah Kosmos barusan.Entah kenapa, Wira merasa jika jara
"Pak Kades," pekik Wira, saat mengetahui bahwa sang pemilik kepala yang tergeletak di semak-semak itu adalah milik pak kades.Semua orang tercengang, gegas mereka menghampiri pak kades. Mereka menyibakkan semak-semak itu. Tubuh pak kades tertutupi semak-semak. Hanya kepalanya saja yang menyembul keluar."Dia masih hidup," ujar Abah Kosmos setelah memeriksa nadinya."Syukurlah, kita bisa membawanya pulang. Setelah itu kita kembali ke rencana kita untuk menyelidiki rumah Mak Onam," imbuh aki Oyan.Semua mengangguk setuju, kemudian mulai mengangkat tubuh pak kades.Mereka kemudian hendak membalikkan badan. Namun, mereka tak menyadari ada sesosok berbalut kain putih, yang sedang berdiri di belakang mereka."Aaaa ... Apaan itu?" teriak Nila, ketiak melihat sosok itu.Sontak orang yang sedang menggotong tubuh pak kades hampir saja melemparkan tubuh pak kades, saking terkejut. Namun beruntung mereka bisa mempertahankan tubuh kak kades sehingga tidak sampai terjatuh.Di hadapan mereka, berdir