"Mbak, sudah tidur belum?" suara Nyonya Sandra dari atas tangga memanggil Sulati.
"Belum, Nya!" jawabnya sambil membuka pintu kamar, matanya melirik jam dinding di ruang keluarga menunjukkan pukul 22.35 WIB.
"Naiklah temani saya dulu!" perintahnya. Sang nyonya memang sedang tidur sendiri. Tuan tengah pergi berlayar, biasanya pulang dalam satu bulan hanya satu kali, tapi akan di rumah selama seminggu.
Malam ini hujan rintik-rintik, udara di dalam rumah yang sejak awal menempati terasa dingin, makin menjadi-jadi. Gadis muda dengan tahi lalat di bawah kelopak mata sebelah kanan itu merapatkan jaket yang dibelikan nyonya setahun yang lalu sebelum tinggal di sini. Kedua kakinya melangkah menaikki tangga.
Menapaki undakan ke empat, Ia merasakan hembusan angin di sekitarnya seolah sesuatu bergerak cepat tengah melintas.
"Brrr!" bibirnya bergetar kedinginan, kedua tangan dilipat erat menarik rapat ujung jaket berwarna biru tua. Bulu tengkuknya meremang.
Ia menoleh tempat Nyonya Sandra tadi berdiri, tapi tidak ada sosoknya. Ah, mungkin sudah masuk kamar. Sampai di atas ia mengetuk pintu kamar majikannya.
"Nyonya?" panggil Sulati. "Aneh sekali tadi memintaku menemani, lalu mengapa pintunya ditutup?" ucapnya lirih.
Ia menggerakkan gagang pintu, tapi terkunci.
"Ah sudahlah, sepertinya beliau tidak butuh teman," gumam Sulati.
Kembali ia menuruni anak tangga setengah berlari menuju kamar, kemudian menutup pintu lalu menguncinya.Ia membaringkan tubuh di atas dipan beralaskan kasur busa, meringkuk di bawah selimut sambil memejamkan mata.
Sulati ikut majikan pindah ke rumah tua yang masih terlihat bagus karena Tuannya dipindah tugaskan, sedang Nyonya Sandra selain dermawan beliau memperlakukan ART dengan baik, makanya tanpa ragu Ia mengikuti mereka.
Rumah kontrakan ini memiliki 4 kamar dengan luas sama besar. Tuan dan Nyonya menempati lantai dua yang terdiri dua kamar dan satu kamar mandi.
Lantai satu juga memiliki dua kamar di sebelah timur. Dapur dan kamar mandi di sebelah barat tersekat dinding yang membatasi ruang makan menyatu dengan ruang keluarga. Bentuk bangunan bagian bawah berleter L, ruang tamu diujung paling depan.
Di kamar tempatnya tidur terdapat dipan tua terbuat dari kayu jati yang sengaja dibiarkan oleh pemilik kontrakan untuk digunakan siapun yang menghuni rumah ini.
Sedetik kemudian Sulati sudah berada di alam bawah sadar melihat dirinya sendiri berjalan ke arah dapur.
"Hah!" Ia terkesiap, kedua belah tangan menutup mulut, mata membeliak, diafragma naik menahan nafas. Gadis itu menyaksikan lantai dapur ambles hingga beberapa meter ke bawah, remuk.
"Apa yang terjadi!" suara batinnya bertanya-tanya.
"Apakah baru saja terjadi gempa? Mengapa Nyonya tidak membangunkanku?" Hatinya terus saja penasaran, di antara reruntuhan lantai yang turun ke bawah menyembul sepasang sepatu putih bernoda darah, seukuran kaki gadis kecil dalam sebuah kardus yang terbuka, beberapa potongan helai rambut berada di sela-selanya. Sebuah kengerian nampak di sana.
Ia ingin berteriak memanggil Nyonya Sandra tapi seakan tercekat, tidak ada suara yang keluar dari mulut mungilnya. Sekuat tenaga berusaha mengeluarkan bunyi dari dalam mulut, tapi percuma. Pelayan itu kembali berlari ke ruangan lain. Semua tampak normal. Mengapa hanya lantai dapur? Ini bukan terjadi karena gempa. Sulati merasa ini hanya mimpi, tapi terlihat seperti nyata.
Otaknya berusaha mengembalikkan semua ingatan pada tempatnya, berusaha menyadarkan diri, bahwa ia sedang terjebak dalam bunga tidur yang mengerikan.
Sulati tersentak dari mimpi buruk yang melelahkan saat azan sepertiga malam. Tidak seperti daerah lain yang pernah ditinggali, wilayah ini ada kebiasaan azan satu jam sebelum waktu subuh. Pernah ia bertanya pada warung sembako di komplek ini, jawab mereka bahwa itu azan untuk yang bangun shalat tahajud. Saat subuhpun akan berkumandang panggilan shalat lagi. Setidaknya azan itu mampu membangunkan jiwanya yang tersesat di alam bawah sadar.
Sulati duduk di pinggir dipan, rasanya payah sekali seolah telah berlari jauh. Mata ingin tidur tapi rasa takut memaksa terjaga. Tiba-tiba siluet asap keluar dari sudut bawah dipan.
"Apa lagi ini?" batinnya mulai berbicara, lagi-lagi mulut terkunci, tubuh dan tangan kaku tak mampu digerakkan. Asap hitam membumbung memenuhi ruangan bagian atas kamarnya, membentuk sosok besar nan gelap.
Ia mendongak ke atas, menelisik dimana raut mukanya, tapi tak ditemukan, terlalu besar, pandangan gadis itu tertutup. Tiba-tiba dadanya serasa dihimpit batu besar.
"Kapan aku membaringkan diri? Apakah aku kembali tertidur?" batinya terus bertanya-tanya.
Sosok gelap itu duduk di atas dadanya, terasa ampek sekali. Kedua tangan Sulati berusaha menggapai pinggiran tempat tidur, tapi tak sampai. Ia berusaha meronta sekuat tenaga tapi sia-sia, tubuh dan anggota tubuh yang lain seperti lumpuh. Sayup-sayup terdengar azan subuh bersahut sahutan.
"Allaaah!" Sulati berusaha menjerit melafalkan nama–Nya yang jarang Ia penuhi perintah–Nya. Makhluk gelap itu mulai memudar membentuk asap tipis hitam yang perlahan hilang menyusup ke bawah dipan, entah karena azan atau karena lafadz yang diucap, ataukah karena keduanya.
Ia membuka mata dengan terengah-engah berusaha bangkit dan duduk tegak. Ia kepalkan tangan kanan memukul-mukul dada yang sejak tadi serasa sesak.
"Apakah ada mahluk halus yang bersemayam di kamar ini," gumamnya lirih. Angin semilir mengalir di sekitar kakinya yang terjuntai ke bawah. Dingin, ditarik kedua kaki ke atas. Dari kejauhan terdengar suara ayam berkokok saling besahutan. Nampaknya fajar mulai menyingsing. Untunglah.
Sulati membuka pintu kamar berjalan ke arah dapur, ingin memastikan kondisi lantai yang terlihat semalam.
"Lantainya baik-baik saja," gumamnya lirih. Gadis itu duduk jongkok lalu mulai mengetuk-ketuk tiap ubin, seperti ada sedikit rongga di bawahnya. Masih segar dalam ingatan tentang mimpi semalam seakan-akan nyata lantai ini ambles. Apakah ada sesuatu yang dipendam di bawah sini, mengingat apa yang terlihat di alam mimpi terdapat bercak-bercak darah di sepasang sepatu putih.
"Sedang apa, Mbak?"
Sulati menoleh, ternyata Nyonya Sandra berdiri di tengah pintu dapur memakai gaun satin berwarna putih dengan motif mawar jingga, rambutnya terurai lembut di bahu, sangat berbeda dengan penampilannya semalam yang nampak sedikit seram.
"Ini Nyonya memeriksa ubin, kok sepertinya tanahnya kurang padat," jawab Sulati.
"Biarkan Mbak! Bukan rumah kita," balasnya.
"Nyonya semalam memanggil saya untuk menemani, mengapa ketika saya datang ke kamar, Nyonya mengunci pintu?" tanya gadis itu selagi ingat peristiwa tadi malam. Istri Tuannya mengernyitkan dahi.
"Benarkah?" tanyanya ragu-ragu.
"Benar, Nya!" Ia jawab sambil menganggukan kepala agak kuat.
"Aku tidak yakin, apakah aku semalam memanggilmu, tadi malam aku memang bermimpi ketakutan, ingin memanggil Mbak agar menolongku, karena dikejar-kejar oleh sosok hitam berbadan besar," ceritanya, bola matanya nampak menerawang mengingat sesuatu."Oh, ya, aku ingin menanyakan sesuatu padamu." Nyonya Sandra menepukkan tangannya ke paha.
Kusuma memberikan bayi kekasihnya pada pimpinan paguyuban yang sedang duduk di depannya usai pemakaman Setya Ningrum.Pak Widjaya memciumi cucunya dengan penuh perasaan duka."Cucuku yang cantik semoga nasib baik menyertaimu. Jadilah gadis lembut," ucap Pak Wijaya sembari berdo'a penuh harap."Kusuma bisakah kau tambahkan nama Sofiya padanya? Aku ingin dia menjadi gadis yang lembut," pintanya."Njeh, Bapak," jawab Kusuma dengan tawaduk.Dua tahun setelah itu, Pak Widjaya menutup mata untuk selamanya. Anggota paguyuban pun bercerai berai. Kini tinggallah Kusuma hidup bersama Sofiya Harsa Sandra. Layaknya kasih sayang anak kandung. Kusuma mencari mata pencarian yang membuatnya tetap bisa mengawasi Sofiya.Pendidikan Kusuma yang hanya pernah masuk sekolah rakyat membuatnya kesulitan mencari mata pencarian yang layak. Sekolah Rakyat sendiri kini sudah berganti menjadi SD. Ia bertekad merantau ke kota Surabaya berbekal sisa-sisa harta penin
MISTERI RUMAH KONTRAKAN 20 Para anggota Paguyuban Kencono Alam tidak mampu berbuat banyak menyaksikan adik tersayang mereka dibawa polisi. Mereka terlambat datang ke rumah duka, sehingga hanya melihat sebentar mobil yang membawanya saat sedang melaju. Selepas magrib Pak Wijaya dan Pak Wardoyo pergi ke kantor polisi menanyakan bisakah anaknya dibebaskan. Mereka menjawab bahwa untuk sementara akan menyelidiki dugaannya terkait dengan kematian Kirana. Di dalam sel, Ningrum sendiri bertingkah aneh seperti tertawa sendiri, menggeram-geram dengan mata mendelik, kadang marah dengan mengumpat Larasati. Hal itu membuat sipir melaporkan pada atasannya bahwa ia mengalami dugaan gangguan jiwa. Untuk memastikaan hal tersebut dipanggillah Psikiater demi tegaknya diagnosa pada Ningrum. Akhirnya Ningrum dibebaskan karena dinyatakan kejiwaannya tidak se
Pelayan yang mengantarkan hidangan untuk makan siang melihat Larasati yang menangisi Kirana pada pangkuan Kakeknya. Dalam waktu sekejap berita lelayu meninggalnya anak almarhum Ki Lurah menyebar cepat lewat mulut para pelayan. Kembali penduduk berduyun-duyun mendatangi rumah duka. "Kasihan Bu Laras, baru saja suaminya meninggal. Eh, hari ini anaknya menyusul," ucap salah seorang warga. "Iya, sejak kedatangan sinden itu. Musibah beruntun menimpa Bu Laras." Warga lain ikut menimpali. Sementara Larasati menunduk lesu menatap jenazah putrinya. Ia tidak peduli dengan sekitar, sesekali ia menangis sesenggukkan, lalu menunduk diam lama, lalu menangis lagi. Rasa bersalah membiarkan anaknya keluar rumah menyeruak dalam hatinya, dada terasa sesak seolah ada batu besar menghimpit jantung. Disampingnya, Pak Mangun menepuk-nepuk punggung
Para anggota paguyuban yang perempuan masih menemani Setya Ningrum di rumah duka. Tatkala pukul sebelas malam barulah satu persatu pulang. Tinggallah hanya mereka bertiga yaitu Larasati, Kirana dan Ningrum. Larasati dan Kirana meninggalkan ruang tengah menuju peraduan mereka di atas. Sedang Ningrum punya rencana. Ini malam purnama. Gadis sinden itu mulai melakukan ritual yang sudah diajarkan oleh Kusuma siang tadi. Ia masuk ke kamar mandi membuka dua bungkusan. Satu berisi bunga tujuh warna, kembang serai dan garam Kasamba yang didapat oleh Kusuma saat perjalanan pulang. Satunya lagi ramuan entah apa dari Pamannya. Kedua ramuan itu ia tuangkan pada bak mandi. Ketika ia mulai mengguyurkan ke tubuhnya hawa kamar mandi berubah sangat dingin. Anehnya dari dalam tubuh justru memanas, sedikit bergetar seperti ada aliran listrik menjalar
Sepanjang perjalanan Kusuma merasa diikuti seseorang, tapi sesuai pesan Pamannya, sekalipun ia tidak berani menoleh ke belakang. "Padahal, waktu aku berangkat, perasaan biasa saja. Tempat yang biasa kulalui tidak pernah membuat bulu kuduk merinding. Apakah mungkin benda yang kubawa ini penyebabnya," pikir pemuda itu. Ia mempercepat langkah, setiap kali melewati hutan dan sungai, sayup-sayup terdengar seseorang bersuara berat memanggil-manggil namanya. Namun, ia pura-pura tidak mendengar apapun. Akhirnya Kusuma sampai pada sebuah bukit gundul yang dinamai oleh penduduk dengan sebutan gunung Kuncung. Dari situ, sudah terlihat dari kejauhan kebun teh membentang di desanya. Ia tersenyum. "Sudah dekat," gumamnya. Ia berlari-lari kecil menuruni bukit tersebut. Satu jam kemudian ia memasuki perbatasan desanya. &nbs
MISTERI RUMAH KONTRAKAN 16 Pagi sekali ketika azan subuh dilantunkan tidak ada anggota paguyuban terbangun selain Kusuma. Dengan membawa perbekalan ia pergi ke perbukitan gunung Anjasmara. Udara pagi yang dingin tidak menyurutkan langkahnya melalui jalan-jalan setapak dan melewati tujuh sungai serta lembah. Ia sampai pada sebuah desa terpencil dengan penduduk yang sedikit. Jarak rumah di situ berjauhan, mereka hidup dari beternak juga bercocok tanam. Ladang, sawah dan hutan jati luas terbentang sejauh mata memandang. Beberapa bunga liar menghiasi perbatasan jalan setapak. Seperti negeri peri yang menyimpan keelokan, sekaligus misteri. Kusuma berhenti di sebuah rumah terbuat dari papan-papan kayu jati dengan atap rumbia di sudut jalan desa. Diketuknya pintu yang memiliki tinggi hanya satu setengah meter. "Kulonuwun!" ucapnya. Seorang lelaki paruh baya berumur
Peristiwa pagi tadi membuat Ki Lurah tidak nyaman berada di kediamannya sendiri. Ia merasa sedang dimusuhi kedua istrinya. "Punya dua istri, tapi seperti tidak punya sama sekali, membuat kepalaku pusing saja." Ia menggerutu sambil menikmati secangkir kopi di bawah pohon belimbing, duduk di bangku panjang yang biasa dipakai oleh Larasati. Untungnya, meskipun Ningrum tidak bersikap seperti biasa, ia tetap mau meninggalkan secangkir kopi panas untuknya di dapur. Walaupun tidak menemani suaminya berbincang-bincang sebagai teman ngopi layaknya hari-hari sebelum kejadian pagi tadi. "Permisi, Tuan!" seorang laki-laki berperawakan tegap muncul di depan pagar rumahnya. Ki Lurah menoleh. "Sarto, ada apa?" tanyanya. "Ini, Tuan. Mau menyerahkan laporan penjualan daun teh," jawabnya. &
Sejak kejadian sore yang memalukan tadi, Ningrum segera masuk kamar. Rasanya tidak ingin dirinya terlihat Larasati lagi, ia ingin lenyap sementara waktu sampai dilupakan oleh orang yang menyaksikan peristiwa jatuhnya. Di dalam kamar baru dengan dipan yang baru pula, ia berbaring menatap langit-langit kamar rumah ini. Teringat dibenaknya pertemuan di kebun teh dengan Kusuma satu minggu setelah pesta pernikahannya. Saat semua saudara sepaguyuban mulai bekerja di lahan teh miliknya. Mereka berdua duduk di pondok darurat yang sengaja dibangun di tiap hektar lahan, guna istirahat sejenak melepas lelah.***Waktu itu. "Adik Ningrum, maafkan pertanyaan Akang sebelumnya. Apakah kau bahagia bersamanya?" tanya Kusuma, matanya menatap gadis yang selalu menghiasi mimpi-mimpi akan masa depan yang ingin ia lalui. Menjalin rumah tangga, melalui
Ningrum dan Ki Lurah pulang dari pelesiran, sampai di pagar mereka mendapatkan Larasati dan Kirana asyik menanami halaman mereka dengan tanaman hias. Meskipun jelas suara kendaraan datang dan berhenti di depan rumah, tetapi wanita itu sedikitpun tidak melirik ataupun menoleh pada siapa yang datang. Sebaliknya lelaki beristri dua itu juga tidak hendak menyapa wanita yang telah memberikannya keturunan. Ki Lurah Agung menyadari sepenuhnya ada perang dingin antara dirinya dan Larasati. Ia ingin tahu seberapa lama istrinya itu bertahan mendiamkannya. Satu minggu lewat tanpa ada sepatah katapun di antara mereka berdua. Sampai suatu hari Pak Sasongko datang membawakan dipan yang dipesan. Ia dengan dibantu salah satu centeng Ki Lurah merangkai papan serta ukiran kayu jati menjadi sebuah ranjang tidur yang unik terkesan mewah.