"Semalam setengah sadar aku mendengar suara bedebum di bawah, Apakah kau terjatuh?" tanya Nyonya Sandra menyelidik.
"Tidak, Nya, tapi ...." Sulati ragu untuk menjawab sempurna, karena dia sendiri tidak yakin dengan apa yang dilihat.
"Tapi apa?" tanya Nyonya yang dibalas oleh pelayannya dengan gelengan kepala. Dia tidak ingin menceritakan apa yang dilihat semalam dalam mimpinya. Kata Emaknya jangan ceritakan mimpi buruk pada organisasi agar tidak terjadi, Sulati tidak ingin mimpi itu jadi kenyataan, jadi dia memilih mulutnya rapat-rapat.
"Apakah Nyonya semalam memakai gaun hitam?" tanya Sulati lagi.
"Tidak," jawabnya sambil menggeleng, "semalam aku tidur dengan pakaian ini," lanjut wanita anggun itu.
Bulu tengkuk pelayan itu kembali berdiri mendengar jawabannya. Rasa aneh itu yang ada di pikirannya.
"Jadi siapa semalam, tepatnya makhluk apa?" tanyanya dalam hati.
"Lalu siapa wanita bergaun hitam yang berdiri di atas tangga semalam?" tanyanya pelan.
"Tidak ada siapa-siapa di rumah ini selain kita, Mbak!" jawabnya lirih.
"Nyonya merasa ganjil tidak dengan rumah ini?" tanya Sulati.
"Tidak, hanya mimpi buruk saja semalam, itu biasa karena kita baru saja menempati rumah ini," jawabnya.
"Ah, wajar kalau pemikirannya seperti itu. Rata-rata wanita berpendidikan tinggi memang tidak percaya hal-hal gaib, tidak sepertiku dan Emak di kampung," pikir Sulati.
Suara ponsel Nyonya berdering nyaring sekali membuyarkan percakapan antara mereka berdua. Bergegas wanita anggun itu naik ke tangga untuk mengangkat panggilan yang masuk. Biasanya Suaminya memang sering menghubungi terutama setelah subuh. Itu karena waktu subuh masih ada waktu longgar sebelum bekerja.
Sulati merebus air, sambil menyapu lantai bawah. Sebuah ketukkan pintu membuatnya mengehentikan pekerjaannya.
Ia membuka pintu, tampak seorang lelaki tua berpakaian lusuh memberikan seperti secarik karcis sebagai tanda agar dibayarkan tagihan pemungutan sampah rumah ini.
"Tunggu sebentar, Pak! " Sulati menanggapi uluran kertas pria itu dengan menyuruhnya menunggu di depan pintu.
"Nyonya, uang sampah bulan ini!" teriaknya.
"Ya, sebentar." Sang Nyonya menyahut nyaring dari lantai atas sambil menapaki tangga.
"Sudah berapa hari, Neng, tinggal di sini?" tanya Bapak tua itu.
"Baru beberapa hari, Pak," jawab Sulati.
"Hati-hati, Neng. Jangan biarkan pikiran Neng kosong, bisa bahaya!" Pemungut sampah mengingatkan pada Sulati dengan suara yang sengaja dipelankan sambil kepalanya celingak-celinguk menatap samping rumah, seolah takut didengarkan oleh seseorang.
"Memangnya ada apa, Pak?" tanya Sulati setengah berbisik. Namun percakapan mereka terhenti tatkala Nyonya Sandra sampai lalu menyerahkan selembar uang berwarna biru.
"Kembali sepuluh ribu ya, Bu." Pak tua menerima uang yang diulurkan padanya, lalu memasukkan ke dalam tas buluk yang disandang di pinggangnya. Ia mencari lembaran ungu sebagai kembalian.
"Gak usah, Pak. Untuk Bapak saja kembaliannya," tolak Nyonya Sandra.
"Terima Kasih," balas Pak tua. Nyonya Sandra tersenyum ramah, lalu membalikkan tubuh ke arah ruang keluarga.
"Oh ya, jangan bukakan pintu jika ada yang mengetuk tengah malam," pesan Pak tua pada Sulati sebelum meninggalkan tempatnya berdiri. Pelayan itu membalas dengan anggukkan kepala.
Kembali Sulati membersihkan tiap ruang, Ia membuka pintu kamar yang ada di sampingnya. Ruangan ini tidak terpakai karena ia sengaja memilih yang ada dipan kayu dengan ukiran yang tidak biasa. Unik kesan yang didapat, bentu kaki dipan juga menyerupai kaki manusia.
"Nanti malam akan kucoba tidur di sini saja, semoga tidak ada mimpi buruk lagi." gumamnya. Lalu ia memindahkan kasur busa di lantai bilik sebelah, juga pakaiannya dengan lemari yang terbuat dari plastik.
Selesai membersihkan bawah, Ia naik ke lantai dua membersihkan kamar di sebelah majikannya. Ia memutar anak kunci, tapi ketika menggerakkan ganggang pintu, terasa sulit sekali, sepertinya ada yang menahan.
"Cuma perasaanku saja," tepisnya sambil tangannya semakin kuat menekan ke bawah gagang pintu dan mendorong dengan menghentakkan tubuh ke daun pintu."Aduh!" rintih Sulati, tubuhnya terjerembab saat pintu terbuka lebar. Sekelebat bayangan putih melesat cepat, hilang dibalik tirai, ketika Sulati mencoba bangkit dan memandang arah di balik pintu. Ia mengucek-ngucek matanya tidak percaya dengan apa yang dilihat barusan.
"Apa itu tadi?" gumamnya.
"Tidak mungkin, di sini tidak ada seorangpun," Ia bangkit dan menyibak tirai. Cahaya matahari pagi menyeruak melewati kaca jendela. Segera ia membersihkan ruangan tersebut, agar bisa bergegas turun.
"Pasti karena berkas pantulan matahari tadi," pikirnya berusaha membuang perasaan yang selalu menyelimutinya.
"Seluruh bagian rumah ini tak nyaman disinggahi, selalu saja merinding, mana dinginnya aneh pula, cuaca secerah ini, tapi tetap saja terasa lembab," Sulati membatin.
Malam hari Nyonya Sandra duduk di atas Sofa dan si pelayan duduk di karpet bulu dekat kakinya di ruang keluarga. Mereka memilih menonton film dari channel luar negeri."Nya, film roman saja ya, jangan horor, saya takut," mohonnya.
"Ini bagaimana!" Nyonya Sandra memilih film korea.
"Iya yang itu!" balas Sulati dengan wajah senang.
Kaca layar LCD sedikit memberi pantulan yang tidak sengaja dilihat oleh Sulati. Sebuah sosok wanita cantik dengan sanggul adat jawa jaman dulu serta mengenakan kebaya biru tengah tersengal-sengal seolah dicekik makhluk besar hitam di belakangnya. Jantung Sulati berdetak sedikit lebih cepat, bulu kuduknya meremang, matanya mengerjap berkali-kali memastikan apa yang dilihat. Lalu ia memberanikan diri menoleh ke belakang. Tidak ada apa-apa. Ia menghela napas lega sambil memejamkan mata sejenak.
Nyonya Sandra memperhatikan tingkah laku Sulati yang sedikit aneh.
"Ada apa?"
"Ah, tidak, Nya," Ia tidak bisa mengatakannya karena beliau tidak akan bisa percaya, justru justru dikira berhalusinasi. Waktu seperti berjalan lambat, malam seolah panjang. Tidak terasa sudah lewat 2 jam, Sulati tertidur di tempat duduknya. Setidaknya itu yang terlihat di mata Nyonya Sandra.Desiran angin yang berputar-putar di luar terdengar oleh telinga wanita itu, tapi diabaikan begitu saja. Sesekali matanya sedikit berat.
Tok! tok! tok!
Suara nyaring ketukkan pintu membuat Nyonya Sandra bangkit dari duduknya, ia tidak tega membangunkan Sulati. Ia tidak tahu jiwa Sulati masih bisa melihat dan mendengar suara. Namun seperti malam sebelumnya, raga yang ia miliki tidak mampu digerakkan. Pelayan itu mendengar ketukkan pintu, ingin mencegah majikannya membuka, tapi semua seperti lumpuh. "Siapa?" tanya Nyonya Sandra memecah keheningan malam, karena suara TV dikecilkan hingga 0. Tidak ada jawaban. Wanita anggun dengan tubuh semampai itu menyibak hordeng ruang tamu untuk memastikan pemilik tangan yang mengetuk pintu. "Tidak ada siapa-siapa, apa aku salah dengar," ucapnya lirih. Ia membalikkan tubuh beranjak dari belakang pintu. &n
"Dulu sekitar 3 tahun yang lalu, terakhir ditinggali oleh seorang Kyai, namanya Kyai Sholeh, Neng," jawab Pak tua. "Mereka pemilik rumah ini, bukan?" "Bukan, cuma ngontrak juga." "Apakah mereka diganggu sesuatu saat tinggal di sini, Pak?" "Neng diganggu, ya?" "Ya, Pak. Semalam malah sesosok makhluk hitam berani menampakkan dirinya," ujarnya setengah berbisik. "Hiii...!" respon Pak tua. "Cepet-cepet pergi aja, Neng. Cari aman," saran pemungut sampah itu. "Keluarga Kyai itu bertahan lama gak, Pak?" tanya Sulati. "Sekitar 6 bulan kayaknya, Neng. Bayi mereka meninggal. Terus pindah, selebihnya saya gak tau," jelasnya.
Begitu sampai di rumah, Sulati menaruh sepedanya di teras, kemudian mengunci pagar. Ia masuk ke dalam rumah dan langsung naik ke lantai atas. Nyonya Sandra sedang memegang sapu tangan basah yang diletakkan pada keningnya, sementara tangan kirinya memegang ponsel. "Baru pulang, Mbak?" tanyanya sambil menoleh ke pintu melihat Sulati datang. "Iya, Nya. Ini paracetamolnya." Pelayan itu meletakkan paracetamol di atas meja kecil yang berada di samping ranjang. "Bawa buku apa itu, Mbak?" tanya Nyonya lagi. "Diktat shalat sama Juz Amma, Nya!" Mendengar jawabannya, Nyonya Sandra tersenyum meledek. "Mau tobat, Mbak?" "Iya, Nya. Takut keburu mati diterkam makhluk hitam," jawab Sulati asal-asalan. Jawaban p
Setelah mengunci kamar Nyonya Sandra, Sulati kembali menuruni tangga. Bersiap di belakang pintu sambil memejamkan mata mengigit bibirnya kuat-kuat membaca sebisa yang ia ingat di dalam hati. "Makhluk itu mungkin tidak bisa masuk dengan tubuh aslinya tapi entah jika memanfaatkan raga Tuan Dewangga. Tuhanku beri aku jalan keluar, selamatkan kami." Sulati terus memohon, hingga ketukkan pintu berubah menjadi gedoran kasar. "Bagaimana jika ia mendobrak pintu ini?" Baru saja ia berpikir seperti itu, tiba-tiba suara gebrakkan terdengar. Pintu terkuak dengan paksa, Tuan Dewangga memandang beringas menatap Sulati dengan mata merah membara. Sulati mundur beberapa langkah lidahnya mulai reflek mengucap kalimat tauhid matanya menatap tajam mata yang merah itu. Lelaki yang kerasukkan jin it
Tiga tahun yang lalu. Tok! Tok! Tok! Penghuni Kontrakkan yang baru datang dua hari yang lalu itu saling pandang. Mereka duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. "Le*, tolong dibuka pintunya!" perintah Kyai Sholeh pada Umar, putranya yang baru berumur 18 tahun. "Nggeh, Abi," jawab Umar. Remaja yang baru pulang dari pesantren itu berdiri menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Ia membuka hordeng jendela kaca ruang tamu, tapi tidak terlihat siapapun di sana. "Abi, tidak ada siapa-siapa di luar!" teriak Umar sedikit keras, agar yang di ruang keluarga terdengar. "Ya, sudah kalau begitu. Tidak usah dibuka!" jawab Abinya.&
Satu bulan telah lewat tanpa ada gangguan dari makhluk jelaga. Meskipun begitu keluarga Kyai Sholeh masih senatiasa rutin membaca Al Qur'an. Hingga suatu hari yang dinanti sang mkhluk tiba. Jam 05.00 setelah subuh. "Abi, perut Umi sakit!" Umi memegangi perutnya, sambil meringis menahan rasa mulas yang datang dan pergi dalam waktu berdekatan. Abi menghentikan bacaan Al-Qur'an kala mendengar rintihan istrinya. "Mungkin sudah waktunya melahirkan," pikir Abi. Ia bergegas menghampiri istrinya. "Abi antar ke bidan sekarang ya? Tunggu di sini," kata Kyai Sholeh. Ketika hendak berdiri, istrinya menahan tangan kanannya, wajahnya meringis menahan rasa sakit luar biasa. "Abi, bolehkan Umi tinggal sementara 3 bulan pasca melahirkan di rumah orang tua Umi?" mohonnya. Abi tidak ja
"Nduk, coba susui anakmu ini dari tadi menangis saja. Entah ada apa?" minta Emak pada anak perempuannya. Umi mengambil bayinya yang tengah menagis dari gendongan Emakn dan mulai menyusui. Namun ketika bayi mulai merasa nyaman dan mengantuk, ia tersentak. "Oeee ... oee ... oeee ...!" tangisan histeris bayi kembali menggema. Umi bingung dengan anaknya. Ia periksa popok, basah langsung dia ganti. Namun tangisannya tidak kunjung berhenti. "Assalamu'alaikum!" suara Abi dan Umar pulang dari masjid. "Wa'alaikum salam wr. wb!" jawab Emak dan Umi serempak. "Anak Abi kenapa menangis?" Abi mendekati anaknya sambil mencolek pipinya. "Iya, Bi. Entah kenapa setiap akan memejamkan mata selalu terkejut lalu histeris," jawab Umi.
Lima belas tahun yang lalu di rumah itu. Malam itu Ki Lurah Agung Jayengrana pulang larut, Larasati terbangun mendengar ketukan pintu. Wanita dengan pakaian adat jawa itu membenahi sanggulnya dan merapikan kebaya krem yang ia pakai lalu membukakan pintu untuknya. Namun Ia terdiam mematung saat berhadapan dengan sang tulang punggung keluarga. Ternyata ada gadis sinden di samping suaminya. Anak perempuan bernama Kirana yang masih berusia 5 tahun ikut terjaga manakala sang Ibu tidak di sampingnya. Ia segera berlari ke samping Larasati. "Ibu mengapa Bapak membawa Mbak Sinden ke rumah?" tanya Kirana lirih tangannya menggenggam lengan Larasati. Ibunya hanya mengelus kepalanya sekali. "Apa maksud Kang Mas, membawa gadis ini kemari?" tanya Larasati menyembunyikan luka yang men