Share

BAB 7

Sebuah rumah besar model tradisional yang tampak begitu megah dan anggun di tengah pelataran yang maha luas, Disebut maha luas, karena tidak terlihat adanya pagar atau tembok yang membatasi dengan alam sekitar. Sehingga bagian belakang rumah tampak seperti bertabirkan dan di lindungi oleh dinding bukit. Lalau lembah terbuka sebagai latar depan. Di mana pusat desa Rancabiuk serta hamparan luas sejumlah tambak yang terlihat samar-samar dalam keremangan malam yang bermandikan sinar rembulan.

Tok ... Tok ... Agung mengetuk pintu rumah, dan terdengar suara seorang wanita dari dalam.

"Siapa?"

"Aku Agung ... Agung Bratamangala." jawabannya dari balik pintu rumah itu.

Mendengar nama yang sangat ia kenal sang wanita bergegas berjalan menuju pintu rumahnya.

Pintu rumah di buka oleh Astuti, rangkulan erat dan hangat dengan sekujur tubuh gemetar di tambah pula sesenggukan Isak tangis. Yang mau tidak mau membuat air mata agung ikut keluar. Boleh di bilang, sebenarnya Agung lebih menghibur diri sendiri ketimbang Astuti, ketika kemudian ia menepuk-nepuk lembut pundak gadis itu seraya berujar terbata-bata.

"Sudahlah As, kuat kan hatimu. Dan ... marilah kita berserah diri ... pada yang maha kuasa ...!"

"Agung!!" ucap laki-laki yang menyusul di belakang sang wanita.

"Sudahlah masuk dulu," ucapnya pada tamu dan adik perempuan nya itu.

Kemudian perubahan itupun datang. Rumah besar, perabotan-perabotan antik yang di tata rapih dan sedap di pandang, lampu-lampu yang menyala terang benderang, perlahan-lahan tampak redup. Setelah Astuti memenuhi perintah Abangnya pergi ke dapur untuk membuatkan minuman, Sementara Agung baru menyadari bahwa di sebelah wajah serta leher tuan rumah laki-laki tampak adanya bekas luka-luka goresan. Memang sudah sembuh namun tetap meninggalkan jejak luka, walau samar-samar saja dan baru terlihat bila di perhatikan dengan jelas.

"Silahkan duduk." ucap Ariadi pada Agung saat mereka sampai di ruang tengah.

Agung sudah akan bertanya, Sewaktu Ariadi menghela nafas berat di tempat duduknya. Setelah mana sikapnya tau-tau menjadi serius. Dan tanpa kata pendahuluan ia langsung menyerbu.

"Tidak ada gunanya kita bermain kucing-kucingan, Gung!"

Agung tersentak. "Apa?"

Dengan suara serak, Ariadi berkata menuduh. "Tidak seorang pun pengemudi ojek di Baros yang bersedia mengantarkan mu ketempat ini bukan?"

Seketika Agung waspada. Namun tetap menjawab sejujurnya. "Pada mulanya memang begitu. Tapi entah bagaimana salah seorang dari mereka tau-tau berbaik hati mengantarkan aku, tetapi ... hanya sampai jembatan besi."

"Dan ojeknya tidak mogok kehabisan bensin!"

Dengan bijak dan tanpa kata agung menangapi dengan menganggukkan kepalanya saja, sementara sang lawan bicara pun ikut memanggut-mangut dan tampak dari sinar matanya meredup seakan kehilangan gairah. Begitu pula dengan suaranya yang terdengar sedikit getir. "Jadi setelah memaksa turun, dia pun dengan ketakutan beranjak pergi, iya toh?" ucap Ariadi menambahkan.

Lagi-lagi agung hanya mengangguk menanggapi dengan bijak.

"Apa saja yang mereka ceritakan?" tanya Ariadi kembali pada agung.

Agung Bratamangala bukan bukan seorang kapten polisi dan bergelar sarjana pula, bila terpancing begitu mudah. Lagi pula apa yang telah ia dengar hanyalah sebuah desas-desus. Sebelum ada fakta dan bukti nyata, pantang baginya berkicau seperti burung beo ... tanpa menggunakan otak, dan tanpa pertimbangan apakah orang lain atau bahkan pada dirinya sendiri mungkin hanya akan terhina.

Dengan makna tersembunyi Agung mengomentari. "Macam-macam, yang aku dengar Di."

Ariadi tidak menuntut sang kakak ipar untuk menjelaskan apa saja macam-macam itu, ia justru menuntut yang lain. "Aku minta, janganlah kau mempercayai semua omong kosong itu!"

"Terlalu" Pikir Agung. "Di minta bukan di harap" ucapnya dalam hati, merasa di tekan ia pun memancing balik. "Omong kosong apa?" tanyanya pada sang adik ipar.

Ariadi termakan umpan. Ia menjawab gemetar, "Rina memang benar di patuk ular. Tidak lebih dari itu, bahwa rohnya konon bergentayangan, bukan karena..." belum lagi ucap itu sempurna tiba-tiba.

"Apa-apaan kau ini kang!" Astuti yang sudah kembali dari dapur, memotong kalimat saudara laki-lakinya dengan nada sengit. "Kau sudah berjanji!"

Ariadi terengah. Setelah membela diri ia berkata. "Agung sudah terlanjur mendengar dari mereka. As ..."

Astuti membuang nafas kasarnya, dan meletakkan secangkir minuman di atas meja di hadapan Agung. Sambil memperotes. "Sudah mendengar atau belum, tidaklah patut membicarakannya sekarang ini. kang agung masih lelah. Dia perlu istirahat. Dan juga perlu di hibur. Bukan di ajak bergunjing untuk tentang urusan menyakitkan itu. Apalagi menyangkut dengan nama baik adiknya pula!"

"Rina istri ku, As ...." Ariadi merintih, sambil duduk kaku di kursinya.

Astuti menyahut dengan tegas. "Maka, hormatilah Rina. Apalagi dia sudah ... meninggal!"

Penekanan lagi, pikir Agung.

"Ada apa sebenarnya di rumah ini!?" ucap Agung dalam pikirannya.

Ariadi yang sangat terpukul oleh kata-kata adik perempuannya menggeliat resah. Sama resahnya dan kemudian mengakui. "Kau betul As. Dan kau Gung ... maaf karena barusan aku kurang bisa mengembalikan diri."

Sebagai tamu Agung menangapi dengan bijak. "Lupakan saja!"

"Apakah kau ingin langsung pergi tidur Gung?"

"Aku belum mengantuk!"

Dengan menggeliat resah sekali lagi, Ari berggumam lirih. "Kalau begitu kalian berdua aku tinggalkan untuk berbincang-bincang? karena aku masih ada urusan di luar sana ...!" Ariadi bangkit dari kursinya, lalu pergi berjalan dengan kepala merunduk dalam dan kaki yang melangkah lesu.

Sang adik Astuti hanya mampu melihat dengan pandangan prihatin. Dan setelah terdengar bunyi pintu depan di buka lalu ditutupkan, Astuti berucap lirih. "Sudilah memaafkan sifat Ariadi yang kurang santun, kang Agung. Semenjak di tinggalkan Rina, dia benar-benar kacau...."

"Tak apa, aku dapat memakluminya!" Agung menanggapi lantas mendadak terdiam sendiri.

Benarkah? sejauh manakah ia telah memahami diri sang adik ipar?.

Kenalpun boleh di bilang sepintas lalu. juga hanya bagian luarnya saja. Yakni, pada hari pertama sebelum dan sesudahnya Ariadi resmi mempersunting Rina menjadi istrinya. Sehingga Agung benar-benar buta mengenai bagian dalam diri Ariadi. Jika pun tahu sedikit-sedikit, hanyalah dari surat-surat atau pembicaraan Rina melalui telepon interlokal yang rutin ia terima ... palingan juga hanya satu kali dalam seminggu.

Astuti yang juga sempat berdiam diri, menghela nafas. "Sewaktu di tinggal mati oleh Lidya, Ariadi memang berduka cita. Namun tidaklah sekacau ini!" ucap Astuti dengan pandangan jauh kedepan.

Agung yang mendengar sedikit mengerakkan bola matanya ke arah Astuti yang berada di sampingnya.

"Lidya?" Agung berpikir sejenak dan- "Oh ya ya, istri pertama Ariadi," dalam pikiran nya ia berucap. "Lidya yang meninggal karena penyakit gagal ginjal kronis. Rina pernah beberapa kali menyinggung tentang istri pertama suaminya itu." ucap agung dalam hati.

"Iya Lidya, sepupu dekat kami, dan mereka di jodohkan oleh orang tua kami dengan kang Ari, karena berhutang Budi, dan Ariadi tidak merasa bahagia atas pernikahan itu." ucap Astuti.

"Benarkah?...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status