Agung Bratamanggala tiba-tiba merasa gelisah. "Apa sebenarnya yang sudah terjadi?" pikirnya. Kegelisahan dan di tambah udara malam yang gerah membuat Agung berkeringat ... seperti ketika tadi ia di paksa harus berjalan kaki sejak dari tanjakan. Segera agung turun dari tempat tidur, dan membuka kemejanya lalu di gantungkan pada kapsok yang tersedia di dekat pintu. Barulah ia menyadari bahwa senjatanya masih tetap ia sandang. Pistol beserta sarungnya itu ia lepas pula dan di gantung kan pada tempat yang sama.Senjata itu mengingatkan Agung pada sosok kera besar yang bermata merah darah yang kepergok dengannya di tanjakan gelap tadi. Mahluk itu bukanlah sekedar halusinasi, karena telah di kuatkan oleh penghuni rumah yang perdebatkan mereka secara kebetulan terdengar oleh telinga Agung. "Seperti nya mahluk itu sudah pergi buk!" lalu bantahan sang istri. "Belum tentu, mungkin saja ia bersembunyi... menunggu seseorang keluar untuk di mangsa!"Agung tidak di mangsa. Agung di biarkan tetap hi
Tahun 1995Jerit tangis bayi membangunkan Joko dari tidur pulas ya, kesal merasa terganggu, pundak istrinya yang sedang mengorok ia guncang tidak sabar."Hei! bangunlah, tuh anak mu mau nyusu!" ucap Joko dengan kesal.Sang istri yang masih setengah sadar, dengan terpaksa melangkah menuju box bayi, untuk melihat keadaan si bayi yang sedang menangis. Sementara Joko yang akan tertidur kembali, mendadak teringat bahwa malam ini ia harus membuka pintu air untuk mengisi tambak-tambak yang sudah di kosongkan dua Minggu sebelumnya. Tambak-tambak tersebut, sudah di betulkah serta di cuci hamakan, dan saat ini lumpur nya sudah cukup kering untuk di isi air dan sorenya akan di tabur bibit ikan di dalamnya."Popoknya basah!" ucap Ani memberi tahu, jelas dengan maksud agar si suami mau membantu untuk mengambilkan popok pengganti.Joko dengan cepat turun dari atas kasur, tetapi tidak untuk memenuhi permintaan sang istri, melainkan langsung menuju pintu kamar dan pergi menuju kamar mandi yang ada di
"Hantu ya?" ucap wanita dengan lembut sekaligus tertawa kecil. "Apa memang kaki ku tidak menginjak tanah, Joko?" sambungannya dengan tersenyum kecil.Joko dengan reflek melihat ke arah si kaki wanita dan jelas saja, kaki wanita itu memang menyentuh tanah, Joko tersenyum malu bercampur segan. "Maaf, tapi mengapa juragan putri sampai di tempat yang sunyi ini? tengah malam buta lagi!" tanya Joko dengan sedikit segan."Suamiku mendengkur seperti kerbau," ucap wanita dengan raut wajah mengeluh. "Aku lantas tidak bisa tidur, mana udara di dalam rumah gerahnya bukan main," ucapnya dengan nada mengeluh. dan selanjutnya ia sedikit membuka gaun tidur di bagian pundaknya.Melihat pemandangan tersebut segera Joko menunduk dan dengan segan berkata, "Harusnya juragan putri ada yang menemani." ucapnya dengan dengan segan tanpa melihat ke arah si wanita.Dalam jilatan sinar rembulan samar-samar tampak mata si wanita melirik nakal dari arah sudut matanya."Sekarang sudah!" ucapnya dengan nada manja da
Para pengemudi ojek yang berpangkalan di mulut desa Baros, wilayah terjauh di kecamatan cililin kabupaten Bandung, menatap serempak pada bus kendaraan umum yang berhenti perlahan di bawah lampu jalan yang bersinar redup.Tidak ada yang berdiri ataupun merebut calon penumpang. Karena mereka sudah terbiasa membiarkan calon penumpang memilih sendiri ojek yang di sukai. Mereka juga menyepakati perjanjian yang tidak tertulis, apabila salah satu ojek terpakai terus menerus sementara yang lain kebanyakan menganggur, maka ojek yang laku keras itu harus berbagi sedikit rezeki nya pada rekan-rekan yang kurang beruntung. Baik itu berupa uang, maupun beberapa batang rokok atau juga dengan berpura-pura mengutak-atik sepeda motornya yang tidak mengalami kerusakan apapun, seraya menganjurkan si calon penumpang untuk naik ojek yang lain saja.Hanya satu penumpang yang turun dari kendaraan umum itu, dan kembali bus itupun melanjutkan perjalanannya. Seorang laki-laki yang berusia sekitar 30 tahun, berp
"karena apa?" Desak agung yang masih kesal.Kemudian para pengemudi ojek itu saling bertukar pandang, lalau salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk membuka mulut."Jadi begini om, semenjak wanita rembulan itu muncul, sudah tiga orang yang jatuh sebagai korbannya. Dan tak satu orang pun dari kami yang mau menambah jumlah dari korban itu, konon lagi harus mati secara mengerikan!" ucap salah satu tukang ojek itu."Mengerikan bagaimana?" tanya agung dengan keheranan."Yah-" si pembicara tampak bimbang sejenak, lalu setelah mencoba menenangkan dirinya barulah ia meneruskan ucapannya. "Sudah tubuh tercabik-cabik leher robek menganga, serta darah pun di hisap habis pula." ucapnya dengan bergidik ngeri.Agung gemetar mendengarnya. Gemetar bukan karena ngeri. Melainkan karena marah bercampur perasaan yang amat perih di dalam hati.Agung memang sudah tau bahwa adiknya Rina sudah meninggal, dan maksud kedatangannya ketempat ini dengan maksud berziarah, tetapi apa yang ia dengar, sungg
Agung baru saja ingin membuka mulut sebelum kendaraan berhenti perlahan-lahan. "Saya mengantar sampai di sini saja, om." ucap Hendra dengan lirih.Agung memperhatikan jalan di depan mereka yang diterangi oleh cahaya lampu sepeda motor Hendra. Tampak sebuah jembatan yang lumayan besar yang terbuat dari balok kayu yang di kombinasi dengan lempengan baja yang tebal di sisi-sisi jembatan itu. Di seberangnya tampak pula jalanan yang menanjak di antara pepohonan yang berdaun rapat dan rimbun.Sadar dengan Hendra yang mulai gelisah, mau tidak mau agung terpaksa harus turun. Barang bawaannya di simpan hati-hati di atas rerumputan liar yang tumbuh subur di pinggir jalan. Lalu dompet nya di cabut dari saku belakang celana. Belum juga dompet itu sempat dibuka, Hendra sudah memutar sepeda motornya ke arah semula seraya berkata tergesa-gesa. "Lupakan saja om!" ucapnya pada Agung."Hei ....""Yang pernah saya terima dari almarhumah, sudah lebih dari cukup," potong Hendra tegas. "Selamat malam om.
Agung terus melihat kearah menghilangnya sang mahluk. Seketika ia tersadar dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya.Dengan perasaan berkecamuk dan campur aduk pistol yang masih dia pegang kini kembali di masukkan kedalam sarungnya. Sengaja tidak langsung dikuncikan begitu pun dengan bagian kemeja yang di biarkan setengah terbuka. Siapa tahu sewaktu-waktu senjata itu di pergunakan kembali. Tujuan perjalanan Agung memang tidak seberapa jauh lagi, tapi mungkin saja bahaya masih tetap mengintai.Tas yang tadinya berpindah ketangan kiri kini dipindah kembali ke tangan kanan. Setelah melewati tanjakan, Agung pun tiba di tempat tujuan yakni kampung Rancabiuk yang rumah-rumah penduduknya tampak berdampingan di kiri dan kanan jalan. Tampak lampu-lampu menyala lebih terang di bandingkan dengan sebelumnya yang terlihat di bawah sana. Namun suasana yang di temui masih tetap sama yakni sunyi senyap mencekam. Tidak tampak adanya manusia di jalan atau hanya sekedar duduk di teras rumah, tida
Sebuah rumah besar model tradisional yang tampak begitu megah dan anggun di tengah pelataran yang maha luas, Disebut maha luas, karena tidak terlihat adanya pagar atau tembok yang membatasi dengan alam sekitar. Sehingga bagian belakang rumah tampak seperti bertabirkan dan di lindungi oleh dinding bukit. Lalau lembah terbuka sebagai latar depan. Di mana pusat desa Rancabiuk serta hamparan luas sejumlah tambak yang terlihat samar-samar dalam keremangan malam yang bermandikan sinar rembulan.Tok ... Tok ... Agung mengetuk pintu rumah, dan terdengar suara seorang wanita dari dalam."Siapa?" "Aku Agung ... Agung Bratamangala." jawabannya dari balik pintu rumah itu.Mendengar nama yang sangat ia kenal sang wanita bergegas berjalan menuju pintu rumahnya.Pintu rumah di buka oleh Astuti, rangkulan erat dan hangat dengan sekujur tubuh gemetar di tambah pula sesenggukan Isak tangis. Yang mau tidak mau membuat air mata agung ikut keluar. Boleh di bilang, sebenarnya Agung lebih menghibur diri se