Share

BAB 8

Pertanyaan itu terjawab sendiri sewaktu Asti melanjutkan kisahnya.

"Selama 3 tahun pernikahannya, tawa Ariadi terdengar langka. Dia berubah jadi pendiam dan sering menutup diri, alangkah mencolok perbedaannya setelah Ariadi bertemu dengan Rina, dia seperti menemukan hidupnya kembali. Ceria dan terbuka pada siapa saja. Bahkan semasih masa-masa remajanya pun belum pernah aku melihat Ariadi sebahagia hari-hari yang di lalui nya bersama Rina."

Agung menghela nafas dan berkomentar dengan wajah yang di paksakan tersenyum. "Aku senang mendengarnya."

"Itu pula sebabnya kak Agung, mengapa akang sewaktu diopname, kami tidak sempat berkunjung, akang tentunya masih ingat ketika akang tertimpa musibah, Rina justru baru saja meninggal," ucap Astuti dengan wajah murung. "Nah dan waktu itu pula Ariadi hampir gila karenanya. Aku lantas tak Minggu meninggalkan dia sendirian. Jangankan berkunjung kelahat, pekerjaan yang sebagai kewajiban ku pun terpaksa harus ku tinggalkan, bahkan dengan resiko di pecat." sambung nya.

Sejenak hening di antara obrolan mereka, dan Agung mengawasi sosok gadis semampai di hadapannya, lalu bergumam simpatik. "Pantas kau tampak lebih kurus dari apa yang aku bayangkan sebelumnya!"

"O ya?" Astuti menyeringai kecut. "Kalau itu benar kang, semata-mata bukan di karenakan Ariadi atau diriku sendiri. Tapi Rina. Dia ... dia ..." Seperti mendadak kehilangan pegangan, Astuti tiba-tiba menutupkan wajah di kedua telapak tangannya, pundak gadis itu terguncang keras ketika ia merintis sakit, " Ya tuhan mengapa semua ini mesti terjadi?!" ucapnya dengan sedikit terisak.

Agung yang sudah akan bangkit untuk merangkul dan membujuk, dengan perlahan duduk kembali. karena dengan cepat tangan Astuti sudah di turunkan. Dan kepalanyapun kembali tegak angkuh. Dengan pipi di basahi air mata gadis itu memaksakan senyum pada bibirnya yang pucat.

"Enaknya tadi aku menegur kang Ari, Sementara aku sendiri..." dengan nada bergetar ia menatap lurus tamunya, lantas melanjutkan. "Camkan dan ingat-ingat selalu, Kang agung. Apapun yang sudah terjadi, sesungguhnyalah aku dan Ariadi teramat mencintai adik mu, tuhan jadi saksi ku!"

Tak ubahnya seorang pesakitan yang tidak di beri hak membela diri apalagi menuntut, kapten polisi Agung Bratamanggala seketika terdiam, tanpa kata.

***

Setelah memindahkan isi tas kelemari yang tersedianya di kamarnya, Agung langsung rebah di tempat tidur ... dengan pikiran menerawang tidak menentu. Dari setumpuk persoalan yang mengaduk-aduk pikiran nya, yang paling terkesan adalah ketidak puasan. Pembicaraannya dengan tuan rumah kk beradik itu bersifat sambil lalu. Dan lebih merupakan basa-basi antar keluarga yang tertimpa musibah.

Namun dari pembicaraan sambil lalu tersebut, Agung menemukan kejanggalan yang perlu di pikirkan dalam-dalam. Sebagai contoh ucapan Ariadi tadi. " Memang benar Rina di patuk ular ...."

Itu sudah di ketahui Agung lewat telepon interlokal dikantornya di lahat, yang kemudian di teruskan kerumah sakit tepatnya diopname. Astuti yang menelepon dan kemudian mengirimkan surat untuk memberi penjelasan lebih rinci.

"Lantas mengapa Ariadi perlu mengutarakannya kembali tanpa di minta? dengan pilihan kata yang mengherankan pula." pikir Agung. "Dan seakan Ariadi menghindari pertanyaan dari ku!" gumamnya pelan. "Yang belum tentu ada! Malah sepertinya Ariadi meyakinkan ku bahwa memang demikianlah kenyataannya." Agung terus berusaha memecahkan teka-teki dalam pikirannya.

"Walaupun rohnya konon bergentayangan, bukan karena...."

Sayang Astuti keburu muncul. Namun lanjutkan kalimat yang terputus itu mudah saja di tebak Ariadi bermaksud menangkis desas-desus yang agaknya sudah mewabah di luar rumah mereka. Tapi mengapa Ariadi harus khawatir Agung mempercayai rumor itu, seolah Agung seorang anak kemarin sore? ataukah mungkin rumor itu benar adanya?

Agung Bratamanggala mencoba menganalisa. Bunuh diri. Sangat tidak masuk di akal, Agung tahu betul siapa Rina. Yang dalam keadaan tersuruk bagaimanapun selalu menemukan ide atau jalan keluar agar tidak sampai larut oleh frustrasi, contoh paling nyata. "Walaupun kita tidak mungkin menikah. kang Agung. Aku akan mencintaimu selalu, aku tahu suatu hari kelak pada akhirnya kau harus menikah dengan wanita lain, namun tak usah khawatir. Aku juga akan menikah lelaki lain tanpa harus mencintainya!"

Jadi Rina bukanlah tipe orang yang lekas putus asa. apalagi sampai nekat bunuh diri.

Kesimpulannya: Persetan!

Sekarang mati di bunuh. Ada dua unsur yang paling umum mengapa seorang suami sampai tega membunuh istrinya, atau sebaliknya.

Pertama, materi.

Memangnya berapa banyak sih milik si Rina? Sebagai mana yang Agung tau, ayah mereka yang sudah almarhum adalah seorang polisi. Tetapi dengan pangkat sersan. Tidak banyak meninggalkan harta. Kalau pun ada, bagian Rina sepenuhnya di bagikan pada agung. "Pergunakanlah kapan saja kang Agung merasa perlu." ucap Rina. "Aku tidak membutuhkannya, Apa yang aku butuhkan adalah diri dan cinta kang Agung!" tambahnya lagi.

Tabungan Rina selama bertugas sebagai pramugari udara? "Biarpun sudah ku tanamkan dalam usaha yang di kelola Ariadi, kami telah membuat perjanjian tertulis di hadapan notaris. Selama kami belum memperoleh keturunan, Kang Agung lah yang berhak sebagai satu-satunya ahli waris ku...."

Jelas untuk urusan materi sebaiknya di singkirkan. Tinggal unsur kedua, skandal seks.

Dari pihak Rina, mustahil. Rina bukanlah tipe yang murah meriah yang suka gonta-ganti lelaki. "Hanya kang Agung seorang yang ada dalam hatiku, bila pun kelak ada yang lain, maka dia akan menjadi orang kedua namun sekaligus yang terakhir dalam hidupku..."

Dari pihak Ariadi, mungkin? Sulit di percaya. "Percayakah kau kang Agung? Ariadi ternyata mencintai dan memuja diriku melebihi apa yang aku sendiri harapkan!" Dan barusan tadi, Astuti menguatkan. "Tuhan jadi saksi ku!"

Jadi kesimpulannya bukanlah materi atau skandal seks. Ada banyak kemungkinan lain, tetapi setelah ditimbang-timbang, Agung kemudian memutuskan tak Sudi berpusing-pusing memikirkan nya. Paling tidak untuk malam ini. Toh yang di pikirkan juga sudah mati dan dikebumikan. Untuk sementara tidak banyak lagi yang dapat diperbuat. Kecuali mendoakan semoga Rina damai di alam kubur.

Atau, seperti apa yang telah di tegaskan oleh Astuti pada saudaranya. "Hormatilah Rina, apalagi dia sudah meninggal!"

Terasa adanya unsur tekanan dalam kalimat Astuti itu. Mengherankan, memang. tapi mungkin saja itu di maksud agar Ariadi tau diri. Dan kemungkinan, Ariadi belum rela menerima kenyataan bahwa istri yang dia cintai telah tiada di dunia ini.

Astuti.

Gadis itupun tidak kurang mengherankan, alangkah berbeda cara Astuti menyatakan kematian Rina dengan Lidya. Pada Rina :"Semenjak di tinggalkan." Tetapi pada Lidya:"Semenjak di tinggal mati." mengapa demikian? Ataukah mungkin Astuti sama seperti Ariadi yang belum rela menerima kematian Rina? Ariadi, okelah dia sama Rina. Akan tetapi seorang adik ipar, meskipun sekaligus dia sebagai sahabat dekat. Terasa agak janggal. Lebih janggal lagi, Apa yang tadi dirintihkan Astuti. "Mengapa ini harus terjadi?!" masih ada lagi: "Camkan dan ingat-ingatlah selalu, kang Agung, apapun yang sudah terjadi ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status