Suara mendebam mengejutkan Marcus. Kepala pelayan itu baru saja hendak menutup garasi ketika telinganya mendadak menjadi pekak.
Sejenak dia terdiam, dan ketika pikirannya bekerja, dia pun hanya geleng-geleng kepala. Pasti Levin Chayton demikian marahnya hingga membanting pintu kamar tidurnya. Kebiasaan yang sudah sangat dihapal oleh seluruh pelayan Mansion.
Lelaki itu sangat mudah menundukkan wanita, tapi tak pernah bisa memenangkan hati ayahnya. Sikap egois dan tak sabarannya, sungguh bertentangan dengan Devin Chayton. Devin adalah warisan Andrew. Sedangkan Levin adalah cetakan Sabrina Brice.
Marcus tidak bisa membayangkan bila suatu ketika Sabrina Brice muncul di Mansion Batista. Pasti Levin akan berlindung di ketiak ibunya.
Bukan hal yang mustahil, karena Marcus mendengar selentingan wanita jalang itu tinggal di kota sebelah. Kabar buruknya adalah dia berprofesi sebagai wanita panggilan spesialis pejabat elit dengan memakai nama alias. Marcus berharap itu hanya kabar angin, dan dua pemuda itu sudah melupakan wajah ibunya.
Namun bila suatu ketika itu terjadi, Marcus sudah mempersiapkan seisi Mansion Batista untuk menendangnya, seperti perintah Andrew Chayton. Tidak ada satu wanita pun yang boleh memasuki Mansion Batista selain dokter Bella dan pelayan paruh waktu. Selama ini Levin kerap menyelundupkan teman-teman wanitanya, hanya bila ayahnya tidak berada di rumah. Sampai semua pelayan sudah capek melapor ke Andrew, sehingga kerap membiarkan mereka. Toh nanti bila Andrew mengecek CCTV, dia akan tahu sendiri ulah anak bungsunya.
Devin muncul di garasi. Masih dengan setelan jas hitam pikat. Marcus menatap sandal yang dipakai Devin. Sungguh aneh, Tuan Muda-nya tidak mengenakan sepatu, padahal masih memakai jas.
Baru saja Marcus hendak membuka mulut bertanya, Devin memulai bicara lebih dulu.
"Bella sudah pulang?" Pertanyaan Devin disambut anggukan oleh Marcus.
"Marcus, ayah meminta Levin untuk diawasi 24 jam. Dia tidak boleh membawa teman wanita lagi sampai enam tahun ke depan. Harus di rumah sebelum gelap dan baru keluar rumah ketika terang."
Marcus mengangguk. Tidak perlu bertanya apa alasannya. Seisi Mansion punya telinga yang lebih tajam darinya. Besok sudah bisa dipastikan, para pelayan akan membicarakan tuan muda mereka sepanjang hari. Kasusnya bersama Jane tukang cuci piring saja masih menjadi pembicaraan hangat di sela jam istirahat pelayan.
Devin hendak berlalu menuju kamarnya ketika ada suara-suara pelayan di pintu gerbang. Sepertinya ada seseorang yang akan bertamu.
"Oh ya Marcus. Kamu tahu Cindy Lau? Wanita yang dibawa Levin sekitar sebulan yang lalu?"
Marcus mengingat sejenak. Lalu mengangguk. "Wanita sipit dari kota sebelah. Saya ingat, dia makan sangat banyak."
"Dia masuk black list. Sebenarnya, semua wanita adalah black list untuk Levin. Tapi untuk Cindy Lau, kau boleh menelpon polisi bila wajahnya nampak di CCTV."
Marcus mengangguk hormat. Dia kembali menoleh ke arah gerbang. Tampak tiga pelayan di sana sedang mendebatkan sesuatu. Devin mengarahkan dagunya ke sumber keributan, meminta Marcus dengan tatapan matanya untuk mensenyapkan Mansion Batista. Sudah lewat tengah malam, semua orang harus beristirahat.
"Sebelum saya bereskan mereka, boleh saya tahu siapa Cindy Lau, Tuan? Kadang pelayan perlu tahu siapa yang mengetuk gerbang, agar mereka mudah menolak tamu.'
Devin tampak malas hendak menjawab. Namun melihat sorot mata penuh tanggung jawab Kepala Pelayan Batista yang sangat dipercayanya itu, Devin akhirnya membuka mulut. "Dia anak Sabrina Brice. Entah dengan lelaki mana."
Marcus menelan ludah. Wanita itu memang layak dipanggil jalang.
***
Devin baru saja menggantung jas hitam pekatnya ketika terdengar ketukan lirih di jendela kamarnya.
Hanya Marcus yang punya ketukan rahasia. Ketukan yang tidak akan terdengar oleh Levin apalagi Andrew Chayton. Kamar Levin berseberangan pintu dengan kamar Devin, hanya dipisah oleh ruang untuk menonton televisi. Sedangkan kamar Andrew ada di lantai dua, harus menaiki tangga. Bila Andrew berdiri di depan pintu kamar dan bersandar di pagar tangga, dia bisa berteriak memanggil dua anaknya. Maka pintu kanan dan pintu kiri dari anak tangga akan terbuka dengan segera.
Marcus dan Devin punya cara rahasia untuk memanggil Devin keluar kamar, tanpa diketahui oleh Levin atau Andrew. Sejak kecil, Marcus kerap mengajak Devin untuk melihat kembang api dari belakang mansion. Tempat hiburan DunnLand, terletak hanya tiga kilometer di belakang Mansion, dan setiap akhir pekan ada pesta kembang api yang nyalanya kelihatan dari belakang Mansion. Ketukan di jendela, pertanda Devin harus keluar kamar tanpa menimbulkan kecurigaan ayah dan adiknya.
Devin membuka tirai, melihat wajah panik Marcus. Berucap dengan bibir bergerak tanpa suara. Dia dalam kesulitan.
Devin membuka pintu kamar tanpa suara, berpura cuek dan menuju garasi. Sempat dilihatnya Levin masuk ke dalam kamar sembari membawa segelas susu. Anak itu tak pernah absen minum susu sebelum tidur.
"Ada apa, Marcus?" Dilihatnya Marcus berada di ujung taman, melambai ke arahnya. Setelah Devin memperpendek jarak, Marcus mendekatkan bibirnya ke telinga Devin, membuat majikannya terpaksa membungkuk.
"Ada seorang gadis, pelayan menemukannya di depan gerbang."
Devin mengernyit. "Teman Levin? Selarut ini? Kau tahu apa yang harus dilakukan."
Marcus menggeleng. "Sepertinya, seseorang telah mencelakainya. Dia berusaha kabur dari seseorang dan mencari pertolongan. Lengannya terluka dan berdarah. Dia nampak sangat payah. Dia pingsan."
Kalimat Marcus belum usai, Devin sudah mendahuluinya menyusuri selasar. "Di mana dia?"
**"
Gadis itu berambut coklat gelap dan mengenakan gaun hijau muda. Lengan berdarahnya membuat gaunnya menjadi berwarna pekat.
Satu hal yang pertama kali tertangkap mata oleh Devin adalah gadis yang tampak berumur belum dua puluh tahun itu, memakai sebelah sneaker yang belepotan lumpur.
Pelayan membaringkannya di atas tempat tidur, di kamar Marcus. Beberapa pelayan di Mansion Batista pernah diberi pelatihan pertolongan pertama oleh Dokter Cleve Artwater. Dia juga menyediakan peralatan medis sederhana di setiap kamar. Luka berdarah seperti gadis itu, bisa diatasi sendiri oleh pelayan. Namun selanjutnya tentu saja harus menghubungi dokter Cleve, atau Bella.
Dua orang pelayan dengan hati-hati menggunting lengan baju gadis itu, lalu membersihkan darah yang masih mengalir. Devin mendekat dan mengamati lukanya. Ada yang menghentak dadanya ketika melihat bekas luka dalam yang masih berdarah segar itu.
Luka bekas peluru.
“Dari mana gadis ini?” tanya Devin berusaha bersikap tenang di hadapan pelayannya. Ingatannya sontak tertuju pada pekerjaan kecilnya beberapa jam yang lalu. Jangan-jangan gadis ini adalah …
“Dia tidak sempat bicara, langsung pingsan, Tuan,” ucap Marcus. “Tapi tadi para pelayan sempat mendengar dia minta tolong. Ada yang mengerjar dan hendak membunuhnya.”
Berarti bukan, bantah Devin dalam hatinya. Meski dia tidak membereskan pekerjaan kecilnya, dia tidak mengejar dan memburu korbannya. Tak pernah ada dalam kamus The Vow pekerjaan seperti itu. Hit and run. Dan pastikan tugas sudah selesai, tanpa meninggalkan jejak yang akan mengarah pada The Vow.
“Apa kita harus menghubungi polisi, Tuan?” tanya Marcus sembari mengamati pelayan menyelesaikan tugasnya.
Devin menggeleng. “Tidak. Bantu aku mengeluarkan peluru dari lengannya.”
"Bukankah aku sudah transfer kemarin?" bantah Levin di sambungan telepon."Itu untuk penyelidikan dalam kota Tuan Chayton. Dan kami menemukan petunjuk bahwa Bella Artwater pergi ke luar negeri."Levin terdiam. Ke luar negeri pasti membutuhkan lebih banyak lagi dana. Tidak hanya untuk melacak, tapi juga untuk membawa Bella pulang. Sedangkan dia tidak punya lagi uang simpanan. Beberapa orang yang dikerahkannya selalu meminta uang tambahan bila penyelidikan semakin berlanjut karena menemukan bukti baru.Levin tak ingin melibatkan polisi. Melaporkan istrinya telah menghilang di kantor polisi hanya akan mempermalukannya karena status mereka belum tercatat resmi di negara. Apalagi Cleve tak lagi menghendaki Bella bersama Levin. Hanya karena kesalahan yang menurutnya sangat sepele. Toh dia biasa meladeni wanita-wanita peng
“Kau adalah satu-satunya orang yang tahu kalau aku sudah menikah.”Bella tercekat. Menatap Devin yang juga menatapnya dengan wajah berseri-seri dan pipi bersemu merah. Kepuasan dan kebahagian terpancar jelas di wajahnya. Mereka duduk berhadapan, di sebuah cafe dengan pemandangan menara Eiffel yang berselimut senja. Devin memintanya menunggu di sini, dan baru muncul dua jam kemudian.Pasti Devin masih menyelesaikan permainannya yang terhenti karena kedatangan Bella. Sementara Bella menanti di cafe, setelah mendapat pesan dari Devin untuk menunggunya di sana. Pesan yang dikirimkannya satu menit setelah lelaki itu menutup pintu rumahnya dan meninggalkan Bella berdiri di seberang rumahnya seperti perempuan bodoh.“Siapa dia?”“Istr
“Anda tidak akan percaya, Devin Chayton ada di Paris.” Bella tercekat, ludahnya terasa tertahan di kerongkongannya. Bagaimana mungkin Devin bisa ada di kota romantis itu? Kota idamannya yang akan dikunjunginya dengan lelaki pujaannya, Devin. “Bagaimana kau bisa menemukannya?” tanya Bella di sambungan telepon. Tangannya terasa gemetar dan dadanya serasa meledak, ketika mendengar kabar dari Detektif yang disewanya. Untuk mendapatkan Devin kembali, dia nekad melakukan apa saja, bahkan mengeluarkan uang tabungannya. Dia harus mendapatkan cinta Devin karena pada Levin dia tak lagi punya harapan. Meski sudah menyerahkan jiwa raganya pada bungsu Chayton, lelaki itu itu masih saja haus dan mereguknya dari wanita lain. Seolah Bella tak pernah bisa memuaskannya. Padahal setiap malam Bella selalu
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Andrew merasa hidup seorang diri. Makan malamnya sejak kepergian Devin, hanya ditemani Marcus. Dia meminta Marcus duduk di sebelahnya, bukan untuk melayaninya makan, tapi untuk makam malam bersamanya.“Sebentar lagi Tuan Levin pasti datang,” hibur Marcus, melihat gurat kecewa di wajah majikannya. Sudah hampir tengah malam, Levin belum juga memberi kabar apakah akan pulang ke Batista atau tidak. Sejak kepergok Marcus di cafe milik Bella, Marcus belum melihat Levin memasuki Batista hampir dua hari. Lelaki itu pasti disibukkan dengan memohon maaf pada Bella Artwater.Dan Andrew tak pernah menyebut nama Levin semenjak surat dari Devin datang. Lelaki sebaya Marcus itu diliputi kerinduan pada anak sulungnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kadang tanpa sadar dia menanyakan pada Marcus apakah Devin sudah pula
Andrew meremas surat di tangannya. Dadanya terasa berat, sepertinya sesak napasnya akan kambuh. Marcus yang berada di sebelahnya, sudah melihat gelagat majikannya. Napas Andrew mulai pendek dan berat.“Saya ambilkan obat, Tuan?”Andrew menggeleng. Dia lalu melemparkan surat yang sudah diremasnya ke lantai. Marcus hanya melirik gumpalan kertas itu jatuh tak berdaya. Masih bagus Andrew tidak merobeknya, jadi dia bisa menyimpan surat itu nanti. Biasanya Andrew akan mencari surat itu lagi bila hati dan kepalanya sudah dingin.“Mana Levin?”Marcus menelan ludah. Pertanyaan tentang Levin adalah soal yang paling sulit untuk dijawab. Marcus tidak ingin anak itu menjadi sasaran kemarahan ayahnya lagi. Lagipula dengan dimarahi, tidak akan membuat Levin menj
Devin tak melepas sedetik pun tangan istrinya. Meski Beverly berjanji untuk tidak melepaskan diri, namun kini Devin bukan lagi orang yang sama dengan dua puluh empat jam sebelumnya. Kini mereka sama-sama tahu bahwa pasangan mereka adalah orang yang diberi tugas untuk membunuh pasangannya.Bukan hal yang mudah bagi keduanya kini untuk membangun rasa saling percaya, meski setelah semua rahasia itu terbongkar, napas dan kulit mereka menyatu berbalur peluh. Baik Devin maupun Beverly tak hendak menanyakan apakah masih ada cinta di dada mereka masing-masing setelah apa yang terjadi. Bahwa mereka telah saling mengejar untuk saling membunuh–demi sebuah tugas dari organisasi tempat mereka bernaung.Kapal yang ditumpangi keduanya sudah memasuki perairan lepas dan mereka kini bebas hendak pergi ke manapun. Meski yakin para polisi pasti akan memburu bahkan mungkin me
Wajah Andrew mengerut, menampakkan usianya yang semakin renta. Ditambah dengan kemarahan yang tampak berusaha ditahannya. Napasnya tak lagi sesak, tapi semua orang bisa melihat lelaki yang masih tampak gagah di usianya itu, mengepal kedua tangan hingga gemetar. Marcus menarik lengan Levin, menyuruhnya menyingkir, masuk ke dalam kamar. Semula Levin menolak. Dia ingin menikmati momen di mana akhirnya Devin berhasil membuat Andrew Chayton murka. Selama ini, hanya Levin yang selalu berulah, membuat Mansion Batista berkali-kali heboh, kisruh dan pusing tujuh keliling. Kini giliran Devin, begitu mudahnya terkuak di depan semua orang. Dan tanpa ada yang bersangkutan hadir untuk membela diri. “Sejak kapan kau tahu, Irene? Apa yang sudah mereka lakukan?” tanya Andrew, sembari melangkah mendekati Irene, mengesampingk
Mansion Batista bangun sebelum waktunya. Para pelayan dikumpulkan di halaman oleh polisi, dan Irene menjadi orang yang paling sibuk. Semua pelayan diinterogasi, membuat suasana dini hari menjadi sangat kacau, karena mereka terpaksa dibangunkan oleh suara tembakan.Andrew berada di ruang kerjanya, mengenakan piyama. Duduk di kursi dengan kening berkerut. Polisi telah mengganggu istirahatnya, dan itu artinya harus ada harga yang harus dibayar. Mereka telah masuk dengan paksa dan membuat Andrew benar-benar marah.Komisaris berdiri di hadapannya dengan beberapa anak buahnya.“Kalian telah mengusik mansionku, tanpa seijinku!” sergah Andrew dengan nada meninggi, dan Marcus terpaksa menyentuh bahu majikannya, berusaha agar Andrew lebih tenang. Bagaimana tidak, Komisaris baru pengganti Komisaris Ho
“Berapa orang yang diperlukan untuk menangkap Devin Chayton?” gumam Devin, sembari merunduk di balik sebongkah batu. Cahaya senter tak satupun mengenainya. Para pengejar telah melewatinya, membuat Devin bisa beristirahat sejenak. Namun tak lama kemudian, terdengar langkah mendekat. Devin mengintip dari balik batu, dan dia mengenali gestur dalam kegelapan–yang rupanya ketinggalan jauh dari teman-temannya. Saat gestur itu mendekat, Devin langsung melompat dan menyergapnya. Mereka berdua jatuh terguling-guling, dan semakin terguling-guling karena ternyata berada di lereng bahu sungai. Seingat Devin, sungai ini sudah lama kering karena hulunya sudah dibuntu. Orang yang berhasil ditangkapnya, hanya mengerang kesakitan dalam pelukannya saat mereka akhirnya terbanting dan sama-sama terkapar di dasar sungai yang dipenuhi daun kering.