Devin mondar mandir di kamarnya yang sudah dirapikan oleh Irene. Irene seorang pelayan yang sudah bekerja di Mansion Batista lebih dari sepuluh tahun. Dia pelayan kepercayaan Marcus. Bekerja penuh waktu di Mansion Batista, karena dia tidak lagi punya keluarga yang harus diurusnya. Sebagian pelayan Batista memang wanita-wanita yang sudah menjanda atau tidak punya anak. Hanya beberapa pelayan muda yang biasanya mengambil pekerjaan paruh waktu dan tidak menginap.
Devin bersyukur, Amanda alias Beverly ditemukan oleh Irene dan Sabrina. Sabrina adalah sepupu Irene yang bekerja paruh waktu. Dia punya suami dan anak yang tinggal tidak jauh dari Batista. Saat menemukan Amanda di depan gerbang, Sabrina sedang diantar oleh Irene ke pintu gerbang, untuk pulang. Mereka berdebat antara menolong atau membiarkan Amanda.
Akhirnya Sabrina terpaksa menginap semalam. Untung saja, Marcus punya alasan yang tepat untuk menahan Sabrina saat suaminya menelpon.
Yang jelas, kedatangan Amanda Harper di Mansion Batista, bagi Devin adalah kebetulan yang tidak diduganya sama sekali.
“Mungkin, dia memang bukan Beverly. Kadang, foto bisa dimanipulasi,” gumamnya. Pikirannya sedikit sibuk oleh Amanda Harper, sehingga dia memutuskan untuk tidak berangkat ke kantornya. Gadis berambut coklat pekat itu, bisa jadi bukan target pembunuhannya. Bisa jadi juga iya. Setelah menyelesaikan pekerjaan kecilnya, Devin tidak boleh menanyakan kelanjutannya pada The Vow. Bila pekerjaannya gagal, maka The Vow berhak mengopernya pada yang lain, dan fee yang diterima tentu saja tidak penuh. Hanya saja, untuk job berikutnya, The Vow tidak akan memberi kenaikan fee.
Namun yang terjadi semalam adalah, ada pemain lain di lapangan. Devin menimbang-nimbang, haruskah dia menghubungi kontaknya di The Vow. Mengingat selama ini, dia selalu dihubungi lebih dulu. Dengan nomor telepon berbeda-beda. Apakah pemain lain itu dari The Vow, ataukah dari pihak ketiga, Devin merasa perlu mengetahuinya.
Karena, sepertinya target pembunuhan itu ada di rumahnya.
Selama ini, setiap pekerja The Vow, tidak pernah diizinkan untuk mengetahui dengan detail siapa targetnya. Hanya ada instruksi lokasi, waktu dan kostum atau kendaraan. Itu saja. The Vow memang sangat teliti menjaga rahasia pekerjaannya. Setiap pekerja bahkan tidak tahu satu sama lain. Bisa jadi mereka suami istri yang tinggal seatap, tanpa tahu pekerjaan kecil pasangannya di luar rumah.
“Pasti pihak ketiga, aku sangat yakin,” batin Devin sembari menyibak tirai yang bergerak ringan tertiup angin. Dari ujung selasar, dia melihat Amanda berjalan perlahan, dituntun oleh Irene. Marcus berada di belakang mereka.
Amanda Harper akan menghadap Andrew Chayton. Sebaiknya dia bisa bersandiwara, atau Devin akan melepasnya keluar dari Mansion Batista dan tak peduli siapa yang mengejar dan hendak membunuhnya.
Sepasang netra coklat itu, memohon padanya, agar diijinkan berlindung di Mansion Batista. Karena dia tidak punya lagi tempat untuk berlindung. Devin berharap, skenario ini bisa berjalan dengan lancar, dan semuanya akan baik-baik saja. Sembari dia mencari informasi, apakah Amanda Harper adalah target The Vow yang selamat dan sialnya malah meminta perlindungan pada pekerja The Vow. Dan bila itu benar, dia telah menghantar sendiri nyawanya.
***
“Yakin kamu mau jadi pelayan?”
Andrew memindai Amanda dari ujung kepala hingga ujung kaki. Meski memakai seragam pelayan Mansion Batista, berupa kemeja lengan panjang berwarna biru tua dan celana hitam lebar serta sepatu pantofel putih, Andrew melihat gadis berambut coklat pekat di hadapannya tidak pantas menjadi pelayan.
Dia … terlalu cantik.
“Dia sedang membutuhkan pekerjaan, Tuan,” ucap Marcus sembari melirik Irene. “Tetangga Irene.”
Andrew melirik Irene. Irene hanya diam.
“Sepertinya kamu sakit? Aku tidak mau mempekerjakan orang sakit. Sedangkan anakku membutuhkan pelayan hari ini juga.”
Amanda yang sejak tadi menunduk, perlahan mengangkat dagu.
“Tolong, Tuan Chayton. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini. Saya … baru saja keguguran. Suami saya minggat dengan selingkuhannya. Dia mengirim surat cerai lewat pos dan itu membuat saya benar-benar depresi, hingga kandungan saya tak bisa diselamatkan. Jadi, saya terpaksa harus mencari pekerjaan, meski kondisi saya sedang lemah. Saya … harus makan.”
Ruangan hening. Baik Marcus maupun Irene tidak mengira, Amanda bisa mengarang cerita setragis itu. Entah mana cerita yang benar. Apakah cerita bahwa dia dikejar dan hendak dibunuh itu juga benar? Atau malah itu adalah kebohongan sebenarnya? Tapi, Devin Chayton sudah menyatakan menjadi pelindungnya di Mansion Batista, sehingga mau tidak mau Marcus harus mendukung apapun cerita Amanda di hadapan majikannya.
“Aku tidak melihatmu seperti seorang pelayan yang terbiasa dengan pekerjaan. Apa pekerjaanmu sebelumnya?” Andrew memulai interview, dan sepertinya akan lebih detil. Sebaiknya, Amanda harus pandai membaca situasi. Devin sudah berpesan demikian padanya. Atau Andrew akan curiga dan mengusirnya.
“Saya ibu rumah tangga biasa, Tuan. Pekerjaan rumah tangga sudah biasa saya lakukan. Hanya saja, semenjak saya keguguran …”
“Kapan kamu keguguran?” sela Andrew, kini malah memalingkan wajah melihat ekspresi memelas Amanda.
“Belum ada satu minggu, Tuan.”
Andrew menarik napas panjang, lalu bangkit dari meja kerjanya.
“Marcus, kamu tidak ada calon lain? Aku tidak tega mempekerjakan dia. Dia masih sakit dan lemah.”
“Tolong Tuan Chayton,” ucap Amanda lebih memelas, terdengar mengiris hati di telinga Marcus. Wanita ini sepertinya sudah terbiasa bersandiwara, atau situasi saat ini begitu menyesakkan dadanya hingga dia dengan mudah berakting memelas. Marcus masih ingat bagaimana dia tahu-tahu menekuk lutut di hadapan Devin, memohon perlindungannya. “Saya berjanji akan pulih dengan cepat.”
Andrew diam sejenak, mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Ditatapnya wajah Amanda yang semakin memucat. Gadis itu jelas kelihatan sedang menahan sakit.
“Baiklah,” ucapnya kemudian, membuat Marcus menarik napas lega perlahan. “Marcus, bawa dia ke Devin. Sementara sampaikan kondisinya, biar Devin mengerti. Irene, kamu bisa bantu dia, dan ajari dia.”
“Baik, Tuan Chayton.” Marcus dan Irene menunduk hormat serempak. Amanda yang melihat tingkah keduanya, ikut-ikutan menunduk dengan canggung.
Irene menoleh ke arah Amanda dan dia terkejut mendapati lengan gadis itu, warnanya menjadi lebih gelap. Pasti lukanya berdarah. Perlahan Irene meraih lengan Amanda dan gadis itu menjengit.
“Ayo, aku tunjukkan kau kamar Tuan Devin.”
Andrew mengikuti langkah Amanda dan Irene keluar kamar dengan tatapan mata penuh selidik. Irene bergegas menutup pintu ruang kerja majikannya. Sejenak menguping dan mendengar majikannya memerintahkan beberapa hal pada Marcus.
Baru beberapa langkah Irene menggandeng Amanda, gadis itu tahu-tahu terkulai dan jatuh ke lantai. Irene berusaha mengangkatnya. Amanda pingsan, pasti karena menahan sakit di lengannya. Luka bekas operasi pengambilan peluru tanpa bius apalagi obat-obatan yang dilakukan oleh Devin, pasti membuatnya tersiksa.
Untunglah, Devin yang sedang menunggu di bawah anak tangga dekat kamarnya, melihat Irene dan Amanda keluar dari ruang kerja ayahnya. Bergegas dia membopong Amanda yang pingsan dengan darah segar mengalir dari balik lengan bajunya. Baru saja Devin hendak berjalan menuju garasi, dilihatnya mobil Levin datang dan hendak masuk garasi.
“Kamu di sini, jangan sampai dia tahu!” bisik Devin sembari berbalik, menuju kamarnya.
Marcus yang baru keluar dari ruang kerja majikannya, terkejut melihat Devin membopong Amanda masuk ke dalam kamarnya. Kedua tangan gadis itu terkulai, sepertinya dia pingsan. Hanya selang beberapa detik ketika pintu kamar Devin tertutup dan Marcus hendak menuju ke sana, tahu-tahu Levin muncul dengan Irene berwajah pucat di belakangnya.
“Ada apa? Kenapa Irene mencegahku menemui ayah?”
"Bukankah aku sudah transfer kemarin?" bantah Levin di sambungan telepon."Itu untuk penyelidikan dalam kota Tuan Chayton. Dan kami menemukan petunjuk bahwa Bella Artwater pergi ke luar negeri."Levin terdiam. Ke luar negeri pasti membutuhkan lebih banyak lagi dana. Tidak hanya untuk melacak, tapi juga untuk membawa Bella pulang. Sedangkan dia tidak punya lagi uang simpanan. Beberapa orang yang dikerahkannya selalu meminta uang tambahan bila penyelidikan semakin berlanjut karena menemukan bukti baru.Levin tak ingin melibatkan polisi. Melaporkan istrinya telah menghilang di kantor polisi hanya akan mempermalukannya karena status mereka belum tercatat resmi di negara. Apalagi Cleve tak lagi menghendaki Bella bersama Levin. Hanya karena kesalahan yang menurutnya sangat sepele. Toh dia biasa meladeni wanita-wanita peng
“Kau adalah satu-satunya orang yang tahu kalau aku sudah menikah.”Bella tercekat. Menatap Devin yang juga menatapnya dengan wajah berseri-seri dan pipi bersemu merah. Kepuasan dan kebahagian terpancar jelas di wajahnya. Mereka duduk berhadapan, di sebuah cafe dengan pemandangan menara Eiffel yang berselimut senja. Devin memintanya menunggu di sini, dan baru muncul dua jam kemudian.Pasti Devin masih menyelesaikan permainannya yang terhenti karena kedatangan Bella. Sementara Bella menanti di cafe, setelah mendapat pesan dari Devin untuk menunggunya di sana. Pesan yang dikirimkannya satu menit setelah lelaki itu menutup pintu rumahnya dan meninggalkan Bella berdiri di seberang rumahnya seperti perempuan bodoh.“Siapa dia?”“Istr
“Anda tidak akan percaya, Devin Chayton ada di Paris.” Bella tercekat, ludahnya terasa tertahan di kerongkongannya. Bagaimana mungkin Devin bisa ada di kota romantis itu? Kota idamannya yang akan dikunjunginya dengan lelaki pujaannya, Devin. “Bagaimana kau bisa menemukannya?” tanya Bella di sambungan telepon. Tangannya terasa gemetar dan dadanya serasa meledak, ketika mendengar kabar dari Detektif yang disewanya. Untuk mendapatkan Devin kembali, dia nekad melakukan apa saja, bahkan mengeluarkan uang tabungannya. Dia harus mendapatkan cinta Devin karena pada Levin dia tak lagi punya harapan. Meski sudah menyerahkan jiwa raganya pada bungsu Chayton, lelaki itu itu masih saja haus dan mereguknya dari wanita lain. Seolah Bella tak pernah bisa memuaskannya. Padahal setiap malam Bella selalu
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Andrew merasa hidup seorang diri. Makan malamnya sejak kepergian Devin, hanya ditemani Marcus. Dia meminta Marcus duduk di sebelahnya, bukan untuk melayaninya makan, tapi untuk makam malam bersamanya.“Sebentar lagi Tuan Levin pasti datang,” hibur Marcus, melihat gurat kecewa di wajah majikannya. Sudah hampir tengah malam, Levin belum juga memberi kabar apakah akan pulang ke Batista atau tidak. Sejak kepergok Marcus di cafe milik Bella, Marcus belum melihat Levin memasuki Batista hampir dua hari. Lelaki itu pasti disibukkan dengan memohon maaf pada Bella Artwater.Dan Andrew tak pernah menyebut nama Levin semenjak surat dari Devin datang. Lelaki sebaya Marcus itu diliputi kerinduan pada anak sulungnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kadang tanpa sadar dia menanyakan pada Marcus apakah Devin sudah pula
Andrew meremas surat di tangannya. Dadanya terasa berat, sepertinya sesak napasnya akan kambuh. Marcus yang berada di sebelahnya, sudah melihat gelagat majikannya. Napas Andrew mulai pendek dan berat.“Saya ambilkan obat, Tuan?”Andrew menggeleng. Dia lalu melemparkan surat yang sudah diremasnya ke lantai. Marcus hanya melirik gumpalan kertas itu jatuh tak berdaya. Masih bagus Andrew tidak merobeknya, jadi dia bisa menyimpan surat itu nanti. Biasanya Andrew akan mencari surat itu lagi bila hati dan kepalanya sudah dingin.“Mana Levin?”Marcus menelan ludah. Pertanyaan tentang Levin adalah soal yang paling sulit untuk dijawab. Marcus tidak ingin anak itu menjadi sasaran kemarahan ayahnya lagi. Lagipula dengan dimarahi, tidak akan membuat Levin menj
Devin tak melepas sedetik pun tangan istrinya. Meski Beverly berjanji untuk tidak melepaskan diri, namun kini Devin bukan lagi orang yang sama dengan dua puluh empat jam sebelumnya. Kini mereka sama-sama tahu bahwa pasangan mereka adalah orang yang diberi tugas untuk membunuh pasangannya.Bukan hal yang mudah bagi keduanya kini untuk membangun rasa saling percaya, meski setelah semua rahasia itu terbongkar, napas dan kulit mereka menyatu berbalur peluh. Baik Devin maupun Beverly tak hendak menanyakan apakah masih ada cinta di dada mereka masing-masing setelah apa yang terjadi. Bahwa mereka telah saling mengejar untuk saling membunuh–demi sebuah tugas dari organisasi tempat mereka bernaung.Kapal yang ditumpangi keduanya sudah memasuki perairan lepas dan mereka kini bebas hendak pergi ke manapun. Meski yakin para polisi pasti akan memburu bahkan mungkin me