Budiman seorang akuntan dari sebuah bank di Semarang, baru saja dipindahkan ke cabang bank lain di Yogyakarta. Ia bersama istrinya, Wirda, menempati rumah di perumahan tua yang dikelilingi banyak rumah kosong. Namun, sejak mereka pindah ke rumah baru tersebut Budiman merasa Wirda semakin berubah. Istrinya yang semula ramah dan sopan itu perlahan menjadi pemberang dan kerap menggoda lelaki lain. Kecemburuan pun memuncak saat Wirda sering berdesah dalam tidur, dan menyebut seseorang dalam mimpinya. Hingga ia menyadari, kecemburuannya itu bukanlah pada lelaki lain melainkan pada sesosok iblis, raja genderuwo.
View MoreYogyakarta, 1979
BudimanAku mendengar istriku tertawa panjang dalam keadaan tidur malam itu. Ia lalu terbangun dan terduduk di ranjang. Bersama itu perlahan tawanya berubah pelan. Namun, tak lama keadaan jadi be rubah drastis. Istriku, Wirda terdengar menangis sembari tubuhnya menatap ke arah jendela kamar yang gordennya terbuka sedikit.Tentu saja, aku langsung bangun dan melihat Wirda masih duduk di pinggir ranjang, memunggungiku. Aku tak bisa melihat wajahnya kini seperti apa: apakah senang, takut, atau sedih, yang jelas ini bukan pertama kalinya ia terbangun tepat pukul satu malam, setelah sebelumnya tertawa tiba-tiba. Sekarang, Wirda beringsut dari ranjang dan berjalan perlahan ke arah jendela yang tertutup gorden. Kebetulan malam itu di luar gerimis dan angin cukup kencang, sehingga aku bisa mendengar ranting-ranting pohon mangga menggaruk-garuk genting. Gorden pun kini tampak bergoyang-goyang.“Apa yang kamu lihat? Wirda... sayang.. Hey...” bisikku.Aku pun ikut beringsut dari ranjang, berusaha menarik Wirda dari dekat jendela. Ia sama sekali bergeming, berubah menjadi sunyi dan bisu yang menyiksaku. Dan entah mengapa pula tubuhku mendadak menggigil, disertai rasa merinding yang membuat tengkuk leherku tak nyaman.“Sayang... hey, ayo kita tidur lagi. Besok pagi kalau kita nggak tidur kita nggak bisa bersihin rumah. Sejak kemarin pindahan, kita kan langsung tidur-tiduran karena capek,” kataku sembari memeluk tubuh istriku yang terasa dingin.Untungnya Wirda langsung menurutiku. Ia segera merebahkan tubuhnya lagi di atas ranjang. Dan aku pun segera memeluknya, mengeloninya. Tapi, tubuhnya tetap terasa dingin. Aku pun sama sekali tidak melihat Wirda merasa kedinginan, seperti menggigil atau menyuruhku menarik selimut, yang kini ada di bawah kakinya. Ia diam begitu saja, sehingga aku inisiatif menyelimutinya.Akan tetapi, menjelang pukul tiga pagi. Aku yang sebelumnya telah tertidur lantas terkejut ketika mengetahui Wirda menghilang dari sampingku. Aku hanya memeluk guling dan seprai bekas istriku yang telah mendingin.“Sayang? Wirda... Wirda? Kamu di kamar mandi?”Namun, saat kecermati lagi pendengaranku ke arah kamar mandi dalam kamar.. Tidak ada pergerakan apapun di dalam sana. Sepi."Sayang?"Tapi, sebenarnya, sayup-sayup bisa kudengar suara istriku di suatu tempat dalam rumah baru itu. Entah apa yang dia lakukan. Selama ini, di rumah lama ia memang kerap bangun malam dan mengigau tak jelas, bahkan sampai tidur berjalan, namun tak pernah seaneh ini.“Wirda?”Aku segera turun ranjang karena Wirda sama sekali tidak menyahutku. Aku nyalakan satu-persatu saklar di rumah baru, dan terlihatlah rumah yang masih berantakan itu. Sembari itu pula, kucari istriku ke setiap ruangan di rumah itu, mulai ruang tengah, kamar mandi, dapur, hingga kamar-kamar lainnya. Tidak ada. Tapi, suaranya masih bisa kudengar sayup-sayup, terbawa angin yang cukup besar.Wirda seperti berbicara di suatu tempat yang jauh. Ia seperti mengobrol dengan seseorang. Entah siapa pula yang sudah bangun pukul tiga pagi begini. Setahuku perumahan tempatku tinggal sekarang masih sangat sepi, dan hanya beberapa rumah saja yang sudah dihuni. Itupun letaknya bukan berada di blokku.“Sayang?!”Aku menyusuri serambi samping dan kurasakan angin cukup menggigit kulitku, walau tubuku sudah tertutup piyama berlengan panjang dan berbahan cukup tebal. Namun, pagi buta itu benar-benar membekukan. Dan sungguh terkejut aku tatkala melihat Wirda sedang berbicara dengan seseorang yang tak bisa kulihat jelas.Lama aku berdiri di serambi untuk memastikan siapa yang sedang berbicara dengannya. Namun, setelah kulihat secara teliti, istriku memang sendirian di sana. Ia menatap pohon sawo besar di lahan yang belum dijadikan rumah, letaknya di samping rumah kami.Oleh karena itu, aku segera berjalan cepat menuju istriku yang terdengar masih mengobrol dengan seseorang. Ini sungguh membuatku merinding. Pasalnya aku tak pernah merasakan hal seperti ini. Terlebih, ketika aku semakin mendekat, mataku lebih terbelalak lagi tatkala melihat Wirda memeluk pohon berbatang besar itu. Ia terdengar seperti mendesah-desah seolah sedang bersenggama.Bukan hanya itu, tak lama satu kakinya terangkat, dan kulihat istriku memelorotkan celana tidurnya. Tentu saja, aku langsung berlari ke arahnya dan segera kutarik Wirda dari pohon besar itu.“Wirda! Wirda! Sadarlah! Hey! Wirda!”Aku memeluknya erat dan tubuhnya langsung melunglai, jatuh ke pelukanku. Di saat itulah, kedua mata Wirda sedikit membuka. Aku tahu dia tak paham apa yang sedang terjadi pada dirinya.“Mas Budi?” gumamnya.“Ayo... kita kembali ke rumah... ayo,” kataku sembari buru-buru menarik celananya yang sudah turun ke bawah, hingga terlihat celana dalamnya saja. Seraya itu pula, tanganku terasa bergetar, bahkan setelah memakaikan celananya lagi. Ini bukan karena aku takut pada seseorang yang mungkin akan berniat jahat seusai melihat tubuh istriku, tapi karena sesuatu yang tidak bisa kupahami sedang terjadi di sekitarku. Ya, aku seperti sedang diperhatikan oleh sesuatu yang bersemayam di pohon besar itu. Tapi, tak berani melihat apa itu.Saat aku menggendong istriku kembali menuju rumah, angin di sekitar pohon sawo besar itu terasa membesar, seolah pohon itu sedang memarahiku karena menggagalkan niatnya mendapatkan istriku.Aku tak memikirkan apapun lagi selain berusaha menyelamatkan Wirda, meski aku tak tahu pasti apa sebenarnya yang sedang terjadi saat itu. Setelah di rumah dan membaringkan istriku ke ranjang lagi, aku segera mengunci pintu rumah, juga pintu kamar. Takut Wirda melakukan hal yang lebih aneh lagi. (Ini pun aneh karena sebelumnya kuingat semua pintu sudah terkunci, kecuali pintu kamar).“Kamu nggak sadar saat kamu berjalan ke arah pohon tadi?” tanyaku usai mengunci pintu kamar.“Nggak,” katanya sembari menggeleng dan menguap, seolah tidak terjadi apa-apa.“Tidurlah.”“Ini jam berapa?”“Tiga.”“Tadi, kenapa kita keluar, sayang. Bahkan sampai kamu menggendongku... “ ujar Wirda sembari memeluk guling yang tadi kupeluk.“Sudah. Istirahatlah. Besok kita akan bersih-bersih.”Begitulah, setelah itu Wirda tidur lagi, namun kali ini kupeluk ia erat, supaya aku bisa mengawasinya. Dan tentu saja aku tidak bisa tidur setelah melihat kejadian yang membuatku terkesiap juga tak bisa berkata-kata. Aku tak mungkin juga memberitahunya kalau beberapa menit lalu, dia pergi keluar dan mengobrol dengan pohon besar yang ada di samping rumah. Apalagi bayangan saat Wirda hampir saja menggesekkan alat vitalnya ke batang pohon besar sembari mendesah-desah, membuatku tak tega memberitahunya.Entah, apa yang terjadi pada dirinya. Mimpi apa yang ada di dalam tidurnya, aku sama sekali tak berani menanyakannya sementara ini. Semuanya terasa campur aduk, antara terkejut karena rasa ganjil itu, dan marah, karena kupikir Wirda memiliki fantasi terhadap lelaki lain selama ini. Tapi, semuanya terasa aneh, karena kejadian seperti ini baru terjadi di sini. Di rumah baruku.Besok paginya, aku berusaha bersikap normal. Berusaha menyembunyikan rasa cemasku terhadap kondisi Wirda, yang sebenarnya kalau dilihat baik-baik sama sekali tidak ada hal yang mencurigakan. Dia pun seperti biasa saja, tak terlihat ada sesuatu yang sedang ditutup-tutupi. Semuanya terasa normal bagiku. Dia pun masih bisa bercanda seperti biasa.Hari itu kami membersihkan rumah baru kami. Mulai menyapu, mengepel lantai, hingga mengumpulkan barang-barang ke gudang, seusai meletakkan beberapa barang kami ke sudut-sudut ruangan. Siangnya, kami memutuskan membeli makanan di luar rumah, karena Wirda belum bisa masak di rumah baru itu, pertama warung masih jauh dan kompor serta peralatan dapur lainnya masih belum sampai dari rumah lama kami.Di saat itulah, ketika kami sedang makan siang di sebuah restoran makanan Padang, aku memberanikan diri untuk menanyakan sedikit soal kejadian semalam.“Sayang... aku ingin tanya...”“Apa?” ujar Wirda santai saja, sembari mencicipi bumbu rendang.“Apa kamu tadi malam bermimpi aneh?”“Mimpi aneh? Nggak. Aku sama sekali nggak mimpi apa-apa. Harusnya aku yang tanya. Kenapa kita semalam ada di luar? Aku tidur berjalan lagi?”“Ya.”Wajah Wirda langsung cemberut.“Apa kita mesti ke dokter? Kurasa keadaanku sudah terlalu aneh.”“Nggak perlu,” kataku sambil melanjutkan makan."Tapi..." katanya kemudian membuatku agak terdiam, karena ingin tahu apa yang dirasakannya tadi malam."Aku merasa badanku capek sekali, dan punggungku terasa berat."
"Ini karena kita kelelahan."Di saat itulah, aku melihat Wirda sedikit berparas cemas. Namun, aku segera meyakinkan dirinya kalau dirinya baik-baik saja. Tak lama setelah itu, cuaca yang semula terang benderang berubah menjadi mendung, disertai angin.
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments