Share

12. Lihat saja!

Kanya POV

Setelah pergi meninggalkan Samuel di restoran dengan marah, aku bahkan tak mengangkat panggilan telepon pria itu dan langsung mematikan ponselku. Aku tahu dia khawatir padaku, tapi aku paling tidak suka jika sahabatku sendiri tidak percaya padaku.

Dia hanya bergeming menatapku dengan manik matanya yang tak memiliki kepercayaan padaku. Dulu Samuel akan percaya pada setiap perkataanku, aku tahu dia menganggapku setengah gila dan pasti akan menyuruhku pergi menemui psikiater.

Tak terasa sekarang sudah jam 9 malam, aku masih duduk di bawah pohon kelapa sejak kedatanganku ke pantai ini. Orang-orang masih ramai bermain dengan ombak bersama pasangan mereka.

Sedang, aku sendiri meratapi nasibku yang dianggap setengah gila.

Tunggu. Jam 9 malam dan di pantai?

“Gue harus pulang sekarang. Gue belum nulis dari pagi, malah sibuk ngurus hantu. Hehe.” Terkekeh garing karena baru menyadari kalau hari ini aku belum menulis chapter selanjutnya dari novel keduaku.

Jika malam ini aku tidak dapat menyelesaikan satu chapter, maka popularitas besok pasti akan menurun.

Sebelum bangkit dari dudukku, aku mengambil ponsel dan menyalakannya kembali. Mencari aplikasi taksi online dan semoga kali ini respon mereka cepat agar aku bisa kembali ke apartemen dengan segera.

“Selesai. Katanya harus tunggu 10 menit. 10 menit, oke!”

Aku bangkit dari dudukku dan berjalan sebentar ke arah tepi pantai, berhenti di sana dan membiarkan ombak menyapu kakiku meninggalkan butiran-butiran pasir halus di atas punggung kakiku.

Malam ini sangat dingin, aku hanya memakai blouse tipis. Angin pantai membelai rambutku yang terjuntai, aku sengaja menggerainya agar tengkuk dan leherku lebih hangat. Air pantai yang menyapu kakiku masih terasa hangat karena panas terik matahari yang menyengat tadi siang.

Tadi siang aku belum sempat makan, saat ini aku merasa lambungku butuh diisi oleh makanan hangat dan lezat. Aku mengusap perutku yang lapar sembari membayangkan kebodohanku. Hanya karena marah aku tidak jadi makan siang dan meninggalkan Samuel dengan amarah.

“Sam pasti udah nungguin gue di apartemen. Biarin aja.” Melirik pada jam tanganku, sebentar lagi taksi online yang aku pesan akan segera tiba. Sebelum beranjak dari sana, aku mendongak mengamati kerlip bintang. Langit nampak cerah dihiasi oleh jutaan manik-manik berwarna putih yang disebut bintang.

Menghela napas pelan sembari menatap benda langit itu. “Gue juga pengen bersinar, dan satu hal lagi; gue nggak gila. Kenapa nggak ada yang percaya sama gue? Kalau Eros nggak percaya wajar aja karena kita baru kenal, tapi Sam ... kita sudah lama bersahabat dan dia malah nggak percaya sama gue?” menepuk dahiku keras agar aku tersadar. “Mau ada yang percaya atau nggak. Gue nggak lagi berhalusinasi.”

Beranjak dari tempatku berdiri, melangkahkan kaki ke tempat parkir dan menunggu kedatangan taksi online yang kupesan tadi. Beberapa saat kemudian sebuah mobil menghampiriku.

“Mbak Kanya yang pesan taksi online tadi?” pengemudi bertanya ramah setelah dia menurunkan kaca mobilnya.

“Iya.” Sahutku singkat.

“Silahkan masuk Mbak.”

***

Dari pantai menuju apartemenku yang berada di tengah kota hanya memakan waktu sekitar 35 menit menggunakan mobil, namun jalan yang kami lalui saat ini sungguh sepi. Meski hanya setengah jam lebih, namun aku merasa kami sudah berkendara selama berjam-jam.

Aku merasa jenuh di dalam mobil dan memutuskan untuk memutar MP3 pada ponselku, sebelum sopir taksi bertanya padaku.

“Mbak ngapain pergi ke pantai sendirian malam-malam begini?”

“Cari angin segar, pak. Pikiran saya mumet.” Sahutku seraya membenarkan headset yang melilit bagaikan benang kusut di tanganku.

Kupasang kedua headset tersebut dan menyumbat kedua indra pendengaranku, mentap lurus ke depan—ke jalan sepi yang akan kami lewati sebentar lagi. Agar menghemat waktu perjalanan, kami mengambil jalan pintas setelah sopir bertanya tadi dan aku memberinya ijin. 

Tidak menyangka kalau jalan ini akan sangat sepi dan nampak mencekam. Mengedarkan pandanganku ke sekitar dari kanan ke kiri, berharap tidak ada sesuatu yang buruk menghadang di depan kami.

“Mbak takut, ya? Nggak usah takut Mbak, saya sudah sering lewat sini.” Sambil tersenyum menatapku dari kaca spion depan. Sopir taksi meyakinkanku bahwa tidak ada yang menghadang jalan kami.

Bukan manusia yang aku pikirkan saat ini karena kita bisa memanggil polisi. Kantor polisi juga tidak begitu jauh, yang aku takutkan bagaimana kalau hantu tadi siang menghadang di depan atau mengikuti di belakang mungkin.

Jika aku mengatakan hal itu, apakah dia juga akan menganggapku gila?

“Begitu, ya?” terkekeh garing aku menyadarkan kepalaku ke sandaran kursi. “Bapak fokus aja nyetir, saya mau istirahat sebentar.”

“Iya, Mbak.”

Aku berusaha memejamkan mataku karena jalan di depan kami terasa amat mencekam dan nampak angker. Aku bisa melihat kabut putih di depan atau mataku yang bermasalah? Menggeleng pelan tanpa sengaja aku mengarahkan pandangan ke samping kanan.

Mataku membelalak, sementara mulutku menganga memperhatikan seseorang berdiri agak jauh di pinggir jalan mengenakan jas hujan berwarna merah sangat mencolok, tangan kirinya membawa sebuah sekop. Wajahnya tak tertangkap oleh netraku karena mobil melaju dengan cepat.

Merasa ada yang aneh dan cuaca malam ini cerah-cerah saja, mengapa orang itu memakai jas hujan?

“Pak tadi lihat ada orang berdiri agak jauh di pinggir jalan, dia pakai jas hujan warna merah?” tanganku gemetar, segera bertanya pada sopir.

Sopir melirikku dari kaca spionnya, “Nggak ada Mbak, cuaca cerah begini mana ada yang pakai jas hujan. Apalagi warna merah pasti langsung tertangkap mata saya. Tapi tadi saya benar-benar nggak lihat.”

Aneh. Apakah tadi hanya orang iseng atau lagi-lagi halusinasiku? 

Menengok ke belakang hanya untuk melihat orang tersebut dan pengelihatanku mendapati hal tak terduga. Orang berjas hujan merah dengan sekop ditangannya sedang berdiri di tengah jalan. Kini tangan kanannya menenteng sebuah kepala dengan rambut panjang.

“Ahk!!!”

***

Setelah menahan ketakutanku, akhirnya sampai di depangedung apartemenku. Sopir taksi online hanya bisa menggelengkan kepala saat mendengar teriakanku tadi. 

Aku tak kuasa menahan rasa takutku karena orang berjas hujan merah itu, padahal mobil sudah berhenti dan sopir memeriksa tidak ada apa-apa, tidak ada siapa-siapa di belakang kami, jauh di jalan sana tidak ada siapa pun. Padahal aku melihatnya dengan sangat jelas.

“Turun Mbak, kita sudah sampai.” Ujarnya kesal.

“Ma-makasih Pak, dan juga maaf.” Suaraku bergetar, aku segera turun dari mobil dan melangkah sempoyongan masuk ke dalam gedung seraya pandanganku berpendar ke segala arah.

Berjalan cepat masih dengan kaki yang gemetar, aku melihat pintu lift akan segera menutup. Segera aku berlari dan menghentikan pintu tersebut, lalu masuk ke dalam.

“Kamu baru pulang?”

Deg! Jantungku terasa akan keluar dari tempatnya ketika suara itu menyapa. Suara pria yang sudah tidak asing lagi di telingaku. Eros.

“Iya, baru pulang.” Jawabku singkat.

Sungguh aku tidak menyangka akan bertemu dengannya dan malah satu lift dengan pria ini. Apakah aku bisa mengulang waktu dan keluar dari sini?

“Kamu gemetar. Apa kamu takut?” tanyanya dengan nada bicara yang tak sama seperti sebelumnya.

“Nggak takut.”

“Kalau begitu lihat aku!” pintanya dengan nada datar.

“Kenapa gue harus lihat elo?” saat ini aku memeluk tas selempangku dengan erat, berharap agar lift segera berhenti di lantai 3, namun waktu sepertinya sangat tak bersahabat. Dahiku sudah berkeringat dingin karena aura pria di belakangku saat ini sangat mencekam bagiku.

“Lihat saja!”

Eros begitu memaksa agar aku menengok ke belakang. Tidak ada pilihan lain selain menengok ke belakang sesuai dengan permintaannya. Menarik napas dalam sebelum aku melihat Eros di belakangku.

Kelopak mataku tak dapat berkedip ketika orang di belakangku tengah bermandikan darah dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Kyaaaaa!”

Bersambung

Aku sadar dengan memaksakan perasaanku merupakan kesalahan terbesarku. — Apple Leaf

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status