Eros POV
Dasar gila! Itulah yang bisa aku katakan pada Kanya yang berteriak histeris setelah melihatku di dalam lift. Apakah aku begitu menyeramkan sehingga dia pingsan?
Aku rela menggendongnya ala bridal karena dia tak kunjung sadar dari pingsannya. Kurasa dia tertidur, dan satu hal lagi aku tak tahu sandi apartemennya. Bagaimana caraku membawanya masuk ke dalam apartemennya?
Meminta kunci manual kepada keamanan dan membiarkannya tergeletak sendirian di depan pintu apartemennya? Bagaimana kalau nanti ada orang yang membawanya pergi? Mengapa aku memiliki banyak pertanyaan dan merasa dilema? Ataukah aku harus membawanya ke apartemenku dulu?
Setelah berpikir lama, akhirnya aku memutuskan untuk membawanya ke apartemenku sementara waktu sampai Kanya sadar. Ya, itu lebih baik daripada dia dijamah para nyamuk di luar sini.
Sembari berjalan pelan menuju apartemenku, aku mengamati bibir Kanya yang merah alami tanpa lipstik tambahan. Dia tidak begitu cantik dan kantong matanya seperti panda. Dia pasti sering begadang, aku dengar tadi pagi dari Bambang kalau dia seorang penulis novel tapi aku belum pernah mendengar namanya.
Mungkin saja dia bukan seorang penulis terkenal.
“Dia lumayan berat, sehari berapa kilo kalori yang dia makan?”
Dengan bersusah payah aku membuka pintu apartemenku sambil menggendongnya dalam pelukanku. Wanita ini merepotkan sejak pagi.
Pagi hari berteriak, siang hari menangis kejang, malam hari berteriak sampai pingsan. Kurasa dia memang memiliki gangguan psikologis yang cukup parah.
“Besok apa lagi yang akan dia lakukan setelah berteriak?”
Menghela napasku pelan dan merebahkan Kanya di sofa panjang. Aku biarkan dia tidur sebentar di sofa dan memulangkannya setelah dia bangun nanti. Mana bisa aku membawanya ke kamar, tempat tidurku akan kotor karena nampaknya perempuan dengan bibir merah ini belum mandi dan masih berbau keringat apalagi dilihat dari sepatu hak yang kotor. Juga banyak pasir menempel pada punggung kakinya.
“Setelah makan siang, mereka pergi ke pantai sampai jam segini?” gumamku lagi-lagi. “Harus aku apakan wanita ini? Tidak mungkin aku memandikannya, ‘kan?”
Terlalu lelah apalagi harus mengurus tetangga menyebalkan ini. Aku saja belum makan malam dan lihat sekarang stelanku ikut kotor akibat butiran pasir dari kakinya menempel di celanaku.
Mengacak rambutku, merasa tidak beruntung karena pindah ke gedung ini, harusnya aku periksa bagaimana tetanggaku sebelum aku pindah. Dengan berat hati, aku menarik napas dalam, segera melepaskan sepatu hak Kanya.
Sungguh aneh. Bagiku disentuh oleh seorang wanita adalah hal yang paling tidak kusukai di dunia ini, sama seperti tadi pagi ketika dia menyentuh tanganku untuk pertama kalinya. Aku merasa teramat risi, lain halnya dengan tadi siang aku membiarkan dia menangis dalam pelukanku, juga tadi aku menggendongnya dengan tanganku sendiri.
Apakah aku memang aneh?
Berhenti memikirkan hal itu, aku menoleh pada sepatu tersebut dan melemparkannya ke pintu. Melihat tanganku yang kotor, dengan segera aku memiliki niat untuk memotong tanganku sendiri.
Aku cukup gila dalam hal kebersihan. Sedang wanita ini bisa dibilang cukup jorok, tidak seperti Siska yang selalu tampil rapi dan bersih, namun tetap saja ular hijau itu tidak akan bisa membersihkan hatinya.
“Hei, Kanya, bangunlah dan pulang ke apartemenmu.” Kutepuk pipinya beberapa kali. “Oh, aku lupa cuci tangan.” Silih berganti aku melirik pada tanganku lantas wajah Kanya. Aku menyentuh wajahnya dengan tanganku yang tadi aku gunakan untuk melepaskan sepatunya.
“Haha~” tertawa lepas setelahnya karena kurasa hal itu cukup lucu. “Lebih baik aku mandi daripada harus menjagamu di sini.”
🍁🍁🍁
Air dingin mengguyur tubuhku, sedikit menghilangkan kepenatan yang kulalui hari ini. Bukan hanya hari ini, tapi kepenatan yang menumpuk beberapa hari terakhir telah mengganggu pikiranku.
Aku memutuskan untuk pindah ke apartemen kecil ini agar dapat menenangkan pikiranku, juga kabur dari kakek dan Siska. Semoga saja mereka tidak menemukan alamatku dengan menyewa mata-mata atau detektif. Hidupku akan hancur jika ular hijau itu menemukanku. Dia seperti perekat yang tidak mudah lepas atau lebih cocok kusebut sebagai lintah saja.
Setengah jam membersihkan tubuhku, membiarkan air dingin tetap mengguyur dari kepalaku, rasanya cukup dingin dan menenangkan.
Klek!
Tubuhku membeku sesaat karena suara pintu yang terbuka, aku tidak mengunci kamar mandi seperti biasa saat berada di rumah besar karena kupikir di sini aku tinggal sendirian dan pintu depan terkunci, jadi siapa yang akan masuk ke kamar mandiku?
Tunggu sebentar, tadi aku membawa masuk seorang perempuan gila.
“Haus, mau air.”
Suara ini ... kebalikan badan hanya untuk mendapati Kanya telah berdiri di ambang pintu kamar mandi, matanya masih mengerjap, belum terbuka sepenuhnya.
“Ah!!! Dasar wanita gila! Pergi sana!” bentakku keras, namun matanya tetap setengah terpejam.
Bergerak cepat, aku mengambil handuk menutupi tubuhku. Setidaknya dia hanya akan melihat tubuh bagian atasku. Sedikit merasa lega karena dia belum membuka mata sepenuhnya.
“Air. Haus.” Ucapnya lagi. Kanya berjalan sempoyongan masuk ke dalam kamar mandi. Tangannya meraba-raba dinding sembari menggaruk kepalanya.
“Kamu tidak bisa minum air dari kamar mandi. Cepat pergi dari sini. Dasar gila!” dengan takut-takut aku menjauh darinya setelah dia makin dekat dengan shower.
“Air. Nyaman banget.”
Hanya tatapan kosong yang bisa aku berikan padanya. Dia mengatakan haus, namun malah membiarkan tubuhnya di guyur oleh air dingin. Tidak ada pilihan lain, selain membawanya keluar.
“Kalau mau mandi, aku akan siapkan air hangat untukmu.”
Aku meraih tubuhnya, tapi sebelum itu Kanya membuka blouse yang dia kenakan dan memperlihatkan tubuhnya yang hanya mengenakan bra. Tidak lupa dia melepaskan celana jeans-nya perlahan.
“Hentikan!” mengambil handuk yang masih tersisa kugunakan untuk membungkus tubuhnya. “Kamu tidak sadar kalau sekarang sedang bersama seorang pria di kamar mandi dan kamu membuka pakaianmu seenaknya di depanku?!”
Napasku jadi tak beraturan setelah aku membentaknya, dengan posisi kami saat ini juga telah membuat jantung meloncat dari tempatnya. Aku memeluknya tanpa sadar dan tubuh kami hanya terbungkus dua handuk. Kulit mulus Kanya menyentuh kulitku, sentuhan ini ... tidak membuatku risi sama sekali.
Kami berdiam cukup lama, sampai Kanya membuka kelopak matanya perlahan. Bulu mata lentiknya bergetar ketika dia mencoba membuka lebar matanya. Dari kedua bola mata itu, aku mendapati diriku yang terbengong menatap wajah perempuan di depanku.
Bentuk wajahnya oval, mata bulat seakan memberikanku kesejukan ketika aku menatapnya berlama-lama, tentunya yang membuat sampai menelan saliva adalah bibir merah alaminya.
“E,Eros ....” Lirihnya memanggil namaku.
Ada sebuah dorongan yang membuatku ingin mendaratkan ciuman pada bibir merah itu. Menggigitnya, juga membenamkannya di bawah tubuhku.
“Eros!” pekiknya membuyarkan fantasiku.
Eros Darwin apa yang telah kamu bayangkan barusan dengan wanita ini?
Aku mempertanyakan diriku sendiri. Di mana kewarasanku saat ini?
🍁Bersambung🍁
Kamu hanya ada dalam fantasiku. — Apple Leaf
Kanya POVTuhan!Aku memekik dalam hati setelah memberi jarak antara wajahku dan wajah Eros. Mataku membulat masih tak percaya bahwa aku berada di dalam kamar mandi bersama seorang pria dengan keadaan pakaian dilucuti, dan pria itu adalah pria tidak jelas antara manusia atau makhluk halus.Apakah Eros telah melepas pakaianku tadi dan mengapa aku bisa berada di kamar mandi bersamanya?Tunggu sebentar. Tadi pagi ketika aku akan menyentuh tangannya, dia sangat tidak nyaman dan tadi siang dia membiarkan aku memeluknya sambil menangis. Saat ini kulit kami sedang bersentuhan dan Eros tidak masalah dengan hal itu?Tapi sekarang aku yang bermasalah, wajahku mulai panas ketika memperhatikan mata Eros bagaikan elang yang siap menerkam mangsanya. Mungkinkah tubuhku terlihat menggoda di matanya? Ada sedikit rasa bangga dalam diriku, namun rasa malu telah menggerogotiku.“Lepaskan aku! Kamu pria mesum. Hantu mesum.”
Eros POVMembulatkan mata tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Aku seperti pria yang tak berdaya di bawah paksaan kedua tangan Kanya yang memeluk erat leherku. Kanya memaksa mendaratkan bibirnya pada bibirku tanpa aba-aba, seketikan membuat tubuhku mematung. Aku bahkan tak bisa mengerjapkan mata ketika melihat bulu mata lentiknya.Kanya memejamkan mata dan bibirnya beramain pada bibirku. Anehnya, aku malah membiarkannya begitu saja. Membiarkan perempuan ini menunudukan kepalaku dan memaksakan dirinya padaku. Bisa kuanggap dia memaksakan diri.Bibirnya terasa halus ketika menyentuh permukaan bibirku dan bibir kami saat ini saling beradu dituntun oleh Kanya, sedang aku hanya diam dan membiarkannya. Kanya memeluk leherku dengan kedua lengannya saling bertautan, beberapa saat dia masih belum melpaskan bibirku dan menikmati aksinya. Mataku masih terbuka melihatnya yang sangat berani mencium seorang pria yang baru di kenalnya—di
Eros POVPekatnya malam di luar sana, juga dinginnya udara yang masuk menelusup melalui pintu balkon yang terbuka melambaikan tirai putih sedikit demi sedikit. Dinginnya angin tersebut tak membuat kamar apartemenku menjadi sejuk.Suhu hangat dari kedua badan yang saling bersentuhan satu sama lain, membuat udara dalam kamar terasa panas untuk kami berdua.Desahan Kanya terdengar merdu ketika aku perlahan membenamkan ciuman panas pada bola kenyal miliknya selama sepersekian menit, mata Kanya telah terpejam menerima hujaman dari bibirku. Lidahku bermain di atasnya dengan berani, setelahnya menggigit kedua bola itu satu per satu tak meninggalkan ruang di sana tanpa bekas bibirku. Terasa lembut seperti permen kapas yang meleleh tiba-tiba di dalam mulutku, juga terasa manis untuk pertama kalinya aku berada di atas tubuh seorang perempuan, dan perempuan ini masih cukup asing karena aku baru mengenalnya sehari.“Ah~” Kanya
Kanya POVSakit!Remuk!Semua tulang-tulangku terasa telah dipotong-potong dengan pisau tajam. Kelopak mataku bergerak-gerak, memaksa untuk terbuka karena rasa nyeri menjalar di seluruh tubuhku saat ini.Ketika netraku telah terbuka dan menangkap langit-langit kamar asing tak seperti langit-langit pada kamarku yang berwarna kuning; khusus aku cat dengan warna kuning, tapi langit-langit kamar ini berwarna putih.Kepalaku amat sakit dan lapar melandaku saat ini; hembusan angin terasa begitu dekat menyapa leherku, serta selimut yang aku gunakan entah kenapa begitu hangat?Aku menoleh ke sampingku dan mendapati seorang pria tertidur pulas dengan napas lembut teratur menyapa leherku. Kupenjamkan mata sejenak; seketika itu memori semalam membanjiri pikiranku saat ini.“Eros sialan!” makiku pelan pada pria dengan bulu mata lentik bak bulu mata wanita. Wajah lelapnya nampak
Kanya POVPunggungku seketika membeku layaknya dihujam oleh ketajaman es batu. Suara itu datang dari belakang, serta hembusan angin membelai rambutku dari arah suara tersebut.Napasku masih sesak terasa sebuah tekanan kuat menghimpit paru-paruku, tidak membiarkan oksigen masuk ke dalamnya. Menyebabkanku memaksa bernapas menggunakan mulut.“Masih mau kabur?”Suara itu lagi semakin mendekati indra pendengaranku, tapi tak terdengar langkah kaki yang membarengi suara tersebut. Suara pria itu terdengar berat dan yang pasti bukanlah suara Eros—pria itu masih tertidur pulas di kamar apartemennya saat ini.“S-si-siapa?” tanyaku terbata-bata belum berani menengok ke belakang.Jika kakiku dapat bergerak, maka aku sudah berlari ke pintu apartemenku yang tinggal beberapa langkah lagi. Sudah di depan mata, tetapi tubuhku malah membeku dan tak bisa digerakkan. Mungkin karena ketakutan akan
Eros POVAku merasakan sesuatu yang lembab dalam genggaman tanganku saat ini. Perlahan membuka kelopak mataku yang masih ingin tertutup. Sesuatu berwarna merah dilema nampak dalam pandanganku seperti pernah kulihat sebelumnya.Perlahan aku menegakkan badan dengan mata yang masih mengerjap lelah. Aku membawa benda tersebut ke dalam pandanganku dan ... undewear seorang wanita yang aku dapati dalam genggamanku. Segera kulemparkan benda keramat itu.Kedua manik mataku menoleh ke samping karena aku baru sadar kalau Kanya telah menghilang. Dia tidak ada di tempat tidurku, padahal dia tertidur lelap semalam di atas bantal lenganku.Kukucek mataku, setelahnya mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, tetapi perempuan itu memang sudah tidak ada.“Kanya?” panggilku pelan.Mungkinkah dia ada di kamar mandi? Aku menerka-nerka sejenak berharap kalau dia masih ada di apartemenku saat ini. Semala
Kanya POVTidak mungkin aku berhalusinasi ketika orang itu nampak sangat nyata, bahkan bau darah yang aku sentuh menggunakan jari tengahku juga asli dan berbau amis layaknya darah manusia.Mungkinkah mata Eros bermasalah atau orang berjas hujan merah pembawa sekop merupakan hantu yang hanya aku sendiri dapat melihat?“Jangan takut lagi. Aku bersamamu.”Eros Darwin saat ini sedang mencoba menenangkan aku yang masih ketakutan, tubuhku bergetar hebat dalam pelukan pria ini. Awalnya karena takut akan mimpi buruk berulangku, aku berharap dapat menjauh dari Eros. Namun apa yang aku lakukan tadi di apartemen Eros tidaklah mungkin membuatku bisa menjauh darinya.Kami baru saja saling mengenal dalam satu hari dan sudah tidur bersama. Apakah semua ini masuk akal? Bahkan kami tidak memiliki perasaan satu sama lain. Apalagi hubungan asmara, dan lagi orang tadi membuatku benar-benar ketakutan setengah mati
Eros POVAku hanya bisa masak bubur sederhana. Selama ini aku belum pernah masak untuk orang lain, dan pertama kalinya aku memasak bubur untuk tetangga gilaku, bukan untuk diriku sendiri. Namun agaknya aku juga merasa sedikit lapar.Sekarang baru pukul 5 pagi, akan terlalu awal jika sarapan di waktu seperti ini karena aku akan lapar lagi nanti. Biar saja Kanya sarapan sendiri. Dia juga pasti belum makan malam karena pulang terlambat semalam. Atau mungkin dia telah makan malam bersama pria itu semalam.Tadi siapa yang dia maksud tidak boleh tahu tentang hal ini? Apakah pria tadi merupakan pacarnya? Dia sudah punya pacar, tapi tidur denganku dan itu juga merupakan pertama kali baginya.“Sudahlah Eros. Dia juga akan melupakan hal ini seperti keinginannya untuk kabur barusan.” Aku menaruh mangkuk bubur di atas nampan dan membawanya ke ruang depan. “Kanya, bubur sudah siap. Cepat keluar!”Menghempaskan t