Share

13. Haus, mau air

Eros POV

Dasar gila! Itulah yang bisa aku katakan pada Kanya yang berteriak histeris setelah melihatku di dalam lift. Apakah aku begitu menyeramkan sehingga dia pingsan?

Aku rela menggendongnya ala bridal karena dia tak kunjung sadar dari pingsannya. Kurasa dia tertidur, dan satu hal lagi aku tak tahu sandi apartemennya. Bagaimana caraku membawanya masuk ke dalam apartemennya?

Meminta kunci manual kepada keamanan dan membiarkannya tergeletak sendirian di depan pintu apartemennya? Bagaimana kalau nanti ada orang yang membawanya pergi? Mengapa aku memiliki banyak pertanyaan dan merasa dilema? Ataukah aku harus membawanya ke apartemenku dulu?

Setelah berpikir lama, akhirnya aku memutuskan untuk membawanya ke apartemenku sementara waktu sampai Kanya sadar. Ya, itu lebih baik daripada dia dijamah para nyamuk di luar sini.

Sembari berjalan pelan menuju apartemenku, aku mengamati bibir Kanya yang merah alami tanpa lipstik tambahan. Dia tidak begitu cantik dan kantong matanya seperti panda. Dia pasti sering begadang, aku dengar tadi pagi dari Bambang kalau dia seorang penulis novel tapi aku belum pernah mendengar namanya.

Mungkin saja dia bukan seorang penulis terkenal.

“Dia lumayan berat, sehari berapa kilo kalori yang dia makan?”

Dengan bersusah payah aku membuka pintu apartemenku sambil menggendongnya dalam pelukanku. Wanita ini merepotkan sejak pagi.

Pagi hari berteriak, siang hari menangis kejang, malam hari berteriak sampai pingsan. Kurasa dia memang memiliki gangguan psikologis yang cukup parah.

“Besok apa lagi yang akan dia lakukan setelah berteriak?”

Menghela napasku pelan dan merebahkan Kanya di sofa panjang. Aku biarkan dia tidur sebentar di sofa dan memulangkannya setelah dia bangun nanti. Mana bisa aku membawanya ke kamar, tempat tidurku akan kotor karena nampaknya perempuan dengan bibir merah ini belum mandi dan masih berbau keringat apalagi dilihat dari sepatu hak yang kotor. Juga banyak pasir menempel pada punggung kakinya. 

“Setelah makan siang, mereka pergi ke pantai sampai jam segini?” gumamku lagi-lagi. “Harus aku apakan wanita ini? Tidak mungkin aku memandikannya, ‘kan?”

Terlalu lelah apalagi harus mengurus tetangga menyebalkan ini. Aku saja belum makan malam dan lihat sekarang stelanku ikut kotor akibat butiran pasir dari kakinya menempel di celanaku.

Mengacak rambutku, merasa tidak beruntung karena pindah ke gedung ini, harusnya aku periksa bagaimana tetanggaku sebelum aku pindah. Dengan berat hati, aku menarik napas dalam, segera melepaskan sepatu hak Kanya.

Sungguh aneh. Bagiku disentuh oleh seorang wanita adalah hal yang paling tidak kusukai di dunia ini, sama seperti tadi pagi ketika dia menyentuh tanganku untuk pertama kalinya. Aku merasa teramat risi, lain halnya dengan tadi siang aku membiarkan dia menangis dalam pelukanku, juga tadi aku menggendongnya dengan tanganku sendiri.

Apakah aku memang aneh?

Berhenti memikirkan hal itu, aku menoleh pada sepatu tersebut dan melemparkannya ke pintu. Melihat tanganku yang kotor, dengan segera aku memiliki niat untuk memotong tanganku sendiri.

Aku cukup gila dalam hal kebersihan. Sedang wanita ini bisa dibilang cukup jorok, tidak seperti Siska yang selalu tampil rapi dan bersih, namun tetap saja ular hijau itu tidak akan bisa membersihkan hatinya.

“Hei, Kanya, bangunlah dan pulang ke apartemenmu.” Kutepuk pipinya beberapa kali. “Oh, aku lupa cuci tangan.” Silih berganti aku melirik pada tanganku lantas wajah Kanya. Aku menyentuh wajahnya dengan tanganku yang tadi aku gunakan untuk melepaskan sepatunya.

“Haha~” tertawa lepas setelahnya karena kurasa hal itu cukup lucu. “Lebih baik aku mandi daripada harus menjagamu di sini.”

🍁🍁🍁

Air dingin mengguyur tubuhku, sedikit menghilangkan kepenatan yang kulalui hari ini. Bukan hanya hari ini, tapi kepenatan yang menumpuk beberapa hari terakhir telah mengganggu pikiranku.

Aku memutuskan untuk pindah ke apartemen kecil ini agar dapat menenangkan pikiranku, juga kabur dari kakek dan Siska. Semoga saja mereka tidak menemukan alamatku dengan menyewa mata-mata atau detektif. Hidupku akan hancur jika ular hijau itu menemukanku. Dia seperti perekat yang tidak mudah lepas atau lebih cocok kusebut sebagai lintah saja.

Setengah jam membersihkan tubuhku, membiarkan air dingin tetap mengguyur dari kepalaku, rasanya cukup dingin dan menenangkan.

Klek!

Tubuhku membeku sesaat karena suara pintu yang terbuka, aku tidak mengunci kamar mandi seperti biasa saat berada di rumah besar karena kupikir di sini aku tinggal sendirian dan pintu depan terkunci, jadi siapa yang akan masuk ke kamar mandiku?

Tunggu sebentar, tadi aku membawa masuk seorang perempuan gila.

“Haus, mau air.” 

Suara ini ... kebalikan badan hanya untuk mendapati Kanya telah berdiri di ambang pintu kamar mandi, matanya masih mengerjap, belum terbuka sepenuhnya.

“Ah!!! Dasar wanita gila! Pergi sana!” bentakku keras, namun matanya tetap setengah terpejam.

Bergerak cepat, aku mengambil handuk menutupi tubuhku. Setidaknya dia hanya akan melihat tubuh bagian atasku. Sedikit merasa lega karena dia belum membuka mata sepenuhnya.

“Air. Haus.” Ucapnya lagi. Kanya berjalan sempoyongan masuk ke dalam kamar mandi. Tangannya meraba-raba dinding sembari menggaruk kepalanya.

“Kamu tidak bisa minum air dari kamar mandi. Cepat pergi dari sini. Dasar gila!” dengan takut-takut aku menjauh darinya setelah dia makin dekat dengan shower.

“Air. Nyaman banget.”

Hanya tatapan kosong yang bisa aku berikan padanya. Dia mengatakan haus, namun malah membiarkan tubuhnya di guyur oleh air dingin. Tidak ada pilihan lain, selain membawanya keluar.

“Kalau mau mandi, aku akan siapkan air hangat untukmu.”

Aku meraih tubuhnya, tapi sebelum itu Kanya membuka blouse yang dia kenakan dan memperlihatkan tubuhnya yang hanya mengenakan bra. Tidak lupa dia melepaskan celana jeans-nya perlahan.

“Hentikan!” mengambil handuk yang masih tersisa kugunakan untuk membungkus tubuhnya. “Kamu tidak sadar kalau sekarang sedang bersama seorang pria di kamar mandi dan kamu membuka pakaianmu seenaknya di depanku?!”

Napasku jadi tak beraturan setelah aku membentaknya, dengan posisi kami saat ini juga telah membuat jantung meloncat dari tempatnya. Aku memeluknya tanpa sadar dan tubuh kami hanya terbungkus dua handuk. Kulit mulus Kanya menyentuh kulitku, sentuhan ini ... tidak membuatku risi sama sekali.

Kami berdiam cukup lama, sampai Kanya membuka kelopak matanya perlahan. Bulu mata lentiknya bergetar ketika dia mencoba membuka lebar matanya. Dari kedua bola mata itu, aku mendapati diriku yang terbengong menatap wajah perempuan di depanku.

Bentuk wajahnya oval, mata bulat seakan memberikanku kesejukan ketika aku menatapnya berlama-lama, tentunya yang membuat sampai menelan saliva adalah bibir merah alaminya.

“E,Eros ....” Lirihnya memanggil namaku.

Ada sebuah dorongan yang membuatku ingin mendaratkan ciuman pada bibir merah itu. Menggigitnya, juga membenamkannya di bawah tubuhku.

“Eros!” pekiknya membuyarkan fantasiku.

Eros Darwin apa yang telah kamu bayangkan barusan dengan wanita ini?

Aku mempertanyakan diriku sendiri. Di mana kewarasanku saat ini?

🍁Bersambung🍁

Kamu hanya ada dalam fantasiku. — Apple Leaf

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status