Eros POV
Aku memarkir mobilku di sembarang, ketika sampai di depan kantor, lantas keluar dari mobil. Melemparkan kunci pada satpam adalah hal pertama yang kulakukan ketika kakiku menyentuh lantai.
“Selamat siang, Pak Direktur.”
Sapaan yang sama setiap pagi, membuatku enggan untuk sekadar menyahut. Hanya menganggukkan kepalaku sebagai balasan atas kesopanan mereka.
“Pak Direktur, Anda sudah tiba?” pria dengan penampilan kaku dan membosankan jauh-jauh menghampiriku ketika baru melihatku turun dari mobil. Raut mukanya dilingkupi kepanikan, serta saputangan yang digunakan untuk menyeka dahinya membuktikan bahwa keringat dingin telah mengguyurnya barusan. “Presdir Irwan tengah menunggu Anda di kantor sejak tadi. Beliau sepertinya marah sekali karena Anda pindah dari rumah besar.”
Langkahku bergegas menuju lift karena asisten pribadiku memberitahukan bahwa si tua Irwan pemilik dari perusahaan ini atau yang tidak lain merupakan kakekku sendiri—tengah berada di kantorku. Tidak perlu membayangkan bagaimana raut mukanya saat ini, dia pasti sedang duduk di sofa dan kedua telapak tangannya sedang bertumpu pada tongkat kayu kebesarannya sembari mengernyit.
“Aku sudah memutuskan untuk pindah dan tidak ada yang bisa mencegahku.” Memasuki lift seraya melonggarkan dasiku, aku kembali teringat akan wanita bernama Kanya. Dadaku terasa sesak saat tangisnya menggema di telingaku. “Ah!” kepalan tanganku meninju dinding lift.
“Pak Direktur! Anda tidak apa-apa?”
Rudy—asistenku merasa sangat tertekan juga khawatir di saat yang bersamaan melihat keadaanku saat ini. Bukan karena masalah ini, namun karena wanita bernama Kanya tengah membuat pikiranku setengah kacau. Apalagi ketika dia keluar dari mobilku dengan wajah begitu takut.
Apakah aku begitu menyeramkan?
Setelah kuperhatikan, bekas air mata Kanya memberikan noda pada kemeja putih yang tengah aku kenakan. “Rudy, bawakan setelan ganti untukku.”
Rudy mengangguk. “Baik, Pak Direktur.”
Setelah pintu lift terbuka, tidak menunggu lagi aku melangkah menuju ke kantorku. Tadi malam aku kembali ke perusahaan untuk menyelesaikan pekerjaanku, hingga pagi tadi aku tertidur di mejaku.
Sempat pulang ke apartemen yang baru dan mendapati drama dari wanita gila yang berteriak pagi-pagi. Ah, wanita itu lagi. Sejak pagi tak ada habisnya memikirkan wanita aneh itu.
Tanpa kusadari langkahku terhenti di depan pintu kantorku, ada rasa enggan membuka pintu tersebut hanya untuk mendapati semburan dari kakek.
“Pak Direktur ... apakah ada masalah?” Rudy bertanya seraya menyeka keringatnya.
“Jangan terlalu khawatir. Kamu tegang sekali.”
“Ma-maaf Pak Direktur, saya hanya sedikit panik.” Sekali lagi dia menyeka bulir keringat pada dahinya. Tangannya nampak gemetar, semua masalah yang aku sebabkan tidak ada hubungannya dengan Rudy, namun dia malah ketakutan sendiri. “Apa perlu saya bukakan pintu, Pak?”
“Tidak perlu.” Kubuka pintu dan benar saja. Irwan Darwin telah duduk di sofa seraya kedua telapak tangannya bertumpu pada tongkat kebesarannya.
Dia menatap tajam ke arahku yang masih berdiri di ambang pintu. Sungguh aku sangat enggan untuk berdebat dengannya. Aku masih merasa lelah dan cukup mengantuk karena lembur tadi malam. Sebenarnya tongkat itulah yang membuat Rudy menjadi gentar. Rudy takut kalau-kalau kakek akan memukulku menggunakan tongkat tersebut seperti sebelum-sebelumnya.
Kali ini tidak akan kubiarkan.
“Kenapa masih berdiri di sana? Cepat masuk!” nada sedingin guyuran air kulkas menyapa indra pendengaranku. Semakin enggan untuk melangkahkan kakiku, apalagi ditambah dengan senyum nakal dari sekretaris kakek yang duduk di sebelahnya. Tambah menguatkan keenggananku memasuki kantorku sendiri.
Dengan malas akhirnya aku melangkah masuk menghampiri orang tua itu. Menghempaskan tubuhku dengan kasar di atas sofa sambil menatap kakek dengan berani.
“Kamu sudah berani menatapku seperti itu.”
Tongkat di tangannya sudah siap mendarat di kepalaku. Tak ada yang aku takutkan, jika kepalaku berdarah, aku hanya perlu mengobatinya saja.
“Pak Presdir mohon tenang.” Rudy bersimpuh memegangi tongkat tersebut dengan kedua tangannya. Dia merupakan orang kepercayaanku dan begitu setia padaku. Lihat sekarang keringat dingin pada dahinya telah mengucur.
Aku merasa kasihan padanya harus ikut dalam pertengkaran keluarga ini.
“Eros Darwin, katakan apa maumu sebenarnya dengan keluar dari rumah besar?” kakek bertanya dengan napas yang sudah teratur setelah ditenangkan oleh sekretarisnya.
Huh? Wanita itu bisa menjadi obat penenang bagi kakek, tapi menurutku lebih tepatnya dia seperti ular hijau. Aku tidak sudi untuk melihatnya. Benar-benar tidak sudi.
“Kakek, aku sudah mengatakannya sebelum aku pergi. Aku tidak perlu mengatakannya berulang kali, ‘kan?” kujawab pertanyaannya dengan santai seraya melonggarkan dasiku. Ruangan ini cukup pengap terasa, meski hanya di huni oleh empat orang saja. Sudah cukup menyesakkan bagiku.
“Eros ... kalau kamu tidak menginginkan pernikahan ini, aku tidak akan bersikeras.” Suara lembut dari wanita berbusana kalem yang duduk di sebelah kakek akhirnya mengeluarkan pendapatnya.
Inilah yang ingin aku dengar, meskipun perkataan itu sama sekali tidak tulus. Mana mungkin ular itu akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menikah denganku, sedang keluarganya sangat mengidam-idamkan kekayaan keluarga Darwin?
“Siska!” seru Irwan Darwin.
“Tidak apa-apa, Kakek, pernikahan bisa ditunda sampai Eros siap. Aku bersedia menunggu.” Ucapnya lagi dengan penuh penekanan bahwa dia bersedia menungguku.
Menungguku?
Mimpi saja! Tunggulah aku sampai dunia kiamat.
Beraninya dia memanggil Irwan sebagai kakeknya, hanya karena keluarganya berjasa dia bisa seenak jidatnya?
Jika dilihat lebih teliti, wajah wanita bernama Kanya lebih alami tidak terlalu banyak polesan apalagi bibir merah alaminya. Dia lebih cantik daripada ular hijau ini. Tapi sayang sekali wanita itu agaknya memiliki gangguan kejiwaan. Membayangkan bagaimana dia memelukku dengan erat tidak ingin aku mati, sungguh membuatku ingin tergelak saat ini juga.
“Pak Direktur?” Rudy memanggilku, tanpa kusadari sedari tadi mereka bertiga menatapku karena ujung bibirku tersungging.
“Nampaknya Eros merasa senang karena pernikahan ini ditunda. Jadi, apakah kamu bisa pulang ke rumah besar?”
Siska bangkit dari duduknya, dia menghampiriku dan duduk perlahan di sampingku, mengamatiku serta membaui pakaianku. Dia mengulas senyum dingin, nampaknya dia mencium bau parfum Kanya yang masih tertinggal di jasku.
Aku mengelih pada Irwan dan tidak memedulikan Siska. Terserah dia mau berpikir apa pun, aku juga tidak akan menikahinya. “Kakek ingin aku kembali ke rumah besar?” tanyaku basa-basi. Lebih baik aku bernegosiasi dengan orang tua ini.
“Apa syaratmu?”
Menatap ke arah Siska, aku menyunggingkan sebuah seringai tipis. “Jangan biarkan wanita ini tinggal di rumah besar.”
Plak! Irwan menghentakkan tongkatnya dan langsung berdiri dari duduknya. Terlihat sangat marah setelah melontarkan syaratku.
“Kakek tenanglah!” Siska bergegas menenangkan Irwan. Wanita bermuka dua yang selalu mempunyai banyak cara untuk memenangkan hati orang lain. Jika aku adalah seorang psikopat, maka dia akan menjadi korban pertamaku, sayang sekali aku bukanlah psikopat.
“Lancang sekali! Siska akan menjadi cucu menantuku, dia harus tinggal di rumah besar dan mengurus keluarga ini.”
“Kalau begitu kakek saja yang menikah dengannya.” Ujarku tanpa basa-basi.
Beranjak dari dudukku, pembicaraan ini sudah tidak bisa dilanjutkan lagi. Aku melangkah cepat menuju meja kerjaku. “Pekerjaanku sangat banyak.” Kataku tegas menyiratkan agar mereka pergi dari kantorku.
“Dasar kurang ajar.”
Bersambung
Eros POVKanya sudah tertidur lelap setelah aku membacakan dongeng untuknya. Seperti anak kecil saja, tumben sekali dia memintaku membacakan dongeng untuknya.Kuperhatikan wajah Kanya yang tertidur pulas di atas lenganku. Aku tidak bisa membantu, tapi menanamkan beberapa kecupan pada wajahnya.Sangat manis dan sangat indah. Andai saja aku bisa melihat wajahnya yang tertidur pulas setiap hari; maka hari-hariku akan dipenuhi kebahagiaan, ‘kan?Akan tetapi, masih ada beberapa masalah yang belum selesai. Aku yakin kalau ambisi Siska tidak akan berhenti sampai di sini. Memang dia belum berhenti mengejarku, bahkan setelah aku permalukan.Mungkin saja dia akan menjadi lebih berkulit tebal.“Aku harus bangun dan berbicara pada Rudy, juga kedua orang bodoh itu.”Aku mengangkat kepala Kanya perlahan-lahan dengan lembut, agar dia t
Kanya POVIni seperti mimpi yang aku alami ketika menginap di apartemen Eros, tapi sekarang aku menyaksikan pria itu secara nyata. Aku ragu untuk menceritakannya pada Eros. Takut kalau dia tidak akan percaya pada cerita.Orang-orang menganggapku aneh, menyarankan agar aku menemui psikiater secepatnya. Namun, aku baik-baik saja dan tidak ingin merepotkan diri bertemu dengan psikiater. Apalagi sekarang yang aku lihat bukanlah ilusi, melainkan kenyataan.Tanpa aku sadari, telapak tangan Eros menyentuh pipiku, “Tidak apa-apa Kanya. Aku tahu kamu pasti berpikir kalau aku tidak akan mempercayaimu, ‘kan? Kamu hanya perlu menceritakannya padaku, bukankah kamu tahu kalau aku selalu mempercayaimu? Lalu mengapa sekarang kamu ragu?”Aku menempatkan tanganku di atas punggung tangan Eros, “Aku takut kamu nggak percaya dan menganggap aku gila.”Eros menggeleng, &ld
Eros POVPria itu ingin membunuh Kanya?Siapa?Siapa yang berani menyentuh wanitaku?“Tenanglah Kanya. Selama aku ada di sisimu, tidak akan ada yang berani menyentuhmu.”Aku menenangkan Kanya untuk beberapa saat, sambil memeluk dan juga menepuk punggungnya. Tubuhnya yang menggigil ketakutan sudah agak lebih tenang.“Tidak apa-apa, kamu bisa membuka matamu sekarang.”Aku membebaskan diri dari pelukan Kanya, lalu mengamati wajahnya. Matanya masih tertutup dan alisnya yang cantik itu berkerut.Jemari tanganku perlahan menyentuh alis cantik milik Kanya, lalu menekannya dengan lembut dan meluruskannya kembali.Dia tampak ketakutan berlebih. Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Kenapa dia mengalami hal-hal tidak terduga yang membuatnya amat ketakutan?“
Kanya POVSamar-samar aku melihat sinar ketika perlahan-lahan membuka kelopak mataku. Namun, masih terasa berat untuk kubuka, aku membiarkan mataku terpejam kembali selama beberapa saat, sebelum aku siap membuka mataku kembali.Aku merasakan kepalaku seolah terbentur keras ke lantai yang menyebabkan kepalaku saat ini menjadi sakit. Ngomong-ngomong, aku masih memejamkan mata, tetapi kesadaranku telah pulih. Tampaknya aku pingsan dan sangat lama, dapat aku rasakan dari badanku yang mati rasa karena tidak bergerak untuk waktu yang lama.Jika aku mengingat kembali, pada saat itu, aku berada di kamar 333 di dalam gedung Sun dan pria berjas hujan merah itu yang merencanakan semua itu. Pria itu benar-benar nyata, bukanlah ilusiku.Kalau aku katakan pada Eros bahwa, pria itu memang nyata dan berniat untuk membunuhku; apakah dia akan percaya padaku? Ataukah dia akan menatapku dengan sorot mata jijik?&
Eros POVHuh!Aku berhasil!Pada akhirnya, aku berhasil meyakinkan kakek. Kalau saja kakek mau mendengarkanku sejak awal, maka aku tidak perlu mengeluarkan usaha untuk menolak dan mempermalukan Siska.Meskipun begitu, aku cukup senang telah memberikan balasan pada wanita ular itu. Setelah aku keluar dari ruangan kakek, aku mendengar Siska menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak peduli, dan membiarkan kakek mengatasinya sendiri.Kakek yang memulainya dan memberikan harapan pada Siska, maka itu bukanlah urusanku lagi.Aku harap kakek tidak akan mengubah pikirannya lagi karena air mata wanita itu. Bahkan air matanya tidaklah keluar dari lubuk hatinya. Maksudku, dia sama sekali tidak tulus dan hanya berpura-pura saja.“Aku harus merayakannya dengan Kanya. Bagaimana kalau mengajaknya makan malam?”
Kanya POV“Sial!”Aku memaki, dan mencoba membuka pintu itu, berusaha dengan sekuat tenaga, tapi melebihi kemampuanku. Sepertinya aku akan terjebak di sini kalau dua bodyguard itu tidak datang untuk menolongku.Rupanya benar semua ini adalah jebakan. Namun sampai sekarang tidak ada yang keluar dan mereka benar-benar menakuti.“Keluar kalian semua! Gue bakal lapor polisi setelah gue keluar dari sini.”“Keluar dari sini?”Jantungku tiba-tiba hampir berhenti berdetak, mendengar pertanyaan dari suara yang begitu dingin. Perlahan tengkuku mulai dingin, keringat dingin juga sudah membasahi dahi, apalagi tubuhku. Layaknya dimandikan oleh keringat akan ketakutan.Aku tidak bisa bohong kalau saat ini, begitu sulit bagiku untuk sekadar menelan saliva. Tubuhku perlahan-lahan menggigil ketika kesadaranku telah kemb
Eros POVAku keluar mengejar Siska untuk melihat aktingnya. Dia berjalan agak lambat sambil menangis tersedu, memperlihatkan pada mereka semua kalau aku telah membuatnya kecewa. Hatinya pasti sakit, seperti ditusuk-tusuk ribuan kali.“Pak Direktur.”“Kayaknya mereka berantem.”“Kita pura-pura nggak tahu saja.”“Tapi, tadi sekretaris Siska bilang; wanita itu. Maksudnya Pak Direktur punya wanita lain?”“Pak Direktur selingkuh?”“Shht! Diam semuanya.”Aku dapat mendengar semua yang mereka bisikkan. Siska juga pasti dengar dengan jelas, dan aku sudah dapat mengira ekspresinya saat ini. Dia pasti senang dan mengira kalau akan menyesal, sehingga aku keluar untuk menyusulnya. Aku mau lihat seberapa bagus aktingnya.Siska berhenti, la
Kanya POVAku bosan diganggu oleh wanita itu, dengan berat hati aku memutuskan untuk pergi ke gedung Sun. Memang tidak jauh dari gedung apartemenku, tapi aku menggunakan taksi juga.Entah apa yang akan aku temukan di sana karena wanita itu mengatakan paket itu penting, dan juga berhubungan dengan sahabatku, tapi aku hanya punya satu sahabat di sini, dan itu adalah Samuel. Dia sedang di luar kota sekarang, dan sakit pula.Kemungkinan ada yang mengirim paket padanya, dan meninggalkannya di gedung Sun, atau mungkin ada yang berniat jahat pada Samuel.Sepertinya aku harus mencari tahu, dan keputusanku untuk datang mungkin bisa benar, bisa juga salah. Serius, aku tidak tahu apa yang menungguku di dalam sana.Aku sudah berada di depan gedung Sun, dan dua bodyguard itu tengah mengawasi aku dari jauh. Jika terjadi sesuatu padaku, mereka bisa menolongku dan juga menelepon Eros kalau aku t
Eros POV“Eros!” Siska menggebrak meja.Amarahnya tampak menggebu-gebu. Tadi dia bersikap layaknya seorang istri yang dibuang oleh suaminya. Benar, tadi dia hanya berakting polos di depan kakek. Wanita ular tetaplah wanita ular, dia tidak akan bisa menjadi manusia seutuhnya.“Heh, sudah selesai berakting?” aku mencibir.Wanita ini penuh akan kepura-puraan. Dia tidak perlu diberikan hati sama sekali. Mereka semua buta setelah melihat wajah polos dan aktingnya. Namun, dia tidak akan bisa membohongiku, mau sekeras apa pun dia berusaha.Sekarang sudah terlihat jelas kalau dia marah setelah aku permalukan di restoran tadi. Dia sendiri tidak menolak ketika kakek mengajaknya, dan malah dengan senang hati menerima. Aku tidak segan untuk mempermalukannya di depan banyak orang.Mungkin lain kali, aku akan mempermalukannya lebih dari ini agar kes