Share

11. Dasar kurang ajar

Eros POV

Aku memarkir mobilku di sembarang, ketika sampai di depan kantor, lantas keluar dari mobil. Melemparkan kunci pada satpam adalah hal pertama yang kulakukan ketika kakiku menyentuh lantai.

“Selamat siang, Pak Direktur.”

Sapaan yang sama setiap pagi, membuatku enggan untuk sekadar menyahut. Hanya menganggukkan kepalaku sebagai balasan atas kesopanan mereka.

“Pak Direktur, Anda sudah tiba?” pria dengan penampilan kaku dan membosankan jauh-jauh menghampiriku ketika baru melihatku turun dari mobil. Raut mukanya dilingkupi kepanikan, serta saputangan yang digunakan untuk menyeka dahinya membuktikan bahwa keringat dingin telah mengguyurnya barusan. “Presdir Irwan tengah menunggu Anda di kantor sejak tadi. Beliau sepertinya marah sekali karena Anda pindah dari rumah besar.”

Langkahku bergegas menuju lift karena asisten pribadiku memberitahukan bahwa si tua Irwan pemilik dari perusahaan ini atau yang tidak lain merupakan kakekku sendiri—tengah berada di kantorku. Tidak perlu membayangkan bagaimana raut mukanya saat ini, dia pasti sedang duduk di sofa dan kedua telapak tangannya sedang bertumpu pada tongkat kayu kebesarannya sembari mengernyit.

“Aku sudah memutuskan untuk pindah dan tidak ada yang bisa mencegahku.” Memasuki lift seraya melonggarkan dasiku, aku kembali teringat akan wanita bernama Kanya. Dadaku terasa sesak saat tangisnya menggema di telingaku. “Ah!” kepalan tanganku meninju dinding lift.

“Pak Direktur! Anda tidak apa-apa?”

Rudy—asistenku merasa sangat tertekan juga khawatir di saat yang bersamaan melihat keadaanku saat ini. Bukan karena masalah ini, namun karena wanita bernama Kanya tengah membuat pikiranku setengah kacau. Apalagi ketika dia keluar dari mobilku dengan wajah begitu takut.

Apakah aku begitu menyeramkan?

Setelah kuperhatikan, bekas air mata Kanya memberikan noda pada kemeja putih yang tengah aku kenakan. “Rudy, bawakan setelan ganti untukku.”

Rudy mengangguk. “Baik, Pak Direktur.”

Setelah pintu lift terbuka, tidak menunggu lagi aku melangkah menuju ke kantorku. Tadi malam aku kembali ke perusahaan untuk menyelesaikan pekerjaanku, hingga pagi tadi aku tertidur di mejaku. 

Sempat pulang ke apartemen yang baru dan mendapati drama dari wanita gila yang berteriak pagi-pagi. Ah, wanita itu lagi. Sejak pagi tak ada habisnya memikirkan wanita aneh itu.

Tanpa kusadari langkahku terhenti di depan pintu kantorku, ada rasa enggan membuka pintu tersebut hanya untuk mendapati semburan dari kakek.

“Pak Direktur ... apakah ada masalah?” Rudy bertanya seraya menyeka keringatnya.

“Jangan terlalu khawatir. Kamu tegang sekali.”

“Ma-maaf Pak Direktur, saya hanya sedikit panik.” Sekali lagi dia menyeka bulir keringat pada dahinya. Tangannya nampak gemetar, semua masalah yang aku sebabkan tidak ada hubungannya dengan Rudy, namun dia malah ketakutan sendiri. “Apa perlu saya bukakan pintu, Pak?”

“Tidak perlu.” Kubuka pintu dan benar saja. Irwan Darwin telah duduk di sofa seraya kedua telapak tangannya bertumpu pada tongkat kebesarannya.

Dia menatap tajam ke arahku yang masih berdiri di ambang pintu. Sungguh aku sangat enggan untuk berdebat dengannya. Aku masih merasa lelah dan cukup mengantuk karena lembur tadi malam. Sebenarnya tongkat itulah yang membuat Rudy menjadi gentar. Rudy takut kalau-kalau kakek akan memukulku menggunakan tongkat tersebut seperti sebelum-sebelumnya.

Kali ini tidak akan kubiarkan.

“Kenapa masih berdiri di sana? Cepat masuk!” nada sedingin guyuran air kulkas menyapa indra pendengaranku. Semakin enggan untuk melangkahkan kakiku, apalagi ditambah dengan senyum nakal dari sekretaris kakek yang duduk di sebelahnya. Tambah menguatkan keenggananku memasuki kantorku sendiri.

Dengan malas akhirnya aku melangkah masuk menghampiri orang tua itu. Menghempaskan tubuhku dengan kasar di atas sofa sambil menatap kakek dengan berani.

“Kamu sudah berani menatapku seperti itu.”

Tongkat di tangannya sudah siap mendarat di kepalaku. Tak ada yang aku takutkan, jika kepalaku berdarah, aku hanya perlu mengobatinya saja.

“Pak Presdir mohon tenang.” Rudy bersimpuh memegangi tongkat tersebut dengan kedua tangannya. Dia merupakan orang kepercayaanku dan begitu setia padaku. Lihat sekarang keringat dingin pada dahinya telah mengucur. 

Aku merasa kasihan padanya harus ikut dalam pertengkaran keluarga ini.

“Eros Darwin, katakan apa maumu sebenarnya dengan keluar dari rumah besar?” kakek bertanya dengan napas yang sudah teratur setelah ditenangkan oleh sekretarisnya.

Huh? Wanita itu bisa menjadi obat penenang bagi kakek, tapi menurutku lebih tepatnya dia seperti ular hijau. Aku tidak sudi untuk melihatnya. Benar-benar tidak sudi.

“Kakek, aku sudah mengatakannya sebelum aku pergi. Aku tidak perlu mengatakannya berulang kali, ‘kan?” kujawab pertanyaannya dengan santai seraya melonggarkan dasiku. Ruangan ini cukup pengap terasa, meski hanya di huni oleh empat orang saja. Sudah cukup menyesakkan bagiku.

“Eros ... kalau kamu tidak menginginkan pernikahan ini, aku tidak akan bersikeras.” Suara lembut dari wanita berbusana kalem yang duduk di sebelah kakek akhirnya mengeluarkan pendapatnya.

Inilah yang ingin aku dengar, meskipun perkataan itu sama sekali tidak tulus. Mana mungkin ular itu akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menikah denganku, sedang keluarganya sangat mengidam-idamkan kekayaan keluarga Darwin?

“Siska!” seru Irwan Darwin.

“Tidak apa-apa, Kakek, pernikahan bisa ditunda sampai Eros siap. Aku bersedia menunggu.” Ucapnya lagi dengan penuh penekanan bahwa dia bersedia menungguku.

Menungguku?

Mimpi saja! Tunggulah aku sampai dunia kiamat.

Beraninya dia memanggil Irwan sebagai kakeknya, hanya karena keluarganya berjasa dia bisa seenak jidatnya? 

Jika dilihat lebih teliti, wajah wanita bernama Kanya lebih alami tidak terlalu banyak polesan apalagi bibir merah alaminya. Dia lebih cantik daripada ular hijau ini. Tapi sayang sekali wanita itu agaknya memiliki gangguan kejiwaan. Membayangkan bagaimana dia memelukku dengan erat tidak ingin aku mati, sungguh membuatku ingin tergelak saat ini juga.

“Pak Direktur?” Rudy memanggilku, tanpa kusadari sedari tadi mereka bertiga menatapku karena ujung bibirku tersungging.

“Nampaknya Eros merasa senang karena pernikahan ini ditunda. Jadi, apakah kamu bisa pulang ke rumah besar?”

Siska bangkit dari duduknya, dia menghampiriku dan duduk perlahan di sampingku, mengamatiku serta membaui pakaianku. Dia mengulas senyum dingin, nampaknya dia mencium bau parfum Kanya yang masih tertinggal di jasku.

Aku mengelih pada Irwan dan tidak memedulikan Siska. Terserah dia mau berpikir apa pun, aku juga tidak akan menikahinya. “Kakek ingin aku kembali ke rumah besar?” tanyaku basa-basi. Lebih baik aku bernegosiasi dengan orang tua ini.

“Apa syaratmu?”

Menatap ke arah Siska, aku menyunggingkan sebuah seringai tipis. “Jangan biarkan wanita ini tinggal di rumah besar.”

Plak! Irwan menghentakkan tongkatnya dan langsung berdiri dari duduknya. Terlihat sangat marah setelah melontarkan syaratku.

“Kakek tenanglah!” Siska bergegas menenangkan Irwan. Wanita bermuka dua yang selalu mempunyai banyak cara untuk memenangkan hati orang lain. Jika aku adalah seorang psikopat, maka dia akan menjadi korban pertamaku, sayang sekali aku bukanlah psikopat.

“Lancang sekali! Siska akan menjadi cucu menantuku, dia harus tinggal di rumah besar dan mengurus keluarga ini.”

“Kalau begitu kakek saja yang menikah dengannya.” Ujarku tanpa basa-basi. 

Beranjak dari dudukku, pembicaraan ini sudah tidak bisa dilanjutkan lagi. Aku melangkah cepat menuju meja kerjaku. “Pekerjaanku sangat banyak.” Kataku tegas menyiratkan agar mereka pergi dari kantorku.

“Dasar kurang ajar.”

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status