Dengan kesal, Vira menghentakkan kakinya sambil menyetir."Kurang ajar, aku sudah berusaha bersikap baik dan memohon sama kamu, Di. Tapi begitu cara kamu menanggapi permohonanku? Kita lihat, siapa yang akan memenangkan pertarungan ini!"Sambil terus memaki dan mengomel, dia membelokkan mobilnya memasuki sebuah cafe."Lebih baik aku menenangkan diri dulu," pikirnya sambil melangkah masuk.Dengan gemulai dia melangkah memasuki cafe yang tampak ramai pengunjung itu, rambut hitamnya yang panjang bergelombang bergoyang seiring langkah kakinya. Vira memang cantik, tak mengherankan bila dia bisa menggoda iman Alex yang dulu begitu setia pada Dian, istrinya.Vira sengaja memilih duduk di sudut ruangan yang agak remang. Setelah memesan minuman dia mengeluarkan rokok putih dan gawai dari dalam tasnya.Ting!Baru saja dia membuka kunci gawai, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal."Hati-hati, aku akan segera datang menjemputmu"Hanya itu pesan yang terbaca, tanpa menyebut siapa dan apa maksu
"Mau lari ke mana kamu, tidak akan ada yang bisa menolongmu perempuan jalang!" ucap seseorang yang baru saja bertabrakan dengan Vira. Dia mengenakan pakaian serba hitam, bahkan penutup muka dan kepala yang juga serba hitam. Tak bisa dikenali, apakah dia pria atau wanita."Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan dariku?" teriak Vira dengan histeris di tengah kegelapan dan keheningan malam."Hahaha, kamu memang harus tau siapa aku agar arwahmu tak akan penasaran," jawab orang itu,"Aku! Malaikat kematianmu. Yang akan membawamu ke neraka bersama orang-orang licik lainnya!" ucapan orang itu terdengar sangat dalam dan mengerikan. Bulu kuduk Bira meremang, tubuhnya bergetar ketakutan, keringat membasahai keningnya, padahal saat itu udara terasa sangat dingin menusuk tulang."Kamu pasti orang suruhan Dian, kan? Berapa dia membayarmu? Aku akan membayar dua kali lipat, tapi lepaskan aku dan bunuh dia!" ucap Vira di antara rasa takutnya."Aku bahkan tidak mengenal orang yang kamu sebutkan! Bersiap saj
"Maaf, Bu! Tapi saya sudah janji sama Ibu saya akan pulang tepat waktu hari ini," jawab Ranti mencoba memberi alasan."Oh, begitu, ya?" Dian nampak sedikit kecewa. Namun hanya menatap bawahannya itu dengan termangu."Tak mungkin aku ke sana sendirian. Tapi kalau tidak ke sana pasti malah menimbulkan kecurigaan polisi," bisik hatinya."Iya, Bu. Maaf sekali, soalnya anak saya sedang kurang sehat, jadi neneknya agak kerepotan," tambah Ranti lirih, takut jika akan membuat Managernya marah."Ya, sudah. Kalau begitu, tolong panggil Ayuk ke sini, ya!" perintah Dian pelan sambil kembali fokus pada laptopnya di hadapannya."Baik, Bu Dian." Ranti mengangguk sambil melangkah keluar dari ruangan itu. Ranti segera menuju ke ruangannya dan menjumpai Ayu yang masih sibuk menjilid file sambil matanya tak lepas dari komputer, takut ada berkas yang tercecer."Yuk, kamu suruh ke ruangan Bu Dian sekarang," kata Ranti menghampirinya."Waduh! Gimana, nih. Masih banyak file yang mesti aku beresin. Kalau sam
"Eh! Pak Andika, selamat sore, Pak!" balas sapa Ranti dengan canggung."Ada perlu apa datang ke rumah sakit ini?" tanya orang yang menyapa tadi, ternyata adalah Inspektur Andika, satu-satunya orang yang sangat ingin dihindari oleh Ranti saat ini."Oh, ini. Saya menemani Bu Dian datang ke sini," jawabnya lagi masih dengan gugup. Matanya langsung menatap Bu Dian yang balas menatapnya dengan penuh tanya."Ini_?" Dian mengulurkan tangannya kepada Inspektur Andika yang langsung menyambutnya."Andika!" jawab Andika ramah."Ini Kepala Polisi wilayah Yamon, Bu." Ranti menjelaskan tanpa diminta."Ah! Selamat sore, Pak," sapa Dian pula."Selamat sore! Baik, saya ke sana dulu," ucap Andika dan melangkah dengan tegas meninggalkan kedua wanita yang menatapnya dengan pikirannya masing-masing."Kok, kamu bisa mengenal Kepala Polisi, Ran?" tanya Dian tiba-tiba. Membuat jantung Ranti hampir copot. Tak mungkin dia mengakui yang sebenarnya bahwa dia pernah dimintai keterangan oleh polisi atas kasus pemb
"Dian_!" perintah Andika tegas."Baik, Pak!" jawab Letnan Yusa. "Tunggu! Selidiki juga tentang Alex dan_," Andika menghentikan ucapannya sejenak dan berusaha menelan salivanya yang tercekat di tenggorokan."Dan siapa, Pak?" tanya Letnan Yusa penasaran."Ranti," lirih suara Andika, namun tegas."Ranti? Siap, Pak!" Letnan Yusa bergegas keluar dari ruangan Andika dan mulai meneliti data-data melalui komputernya.Tentu saja, data komputer hanya menyajikan sebagian dari data kehidupan dari ketiga orang tersebut. Besok dia akan menyebar anak buahnya untuk mencari informasi di lapangan.Karena sudah terlalu larut, akhirnya Andika memutuskan untuk pulang lebih dulu sambil memikirkan langkah selanjutnya untuk dapat segera menuntaskan kasus yang sedang diselesaikan.***Dari rumah sakit, Ranti tidak langsung pulang ke rumahnya karena Dian mengajaknya makan malam lebih dulu di sebuah restoran.Karena memang perutnya sudah keroncongan, tentu saja Ranti tak menolak.Ting!Ranti melirik gawai yang
Di depan mobil yang ditumpanginya, ternyata ada dua orang pengendara motor yang cukup mencurigakan. Keduanya mengenakan pakaian dan aksesoris yang serba hitam. Wajah mereka sama sekali tidak terlihat hanya menyisakan mata mereka yang nampak nyalang menatap ke arah Driver taksi online yang ditumpangi Ranti."Woooyyy! pak, pakai mata donk. Awas, Lu, kalau motor gua sampe lecet!" Teriak salah seorang dari mereka dengan galak."I-iya, Mas, maaf! Saya kurang hati-hati," jawab Driver itu mengalah. Padahal siapapun yang melihat pasti tahu bahwa kedua orang itu lah yang salah dan menghalangi jalan."Mas-mas, Nenek moyang lu!" sentak salah satunya lagi seakan tak terima dengan panggilan itu."Maaf, Den!" Lirih suara Si Bapak tercekat di tenggorokan.Tanpa menjawab lagi, kedua orang itu langsung tancap gas dan meninggalkan mereka dengan suara bising dari knalpot kendaraannya."Kok, aku seperti pernah lihat motor itu, ya? Tapi di mana?" gumam Ranti mengerutkan dahi mencoba mengingat. Namun, teta
Dengan berat, Ranti membuka matanya yang terasa perih.Dia berusaha menarik napasnya yang sesak, namun dadanya terasa sakit, seperti ditimpa oleh batu besar hingga membuatnya terengah-engah dan sulit bernapas.Setelah menarik napas dalam secara perlahan, dia merasa lebih baik.Matanya memandang berkeliling, mencoba memahami apa yang terjadi dan di mana dia berada saat ini.Dia merasa sebuah tangan dingin sedang menggenggam jemari tangannya.Kesadarannya mulai pulih, melirik ke sisi kanan, ternyata ibunya yang sedang menggenggam tangannya dengan erat.Bu Diah duduk di sisi pembaringan, tubuhnya membungkuk lelah dan kepalanya diletakkan di tempat tidur. Wajahnya yang mulai keriput menghadap ke arah putrinya yang terbaring di atas tempat tidur.Ranti menatapnya dengan haru. Dia mulai teringat kejadian yang dialaminya sebelum terbangun di kamar yang dia yakini sebagai kamar rumah sakit. Semua kejadian itu terekam ulang dengan jelas dalam ingatannya.Lalu, siapa yang telah membawanya ke ru
Inspektur Andika terdiam sesaat seraya menatap tajam ke manik mata Ranti, membuat wajah wanita cantik itu memucat dan tertunduk seketika."Mereka bilang, ada yang datang dan menghajar mereka sebelum polisi tiba di lokasi," jawab Andika singkat.Tentu saja, dia seorang polisi, seharusnya dia lah yang meminta keterangan."Berarti bayangan yang datang itu buka polisi," gumam Ranti seolah bicara pada dirinya sendiri. Sang Inspektur yang berwajah tampan namun tegas itu langsung menatapnya dengan tajam, penuh tanya."Apakah Ibu Ranti sempat melihat siapa yang datang?" tanya Andika segera."Saya hanya melihat sekilas bayangan hitam yang langsung menghantam orang yang memukul dan menendang saya sebelumnya. Setelah itu, semuanya menjadi gelap," jawab Ranti dengan pandangan menerawang, mencoba mengumpulkan memorinya."Apa Ibu tidak mengenalnya sama sekali?" tanya Andika lagi, menegaskan."Maaf, Pak! Saya benar-benar tidak ingat apapun setelah itu. Sepertinya orang itu berpakaian hitam-hitam, ka