bab selanjutnya menyusul yahh 🤗🤗💃🏻
Setelah akhirnya masuk ke dalam mobil dan meninggalkan halaman rumah Kayden, Evan yang ada di baik kemudi sekilas mengangkat pandangannya, menatap Kayden yang duduk di kursi penumpang dan sibuk degan tablet yang ada di tangannya.“Maaf untuk sudah meninggalkan Anda beberapa hari ini, Tuan Kayden.”Kalimat itu membuat Kayden turut mengangkat pandangannya, “Tidak masalah, Evan,” jawabnya. “Bagaimana sekarang? Sudah lebih baik setelah melihat lokasi ayah dan ibumu pergi?”Evan terlihat menganggukkan kepalanya, “Sudah. Terima kasih karena Anda memberikan izin cuti tambahan untuk saya, jadi saya bisa pergi ke rumah tempat dulu saya pernah memiliki hidup yang bahagia dengan mereka.”“Rumahnya masih terawat dengan baik?”“Masih, Tuan Kayden. Ada satu keluarga yang tinggal di sana dan punya anak kecil juga.”“Syukurlah,” balas Kayden. Seulas senyumnya terlihat sebelum ia kembali menatap layar tabletnya. “Datanglah ke rumah nanti malam, seperti yang dikatakan oleh Liora.”“Baik.”Perjalanan be
....Pagi ini, Kayden sudah rapi dengan mengenakan celana panjang hitamnya, yang berpadu dengan kemeja putih dan vest yang membalut tubuhnya. Ia sedang berada di halaman bersama dengan si kembar yang berjemur di stroller.Lucca dan Elea duduk dengan tenang di sana, mata mereka terlindungi oleh kaca mata hitam, yang membuat wajah mereka tampak lucu sehingga Tuan Owen beberapa kali memotretnya."Hm ... bergaya sekali anak-anaknya Kayden," ucap beliau yang sekilas menoleh pada Kayden."Tapi bakat modelling mereka Papa tahu menurun dari siapa, 'kan?""Tentu dari Liora," jawab Tuan Owen."Ada yang ingin aku tahu soal itu.""Apa?""Kenapa karirnya tidak naik seperti model atau artis yang satu angkatan dengannya, Pa? Aku membaca rekam jejaknya, ada banyak project dengan brand besar yang dibatalkan, Papa yang tidak memberi approval untuk Liora?"Tanya panjang dari Kayden membuat kedua alis Tuan Owen seketika berkerut."Mana ada, Kayden?" balas beliau. "Brand lah yang membatalkannya. Papa jug
Liora tak bisa menahan suara dari bibirnya itu.Ia menelan ludah dengan sedikit kasar saat Kayden menyentuh titik sensitif tubuhnya hingga meremang.Ia berusaha menghentikan tangan Kayden tetapi tidak bisa. Bukankah Liora tahu seberapa jauh perbedaan kekuatan mereka?"Hngh ... "Saat yang ke sekian kalinya kembali lolos dari bibir, barulah Kayden menarik tangannya.Ia letakkan jarinya yang telah basah itu di bibirnya sebelum Liora melihatnya menyesapnya dengan seulas senyum penuh godaan."Manis," katanya.Wajah Liora memanas, malu karena tidak biasanya Kayden menggoda dengan cara seperti itu.Prianya itu tampak membuka atasan kemeja yang ia kenakan. Dada bidangnya terpampang di hadapannya sebelum Liora tak lagi melihatnya.Bukan karena Kayden pergi, tapi karena Kayden meletakkan kemeja itu di atas kepalanya, sebagiannya menutupi mata sehingga Liora kehilangan penglihatan."K-Kayden, ka-kamu," sebut Liora dengan terbata-bata. "Apa yang kamu lakukan? Jauhkan—""Ssht," bisik Kayden, terd
“Akh—“ Liora menjerit saat Kayden mendadak mengangkat tubuhnya dengan tanpa beban sehingga Liora mencari pegangan dengan melingkarkan kedua tangannya ke leher Kayden. “A-apa yang kamu lakukan?” tanya Liora dengan gugup, menatap Kayden yang iris gelapnya sudah liar memindainya ke segala sisi. Alih-alih menjawab tanya darinya, Kayden sekilas menoleh ke belakang. Pada Mark dan Rowan kemudian mengatakan, “Kalian pulanglah, lakukan seperti yang aku minta tadi.” “Baik,” jawab dua pemuda yang masih duduk di sofa ruang baca itu secara bersamaan. Setelah mendengar jawaban itu, Kayden dengan gegas membawa Liora meninggalkan pintu ruang baca. “Kenapa kamu mengangkatku?” protes Liora, berusaha memberontak meski ia tahu itu tak menghasilkan apapun sebab Kayden berlipat kali lebih kuat darinya. “Kenapa lagi?” balasnya. “Biar kamu tidak dilihat oleh mereka, ‘kan? Kenapa keluar dengan memakai pakaian seseksi ini, hm? Sengaja menunjukkan betapa mempesonanya kamu di hadapan Mark dan Rowan?” “T-ti
Setelah hatinya lebih tenang, setelah ia mengunjungi tempat terakhir ayah dan ibunya diketahui hidup, setelah ia melihat rumah yang dulu pernah menjadi saksi ia pernah memiliki keluarga yang bahagia, akhirnya Evan meninggalkan West Seattle. Sudah waktunya kembali ke tempat ia memulai hidup barunya bersama dengan Leah, dan berjanji memberi yang terbaik untuk gadis itu agar kisah Ethan dan Sophia tidak terulang di hidupnya. Ia boleh hidup dari badai yang besar, tapi ia tak akan pernah membawa Leah, atau keluarga kecilnya kelak di badai yang pernah dilaluinya. Sudah lewat dari satu hari dari waktu ia izin cuti pada Kayden, ia harus benar-benar kembali sekarang. Meski Kayden mengatakan bahwa ia bisa menenangkan dirinya hingga pulih, tapi Evan merasa tidak enak jika ia tetap mendapat bayaran tanpa melakukan pekerjaannya. Sedan yang dikemudikan oleh sopirnya Evan telah memasuki perumahan tempat di mana ia dan Leah tinggal. Tapi sebelum mereka sempat berhenti, di kejauhan itu sebuah mobi
West Seattle masih menunjukkan gugusan mendung hitam yang tak juga pergi sejak kemarin. Di dalam kamar hotel tempat Evan menginap, pemuda itu berdiri memandangi jendela yang mengembun. Dalam waktu kurang dari setengah jam, ia bertaruh bahwa hujan akan benar turun. “Evan?” panggil suara manis seorang perempuan dari belakangnya. Yang saat Evan menoleh, ia menjumpai wajah Leah yang terlihat sama sendunya dengan langit kelam itu. “Iya, Sayang?” “Mau pergi sekarang?” tanya Leah seraya mengayunkan kakinya untuk mendekat. Evan memberi anggukan samar, tangannya sedikit terangkat saat Leah menggenggamnya. Manik mereka bersirobok saat Leah berujar dengan lirihnya, “Maaf ....” “Untuk apa, Sayang?” “Kamu harus pergi sejauh ini untuk melihat bahwa kamu pernah memiliki keluarga yang bahagia sebelum ayah dan ibuku menghancurkannya.” Evan kembali tersenyum, tipis, tak lebih dari beberapa milimeter tetapi itu sarat akan luka yang dalam. Entah berapa kali Leah mengatakan ‘maaf’ dari bibirnya,