MasukAurel, gadis berusia 20 tahun. Jatuh cinta kepada paman Angkatnya Leo, berusia 35 tahun. Sayangnya, Leo terus menolak pernyataan cinta dari Aurel, seolah Aurel tak layak untuk bersanding dengannya. Aurel, si gadis keras kepala tidak mau menyerah. Bahkan sekalipun Leo telah memiliki kekasih. Aurel terus mengejar cinta Leo dengan berbagai cara. Termasuk dengan cara ekstrem dan diluar nalar. Bagaimanakah kelanjutan kisah Aurel dan Leo? Apakah Aurel akan berhasil membuat Leo jatuh cinta padanya? follow akun FB author i'ts ig author Fatmawati1472
Lihat lebih banyakSuara dering ponsel di meja kerja Leo membuatnya kaget. Malam itu ia sebenarnya sudah hendak beristirahat setelah seharian penuh sibuk di kantor, tetapi melihat nama 'Clara', kakak perempuannya, muncul di layar membuat jantungnya berdegup cemas. Clara tidak pernah menelepon pada jam larut seperti ini.
Namun bukan suara Clara yang terdengar di seberang sana, melainkan suara laki-laki asing yang terburu-buru. “Apakah ini Tuan Leo?” “Iya, betul. Ada apa?” Leo langsung duduk tegak. “Saudari Clara… kakak Anda… mengalami kecelakaan. Kondisinya kritis. Mohon segera datang ke Rumah Sakit Citra Bunda, Kota Semesta.” Seolah petir menyambar di siang bolong, tubuh Leo seketika lunglai. Pikirannya berputar kacau. “Apa? Kecelakaan? Bagaimana bisa?” tanyanya terbata, tetapi suara di ujung sana sudah menutup sambungan setelah memastikan Leo menerima informasi itu. Tanpa pikir panjang, Leo meraih jaket, kunci mobil, dan bergegas meninggalkan rumahnya. Jalanan malam yang sepi tak mampu menenangkan kegelisahannya. Setiap detik terasa begitu panjang. Di kepalanya hanya ada satu doa. Semoga Clara baik-baik saja. Dua jam perjalanan terasa seperti seabad. Begitu sampai di rumah sakit, Leo langsung menuju Unit Gawat Darurat dengan napas terengah. Bau obat-obatan dan suara langkah tergesa para perawat menyambutnya. “Permisi, saya mencari pasien bernama Clara—” “Saudara pasien?” tanya perawat. “Saya adiknya.” Perawat itu menuntun Leo menuju ruang perawatan intensif. Dari balik kaca bening, terlihat tubuh Clara terbaring lemah dengan berbagai alat medis menempel di sekujur tubuh. Wajah kakaknya pucat, kontras dengan ingatan Leo tentang sosok Clara yang selalu ceria dan penuh semangat. Leo menahan napas, matanya panas. Ia masuk ketika dokter mengizinkan. Langkahnya berat mendekati ranjang. Clara membuka mata perlahan, seolah menunggu kedatangan Leo. Senyum tipis muncul di bibir yang kering wanita itu. “Leo… akhirnya kamu datang…” suaranya serak, hampir tak terdengar. Leo segera menggenggam tangannya. Terasa dingin, sedikit gemetar. "Aku di sini, Kak. Bertahanlah. Kamu pasti kuat, kamu pasti bisa melewati ini.” Clara menggeleng pelan. Air mata mengalir di sudut matanya. “Tidak… waktuku tidak lama lagi.” “Jangan bicara seperti itu, Kak. Dokter pasti bisa menolong mu.” Namun tatapan Clara penuh kepastian, seakan ia sudah berdamai dengan kenyataan. “Leo, dengarkan aku baik-baik. Ada sesuatu yang harus ku titipkan padamu.” Leo menggeleng keras. “Tidak usah bicara tentang titipan. Kamu harus sembuh dulu.” Clara menarik napas panjang, suaranya gemetar tapi tegas. “Aurel… putri angkat ku. Dia tidak punya siapa-siapa lagi. Orangtuanya sudah lama meninggal, kini aku… sekarat. Suamiku sudah meninggal di ruang lain. Hanya aku yang tersisa untuk Aurel dan ibu kita tidak pernah menyukainya. Aku sudah tidak sanggup bertahan lagi. Jadi… tolong jaga dia untukku. Jangan biarkan dia sendirian di dunia ini.” Nama itu membuat Leo tertegun. Ia pernah beberapa kali bertemu Aurel, gadis belia dengan tatapan teduh, tetapi tidak begitu mengenalnya dekat. Kini Clara meminta sesuatu yang sangat besar. Menjadi wali bagi anak yang sama sekali bukan darah dagingnya. “Kak… ini terlalu mendadak. Aku…” Leo tercekat. Clara menggenggam tangannya lebih erat. “Kumohon, Leo. Kamu satu-satunya orang yang bisa ku percaya. Aurel anak baik. Dia hanya butuh kasih sayang, rumah yang aman. Kamu bisa memberinya itu. Berjanji lah padaku, ku mohon…” Leo menatap mata kakaknya, mata yang penuh harap sekaligus ketakutan. Hatinya bergetar hebat. Bagaimana mungkin ia menolak permintaan terakhir seseorang yang begitu ia sayangi? Akhirnya, dengan suara bergetar, ia berbisik, “Baik, Kak. Aku berjanji. Aku akan menjaga Aurel. Aku akan merawatnya sebaik mungkin, seperti adikku sendiri.” Senyum lega menghiasi wajah Clara. Air mata menetes di pelipisnya. “Terima kasih, Leo… kamu adik terbaik yang pernah kumiliki.” Alat monitor jantung di samping ranjang berbunyi stabil untuk beberapa detik, lalu perlahan menurun. Nafas Clara semakin berat, suaranya melemah. “Jaga Aurel… bahagiakan dia… jangan biarkan dia merasa sendirian…” katanya dengan sisa tenaga terakhir. Leo menunduk, mencium punggung tangan kakaknya. “Aku janji, Kak. Aku janji.” Beberapa detik kemudian, bunyi panjang dari monitor jantung terdengar. Garis lurus hijau di layar membuat dunia Leo runtuh. Clara telah pergi. “Tidak… Kak!” Leo berteriak, tubuhnya bergetar. Para perawat segera masuk, tetapi dokter hanya bisa menggelengkan kepala. Leo terduduk di kursi, menggenggam tangan Clara yang kini dingin. Air matanya mengalir tanpa henti. Di dalam kepedihan itu, ia teringat kembali janji yang baru saja diucapkan. Beberapa menit kemudian, seorang perawat menghampirinya. “Tuan Leo, ada seorang gadis yang menunggu di luar ruangan. Namanya Aurel. Dia ingin bertemu dengan Anda.” Leo tersentak. Jantungnya kembali berdebar. Dengan langkah gontai, ia mengikuti perawat. Di ruang keluarga yang sepi, seorang gadis remaja duduk memeluk tas ranselnya. Rambut panjangnya terurai, wajahnya sembab karena tangis. Begitu melihat Leo, ia berdiri ragu. “Paman Leo…” suaranya lirih, bergetar. Leo mendekat, berusaha tersenyum meski matanya masih basah. “Aurel…” Gadis itu langsung memeluknya erat, tangisnya pecah kembali. “Mama… Mama tidak akan kembali lagi, ya?” Leo membalas pelukan itu, hatinya remuk. “Mama Clara sudah tenang sekarang. Tapi kamu tidak sendirian, Aurel. Aku di sini.” “Jangan tinggalkan aku, Paman. Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang…” Leo menutup mata, mengingat wajah kakaknya di ranjang tadi. Dengan suara tegas penuh janji, ia berkata, “Aku sudah berjanji pada Mama Clara. Aku akan menjagamu, Aurel. Mulai sekarang kamu bersamaku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Aurel menangis dalam pelukannya, sementara Leo merasakan beban besar menimpa pundaknya. Namun di balik semua itu, ada tekad yang mulai tumbuh untuk menepati janji terakhir Clara, melindungi Aurel bagaimanapun keadaannya. Di ruangan sunyi itu, dua jiwa yang kehilangan berpegangan erat, berusaha menguatkan satu sama lain. Sebuah ikatan baru terjalin, lahir dari perpisahan yang menyakitkan. Dan tanpa keduanya disadari, janji malam itu akan mengubah hidup mereka selamanya. Bersambung....Sore merayap masuk melalui jendela ruang keluarga, menebarkan cahaya keemasan yang hangat namun membuat suasana terasa menegang. Aurel duduk di sofa panjang, kedua tangannya meremas ujung selimut tipis yang ia pangku. Leo berdiri tak jauh dari sana, punggung tegak, rahang mengeras, seolah ia sedang menahan badai yang hanya bisa ia rasakan sendiri.“Aurel,” suara Leo rendah tapi tegas, “untuk sementara waktu… kamu jangan keluar rumah dulu.”Aurel mengangkat wajah. Matanya melebar, menyiratkan rasa bingung bercampur khawatir. “Tidak keluar… sama sekali?”Leo menggeleng pelan. “Untuk sekarang, iya. Pria yang mengejarmu kemarin… aku tidak yakin dia hanya orang iseng. Bisa jadi dia orang jahat. Atau…” Leo menarik napas, tampak ragu mengatakan kelanjutannya. “Atau saingan bisnisku.”Aurel menelan ludah. Jantungnya berdegup. “Saingan bisnismu? Maksud Paman … ada orang yang mencoba membalaskan dendammu melalui aku?”Leo tidak langsung menjawab, tapi ekspresi wajahnya sudah cukup menjelaskan.
Aurel baru saja selesai mandi. Sisa uap hangat masih melekat di kulitnya ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi, membiarkan rambutnya yang basah tergerai bebas di punggung. Aroma sabun melati yang lembut mengikuti setiap langkahnya, tapi hatinya tidak selembut aromanya. Sejak pagi, ada sesuatu yang mengganjal, semacam kegelisahan yang tidak ia mengerti. Mungkin karena kejadian di pemakaman, atau mungkin juga karena pikiran-pikiran yang sejak beberapa hari terakhir terus mengusik ketenangannya. Ia meraih jaket tipis yang tergantung di belakang pintu lalu mengenakannya, sekadar untuk menghalau hawa sore yang mulai turun. Hatinya merasa perlu berjalan sebentar, menghirup udara luar, berharap dapat menenangkan diri meski hanya beberapa menit. Baru saja ia melangkah keluar dari pagar rumah, seorang wanita muncul dari arah kiri, langkahnya ringan namun percaya diri. Rambut hitamnya dikuncir tinggi, wajahnya cantik dan segar, pakaian santainya tampak rapi meski sederhana. “Kamu di
Aurel merapatkan mantel tipisnya saat angin pagi menyapu area pemakaman. Udara beraroma tanah basah sisa hujan semalam seakan menyusup ke rongga dadanya, dingin namun menenangkan. Langkahnya, bersama Leo, Widuri, dan Susi—asisten keluarga yang setia—terdengar lembut di lorong makam berlapis kerikil putih. Kerikil-kerikil itu berderak pelan seperti salam dari bumi kepada setiap kaki yang datang membawa rindu.Di tangan Aurel ada kantong kertas cokelat berisi air mineral, dan bunga tujuh rupa. Widuri bisa merasakan kesedihan menyelimuti Aurel, dia mengusap punggung wanita itu lembut.Leo berjalan di sisi kiri Aurel. Setiap dua atau tiga langkah, jemari pria itu tanpa sadar meneguhkan genggaman di pergelangan Aurel. Bukan posesif—itu refleks perlindungan. Leo jarang berkata banyak, namun tubuhnya selalu berbicara lebih jujur daripada mulutnya. Bahunya terbuka sedikit, langkahnya satu ketukan lebih lambat dari Aurel, seakan ia bersedia menjadi perisai sebelum hal buruk sempat mencapai tun
Angin sore membawa aroma bunga kamboja dari halaman ketika mobil Leo memasuki gerbang rumah besar yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Di dalamnya, Widuri—wanita paruh baya yang selalu tampil anggun dengan rambut disanggul rapi—sudah menunggu dengan wajah penuh harap. Begitu Leo keluar dari mobil, ia membantu Aurel yang masih terlihat lemah. Gadis itu memegang perutnya sesekali, wajah pucat namun ada kedamaian halus dalam tatapannya. Mungkin karena akhirnya ia pulang ke tempat yang dianggapnya aman. “Aurel, Nak…” suara Widuri bergetar pelan ketika melihat gadis itu. Susi, asisten rumah yang setia, mendorong kursi roda Widuri mendekat. Begitu cukup dekat, Aurel langsung berjongkok di hadapan wanita tua itu, memeluknya erat. “Aku kangen, Nenek...” bisiknya dengan suara serak. Widuri mengusap kepala Aurel, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kamu membuatku cemas. Tapi aku bersyukur kau kembali. Dan sekarang... kau harus tinggal di sini. Jangan kemana-mana lagi.” Aurel t












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasan