wkwkw, 🤭 lanjut 1 lagi yaaaah
“Kenapa kamu setega itu, Kayden?!” tanya Nyonya Rose dengan suaranya yang gemetar. “Bagaimana kamu bisa mengatakan—“ “Kalau memang dia terkena kanker, minta dia menunjukkan bukti pengobatannya selama di Berlin. Dan pastikan pada rumah sakit terkait apakah benar itu hasil diagnosanya, atau hanya sebuah rekayasa.” Kayden memotong kalimat sang Ibu tapa peduli beliau akan mengatakan apa. “Kayden—“ “Dia bisa memanipulasi kita semua dengan wajah manisnya selama ini, berbohong untuk menarik simpati adalah keahliannya,” tukasnya kemudian merangkul bahu Tuan Owen untuk pergi dari sana. Kayden tak menoleh ke belakang, tak ingin tahu juga apa yang terjadi di lantai ruang keluarga Baldwin itu. Tapi dari kepanikan dan carut-marut yang tiba di indera pendengarnya, sepertinya Julia masih belum bangun. “Bagaimana kalau dia betulan sakit, Kayden?” tanya Tuan Owen saat mereka telah tiba di teras. “Kalau memang sakit ya berobat, Pa. Tidak perlu bersandiwara,” jawab Kayden dengan tanpa bebannya. T
Julia bergeming, semua kata yang terbiasa diucap dan didapatkannya sepanjang ia hidup seakan meluap begitu saja. “Mana mungkin kamu mau mengakui itu, Julia,” kata Kayden, memperdengarkan tawa lirihnya. Kemudian ia menoleh pada orang tuanya Julia dan juga ibunya sendiri yang dari wajah mereka semua masih tak bisa menerima kenyataan bahwa wanita yang mereka puja sebagai wanita paling baik itu menyimpan rahasia gelap. “Kamu mengarang semua itu karena sakit hati Liora pergi?” tanya Nyonya Rose. Yang anehnya justru Kayden sama sekali tidak kaget bahwa ibunya masih akan terus membela Julia. Beliau sudah terlalu lama dimanipulasi Julia, disuguhi wajah manis dan tuturnya yang lembut. Ucapan Kayden yang membuat keburukannya terekspos tentu akan ditepisnya dengan seribu alasan. “Mengarang? Saat ada saksi hidup yang menyaksikan itu semua?” Sudut mata Kayden mengarah pada Evan yang menunduk sembari menahan senyumnya. Sedetik kemudian barulah pemuda itu mengangkat wajahnya dan memandang Jul
.... Kayden telah mendengar dari Evan yang melaporkan selesainya tugas ia mengusir Julia pada pagi hari berikutnya. Ia tengah duduk di dalam kamar miliknya dengan kepala yang pening, sisa mabuk semalam yang masih belum bisa teratas sekalipun ia meminum pereda mabuk. “Saya sudah mencari tahu tentang pria yang dibawa masuk oleh Julia semalam, Tuan Kayden. Tetapi sepertinya dia ketakutan dengan siapa dia berhadapan dan pergi dari tempat yang dia tinggali,” ucap Evan yang berdiri di dekat Kayden. Kedua tangannya ada di belakang tubuhnya, seolah itu adalah sikap tenang tetapi juga waspada. Ia siap dengan apapun yang diminta oleh Kayden ke depannya. “Dia teman kuliahnya Julia, dari informasi yang saya dapatkan dari beberapa teman Julia, mereka dekat sejak satu tahun terakhir. Saya akan mencarinya lagi dan memberi pelajaran padanya.” Kayden tak menjawab. Ia hanya tertunduk, diam, tanpa suara tetapi helaan napasnya membuat Evan justru bisa merasakan kehancuran yang tengah dipikulnya. “Ti
“Tuan Kayden?!” panggil Evan yang berlari menghampiri Kayden yang berdiri di bawah hujan yang mendadak jatuh di atas langit Bordeaux malam itu. Ia menggigil saat Tuannya itu melepas jas yang ia kenakan, membantingnya ke halaman. Tanpa kata, tetapi riak kemarahannya bisa dirasakan oleh Evan yang lalu meraih lengannya. Setidaknya untuk sementara ini Kayden harus berteduh. “Brengsek,” umpat Kayden sembari melepaskan tangannya dari cengkeraman Evan. “Maaf,” ucap Evan, menundukkan kepalanya di hadapan Kayden yang tubuh dan pakaiannya hampir basah kuyup. “Bukan kamu.” Kayden mendorong napasnya dengan kasar. “Seret keluar perempuan yang tinggal di apartemenku itu secepatnya, Evan Lee!” “Tiba-tiba saja?!” Keterkejutan Evan membumbung menyentuh lampu chandelier yang bergantung di lobi. “Apa yang terjadi, Tuan? Dia—“ Evan berhenti bicara, untuk beberapa saat terhening. Mengingat kemarahan Kayden yang seperti akan membunuh orang, sepertinya Evan bisa menebak duduk perkaranya. Ia urung bert
*** Enam bulan yang lalu, anniversary ke-dua Kayden dan Julia.*** .... Untuk merayakan genapnya dua tahun hubungannya dengan Julia, malam hari itu Kayden meminta Evan menepikan mobilnya di sebuah toko bunga yang terkenal di Bordeaux, Prancis. Kota yang sudah beberapa lama ini ia tinggali selama Kayden membangun anak agensi milik Evermore yang menanungi artis kenamaan Kota Mode ini. Sebuah buket bunga mawar merah berukuran besar yang ia bawa dengan hati-hati saat keluar dari Coeur de Rose—nama toko bunga tersebut—yang menyaksikannya mendongakkan wajah ke atas, menatap langit Bordeaux yang tampaknya sedikit tidak bersahabat malam itu. “Kita pergi sekarang, Evan,” pinta Kayden. “Baik, Tuan.” Evan mengemudikan mobilnya untuk menuju ke apartemen milik keluarga Baldwin yang Kayden pinjamkan pada Julia selama gadis itu menempuh pendidikan lanjutannya. Menengok sedikit lebih jauh, Kayden bertemu dengan Julia karena rupanya kedua orang tua mereka saling terhubung. Dari sekadar pertemuan
Tapi sepertinya, Kayden tak perlu bersusah payah mendatangi Julia. Karena saat ia baru saja beranjak, suara langkah beberapa orang membuatnya berhenti. Di hadapannya, wanita yang sejak tadi ia bicarakan itu muncul. Julia. Ia datang tak sendirian melainkan bersama dengan kedua orang tuanya—Tuan Carlos dan Nyonya May—yang dibersamai dengan kehadiran ibunya sendiri, Nyonya Rose. “Kayden?” sapa Julia. Ia yang tadinya berjalan dengan bergandengan tangan bersama Nyonya Rose melepaskan tangan tersebut kemudian berlari kecil menghampiri Kayden. Jari-jari lentiknya melingkari lengan Kayden yang berbalut coat hitamnya. Tapi itu hanya beberapa detik sebab Kayden menguraikannya dengan segera. Kayden menggeser dirinya, menjaga jarak, menjauh secara frontal dari Julia. “Kebetulan kamu ke sini,” tanggap Kayden, menebah lengannya seakan itu adalah penolakan. Julia memandanginya, dan tentu saja sadar dengan kebencian Kayden. Matanya bergoyang gugup. Senyumnya terukir tetapi terlihat begitu pah