Tawanan Hasrat Raja Lingga

Tawanan Hasrat Raja Lingga

last updateLast Updated : 2025-11-11
By:  QuinzeeQUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
7Chapters
8views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Setiap kali Zhiya terlelap, tubuhnya jatuh ke dunia lain—ke dalam pelukan Lingga, sang raja yang seolah menunggu di ujung antara mimpi dan kematian. Dalam mimpi itu, sentuhannya terasa nyata. Panas. Memabukkan. Seolah maut pun tak mampu memisahkan mereka. Namun cinta di antara dua dunia bukanlah anugerah, melainkan kutukan. Untuk memecahkannya, mereka harus menyatu—dan memilih satu dunia untuk bertahan. Ketika fajar menuntut keputusan, Zhiya tahu… pada akhirnya ia harus kembali ke dunianya. “Apa yang kau inginkan dariku…?” suara Zhiya nyaris tidak terdengar. Lingga menatap wajahnya dari jarak yang begitu dekat hingga Zhiya dapat merasakan panas napasnya menyentuh kulit. “Aku ingin memastikan kau tetap nyata di sini,” bisiknya. “Aku ingin memastikan kau tidak lenyap lagi, Yu Zhiya.” Tangannya menyentuh garis rahang Zhiya, lalu menelusur perlahan ke bawah—hangat, lembut, namun mengandung kekuatan yang mampu mengikat jiwa. Dan ketika Zhiya membuka matanya kembali, ia sudah tidak berada di istana itu lagi. Hanya napasnya yang masih bergetar, hanya detak jantungnya yang masih mengingat bentuk pelukan itu. Saat ia kembali ke dunianya, dalam pameran itu— nama Lingga. Raja yang hilang dari peradaban ribuan tahun lalu. [MATURE 21+]

View More

Chapter 1

Awal keterhubungan

Malam adalah satu–satunya jam kerja yang benar–benar hidup bagi Zhiya. Ia duduk di depan meja kerjanya, layar laptop menyala redup. Kalimat–kalimat yang ia tulis tampak seperti bayangan panjang yang baru saja kehilangan tubuhnya.

Di luar jendela apartemen lantai dua puluh tiga, Aetheria City tidak pernah tidur. Lampu neonnya menyala seperti kota yang terbuat dari ribuan pengakuan yang tidak pernah selesai.

“Pameran artefak digital — jam sepuluh besok,” gumamnya pelan, membaca ulang notifikasi di sudut layar.

Tangannya berhenti di atas keyboard. Kursor berkedip, menunggu keputusan. “Jangan tidur, Zhiya. ” katanya setengah sadar.

Namun, matanya tiba-tiba mengerjap.

Jantung Zhiya berdetak ringan tapi seperti seseorang sedang mengetuk permukaan kaca tipis yang memisahkan dua realitas terlalu dekat.

Ia memejamkan mata sejenak.

Matanya berat. Tubuhnya letih. Tapi ia selalu menunda tidur selama mungkin.

Penundaan yang ia tahu sia–sia. Karena akhirnya ia tetap akan tertarik masuk ke sana. Ke dalam dunia laki-laki itu.

Lingga.

Dan ini bukan yang pertama kali.

Nama itu tidak pernah ia sebutkan bahkan dalam pikirannya dengan lantang. Ia takut nama itu memiliki bobot magis yang bisa mempercepat transisi.

Kadang, tepat sebelum ia jatuh, Zhiya bisa merasakan jejak nafas lelaki itu… seperti memanggilnya dari celah antara mimpi dan kuburan.

Seolah ruhnya masih mengembara di ujung senja, menunggu seseorang datang… hanya untuk tetap hidup beberapa detik lebih lama.

Ada sesuatu yang hangat, namun tidak pernah sepenuhnya bersifat manusia.

Zhiya memegang cangkir bibirnya dengan tangan gemetar samar. Ia tahu ia tidak bisa bertahan lagi. Tubuhnya terjatuh perlahan, punggungnya bersandar ke kursi, kelopak matanya semakin merendah, dan suara kota yang semula hiruk pikuk berubah menjadi gema panjang, seperti sesuatu yang ditarik menjauh, semakin menjauh. 

Hingga hanya nada sunyi yang tersisa. Seperti nihil. Seperti jeda sebelum kematian.

Dan tepat ketika bayangan hitam menelan pandangannya, ia merasakan sesuatu menyentuh sisi dalam kesadarannya. Sentuhan fisik. Lelaki itu.

Lelaki ini lagi.

Lingga, katanya. Seolah mengatakan tanpa suara.

“Kau kembali.”

Dan dunia Zhiya runtuh dalam satu helaan napas terakhir yang masih ia miliki sebagai manusia yang sadar.

Saat Zhiya membuka mata, ia tidak lagi berada di apartemennya.

Langit di atasnya adalah senja yang tidak pernah mati. Ungu keperakan yang seperti direndam dalam cahaya bintang yang belum pernah jatuh ke dunia manusia. Tidak ada garis horizon yang jelas. Dunia ini seperti digantung di antara dua realitas yang pernah ada, dan yang seharusnya sudah tiada.

Zhiya berdiri di hamparan batu pelataran istana. Batu–batunya halus, hitam seperti obsidian, dingin seperti waktu yang telah berhenti. Istana itu menjulang diam. Menawan dan asing dan mematikan. Qingzhou terasa, mendesah sunyi.

Seolah memanggil namanya tanpa suara. Seolah dunia ini sudah mengenalnya jauh lebih lama daripada ia mengenal dirinya sendiri.

Tubuhnya, tetap tubuhnya. Tangannya tetap tangannya sendiri. Kulitnya tetap kulit yang ia kenal.

Tidak ada penyamaran. Tidak ada medium lain.

Dan itu membuat semuanya lebih mengerikan.

Karena ini berarti Lingga tidak sekadar menarik “jiwa”. Ia menarik siapa Zhiya itu secara utuh. Langkah angin bergerak pelan di belakangnya. Suara kain tipis menyeret lantai batu. Zhiya tidak berani menoleh.

“Kau tiba lebih cepat malam ini.”

Nada itu halus. Tidak tinggi. Tidak rendah. Tapi memiliki dampak yang membuat dunia Qingzhou sendiri menahan napas. Zhiya perlahan memutar tubuhnya. Dan ia melihatnya.

Mata gelap yang tidak hanya melihat tubuhnya. Tetapi menggenggam inti dirinya, seperti ia telah menyimpannya sebelum Zhiya pernah mengingat apa pun dalam hidup.

Cahaya senja ungu keperakan memantul pada irisnya, dan Zhiya merasakan udara di sekitar mereka menegang.

“Lingga…” lirih Zhiya.

Namanya keluar sebagai bisikan. Hampir seperti mantra terlarang. Lingga menatapnya seolah ia baru saja melanggar satu hukum kuno.

Pria itu mendekat. Ia kemudian mencengkram dagu Zhiya.

“Kau tidak boleh menyebut namaku. Kecuali kau siap menerima konsekuensinya.”

Zhiya menggigit bibirnya. “Apa— apa yang kamu mau?”

“Aku bahkan tidak tahu kenapa aku harus berada di sini.”

Lingga kembali mendekat satu langkah. Hanya satu. Tapi jarak dunia terasa runtuh bersamanya.

“Kau tahu,” katanya pelan. "Pada akhirnya, kau yang memanggilku.” lanjutnya.

Zhiya menggeleng. “Aku tidak pernah memanggilmu,” tukas Zhiya.

“Roh tidak pernah berbohong. Tapi ingatan manusia lah yang berbohong,” ujar Lingga dengan seringai tajamnya.

Zhiya menatap tajam mata Lingga. Seolah masih tak percaya bahwa ia melihat raja yang telah mati ribuan tahun lalu berada tepat di depan matanya.

Lingga kemudian melepas cengkraman pada dagu Zhiya. Tangannya beralih pada tangan mungil Zhiya yang tertutup hanfu. Ia kemudian menarik tubuh Zhiya dan mengangkat tubuh mungil itu meninggalkan pelataran istana yang mulai terasa dingin.

“Akhirnya aku bisa menyentuhmu dengan sempurna,” bisik Lingga.

Gadis itu terdiam. Tubuhnya seolah kaku dan tak bisa melawan perlakuan pria yang sedang mendekapnya itu.

Semuanya terasa nyata. Tapi ia tahu, ini adalah mimpi panjang yang selalu ia hindari setiap malam. Mimpi yang terasa sangat menyesakkan. Lingga. Pria itu benar-benar terasa nyata baginya.

Zhiya mulai berkeringat begitu menyadari bahwa Lingga membawanya menuju kamar pribadi miliknya. Kamar yang bernuansa sangat mewah dan megah. Langit-langitnya tinggi, ditopang pilar kayu hitam obsidian yang dipoles hingga berkilau seperti hujan malam.

Di tiap ujung pilar, ukiran naga air meliuk dengan detail halus, seolah hidup, seolah setengah detik lagi mereka akan bangkit dan mengeluarkan napas dingin.

Cahaya yang menerangi ruangan tidak berasal dari api merah. Tetapi dari lentera kaca giok hijau pucat. Cahaya lembut yang seperti kabut spiritual sungai kuno. Cahaya itu tidak menghangatkan tubuh. Tapi hanya menghangatkan jiwa.

Di bagian tengah ruangan, terdapat ranjang raja yang cukup lebar, bersusun dua tingkat, terbuat dari kayu wangi langka dari gunung timur Qingzhou. Tirainya dari benang sutra perak tembus pandang, bergerak halus walau tidak ada angin.

Dengan perlahan, Lingga meletakkan Zhiya diatas ranjang itu. Menatap wajah gadis itu dengan penuh arti. Zhiya membalasnya. Ia menatap tajam wajah Lingga dengan penuh pertanyaan yang terputar di otaknya.

“Apa yang kau inginkan dariku…?” Suara Zhiya nyaris tidak terdengar.

Lingga menatap wajahnya dari jarak yang sangat dekat sampai Zhiya dapat merasakan panas napasnya. Tatapan Lingga bukan milik lelaki biasa, tetapi milik raja yang kehilangan dunia, kehilangan nyawanya, dan kini akhirnya menemukan satu hal yang masih bisa ia genggam.

“Aku ingin memastikan kau tetap menjadi nyata di sini,” bisiknya. “Aku ingin memastikan kau tidak lenyap lagi.”

Tangannya menyentuh garis rahang Zhiya. Sentuhan itu kokoh. Nyata. Hangat. Tubuh Zhiya merespon, bukan hanya secara fisik. Namun secara esensi rohnya.

Satu detik itu saja sudah cukup untuk membuat api yang bertahan dalam Lingga kembali menyala. Zhiya menatapnya balik, tanpa menolak.

Ia tahu pilihan cinta ini akan merusak keseimbangan dua dunia. Dan ia tidak lari dari konsekuensinya. Lingga mencondongkan wajahnya, dengan lambat, dengan intensitas yang berbahaya, dengan kesadaran penuh bahwa yang ia lakukan bukan sekadar hasrat tubuh.

Ini adalah ritual. Ini adalah pemanggilan kembali jiwa. Ia menyentuhkan keningnya pada kening Zhiya terlebih dahulu, bukan bibir.

Karena pada roh, itu adalah bentuk paling sakral untuk mengikat.

“Jika kau tetap ingin bertahan di sini, jika kau memilih aku, maka setelah malam ini, api antara kita tidak akan pernah bisa padam.”

Suara Lingga rendah. Nyaris seperti mantra.

Zhiya mengangguk kecil, seolah terhipnotis oleh Pria yang berada di hadapannya.

Untuk pertama kalinya, Bibir mereka mulai tertaut. Ragu, tapi Zhiya tak mampu melawan hasratnya. Ia tak bisa berbohong. Pria yang sedang bersamanya saat ini, membuat ia merasa sangat nyaman. Bahkan lebih nyaman daripada di dunianya sendiri.

Sentuhan halus dari tangan Lingga mulai liar. Jari lentiknya mulai meraba dan menarik tali yang mengikat hanfu milik Zhiya dengan sempurna. Zhiya tak melawan. Ia membiarkan Pria itu melanjutkan aksinya.

“Eungh…”

Satu desahan lolos dari mulut Zhiya. Lingga tersenyum. Ini pertanda bahwa gadis itu akan menjadi miliknya seutuhnya. Pria itu mulai menindih tubuh Zhiya. Ia menyingkap rambut Zhiya yang menutupi wajah teduhnya itu.

Kini, Zhiya sudah polos tanpa tertutup sehelai kain pun. Lingga berhasil meluluhkan gadis itu tanpa perlawanan sedikit pun. Jari lentik Lingga mulai meraba dan meraih tangan Zhiya sembari terus mencium bibir mungil gadis itu yang membuatnya candu.

Ia tak kuasa mengecupi seluruh tubuh Zhiya yang dilapisi kulit mulus bak kristal salju. Sementara Zhiya, gadis itu hanya bisa memejamkan matanya dan menikmati setiap sentuhan Lingga yang membuatnya semakin terlena.

“Yu Zhiya. Mulai hari ini, kau akan menjadi milikku seutuhnya,” bisik Lingga.

“Ahh…..”

Erang Zhiya begitu Lingga mendorong tubuhnya dan memecah seluruh jarak yang menghalangi mereka. Kini, Zhiya benar-benar memasrahkan dirinya pada pria yang berada diatas tubuhnya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
7 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status