MasukWarning cerita ini mengandung unsur (21+) "Kamu mau terbebas dari gosip ini na?" Narine hanya menatap Arkana, menunggu laki-laki itu melanjutkan kata-katanya "Then jadi pacar pura-pura saya kalo gitu, kamu akan terbebas dari gosip dan kita akan saling menguntungkan" ucap Pak Arkana dengan percaya diri "saling menguntungkan?" Arkana tersenyum dan berkata, "Partner in sex, deal?" "Deal". Arkana menyeringai sembari kembali menyesap alkohol di tangan nya.
Lihat lebih banyakHappy reading dan jangan lupa kritik juga saran nya ya
Tidak ada yang pernah benar-benar siap menghadapi hari pertama kerja apalagi kalau pekerjaan itu menempatkanmu tepat di samping pria yang reputasinya lebih tajam dari pisau bedah: Arkana Rivard.
Gedung Aude’C Group menjulang tinggi di kawasan bisnis Sudirman. Dinding kacanya memantulkan langit Jakarta yang muram pagi ini. Orang-orang bersetelan formal bergerak cepat keluar-masuk lobi, seolah tidak ada ruang untuk kesalahan atau keterlambatan.
Dan di sanalah Narine Aldira berdiri, menggenggam map biru tua berisi dokumen onboarding dan kontrak kerjanya pekerjaan baru yang ia dapat hanya tiga hari setelah keluar dari perusahaan lamanya karena fitnah yang menjatuhkan namanya dalam semalam.
Brakk
"De cepetan dong katanya mau mandiri masa jam 7 belum siap-siap juga, kan ini hari pertama lo kerja" Pagi ku disambut dengan omelan 'Rajan' ya dia kakak ku satu satunya.
Dengan berjalan didepan ku dia masih terus mengomel tanpa henti "Lagian kenapa gak di perusahaan gue sih de, kan lebih praktis tu tinggal masuk terus ngintilin gue kemana pun"
"Justru itu yang gue gak mau, ogah banget ngintilin lu" jawabku ketus
“Nama?” tanya resepsionis formal di front desk tanpa senyum.
“Narine Aldira. Hari ini mulai bekerja,” jawabnya.
Resepsionis itu mengetik cepat, lalu mengangguk. “Divisi Sekretariat Eksekutif. Lantai 39. Pakai lift kanan.”
Ucapan ‘selamat datang’ tampaknya tidak tersedia di gedung ini. Bagus, pikir Narine. Profesional. Tanpa basa-basi. Cocok.
Begitu lift terbuka, suasana berubah drastis. Interior lantai 39 didominasi kayu walnut dan kaca gelap, dengan suasana sunyi tegang seperti ruang pengadilan. Karyawan berjalan cepat sambil menenteng iPad atau dokumen, nyaris tidak ada yang bicara.
Di dekat pintu masuk lantai, seorang wanita berponi pendek menyapanya cepat. “Kamu Narine? Saya Helena, sekretaris senior. Ikut saya.”
Tanpa menunggu jawaban, wanita itu memutar badan dan melangkah cepat. Narine mengikutinya.
“Saya akan kasih kamu briefing singkat,” kata Helena dengan nada efisien, seperti seseorang yang tidak punya waktu untuk berbasa-basi. “Kamu sekretaris pribadi Pak Arkana. Harus selalu siap dipanggil kapan pun. Termasuk kalau dia butuh kamu di luar jam kantor.”
Narine mengangguk. “Baik.”
“Nomor ponselmu harus aktif 24 jam.”
“Baik.”
“Jangan tanya dua kali kalau dia sudah menjawab sekali. Jangan ulangi kesalahan. Jangan pernah buat asumsi.”
Narine kembali mengangguk, tapi dalam hati bertanya apakah dia melamar sebagai sekretaris atau robot personal?
'Gue jadi sekretaris apa jadi babysitter nih masa 24 jam anjir'
Helena melanjutkan dengan suara lebih pelan, seakan kalimat berikutnya rahasia kantor yang tidak boleh terdengar oleh dinding. “Satu lagi. Ada tiga aturan utama bekerja dengan Mr. Arkana Rivard.”
Narine menatapnya.
“Pertama, jangan pernah telat kamu harus tepat waktu. Kedua, jangan pernah menunda instruksi. Ketiga-” Helena menatap langsung, “usahakan jangan pernah salah.”
Nada itu membuat Narine sedikit mengeraskan rahangnya. “Saya bisa mengikuti standar kerja tinggi. Itu bukan masalah, kak.”
Helena tersenyum tipis. “Bukan standar kerja yang jadi masalah. Orangnya.”
Maksudnya apa?
Tapi sebelum Narine sempat bertanya, pintu ruang eksekutif terbuka. Seorang pria keluar dengan wajah memucat, memegang dokumen yang tampaknya baru saja dikoreksi. Kemeja birunya basah oleh keringat meski lantai ini ber-AC dingin.
Dia membisik pada Helena sebelum pergi, “Dia kenapa kayak bukan manusia.”
Helena hanya menepuk bahunya. “Dia masih hidup, ada-ada aja kamu”
Narine hampir tertawa sampai seseorang lewat di hadapannya.
Langkah panjang, jas hitam slim fit, aura tenang yang berbahaya. Sorot mata tajam. Rahang keras. Rambut hitam rapi sedikit berantakan seolah disentuh angin pagi. Arkana Rivard. Bahkan tanpa diperkenalkan pun semua orang akan tahu: dialah pusat gravitasi lantai ini.
Udaranya berubah saat pria itu lewat. Beberapa staf langsung menunduk. Ada yang pura-pura sibuk. Ada yang menahan napas. Sementara Narine berdiri diam.
Arkana nyaris melewatinya, tapi kemudian berhenti. Menoleh. Menatap Narine sebentar dari ujung kepala sampai ujung sepatu. Bukan tatapan menggoda. Bukan juga tatapan ramah. Lebih mirip evaluasi instan dan dingin.
“Orang baru,” katanya datar pada Helena.
“Ya, ini Narine Aldira, sekretaris-”
“Follow me,” potong Arkana.
Begitu saja. Tanpa kata perkenalan, tanpa salam. Ia berbalik dan berjalan. Narine refleks mengikuti. Helena memberi isyarat halus, cepet ikutin.
Ruang kerja Arkana berada di sisi paling ujung. Pintu kacanya tertutup, dan saat terbuka otomatis, Narine langsung merasa masuk ke tempat dengan tekanan oksigen lebih rendah.
Tidak ada foto pribadi. Tidak ada dekorasi. Hanya kesempurnaan dingin rak buku hitam, meja kerja walnut besar, dan pemandangan Jakarta dari dinding kaca.
“Sit,” katanya pendek, tanpa melihat ke arah Narine yang masih berdiri. Ia membuka iPad dan file digital.
Narine duduk. Diam. Menunggu.
Satu menit. Dua menit. Lima menit. Tidak ada suara selain suara notifikasi e-mail yang sesekali terdengar dari perangkat Arkana. Narine ingin bicara tapi tak punya alasan.
Akhirnya, pria itu angkat wajah.
“Saya tidak akan bicara dua kali,” ucapnya tiba-tiba.
Narine menatapnya heran. “Maaf?”
“Saya tidak ulangi instruksi,” ulangnya, datar.
“Sa-saya belum menerima—”
“Kamu sekretaris. Artinya kamu harus cepat tanggap. Mengerti?”
Narine menahan napas. Wow. Ini baru tiga menit bertemu, dan pria ini sudah membuatnya ingin melempar binder.
“Baik,” jawabnya singkat.
“Bagus.” Arkana menggeser iPad-nya. “Jadwal saya hari ini.”
Agenda itu muncul di layar yang diarahkan padanya penuh rapat, penuh negosiasi, penuh panggilan bisnis.
“Tugas pertama,” kata Arkana. “Siapkan dokumen kontrak dan proyeksi final untuk meeting jam sepuluh. Pastikan setiap lembar rapi, highlight poin negosiasi, dan tanda tangan direktur legal sudah ada sebelum pukul sembilan empat puluh.”
Narine mengecek jam tangannya. 08.52.
Sisa 48 menit?
“Dokumennya ada di server. Cari folder ‘Confidential’, subfolder ‘Aurum Merger’,” lanjut Arkana.
Narine mencatat cepat. “Passwordnya?”
Arkana menatapnya lama lalu tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tidak ramah. Lebih mirip tantangan.
“Cari tau. Kalau kamu pantas duduk di ruangan ini, kamu harus bisa menemukan semuanya.”
Mendengar itu Narine hanya bisa tersenyum lebar dan bergumam dalam hati
'Akhhhhhh! gila ni orang yang punya password kan dia, gitu aja suruh gue yang mikir'
Pagi itu Narine datang ke kantor dengan ekspresi yang bahkan kopi pahit di tangannya tidak mampu selamatkan. Rambutnya rapi, outfit-nya on point, tapi auranya seperti orang yang baru saja debat panjang sama semesta dan kalah telak.Ia menaruh tas di meja, menyalakan laptop, lalu mendesah panjang.“Pagi, sayang ku” suara Arkana terdengar dari samping, tenang seperti biasa.Narine tidak langsung menoleh. “Pagi bapak.”Arkana duduk di kursinya, membuka tablet. “Bapak banget nih, masa sama pacar bilang nya bapak.”“Ya emang kamu udah bapak-bapak,” Narine akhirnya menoleh. “Bapak dari anak-anak mu, jiaaakkhh.”Narine mendengus. “Konyol banget.”Arkana tertawa senang seolah baru menemukan akar masalah dunia. “Udah gen-z banget kan bek.”Narine melotot. “Genz matamu”“Salah mulu, males.”Mereka hening beberapa detik, hanya suara keyboard dan AC kantor. Tapi jelas, hening itu bukan damai. Lebih seperti dua orang yang sama-sama tahu mereka lagi adu gengsi, tapi terlalu malas buat ngaku."Kita
Saat jam makan siang, Narine berada di pantry mengambil air. Dua rekan perempuan dari departemen lain tiba-tiba muncul dan mulai berbicara dengan Arkana yang sedang membuat kopi. Suara mereka terdengar riang, candaan ringan, kemudian salah satu menyentuh lengan Arkana sambil tertawa.Narine refleks memalingkan wajah, tapi dada tiba-tiba terasa aneh seperti ada yang menusuk pelan dari dalam.Perasaan itu membuatnya kaget. Ia tidak pernah peduli sebelumnya siapa yang dekat dengan Arkana. Tapi sekarang rasanya seperti ada jarak tak terlihat yang berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan.Ia buru-buru mengambil air dan pergi tanpa menoleh.Namun ia bisa merasakan tatapan Arkana mengikuti gerakannya.'Duh ini gue ko jadi kayak maling ya, biasa aja deh toh cuman mimpi'****Sore menjelang jam pulang, Narine sengaja membereskan barang-barangnya lebih pelan, berharap Arkana sudah pulang duluan. Tapi ketika ia berjalan keluar, Arkana berdiri dekat lift, seolah menunggu seseorang.“Narine,” pang
Narine hampir mengira sudah berhasil menenangkan diri ketika ia sudah berpakaian rapi, mengambil tas, dan bersiap keluar kamar. Tapi saat ia membuka pintu kamar, Maya sudah berdiri di lorong kecil apartemen dengan rambut acak-acakan, satu tangan memegang laptop, satu tangan lagi sibuk mencari sesuatu di dalam tas kecilnya.“Lo berangkat sekarang kan? Nebeng gue ya,” ucap Maya buru-buru, seolah keputusan itu sudah final dan tidak bisa ditawar lagi.Narine mengerjap pelan. “Hah? masih jaman Nebeng?"“Yaelah jangan pelit-pelit calon adik ipar.” Maya menyelipkan laptop ke tas tote bag-nya. Narine mendengus pelan. “Lo bahkan gak berani natap wajah kak Rajan, so so'an mau jadi ipar gue.”“Makanya gue butuh bantuan lo,” jawab Maya nyaris dramatis, lalu merapikan sedikit rambut bagian depan. “Udah cepet ah, gue takut telat briefing.”Narine menarik napas pelan, sedikit bagian dirinya senang Maya muncul tiba-tiba begini karena setidaknya ia bisa mengalihkan pikirannya dari bayangan Arkana. Ma
POV NARINEAku mengusap dada Arkana. Menyentuh kulitnya yang terasa hangat akibat matahari sore.Pak Arkana menggeram pelan, membuatku sontak tertawa.“Narine....” desisnya.“Yes?” I play innocent.“Stop touching me.”“Why?” Tanyaku.Sekali lagi, Pak Arkana menggeram. “I’m hard.”Sebaris semyum mencuri keluar di wajahku. Aku menunduk untuk bersembunyi dariPak Arkana.“And I’m wet,” balasku, lalu mencium dadanya.Aku bisa merasakan tubuhnya menegang.Pak Arkana meraih daguku lalu menarik wajahku hingga berhadapan dengannya. Tangannyaberada di bagian belakang kepalaku. Dia mendorong kepalaku hingga bibirku mendarat di atasbibirnya. Ciumannya selalu membuatku candu. Aku membuka bibir dan membiarkan lidahnyamenguasaiku. Ciumannya terasa lembut sekaligus menuntut.Pak Arkana mengurai ciuman itu sebelum nafsu menguasai. Matanya berkilat saatmenatapku. Aku bisa merasakan birahi di matanya, karena aku pun merasakan hal yang sama.“Can we go now?” Tanyanya. “I want to see you naked, Narin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasan