“Bibik percaya kamu orang baik, tolong jangan merusak rumah tangga mereka. Setelah bertahun-tahun seperti orang asing, sekarang bibik bisa lihat kalau mereka sudah mulai dekat seperti pasangan lainnya.” Bik Atin membongkar semuanya pada Dimas hanya karena ingin Dimas tidak bertingkah.
Padahal bukan Dimas yang memulainya tapi Adeline namun tetap saja Dimas akan menjadi tersangka jika terjadi hal buruk kedepannya. “Aku tidak akan berani melakukan itu, Bik.” “Nyonya Adel itu permatanya keluarga ini, tergores sedikit maka akan ada masalah besar yang terjadi.” Bik Atin kembali ke dapur meninggalkan Dimas yang semakin tidak tenang. Semua yang terjadi juga bukan keinginannya, Dimas adalah suami yang setia. Semua yang terjadi saat itu adalah kesalahan dan dosa terbesarnya. Apa aku mengundurkan diri saja ya? Tapi takut tabunganku tidak cukup. Dimas bimbang. Meski Erina bilang akan melahirkan normal tapi Dimas harus punya uang untuk jaga-jaga agar tidak kerepotan. Sekarang ia ada dalam posisi serba salah. Dalam hatinya ia berharap rumah tangga majikannya baik-baik saja. Denting pesan masuk membuat Dimas tersentak, buru-buru merogoh saku celananya. [Dim, usahakan pulang temani Erina melahirkan. Selama hamil, kamu sibuk bekerja, setidaknya saat anakmu akan lahir kamu ada di sini.] Dimas menghela nafas panjang membaca pesan dari ibunya. [Iya, Bu. Aku usahakan untuk pulang.] Niat Dimas berubah, ia bukan lagi mengajukan cuti tapi memilih untuk berhenti bekerja. Daripada di sini ia menjadi sumber masalah lebih baik pergi. Ia yakin setelah ini bisa kembali mendapatkan pekerjaan. Karena kejadian bulan kemarin, Dimas jadi tidak mau lagi merantau. Jika bukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mungkin Dimas tidak akan jauh-jauh pergi ke ibu kota. Namun semua sudah terjadi, takdir buruk tidak akan bisa ditolak. *** Semua mata tertuju pada Adeline, ia melenggang seperti di atas catwalk. Tidak akan ada lelaki yang melewatkan untuk menatap bidadari yang lewat di hadapan mereka. Bahkan para perempuan berdecak kagum melihat kecantikan seorang Adeline. Mereka tahu kalau Adeline adalah istri bos mereka jadi tidak ada yang berani mendekati atau sekedar menegur, mereka hanya menunduk hormat saja. Dengan ramahnya Adeline melemparkan senyum pada orang-orang yang dilewatinya. Membuat mereka semakin terpana. “Beruntung ya jadi Pak Bram, istrinya benar-benar seperti bidadari.” “Tampan dan cantik, mereka memang cocok.” “Kalau istrinya seperti Bu Adeline dijamin suami tidak akan selingkuh.” Adelin menyeringai mendengar bisik-bisik itu. Semua orang menganggap hidupnya sempurna padahal aslinya tidak, hidupnya berantakan. Tidak pernah Adeline mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia hanya ingin dicintai oleh suaminya tapi perjuangannya selama lima tahun ini tidak membuahkan hasil. “Suamiku ada di dalam?” tanya Adeline pada sekretaris Bram. “Ada, Bu. Silahkan.” Wanita bernama Nadira itu membukakan pintu untuk istri atasannya. “Terima kasih.” Bram yang terlihat serius di depan layar datar tidak menyadari kedatangan sang istri. “Mas, makan dulu.” Lelaki itu tersentak, ia mendongak. Senyumnya merekah melihat sosok cantik berjalan menghampirinya. “Dari tadi?” Adeline menggeleng. “Aku baru saja sampai. Lanjutkan saja, biar aku suapi ya.” Istri sebaik dia aku sia-siakan, aku beruntung karena tidak kehilangannya. Bram meraih pinggang Adeline dan mendekapnya mesra. “Kamu juga harus makan.” “Bik Atin masak makanan kesukaan kamu, Mas. Sayang sekali aku tidak bisa masak.” Adeline memasang wajah sedih. Bram berdiri, tangannya masih melingkar di pinggang Adeline. “Aku tidak mau kamu berada di dapur, bagaimana kalau kamu terluka? Duduk manis dan temani aku saja, itu sudah cukup.” Bram menyelipkan helaian rambut Adeline ke belakang telinga. “Istriku tidak boleh terluka seujung kukupun.” Kenapa tidak dari dulu kamu begini, Mas. Mungkin aku akan lebih bisa memaafkan. Sekarang tidak ada lagi pintu maaf untukmu, aku menyerah, aku akan mundur setelah kamu merasakan sakitnya jadi aku. Adeline balas mengalungkan tangan di leher Bram membuat jarak mereka semakin dekat. “Istri macam apa yang tidak bisa memanjakan suaminya dengan masakannya.” Bibir Adeline mengerucut. Dengan gemas Bram menjawil hidung mancung istrinya. “Kamu istri terbaik, selama ini mengurusku tanpa mengeluh. Terima kasih masih bertahan, aku janji akan memberikan yang terbaik untukmu. Lusa aku sudah pesan tiket.” Kening Adeline berkerut dalam. “Tiket apa, Mas?” “Untuk bulan madu kita.” “Bulan madu yang tertunda selama lima tahun.” Adeline terkekeh meski hatinya perih. “Maafkan aku.” “Tak masalah, daripada tidak sama sekali. Tapi kamu pasti sibuk, Mas.” “Soal itu tidak usah dipikirkan, kita fokus saja untuk bulan madu kita.” Bram semakin mengikis jarak, hidung mereka bahkan sudah bersentuhan. Belum sempat ia meraup bibir merah muda itu, pintu ruangan dibuka dengan keras dari luar. Keduanya sampai terlonjak. “Brengsek kamu, Mas.” “Mbak, tolong jangan buat keributan di sini.” Nadira mencoba membawa wanita itu keluar. Sedangkan Bram berdiri tegang dengan keringat dingin, ia tidak menyangka jika Sitta akan datang ke kantornya. Padahal Bram sudah tidak lagi memberikan uang setelah mereka benar-benar berpisah, bahkan ia ambil semua kartu debit yang diberikan pada mantan istri keduanya itu. “Nadira, kamu bisa keluar.” “Baik, Bu.” Nadira menutup pintu ruangan itu. Adeline hanya tidak mau ribut di depan orang lain. “Siapa dia, Mas?” Adeline menatap sang suami. Bram tidak kunjung menjawab, ia merasa lidahnya kelu. “Aku istrinya Mas Bram, mau apa kamu?” “Oh.” Adeline menatap Sitta dari ujung ke ujung, ia tersenyum miring. “Istri keduanya yang tidak diakui itu ya. Sayang sekali. Lima tahun kamu disembunyikan, orang-orang taunya aku istri Mas Bram. Kasihan sekali sudah mati-matian menguasai suamiku malah dibuang begitu saja.” Sitta mengepalkan kedua tangannya, dada wanita itu bergemuruh. Apa yang dikatakan oleh Adeline seperti penghinaan untuknya. Sedangkan Bram sendiri kaget setengah mati karena Adeline ternyata tahu semuanya. ketakutan menyelimuti hati lelaki itu, takut jika akhirnya Adeline akan pergi. “Sayang ....” Adeline mengelus rahang suaminya. “Aku mengerti, Mas. Kamu hanya diperdaya oleh wanita iblis ini ‘kan? Aku percaya padamu.” “Dasar sinting! Kamu itu hanya dimanfaatkan oleh dia!” teriak Sitta. “Dari awal dia milikku sampai kapanpun akan menjadi milikku, jangan harap bisa mendapatkannya. Aku akan membongkar hubunganku dan Mas Bram biar semua orang tahu.” “Hanya wanita murahan yang mengejar suami orang. Dimana harga dirimu sebagai seorang wanita, apa tidak laku sampai menginginkan suami orang.” Adeline tersenyum mengejek. “Sialan!” Plak. Dengan gerakan cepat Sitta melayangkan tamparan pada pipi Adeline. “Sitta!” Plak. Bram membalasnya sampai wanita itu tersungkur dengan sudut bibir yang berdarah. “Jangan pernah berani sentuh istriku. Hubungan kita sudah selesai.” Mata Sitta berkaca-kaca. “Mas, kamu menamparku?” Ia memegangi pipinya yang memanas. Selama berhubungan dengan Bram, baru kali ini lelaki itu menamparnya bahkan di depan Adeline, wanita yang sangat Sitta benci. “Kamu tidak apa-apa, sayang?” Bram menatap khawatir pada Adeline. “Perih, Mas,” rengeknya. Sudut mata wanita itu melihat Sitta yang masih terduduk di lantai. Kau juga harus merasakan bagaimana sakitnya aku. Ini baru permulaan, Sitta. Ada kejutan lainnya untukmu yang akan membuatmu tidak berani memperlihatkan muka di depan orang lain.“Kok Mbak Adel belum datang ya?” Erina tampak gelisah.“Mungkin masih di jalan, Dek. Kalaupun tak datang bisa jadi ada urusan lain. Tak apa.”Sebelumnya Erina tidak pernah berpikir untuk meminta Adeline datang apalagi untuk acara penting menyangkut Mentari.Tapi kali ini hatinya berontak, Erina tidak bisa hanya diam. Ia tidak mau berlarut dalam keegoisannya, ia ingin Adeline datang menyaksikan kebahagiaan Mentari yang akan memulai hidup baru dengan Angkasa.“Lihat dulu Tari, Dek. Tidak usah dipikirkan.” Dimas mengelus pundak istrinya.Erina beranjak menuju kamar Mentari. Ia dan Dimas merasa tidak salah untuk memberi restu karena keluarga Angkasa menerima Mentari apa adanya, tidak seperti keluarga calon-calon Mentari sebelumnya yang selalu mempermasalahkan latar belakang.“Bu.” Mentari bisa melihat sang ibu dari pantulan cermin.Gadis yang mengenakan kebaya putih gading itu tampak menawan, riasan tipis namun sukses membuat wajahnya semakin bersinar, menampakan aura yang memikat siapa s
“Aku tidak mau menyakitimu lebih dalam lagi dengan hubungan ini.”Batari meremas tangannya, ia menahan diri untuk tidak memotong penjelasan Angkasa.“Kamu berhak bahagia dan mendapatkan lelaki yang benar-benar mencintaimu.”Bibir gadis jelita itu bergetar. “Jadi ... selama ini ... kamu tidak mencintaiku?”Hatinya seperti tersayat sembilu. Bungkamnya Angkasa sudah bisa disebut jawaban. 7 tahun ini bersama Angkasa merupakan kebahagiaan bagi Batari namun menjadi penderitaan untuk Angkasa.“Maaf.”Tanpa bisa ditahan, buliran bening itu berjatuhan membasahi pipi Batari. Riasan yang membuatnya semakin menawan dengan dress indah membungkus tubuhnya tidak berarti apa-apa lagi, semuanya percuma karena kepahitan yang didapatkannya sekarang.“Aku akan bicara pada orang tuamu soal ini.” Angkasa tidak mungkin hanya memutuskan begitu saja tanpa bicara pada mantan calon mertuanya, ia masih punya etika.“Apa ... apa kurangku? Apa salahku?” Dengan kasar Batari mengusap pipinya yang basah. Untuk perta
Kegugupan menyelimuti lelaki tampan itu, tangannya bahkan basah oleh keringat. Seorang Xavier Angkasa Danuarta tidak pernah seperti ini sebelumnya. Sekarang ia berhadapan dengan ayah dari wanita pujaannya, kecanggungan begitu kentara.“Diminum dulu, Nak. Kenapa seperti tegang begitu?” Dimas mengangsurkan teh hangat ke hadapan Angkasa.Salah satu alasan kedekatan terjalin karena nama Angkasa, sama dengan nama mendiang anak Dimas dan Erina.Selebihnya memang karena Angkasa merasa nyaman berada di lingkungan itu.“Saya bingung mulai dari mana, Pak,” ungkapnya.“Memang mau bicara soal apa?”Angkasa mengambil cangkir teh dan menyesapnya pelan untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering kerontang.“Sebenarnya, saya tertarik pada anak Bapak.”Dimas diam, tidak langsung menjawab membuat Angkasa menjadi was-was takut jika langsung ditolak.“Putriku ada dua, Sa. Sebutkan namanya?” Lelaki yang sudah menginjak usia senja itu terkekeh.Angkasa menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia merasa sepe
“Karena Angkasa tidak bisa ikut jadi hanya kami saja. Kalau memang Bintang keberatan, biar nanti kami datang lagi bersama Angkasa.”Gadis bernama lengkap Batari Bintang itu harus menelan kekecewaan, kebahagiaannya tidak sempurna.Orang-orang terdekat memang lebih sering memanggilnya Bintang, sesuai keinginan sang Mama. Adeline tidak mau lebih sakit karena mengingat nama anak kembarnya hampir sama, Batari dan Mentari.“Jangan. Kalian sudah menyempatkan waktu untuk datang kesini, tak apa tanpa Angkasa. Karena yang terpenting niatnya.” Bram tidak mungkin membiarkan besannya pergi tanpa menyampaikan niat baiknya.“Iya, Tante. Tidak masalah kalau Angkasa sibuk, aku mengerti.” Batari mengulas senyum meski sebenarnya ia kecewa. Tahu betapa kekasihnya itu gila kerja.Sherlly tersenyum lembut. “Pa.” Ia melirik suaminya.“Kami datang membawa lamaran untung Bintang. Bintang dan Angkasa sudah memiliki hubungan lama, sebaiknya dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius.” Danu memaparkan niat kedatan
“Sebelum melangkah ke jenjang lebih serius. Kami ingin memberitahu kalau Mentari ... bukan anak kandung kami.”“Oh, jadi kamu bukan anak kandung ya? Dari panti asuhan atau anak haram?” Ria menatap remeh calon menantunya yang duduk mematung.“Jaga ucapan Anda ya, Bu.” Erina langsung emosi saat Mentari disebut anak haram. Ia tidak terima.“Aku tidak mau putraku menikah dengan anak haram, anak tidak jelas.”“Kalau memang Anda tidak setuju saya terima tapi jangan menghina putri kami! Silahkan pergi dari sini.” Dengan dada bergemuruh Dimas mengusir calon menantu dan besannya itu.Niat awal datang untuk melamar Mentari namun berakhir penghinaan hanya karena Mentari tidak memiliki wali untuk menikah. Setiap kali putrinya gagal untuk menikah, disitu Dimas merasa terpukul. Ia ada tapi tidak bisa menjadi wali untuk putrinya menikah.Semua orang memang tahunya kalau Mentari adalah anak adopsi. Hanya mendiang Bu Imah yang tahu soal fakta mengenai Mentari. Orang tua Erina pun tidak tahu karena mer
“Bram, bawa istrimu kembali ke rumah. Jangan biarkan dia tinggal di tempat kumuh, nantinya berpengaruh buruk pada cucu Mama.”Kening Bram berkerut saat sang Mama tiba-tiba mengatakan itu.“Ma-”“Pulang atau Mama jemput paksa.”Adeline menatap suaminya yang terlihat terheran-heran.“Mas, kenapa?”Bram menoleh. “Mama minta kita untuk pulang.”Kedua alis Adeline bertaut. “Tiba-tiba?”“Sepertinya Mami atau Papi mengatakan soal kehamilanmu pada Mama. Semakin berat tugas kita.” Bram mengerling nakal pada istrinya dan langsung dihadiahi pukulan di lengan.“Kenapa hanya itu yang kamu pikirkan, Mas. Kalau kebohongan ini berlanjut dan aku belum hamil bagaimana? Aku juga tidak mau kembali kalau yang mereka harapkan hanya anakku saja.”Bram meraih tangan istrinya, meremas lembut. “Aku juga tidak akan membawamu kembali sebelum Mama meminta maaf karena sudah melukaimu.”“Mas-”“Tidak seharusnya Mama bersikap begitu, harusnya Mama bisa menghargai pilihan anaknya.”Bram tidak mau membuat istrinya tid