“Nadira! Seret wanita ini keluar.”
Nadira datang tergopoh-gopoh dengan dua orang petugas keamanan, ia sudah antisipasi saat tadi diminta keluar ruangan. “Mas, jangan kurang ajar kamu. Awas kamu, Mas. Aku tidak akan diam!” teriak Sitta saat diseret keluar dari ruangan itu. Dalam hatinya Adeline bersorak. Ia memang baik, tapi kalau ada yang sudah berani melukainya maka jangan salahkan kalau mereka akan hancur termasuk Bram. “Sayang, maafkan aku.” Adeline mengulas senyum. “Mas, kamu akan benar-benar mengakhiri hubunganmu dengan dia ‘kan?” Bram mengangguk pasti. “Iya, aku tidak akan lagi mengkhianatimu. Maafkan aku.” “Buktikan kalau kamu memang menyesal. Tebus lima tahun ini saat kamu mengabaikan keberadaanku karena wanita itu.” “Ya, aku akan lakukan apapun asal kamu memaafkanku.” “Kamu melakukan ini juga pasti ada alasan ‘kan? Mungkin saja aku masih belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.” Adeline merendah. “Tidak. Kamu itu istri terbaik, aku saja yang tidak bersyukur.” Bram mengakui dirinya yang tak bersyukur karena memiliki istri yang nyaris sempurna seperti Adeline. Bahkan dari wajah saja Sitta sudah kalah jauh, nilai plus seorang Sitta hanya mudah menggoda dan memuaskan laki-laki jadi itu yang membuat Bram betah meski lebih sering lelaki itu jengah karena sikap Sitta yang selalu bersikap seenaknya. “Soal bulan madu kita ... kamu mau ‘kan?” “Tentu saja.” “Kita lupakan apa yang sudah terjadi. Aku berjanji akan menjadi suami yang baik.” Bram menggenggam erat tangan Adeline. “Aku pegang janjimu, Mas.” “Terima kasih, sayang.” Lelaki itu menarik Adelin ke dalam pelukannya. Mudah sekali kamu bilang lupakan. Seumur hidup bahkan aku tidak akan melupakan apa yang sudah kamu lakukan padaku, Mas. Tunggu saja giliranmu. Keduanya melanjutkan makan siang seolah tidak terjadi apa-apa. Bram merasa lega karena Adeline tidak murka seperti dalam bayangannya. Mereka membicarakan soal jadwal bulan madu mereka. Selesai makan siang, Adeline langsung pulang dan Bram melanjutkan pekerjaannya. *** Adeline membuat karir Sitta sebagai model menjadi hancur, semua bukti perselingkuhan ia sebarkan di internet tapi sengaja Adeline tidak memperlihatkan kalau Sitta berselingkuh dengan Bram. Karena bukan giliran lelaki itu, ada waktunya sendiri nanti. Tidak akan ada yang tahu kalau ia yang ada di balik berita viral yang mengguncang dunia hiburan itu. Sitta yang terkenal sebagai sosok wanita idaman, dengan paras cantik dan hati baik langsung dihujat habis-habisan karena semua bukti sangat jelas bahkan foto-foto mereka pun disebar. Wajah Bram diburamkan, Adeline mendapatkannya tentu dengan meretas dari ponsel Sitta. Orangnya yang melakukan itu. Memang salah memilih lawan. Sitta harus menanggung malu plus kehancuran karirnya yang sudah sepuluh tahun ia geluti. [Sitta Amalia diduga menjadi selingkuhan seorang pengusaha kaya. Mirisnya ia sampai melarang lelaki berinisial B itu untuk menyentuh istrinya sendiri selama bertahun-tahun. Saat ini Sitta tidak bisa ditemui dan menolak dimintai keterangan.] Kedua sudut bibir terangkat membentuk senyuman. “Lawan mainmu salah, Sitta. Kau pikir aku akan diam saat harga diriku diinjak-injak begini.” Adeline melemparkan benda pipih itu ke atas ranjang lalu beranjak keluar kamar karena perutnya keroncongan. “Nyonya butuh sesuatu?” Bik Atin menanyai sang nyonya yang tidak biasa ke dapur, padahal kalau butuh sesuatu akan memanggil. “Aku lapar, Bik.” Adeline mengusap perutnya yang rata. “Lapar?” Bik Atin mengernyit heran karena belum sampai dua jam Adeline makan, sekarang malah sudah lapar. “Aku mau telur mata sapi.” “Ya sudah. Nyonya tunggu ya, Bibik buatkan dulu.” Adeline menggeleng cepat. “Tidak. Aku mau Dimas yang masak.” “Hah?” Bik Atin sampai melongo. Ada apa dengan Nyonya Adel, kenapa aneh sekali. Malah mau Dimas yang memasak. “Dimas mana, Bik?” “Tadi lagi di belakang bantu Mang Supri membersihkan rumput di taman.” “Ya sudah, biar aku panggil. Bibik tolong belikan aku kerupuk ya.” “Kerupuk apa, Nyonya?” “Itu loh, yang warna putih, besarnya seperti piring. Aku mau itu.” Adeline pernah melihatnya saat sedang menggulir layar ponselnya mencari menu makanan yang enak. Tak sengaja melihat orang yang makan hanya dengan telur mata sapi yang diberikan kecap dan juga kerupuk. Padahal sebelumnya Adeline paling anti bahkan dibilang tidak pernah makan kerupuk karena sangat menjaga pola makannya. Meski terheran-heran karena semua yang diminta Adeline tidak seperti biasanya, Bik Atin tetap membelikannya. Ia harus keluar dari komplek karena biasanya ada di jual di warung-warung makan atau warung kelontong sederhana. Sedangkan mereka tinggal di perumahan elit, tidak ada warung satupun disana. Kenapa Nyonya Adel semakin hari semakin aneh ya. Bik Atin geleng-geleng kepala. Adeline menghampiri Dimas di taman belakang. Lelaki itu terlihat membantu Mang Supri mencabut rumput liar sambil mengobrol ringan. “Dimas.” Adeline memanggil. Tidak hanya Dimas, tapi Mang Supri ikut menoleh. “Cepat sana, Dim. Biar Mamang selesaikan sendiri.” Tanpa diminta dua kali, Dimas menghampiri Adeline. “Mau pergi sekarang, Nyonya?” “Siapa yang mau pergi? Aku mau makan.” Kening Dimas berkerut dalam. “Makan? Nyonya mau dibelikan apa?” Dimas berpikir kalau Bik Atin tidak ada di rumah makanya Adelin memanggilnya. “Aku mau kamu yang masak,” ujar Adeline santai dan ketus. Moodnya mudah sekali berubah, jadilah seperti ini. Mata Dimas membulat sempurna. “Saya?” “Iya, kamu. buatkan telur mata sapi ya. Pinggirannya harus kering tapi kuningnya setengah matang.” Bukan tidak bisa masak, Dimas masih tidak percaya saat disuruh untuk masak. “Kamu dengar ‘kan?” “I-iya, Nyonya.” Tergesa. Dimas melangkah ke dapur, mencuci tangannya lebih dulu sampai bersih. Bibik kemana ya? Aku tidak tahu selera makanan Nyonya Adel seperti apa. Aku takut bertanya karena sepertinya sedang sensitif, wajahnya saja terlihat galak. “Dimas, jangan lama ya. Aku sudah sangat lapar.” Dimas terlonjak. “Iya, Nyonya.” Adeline duduk di meja bar, ia memperhatikan Dimas yang sibuk untuk memasak. Mungkin jika ia memasak untuk istrinya maka tidak masalah tapi ini untuk majikannya, takut ada yang salah. Tidak sampai lima menit, Dimas sudah berhasil memasak telur mata sapi, ia menyerahkannya pada Adeline yang tampak antusias. “Loh, kenapa kuningnya tidak setengah matang?” Wanita itu merengut kesal. “Aku maunya setengah matang kuningnya tapi pinggirnya harus garing.” Dimas memasak ulang, bahkan sampai tiga kali dan yang ketiga akhirnya berhasil karena ia memisahkan putih dan kuningnya, ia memasukan kuning telur terakhir setelah pinggiran putih telur berubah kecoklatan. Bersamaan dengan itu, Bik Atin kembali membawa kerupuk yang diminta Adeline. Tidak menunggu lama, Adeline langsung makan dengan lahap, ia bahkan sampai dua kali tambah padahal hanya makan dengan nasi, telur mata sapi dan kerupuk yang di atasnya ditambah kecap. “Kemaun Nyonya Adel aneh-aneh belakangan ini, seperti orang ngidam saja.” Bik Atin bergumam sambil memperhatikan Adelin dari jauh. Deg. Jantung Dimas seperti lompat dari tempatnya. Pikirannya langsung tertuju pada satu hal. Ia menggeleng mencoba menepis semua itu. Tidak mungkin. Lagi pula hanya satu kali. Tapi kalau benar bagaimana?Hati Bram teriris melihat begitu memprihatinkan kondisi istrinya saat ini. seorang Adeline Putri Wirakusuma yang begitu cantik paripurna sekarang tampak lusuh tak terawat.“Del.” Mata Bram memanas, ada rasa lega setelah lima tahun lamanya mencari keberadaan Adeline, sekarang wanita itu ada di hadapannya tanpa dicari.“Sayang, ayo pulang.” Adeline menghampiri Batari dan menggendongnya.Ia sama sekali tidak memperdulikan keberadaan Bram yang terus memperhatikannya.“Kamu mau kemana? Kita pulang, sayang.” Bram menahan langkah Adeline.“Maaf, Anda mungkin salah orang, Pak!” Adeline menepis tangan Bram.Ya, mungkin kalau dilihat sekilas tentu tidak akan ada yang percaya kalau wanita ini adalah Adeline, pewaris tunggal keluarga Wirakusuma.“Jangan begini, Del. Sudah cukup lima tahun ini aku tersiksa setelah kepergianmu. Mami juga merindukanmu.”Adeline menyeringai, ia terus saja melangkah. Aku dikhawatirkan karena takut tidak ada yang meneruskan perusahaan, bukan khawatir orang tua pada ana
5 Tahun Kemudian. “Dek, mau kemana? Sudah kamu di rumah saja, biar aku yang mengantar Tari.” Dimas menahan Erina yang akan bangkit dari tempat tidur. Kondisi Erina memang kurang sehat. Beruntung hari ini Dimas tidak memiliki kesibukan apapun. Sedangkan toko kelontong milik mereka dijaga oleh dua orang karyawan, meski bukan toko besar tapi setiap hari selalu ramai. Rezeki mereka mengalir begitu deras. Mungkin itu dari kelapangan hati Erina yang ikhlas merawat darah daging suaminya dari wanita lain. Karena tidak semua wanita akan kuat melakukan itu. “Tapi, Mas-” “Sayang, kamu sedang tidak sehat. Sudah diam saja di rumah, aku tidak lama. Hanya mengantar Tari setelah itu langsung pulang.” “Ayah, Ayah.” Suara cempreng itu terdengar melengking. “Lihat, putri kita sangat cerewet.” Dimas terkekeh. “Aku berangkat dulu ya.” Dimas mendaratkan kecupan di kening sang istri sebelum keluar kamar. Kehidupan mereka sudah kembali normal semenjak kehadiran Mentari. Erina sudah lama meng
[Maaf, maaf, maaf. Aku benar-benar menyesal sudah menjerumuskan Dimas. Perbuatanku sudah sangat melukaimu. Aku mohon jangan tinggalkan Dimas, dia tidak salah. Aku yang salah, aku yang menggodanya. Sesuai permintaanmu. Rawatlah bayi ini dengan baik, kamu juga ibunya. Sekali lagi maafkan aku, aku harap kalian bahagia. Adeline.]Tidak mudah bagi seorang ibu menyerahkan anaknya untuk dirawat orang lain, namun Adeline merelakannya. Ia ingin menebus dosa yang pernah dilakukan.“Ja-jadi ... bayi ini ....” Erina benar-benar tidak menyangka kalau Adeline menyerahkan bayi itu padanya.Sebelumnya Erina bahkan sudah berpikir buruk, sekarang malah anak yang dimintanya sudah ada di depan mata.“Bawa masuk dulu, Dek. Kasihan di luar dingin.”“Iya, Mas.”Sebelum masuk. Dimas mengarahkan pandangannya ke seluruh arah untuk mencari keberadaan Adeline tapi nihil, tidak ada siapapun di sana.“Ini benar-benar anak yang Mbak Adel lahirkan.” Erina menatap gelang yang bertuliskan tanggal lahir di lengan mungi
“Kita bisa punya anak sendiri, sayang. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan untuk memberikannya lagi. Kalaupun takdir kita hanya berdua, aku tidak masalah. Mbak Adel lebih berhak atas anak itu, bahkan nasabnya pun bukan padaku.”Erina menyeringai. “Sekarang saja kamu bicara begitu, Mas. Tidak ada yang menjamin nantinya kamu bosan dan meninggalkanku.”Dimas meraih tangan Erina, digenggamnya erat. “Dengarkan aku baik-baik, sayang. Aku tidak hanya berjanji padamu, orang tuamu dan orang tuaku. Aku berjanji pada Tuhan untuk selalu ada disampingmu seberat apapun masalah yang kita jalani. Aku tahu kamu terluka karena perbuatanku tapi aku minta satu kesempatan. Apa tidak bisa?” Matanya sudah berembun.Kilasan momen kebahagiaan tiba-tiba melintas dalam benak Erina. Selama ini Dimas memperlakukannya dengan baik, menjadikan Erina seperti istri yang sangat beruntung. Bahkan Dimas yang selalu mengalah saat ada masalah meskipun masalah itu timbul karena Erina.“Maafkan aku, maafkan aku.” Tubuh D
“Aku-”“Tidak perlu dijawab. Kamu pasti tidak bisa memilih. Mungkin di hatimu kamu memilih anak itu tapi di mulut kamu memilihku.”“Bukan-”“Kamu urus saja sendiri. Aku juga nanti punya kesibukan, aku mau mulai bekerja.”“Kamu tidak usah bekerja, biar aku yang bekerja. Kamu di rumah saja dan-”“Dan duduk diam, melamun, meratapi nasib malang yang menimpaku,” sambungnya.Berada di rumah, Erina akan terus berlarut dalam kesedihan. Sebelum bertemu Dimas ia juga bekerja di salah satu toko pakaian. Sekarang ia juga ingin punya kegiatan lagi.Seharusnya kesibukannya bersama dengan bayi mungil yang baru ia lahirkan, tapi semua itu hanya sebatas mimpi saat Tuhan mengambil kembali malaikat kecil yang dititipkan di rahim Erina.“Memangnya mau kerja dimana? Kamu baru selesai operasi, jangan dulu banyak gerak, tidak boleh mengangkat yang berat-berat.”“Nanti setelah kondisiku memungkinkan, aku akan bekerja di toko sembangko Bu Ema.”“Tapi janji harus pulih dulu ya.”“Hm.”Sebenarnya Dimas ingin se
“Kamu marah padaku, sakiti aku, jangan sakiti dirimu sendiri.” Bram ingat saat Bi Atin mengatakan Adeline melukai tangannya sendiri dengan pisau dan ia yakin itu adalah kali pertama Adeline tahu perselingkuhannya.Adeline tidak merespon apapun, ia berdiri mematung, fokusnya pada pelipis Bram yang berdarah.Susah payah wanita hamil itu mengendalikan emosi dan mengelola stres, sekarang Bram datang dan membuat semuanya jadi kacau.Lelaki itu berjongkok untuk memungut pecahan vas bunga dengan tangan kosong, takut kalau Adeline tak sengaja menginjaknya. Rasa sakit karena istrinya dihamili lelaki lain tidak sebanding dengan besarnya cinta pada wanita itu.Waktu yang begitu singkat tapi Adeline berhasil memenuhi relung hati Bram. Sebenarnya Bram saja yang baru menyadari jika istrinya sangat berharga, ia sudah punya rasa dan tersentuh dengan pengabdian Adeline sebagai istri tapi selalu ditepisnya jauh-jauh. Karena apa? Tentu saja pengaruh dari Sitta.“Tenangkan dirimu, aku akan pulang.”Sete