Aku tak sengaja menghamili istri majikan. Namun aku dibuat kaget saat tahu dia masih perawan padahal sudah 5 tahun menikah, ternyata suaminya ....
View More“Hamili aku.”
Deg. Tubuh Dimas langsung menegang mendengar permintaan istri majikannya. Permintaan yang terdengar gila di telinga Dimas. Dimas menunduk tak sanggup menatap mata sang nyonya. “Kenapa diam?” “Anda lucu, Nyonya.” Lelaki tampan itu tertawa hambar untuk menutupi kegugupannya. “Dimas, tatap aku. Apa menurutmu aku bercanda?” Jari telunjuknya yang halus mengangkat dagu Dimas hingga mata mereka bertemu. Darah Dimas berdesir hebat, lututnya bahkan langsung lemas. Bagaimana tidak. Ia melihat dengan jarak sangat dekat wanita cantik dengan kulit seputih salju, matanya bulat dan bening, rambutnya hitam bergelombang dan bibirnya yang merekah indah membuat lelaki manapun tertarik untuk mengecupnya. Tubuhnya tinggi semampai, berisi dan terlihat sangat seksi. Fisiknya pasti menjadi impian setiap wanita. Fisiknya hampir tanpa cela. “Nyonya, saya-” “Aku tidak menerima penolakan, Dimas.” Kecupan singkat mendarat di sudut bibir Dimas membuat lelaki itu benar-benar lemas, jantung lelaki itu seperti loncat dari tempatnya. “Dimas. Cepat, Tuan sudah menunggu di mobil.” Suara teriakan Bik Atin membuat Dimas tersentak. Ia buru-buru meninggalkan halaman belakang dan Adeline yang masih belum beranjak. Dimas menggeleng mencoba menepis apa yang baru saja terjadi. Itu pasti hanya halusinasiku saja. Tidak mungkin Nyonya Adel benar-benar melakukannya. Dia tidak buta. “Kalau sakit tidak usah bekerja, Dim.” Bram langsung menegur Dimas yang wajahnya tampak pucat dengan keringat dingin bercucuran di pelipis. “Tidak, Tuan. Saya baik-baik saja.” Tangan Dimas gemetar. Ia takut ketahuan. Bisa-bisa langsung kehilangan pekerjaan. Tapi itu lebih baik daripada disiksa oleh majikannya. Apalagi Bram sosok yang sangat keras, ia paling benci pada penghianat. Dimas sudah tujuh tahun bekerja pada Bram. Sebelumnya Dimas hanya sebagai supir di kantor tapi dialihkan dua tahun lalu saat Pak Sugianto, supir lama Bram berhenti. Meski terlihat arogan, Bram sebenarnya baik. Tak jarang ia memberikan bonus pada karyawannya. Dimas bekerja seperti biasa meski pikirannya tidak tenang. Malamnya setelah Bram selesai bekerja, Dimas langsung mengantarnya ke bandara. Lelaki itu ada pekerjaan di luar kota. Baru kali ini Dimas takut untuk pulang. Takut bertemu dengan Adeline. Mungkin kalau wanita itu bukan istri majikannya, Dimas tidak akan setakut ini. Bisa jadi ia merespon atau mungkin langsung marah dengan kelancangan wanita itu. “Kamu mengantar Mas Bram sampai bandara, Dim?” tanya Adeline yang baru saja mengambil air dari dapur. Dimas memalingkan wajahnya melihat sang majikan hanya mengenakan gaun tidur tipis. Ia merutuki diri sendiri karena berniat untuk mengisi perutnya. Kalau tahu ada sang nyonya di dapur pasti Dimas akan langsung ke kamarnya. “Iya, Nyonya. Saya permisi.” Tanpa disadari oleh Dimas, Adeline mengikutinya dari belakang. Matanya menatap tajam seperti sedang mengintai mangsanya. “Kamu dengar yang tadi pagi aku bilang? Aku tidak menerima penolakan.” * Tubuh Dimas gemetar hebat saat melihat Adeline berbaring di sampingnya. Mereka sama-sama dalam keadaan polos. “Apa yang sudah kulakukan?” Dimas buru-buru turun dari ranjang dan memakai bajunya yang berserakan di lantai kamar yang sempit itu. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia takut akan dipenjarakan karena sudah meniduri istri majikannya. Kalau sampai itu terjadi bagaimana dengan istrinya di kampung? Ibunya juga pasti akan kecewa jika tahu perbuatan tercela Dimas di perantauan ini. “Kamu sudah bangun?” Dimas tersentak. Adeline sudah bangun. Dimas membalikan tubuhnya saat sang majikan menyingkap selimut. “Sa-saya tunggu di luar, Nyonya.” Adeline gegas mengenakan pakaiannya setelah Dimas keluar dari kamar itu. Ia meregangkan tangannya, merasa tubuhnya sangat pegal dan sakit di bagian bawah tubuhnya begitu menyiksa. Senyum tersungging di bibir sensual anak semata wayang keluarga Wirakusuma itu. Pipinya merona. “Aku benar-benar sudah melakukannya?” Tok. Tok. “Nyonya, Tuan sudah pulang.” Terdengar nada panik dari suara Dimas. Tidak biasanya Bram kembali secepat ini bahkan tanpa menghubungi Dimas untuk dijemput. Sambil meringis, Adeline menyeret langkah keluar meninggalkan kondisi kamar yang berantakan setelah pertempuran tadi malam. “Siap-siap. Kamu harus jemput Mami di bandara.” “Tadi malam-” “Kita bahas nanti. Cepat!” Adeline berjalan perlahan dan tampak sedikit melebarkan kakinya sambil menahan sakit. “Apa aku terlalu kasar?” Dimas semakin gelisah. Ia kembali masuk ke dalam kamar. Tertegun melihat noda merah di sprei putih miliknya. “Da-darah?” Dimas mendekat untuk memperhatikan lebih jelas. Kepalanya menggeleng. “Apa aku sangat kasar sampai-” “Pelan-pelan, Dim. Ini pengalaman pertamaku.” Mulut Dimas terbuka lebar. Ingatannya kembali, ia sempat mendengar itu dari Adeline tadi malam sebelum mereka benar-benar melakukan dosa. Lima tahun Nyonya Adeline menikah dan dia ... masih perawan? Pertanyaan itu memenuhi benak Dimas. Ia bukan anak kemarin sore. Dimas juga lelaki yang sudah menikah dan tentu saja bisa membedakan. Rasa bersalahnya semakin dalam, tidak hanya pada pada sang nyonya tapi pada istrinya di kampung. Kondisi rumah yang sepi, di luar hujan deras dan godaan bertubi-tubi dari Adeline membuat setan semakin memperdaya dan akhirnya Dimas terjerumus. Ia mengkhianati janji suci pernikahannya. Dimas lelaki normal apalagi ia sudah berkeluarga. Enam bulan ia tidak pulang. Sudah pasti ada kebutuhan biologis yang harus dicukupi dan ia mendapatkannya dari Adeline. Tuhan, ampuni dosaku. Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi setelah ini. “Dimas!” teriakan Bram menyentak Dimas.“Kok Mbak Adel belum datang ya?” Erina tampak gelisah.“Mungkin masih di jalan, Dek. Kalaupun tak datang bisa jadi ada urusan lain. Tak apa.”Sebelumnya Erina tidak pernah berpikir untuk meminta Adeline datang apalagi untuk acara penting menyangkut Mentari.Tapi kali ini hatinya berontak, Erina tidak bisa hanya diam. Ia tidak mau berlarut dalam keegoisannya, ia ingin Adeline datang menyaksikan kebahagiaan Mentari yang akan memulai hidup baru dengan Angkasa.“Lihat dulu Tari, Dek. Tidak usah dipikirkan.” Dimas mengelus pundak istrinya.Erina beranjak menuju kamar Mentari. Ia dan Dimas merasa tidak salah untuk memberi restu karena keluarga Angkasa menerima Mentari apa adanya, tidak seperti keluarga calon-calon Mentari sebelumnya yang selalu mempermasalahkan latar belakang.“Bu.” Mentari bisa melihat sang ibu dari pantulan cermin.Gadis yang mengenakan kebaya putih gading itu tampak menawan, riasan tipis namun sukses membuat wajahnya semakin bersinar, menampakan aura yang memikat siapa s
“Aku tidak mau menyakitimu lebih dalam lagi dengan hubungan ini.”Batari meremas tangannya, ia menahan diri untuk tidak memotong penjelasan Angkasa.“Kamu berhak bahagia dan mendapatkan lelaki yang benar-benar mencintaimu.”Bibir gadis jelita itu bergetar. “Jadi ... selama ini ... kamu tidak mencintaiku?”Hatinya seperti tersayat sembilu. Bungkamnya Angkasa sudah bisa disebut jawaban. 7 tahun ini bersama Angkasa merupakan kebahagiaan bagi Batari namun menjadi penderitaan untuk Angkasa.“Maaf.”Tanpa bisa ditahan, buliran bening itu berjatuhan membasahi pipi Batari. Riasan yang membuatnya semakin menawan dengan dress indah membungkus tubuhnya tidak berarti apa-apa lagi, semuanya percuma karena kepahitan yang didapatkannya sekarang.“Aku akan bicara pada orang tuamu soal ini.” Angkasa tidak mungkin hanya memutuskan begitu saja tanpa bicara pada mantan calon mertuanya, ia masih punya etika.“Apa ... apa kurangku? Apa salahku?” Dengan kasar Batari mengusap pipinya yang basah. Untuk perta
Kegugupan menyelimuti lelaki tampan itu, tangannya bahkan basah oleh keringat. Seorang Xavier Angkasa Danuarta tidak pernah seperti ini sebelumnya. Sekarang ia berhadapan dengan ayah dari wanita pujaannya, kecanggungan begitu kentara.“Diminum dulu, Nak. Kenapa seperti tegang begitu?” Dimas mengangsurkan teh hangat ke hadapan Angkasa.Salah satu alasan kedekatan terjalin karena nama Angkasa, sama dengan nama mendiang anak Dimas dan Erina.Selebihnya memang karena Angkasa merasa nyaman berada di lingkungan itu.“Saya bingung mulai dari mana, Pak,” ungkapnya.“Memang mau bicara soal apa?”Angkasa mengambil cangkir teh dan menyesapnya pelan untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering kerontang.“Sebenarnya, saya tertarik pada anak Bapak.”Dimas diam, tidak langsung menjawab membuat Angkasa menjadi was-was takut jika langsung ditolak.“Putriku ada dua, Sa. Sebutkan namanya?” Lelaki yang sudah menginjak usia senja itu terkekeh.Angkasa menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia merasa sepe
“Karena Angkasa tidak bisa ikut jadi hanya kami saja. Kalau memang Bintang keberatan, biar nanti kami datang lagi bersama Angkasa.”Gadis bernama lengkap Batari Bintang itu harus menelan kekecewaan, kebahagiaannya tidak sempurna.Orang-orang terdekat memang lebih sering memanggilnya Bintang, sesuai keinginan sang Mama. Adeline tidak mau lebih sakit karena mengingat nama anak kembarnya hampir sama, Batari dan Mentari.“Jangan. Kalian sudah menyempatkan waktu untuk datang kesini, tak apa tanpa Angkasa. Karena yang terpenting niatnya.” Bram tidak mungkin membiarkan besannya pergi tanpa menyampaikan niat baiknya.“Iya, Tante. Tidak masalah kalau Angkasa sibuk, aku mengerti.” Batari mengulas senyum meski sebenarnya ia kecewa. Tahu betapa kekasihnya itu gila kerja.Sherlly tersenyum lembut. “Pa.” Ia melirik suaminya.“Kami datang membawa lamaran untung Bintang. Bintang dan Angkasa sudah memiliki hubungan lama, sebaiknya dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius.” Danu memaparkan niat kedatan
“Sebelum melangkah ke jenjang lebih serius. Kami ingin memberitahu kalau Mentari ... bukan anak kandung kami.”“Oh, jadi kamu bukan anak kandung ya? Dari panti asuhan atau anak haram?” Ria menatap remeh calon menantunya yang duduk mematung.“Jaga ucapan Anda ya, Bu.” Erina langsung emosi saat Mentari disebut anak haram. Ia tidak terima.“Aku tidak mau putraku menikah dengan anak haram, anak tidak jelas.”“Kalau memang Anda tidak setuju saya terima tapi jangan menghina putri kami! Silahkan pergi dari sini.” Dengan dada bergemuruh Dimas mengusir calon menantu dan besannya itu.Niat awal datang untuk melamar Mentari namun berakhir penghinaan hanya karena Mentari tidak memiliki wali untuk menikah. Setiap kali putrinya gagal untuk menikah, disitu Dimas merasa terpukul. Ia ada tapi tidak bisa menjadi wali untuk putrinya menikah.Semua orang memang tahunya kalau Mentari adalah anak adopsi. Hanya mendiang Bu Imah yang tahu soal fakta mengenai Mentari. Orang tua Erina pun tidak tahu karena mer
“Bram, bawa istrimu kembali ke rumah. Jangan biarkan dia tinggal di tempat kumuh, nantinya berpengaruh buruk pada cucu Mama.”Kening Bram berkerut saat sang Mama tiba-tiba mengatakan itu.“Ma-”“Pulang atau Mama jemput paksa.”Adeline menatap suaminya yang terlihat terheran-heran.“Mas, kenapa?”Bram menoleh. “Mama minta kita untuk pulang.”Kedua alis Adeline bertaut. “Tiba-tiba?”“Sepertinya Mami atau Papi mengatakan soal kehamilanmu pada Mama. Semakin berat tugas kita.” Bram mengerling nakal pada istrinya dan langsung dihadiahi pukulan di lengan.“Kenapa hanya itu yang kamu pikirkan, Mas. Kalau kebohongan ini berlanjut dan aku belum hamil bagaimana? Aku juga tidak mau kembali kalau yang mereka harapkan hanya anakku saja.”Bram meraih tangan istrinya, meremas lembut. “Aku juga tidak akan membawamu kembali sebelum Mama meminta maaf karena sudah melukaimu.”“Mas-”“Tidak seharusnya Mama bersikap begitu, harusnya Mama bisa menghargai pilihan anaknya.”Bram tidak mau membuat istrinya tid
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments