Sementara itu, di koridor rumah sakit, Dokter Hanz berjalan sambil membaca berkas pasien. Tiba-tiba, dia berpapasan dengan temannya, Charlie. Dokter Hanz menghentikan langkahnya, bingung melihat Charlie di sana. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Dokter Hanz, penasaran. Charlie menghela napas, tampak kesal. "Mari kita minum!" ajak Charlie tanpa menjawab pertanyaan temannya, lalu melangkah pergi. Di sebuah cafe, Charlie dan Hanz duduk berhadapan sambil menyesap minuman yang mereka pesan. Charlie tampak murung dan gelisah, sedangkan Hanz mencoba menggali informasi tentang apa yang terjadi. "Aku yakin ibu tirimu pasti sangat terpukul dengan kejadian tadi," ucap Hanz, mencoba meredam amarah Charlie."Aku tidak peduli apa yang dia lakukan. Sebagai Jenderal yang mengendalikan banyak prajurit. Aku harus bijak dalam membuat keputusan. Abaikan tali persaudaraan. Siapa pun dia aku harus bersikap tegas. Kalau tidak mampu maka jangan pernah bermimpi untuk bergabung," jawab Charlie.Charlie dan H
Charlie menghela napas kasar, matanya berkaca-kaca. Ia mengepalkan tangannya erat, merasakan keraguan dan keputusasaan yang mendalam. "Aku akan memberi penjelasan di saat itu juga. Aku berharap Vivian akan memahamiku," jawabnya dengan suara yang bergetar. Hanz menggigit bibirnya, menatap Charlie dengan pandangan yang bercampur rasa iba dan kebingungan. Dalam hatinya ia merasa terbelah antara keinginan untuk membantu sahabatnya dan rasa tanggung jawab sebagai seorang dokter yang harus mempertimbangkan segala aspek sebelum melakukan tindakan yang tak dapat diubah.****Kediaman JenderalCharlie membuka pintu kamarnya dengan perasaan kusam dan langkah yang tidak semangat, seolah hidupnya terasa berat. Begitu masuk, istrinya, Vivian, segera menyadari perubahan suasana pada suaminya dan menghampirinya dengan cemas. "Kenapa wajahmu begitu kusam?" tanya Vivian sambil menyentuh wajah Charlie dengan lembut. "Apa kamu sedang minum?" lanjut Vivian yang mencium bau alkohol yang menyengat di bad
Meliza berjalan masuk ke rumah dengan langkah cepat, Hendy yang baru saja sadar dari pingsannya, masih terlihat lemah. Wajah wanita itu memerah, penuh amarah yang mendalam. Begitu pintu rumah tertutup, Meliza langsung melepaskan segala kekesalannya. "Charlie tidak tahu sopan santun! Tega sekali Charlie memperlakukan putra kita seperti itu!" ucap Meliza dengan suara yang tercekat. Suaminya, Ronald. menatap Meliza dan Hendy dengan ekspresi tenang. "Meliza, apa yang dilakukan Charlie sebenarnya adalah tugasnya sebagai Jenderal. Dia ingin memastikan Hendy benar-benar memiliki kemampuan untuk mengobati korban perang nantinya," jelas Ronald dengan tenang. Meliza menatap suaminya dengan pandangan tidak percaya. "Tapi, dia menyakiti putra kita! Hendy bahkan pingsan karena ulah Charlie padanya!" seru Meliza, sambil meraih tangan Hendy. Ronald menghela napas panjang. "Aku tahu, Tapi, jika Hendy tidak bisa mengatasi hal sekecil itu, bagaimana dia akan mampu menghadapi medan perang yang jauh
Malam itu, Astone Villare bersama anggota kelompoknya berdiri di tepi danau yang sunyi. Gerimis turun dari langit yang kelabu, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Astone, seorang pria berwajah yang memiliki bekas luka dan tubuh kekar, menatap permukaan air yang bergelombang dengan ekspresi muram. Rambut hitamnya basah kuyup dan wajahnya tampak seperti patung."Charlie Parkitson, aku ingin kamu hancur bersama keluargamu. Aku tidak puas kalah begitu saja darimu," gumam Astone dengan suara penuh amarah yang terpendam. Matanya menyala bak api yang siap membakar semuanya. Anggota kelompoknya yang berdiri di sekeliling Astone menatap pemimpin mereka dengan penuh respek dan rasa takut yang bercampur. Mereka tahu, Astone bukanlah orang yang bisa mereka remehkan. Sikap kejam dan ambisinya untuk menang sendiri membuatnya dikenal sebagai sosok yang mengerikan. Salah seorang anggota kelompok itu, seorang pria berkumis tebal, berbicara dengan nada ragu. "Bos, apakah kita akan melancarkan
Charlie membuka pintu mobilnya dengan tenang, menghadapi komplotan penjahat yang siap menghabisi nyawanya. Angin bertiup perlahan, membelai wajah Jenderal yang penuh keteguhan. Tidak ada rasa takut, ia siap menghadapi puluhan musuh yang mengancam. Sementara itu, Vivian merasa cemas dan ketakutan melihat suaminya dalam bahaya. Ia meminta pada Andrew, "Andrew, Jangan pedulikan aku. Kamu harus membantu Charlie!" Namun, Andrew tetap setia pada perintah Jenderal, "Nyonya, Jenderal perintahkan harus melindungi Anda!" jawabnya tegas. Kendati hati Andrew terbelah antara melindungi Vivian dan membantu atasannya, ia akhirnya memutuskan untuk mengikuti perintah. Bersama dua mobil pengawal, mereka perlahan mundur meninggalkan lokasi yang kian memanas, membiarkan Charlie menghadapi musuh-musuhnya sendirian."Jenderal Charlie yang terkenal tangguh di medan perang, kini harus berhadapan dengan kami. Apakah tidak takut dengan senjata kami yang mungkin saja akan mengambil nyawamu?" Sebuah tawa sinis
"Charlie, perutku sakit sekali, ada apa dengan anak kita? Tolong selamatkan dia...," tangisan Vivian yang mengenggam erat tangan suaminya. membuat Charlie bingung dan panik. Wajah Vivian pucat pasi dan keringat dingin mengucur deras di keningnya. "Honey, kita akan ke rumah sakit sekarang," ujar Charlie sambil segera menggendong Vivian dan membawanya ke mobil. Dua jam kemudian, Charlie mondar-mandir di depan ruangan perawatan, menunggu istrinya yang ditangani oleh dokter spesialis kandungan. Raut wajah pria itu terlihat cemas, tangannya berkeringat dan ia menggigit bibirnya dengan kuat, berusaha untuk tidak menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Sementara itu, di dalam ruangan perawatan, Vivian berbaring lemah di atas tempat tidur, wajahnya penuh dengan kesakitan. Dokter dan perawat berlalu-lalang, memeriksa detak jantung dan tekanan darahnya, sambil memberikan obat-obatan untuk meredakan rasa sakit. "Vivian, kamu akan baik-baik saja! Maaf kalau aku gagal melindungimu dan anak ki
Vivian baru saja pulang dari rumah sakit setelah beberapa hari dirawat. Kedua kakinya terasa lemah, Charlie mengendong istrinya berjalan menuju ke kamarnya.Raut wajah Vivian terlihat lesu, matanya sayu, dan bibirnya yang pucat menunjukkan betapa besar duka yang tengah ia jalani. Meskipun demikian, Charlie tetap berusaha untuk memberikan dukungan pada istrinya, mengelus punggungnya dengan lembut. Tak lama kemudian, Andrew datang menemui Charlie yang sedang duduk di samping tempat tidur Vivian. Ia menunduk dan berkata dengan sopan, "Tuan." Charlie menoleh, matanya tajam, dan suaranya terdengar tegas ketika ia memberikan perintah, "Mulai saat ini awasi semua orang dalam kediaman ini!" Charlie tidak bisa lagi mempercayai semua pelayan rumah tangga yang ada di rumah mereka, karena ia merasa bahwa salah satu dari mereka mungkin terlibat dalam kejadian yang menimpa istrinya. Andrew mengangguk, menunjukkan bahwa ia mengerti perintah yang diberikan oleh tuannya. "Baik, Tuan. Saya akan mela
Ronald sebagai perdana menteri, menatap tajam ke arah Edward, prajurit Charlie yang berani menghentikan aksinya. Suasana di sekitar mereka terasa mencekam seiring pertanyaan yang keluar dari mulut Ronald. Sebagai perdana menteri, ia tidak pernah mengira akan dihadang oleh seorang prajurit seperti Edward. "Edward, kenapa kamu ada di sini? Bukankah tugasmu di markas?" tanya Ronald dengan nada tegas.Edward, dengan postur tegak dan wajah yang penuh keteguhan, menjawab, "Pak, saya ditugaskan melindungi kediaman ini." Suaranya terdengar pasti, tanpa ragu sedikit pun. Mendengar jawaban Edward, Ronald semakin kesal. Keningnya berkerut, dan suaranya meninggi saat ia bertanya, "Kenapa begitu berani kamu menghentikan saya? Apakah tidak sadar siapa saya dan siapa dirimu?" Edward, yang masih berdiri tegap di hadapan Ronald, tidak terpengaruh oleh amarah yang terpancar dari mata perdana menteri tersebut. Ia tetap menjaga sikap sopan dan hormat, namun tetap tegas dalam menjalankan tugasnya."Maa