Daniel berpikir, selama ini dia memang tidak tahu persis apa sebenarnya hubungan Bella dan Rayhan di masa lalu karena tidak pernah ada orang yang memberitahunya. Dia hanya menduga-duga saja mereka pernah ada hubungan, dan ternyata semua itu benar. Rupanya Daniel kalah start dan itu membuatnya kesal. "Jadi benar dulu mereka pernah pacaran?" tanya Daniel."Memangnya kamu tidak pernah tahu?" Evellyn justru heran. Daniel menggeleng. "Saya hanya menduga saja, Tante. Bella tidak pernah mau cerita apapun soal ini." "Ya, saya rasa itu sekarang tidak menjadi masalah. Yang terpenting, apa kamu mau merebut Bella dari tangan Rayhan?" "Sebentar, Tante." Daniel masih bingung dengan arah pembicaraan ini. "Kenapa Tante melakukan ini? kenapa Tante menyuruh saya merebut Bella dari Rayhan?" "Bukannya itu sudah jelas, karena saya tidak pernah menyukai Rayhan dan jangan pernah tanya apa alasannya." Evellyn buru-buru menambahkan karena sepertinya Daniel sudah membuka mulutnya untuk bertanya. Dia paling
Rayhan dan Bella mengunjungi pohon kesayangan mereka yang ada di taman belakang SMA. Pohon kenangan mereka sudah semakin besar dan tinggi. Tidak bisa lagi dipanjat oleh mereka dikarenakan dahan pohon yang terendah pun sudah terlalu tinggi untuk digapai. "Kita mau ngapain ke sini?" Bella mendongak menatap pohon besar dan tinggi berdaun lebat yang berada tepat di hadapannya. "Mau jadi penunggu pohon." Bella menatap horor ke arah Rayhan. Pria itu justru tertawa. "Ya lagian kamu nanya kayak gitu. Udah jelas kita kencan." "Berdiri aja gitu?" "Kamu mau aku gendong? Atau kalau mau ngesot juga boleh.""Rayhan!" teriak Bella kesal. "Aku pulang, nih," ancamnya. Rayhan tertawa lagi lalu duduk di bawah pohon dengan santai."Karena kita udah nggak mungkin manjat pohon ini lagi. Mending duduk di sini aja. Sama aja, kan." Bella mengikuti Rayhan duduk di sebelahnya tanpa protes, karena yang dikatakan Rayhan memang benar. Lagipula sudah belasan tahun berlalu, pohon kenangan mereka pun juga sudah
"Aku aja nggak pernah mimpi mau punya anak sama kamu." Ferly melanjutkan. "Gugurin aja, deh. Daripada bikin masalah tuh anak." Bella sudah tidak tahan, dia tidak mau terlalu jauh mengetahui masalah Nirina dan Ferly. Dia sudah tidak mau lagi terlibat masalah apapun dengan mereka. Bella tidak mau tahu apa yang terjadi pada mereka, dan dia memutuskan untuk pergi diam-diam kembali ke lokasi syuting. Menemui Daniel. "Bel, kamu dari mana aja, sih?" tanya Daniel. "Tadi aku ngelihat kamu waktu kamu dateng. Terus kamu ke mana?" Bella masih sedikit shock dengan apa yang dilihat dan didengarnya barusan, tapi berusaha tetap tenang. Dia tidak mau mencampuri urusan orang mengingat masalahnya sendiri saja sudah membuatnya pusing. "Oh ... nggak ke mana-mana, kok. Cuma jalan-jalan bentar." "Kamu tumben ke sini? Ada apa?" tanya Daniel dengan wajah cerianya. "Aku cuma mau ketemu sama kamu aja, Dan. Sejak aku nggak main lagi di drama ini, kita jadi jarang banget ngobrol bareng." Daniel gembira seka
Rayhan membuka kulkas di dapur rumahnya dan mengambil sebuah apel merah yang segar lalu memakannya sambil berjalan pergi. Saat dia melewati kamar papanya, dia melihat pintu sedikit terbuka. Dengan penasaran Rayhan mendekat untuk sekedar melihat apa yang dilakukan papanya di dalam kamar. Rayhan melihat Vicko---sang papa sedang duduk di pinggiran tempat tidur memandangi sebuah foto yang Rayhan tidak bisa melihat foto siapa itu. Tapi yang jelas, foto itu sangat berarti untuk Vicko melihat bagaimana cara pria itu memandangnya. "Aku minta maaf ...." kata Vicko pada foto itu dan Rayhan mendengarnya. "Aku sudah membuat kamu banyak menderita selama bertahun-tahun. Tapi kamu harus tahu, kalau dulu aku menikah dengan Naeri karena terpaksa. Aku tidak pernah berniat sedikitpun untuk menyakiti hati kamu. Aku sangat mencintai kamu, Evellyn. Seandainya saja kamu memberi aku kesempatan untuk menjelaskan ...." Rayhan baru tahu kalau foto yang dipegang papanya itu adalah foto Evellyn. Rayhan pun perg
Rayhan dan Bella juga kaget, lalu segera kembali ke posisi semula. Rayhan tegang sekali dan sedikit merasa malu dengan Pak Glen. "Ada apa, Pak Glen?" tanya Rayhan dengan kesal karena ciumannya gagal. "Ada apa? Cepat bilang." Pak Glen merasa tak enak hati. Lalu kembali memutar tubuhnya menatap Rayhan. "Maaf, Pak. Kita sudah ditunggu di ruang rapat." "Ya sudah, nanti saya akan segera menyusul. Anda duluan saja." Pak Glen menganggukkan kepalanya lalu keluar dan memutup pintunya. Bella tertawa mengingat kejadian tadi, sementara Rayhan kesal sekali. "Dasar pengganggu," kata Rayhan. "Kalau gitu, ayo kita lakuin lagi. Kita ulangi lagi dari awal." "Kamu nggak rapat?" Bella malah menggoda Rayhan. "Kamu udah ditungguin, kan?" Rayhan kesal sekali, dia menarik tasnya dan berdiri. "Ya udahlah, aku mau rapat dulu. Lain kali kita harus berhasil. Kamu tahu kan, selama ini aku nggak pernah gagal melakukannya. Baru kali ini ada gangguan." Bella hanya tertawa. Rayhan baru berjalan beberapa lang
"Tapi aku cuma nggak mau dia meninggal lebih cepat di meja operasi, Pa. Dengan memberinya oba, paling nggak aku masih bisa memperpanjang hidupnya. Aku belum siap kehilangan dia." "NAURA!" teriak Bram marah sekali. Setelah semua yang dia dengar membuatnya kehabisan kata-kata, sekarang Bram mendengar hal yang lebih konyol lagi dari mulut Naura. Naura tahu papanya pasti akan marah, dia hanya berusaha mempertahankan apa yang sudah dia putuskan sejak lama. "Pa, aku tau aku salah. Tapi aku cuma takut kehilangan dia, Pa. Aku cinta sama dia." "Papa tau kamu mencintai dia, tapi nggak begini juga caranya. Kamu ini dokter, Naura. Bagaimana mungkin seorang dokter bersikap egois seperti itu? Lupakan dulu tentang perasaan kamu padanya dan bersikaplah layaknya seorang dokter. Beri tahu dia tentang penyakitnya dan lakukan pengobatan yang tepat. Rayhan perlu tau tentang kondisinya yang sebenarnya." "Om Vicko ngelarang aku ngasih tahu Rayhan, Pa." Bram terkejut. "Apa?" Naura mengangguk. "Lalu apa
Rayhan kembali duduk dengan tenang, berhadapan dengan Naura. "Semuanya nggak ada hubungannya sama kecelakaan kamu waktu itu. Mulanya aku juga sempat berpikir, kalau penyakit kamu ini efek samping dari kecelakaan itu. Tapi ternyata sama sekali bukan karena itu." Naura memulai menjelaskan meskipun dengan berat hati. "Terus karena apa?" "Karena ..." Naura kembali menarik napasnya untuk tetap bersikap tenang. "Karena faktor genetik." "Genetik?" Naura mengangguk. "Iya. Mungkin salah satu dari anggota keluarga kamu, ada yang punya riwayat penyakit itu, dan menurun ke kamu. Kalau ada salah satu dari keluarga kita yang dulu pernah mengidap penyakit itu, ada kemungkinan kalau penyakit itu juga bisa menurun ke anak atau cucu .... Tapi itu semua juga belum tentu pasti menurun." Meskipun shock, Rayhan tetap tenang. "Terus?" "Apa?" Naura tidak mengerti. "Jadi selama ini obat yang kamu bilang obat migrain itu, obat kanker?" tanya Rayhan. "Kenapa kamu harus bohong sama aku? Papa aku juga tah
Rayhan berjalan dengan langkah pelan di koridor rumah sakit yang banyak orang berlalu-lalang. Tatapannya kosong, seolah saat ini dia hanya membawa sebuah raga tanpa jiwa. Ingatannya kembali berputar ke kejadian sebelum dia menemui Naura. Flashback beberapa jam yang lalu .... Setelah mendapatkan surat hasil MRI dari brankas Vicko, Rayhan memutuskan untuk segera menemui Naura di rumah sakit untuk meminta penjelasan. Rayhan tahu dia mengidap suatu penyakit dan dia akan menanyakannya pada Naura hari ini. Tentunya setelah pertimbangan yang matang dan berharap sahabatnya itu akan berkata jujur padanya. Namun saat Rayhan mau memasuki lift untuk menuju ke lantai 5---tempat ruangan Naura berada, ternyata lift sedang dalam perbaikan dan Rayhan diminta menunggu tiga puluh menit. Rayhan tidak mau membuang-buang waktu untuk menunggu. Dia merasa harus segera menemui Naura dan menuntaskan semuanya, karena dia harus mengajukan beberapa pertanyaan pada sahabatnya itu. Rayhan memutuskan akan ke lan