Beranda / Sci-Fi / Mata Ajaib Pembaca Pikiran / Bab 5: Pencuri Di Sekolah

Share

Bab 5: Pencuri Di Sekolah

Penulis: kafhaya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-24 13:57:16

"Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua.

"Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."

Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."

Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi.

"Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak akan menyebarkan identitasmu. Cukup kembalikan hp ibu, dan semua masalah selesai." Ucap Bu Rini penuh penekanan.

Bu Rini lalu menatap kami satu per satu, seolah-olah berusaha mencari jawaban di antara wajah-wajah yang tertunduk.

Pak Amin menambahkan, "Bapak juga berharap kalian semua bisa berkontribusi untuk menyelesaikan masalah ini. Jika ada di antara kalian yang tahu sesuatu, bapak mohon agar kalian segera melaporkannya."

Rasa cemas mengisi ruangan, dan detak jantungku terasa semakin cepat. Mungkinkah ada dari teman-temanku di kelas ini yang berani melakukan hal itu.

Bu Rini dan Pak Amin berbalik meninggalkan kelas, meninggalkan kami dengan ribuan pertanyaan. Ketika pintu ditutup, suara bisik-bisik mulai menggema di seluruh kelas, menambah suasana yang sudah tegang ini.

Beberapa menit berlalu, Bu Eti, guru kimia, masuk kelas, dan pelajaran berjalan seperti biasa.

Aku yang kini sudah menyadari bahwa aku memiliki kemampuan membaca pikiran hanya dengan menatap mata mereka, merasa mungkin ini saat yang tepat untuk menggunakan kemampuanku demi mencari tahu siapa pelaku pencurian itu.

Selama pelajaran berlangsung, satu per satu, aku mulai memperhatikan mata teman-temanku. Setiap ada kesempatan, aku curi pandang ke mata mereka, hingga semua siswa di kelas sudah kubaca pikirannya, kecuali Bobi. Aku masih ragu untuk menoleh ke arah Bobi.

Tapi dari semua mata yang telah kubaca, tak satu pun dari mereka adalah pelakunya. Tapi jika pelakunya bukan di sini, bagaimana aku bisa menemukannya? Apa aku harus menatap mata setiap siswa di sekolah ini? Ada ribuan siswa di sini, hampir mustahil jika aku harus menatap mereka semua satu per satu.

"Thomas!" Teriakan keras Bu Eti membuyarkan lamunanku, menyentakku kembali ke kenyataan.

"Dari tadi Ibu lihat kamu celingak-celinguk, tidak fokus sama sekali," suara Bu Eti menggelegar, penuh teguran.

"Saya... saya memperhatikan kok, Bu," jawabku terbata-bata, berusaha terdengar meyakinkan meski dalam hati gelisah.

"Oh ya? Berdiri kamu!" perintahnya dengan tegas.

Aku berdiri dengan gugup. Tiba-tiba semua perhatian di kelas tertuju padaku. Rasanya seolah-olah waktu melambat.

Bu Eti menyilangkan tangan di dadanya, lalu berjalan mendekat. "Sekarang jawab pertanyaan ini! Apa rumus kimia dari asam sulfat?"

Badanku gemetar. Dari tadi aku memang tidak memperhatikan apa yang dijelaskan oleh Bu Eti. Aku sibuk membaca pikiran teman-temanku. Aku menunduk, bingung harus menjawab apa. Otakku kosong.

"Katanya memperhatikan. Ayo jawab!" suara Bu Eti memotong keheningan, terdengar kesal.

"Jangan menunduk! Lihat wajah ibu!" ucap Bu Eti dengan nada meninggi.

Aku tersentak, mencoba mengangkat wajahku dan menatap mata Bu Eti dengan ragu. Namun seketika itu juga, seolah-olah pikiran Bu Eti terbuka di depanku, dan jawaban atas pertanyaannya terlintas begitu saja di kepalaku.

"Asam sulfat... rumusnya H2SO4," jawabku dengan terbata-bata. Kata-kataku keluar begitu saja, seolah aku tahu jawabannya, padahal kenyataannya, aku hanya membaca apa yang ada dalam pikiran Bu Eti.

Aku baru sadar ternyata ketika Bu Eti memberi pertanyaan padaku, otomatis ia akan memikirkan jawabannya juga.

Napasku masih berat, dan keringat mulai membasahi pelipisku. Bu Eti memandangku, sedikit terkejut, tapi ia merasa belum cukup.

"Jelaskan proses elektrolisis air menggunakan asam sulfat sebagai katalis." ucap Bu Eti lagi.

Jantungku kembali berdetak kencang. Aku tahu aku tak punya pilihan lain. Aku harus menatap matanya lagi. Aku fokuskan pandanganku, dan seperti sebelumnya, pikirannya terbuka lebar. Jawaban itu ada di sana, menunggu untuk dibaca.

"Elektrolisis air menghasilkan gas hidrogen di katoda dan gas oksigen di anoda. Asam sulfat bertindak sebagai katalis untuk meningkatkan daya hantar listrik," jawabku, kali ini sedikit lebih mantap, meskipun masih ada getaran dalam suaraku.

Kelas jadi makin hening, beberapa siswa nampaknya terkejut dengan jawabanku. Aku yang dikenal tidak terlalu pandai dalam pelajaran kimia, kini tiba-tiba tampil dengan jawaban yang meyakinkan.

Tapi tatapan Bu Eti belum berubah. "Pertanyaan terakhir, Thomas. Jelaskan hukum Lavoisier tentang massa dalam reaksi kimia."

Aku menarik napas dalam-dalam. Sekarang, aku mulai merasa lebih percaya diri. Selama aku bisa menatap matanya, jawabannya pasti akan muncul. Mataku fokus pada tatapan Bu Eti, dan lagi, pikirannya memberi jawaban untukku.

"Hukum kekekalan massa," kataku, suaraku lebih tegas. "Lavoisier menyatakan bahwa massa zat sebelum dan sesudah reaksi kimia selalu sama. Tidak ada yang hilang, hanya berubah bentuk."

"Jawabanmu benar semua." Bu Eti akhirnya mengangguk, sedikit lebih puas.

"Tapi meskipun kamu sudah menguasai pelajaran ini, kamu tidak boleh celingak-celinguk dan tidak fokus. Kamu harus tetap mendengarkan penjelasan guru dengan serius," katanya dengan nada peringatan.

Aku mengangguk cepat, merasa lega. "Iya, Bu. Saya minta maaf. Tidak akan saya ulangi lagi."

"Kamu boleh duduk kembali."

Bu Eti tersenyum tipis sebelum melangkah kembali ke depan kelas. Aku duduk, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Rasanya aneh, campuran antara kelegaan dan kebingungan. Apakah ini termasuk curang atau tidak? Entahlah. Sementara itu, Bu Eti melanjutkan penjelasannya, suaranya kembali memenuhi ruangan.

Selang beberapa waktu berlalu, bel istirahat berbunyi, memecah konsentrasi semua orang. Bu Eti mengakhiri pelajarannya, membereskan buku dan barang-barangnya.

"Baik anak-anak. Semoga apa yang ibu jelaskan bisa kalian pahami sepenuhnya. Jangan lupa baca-baca lagi di rumah." ucap Bu Eti menutup pelajarannya, lalu pergi meninggalkan kelas.

Semua orang mulai meninggalkan kursinya dan pergi keluar kelas. Bobi berjalan melewatiku. Dia satu-satunya orang di kelas ini yang pikirannya belum sempat kubaca. Aku harus memastikan apakah Bobi pelaku pencurian itu atau bukan. Aku berpura-pura tidak sengaja menoleh, dan tepat saat itu, mata kami bertemu.

Bobi tersenyum tipis dan sinis, lalu berpaling. Tapi saat itu juga, pikirannya tiba-tiba terbuka di hadapanku. Aku mulai melihat apa yang ada dalam benaknya.

Namun apa yang kulihat membuat dadaku tersentak kaget, napasku tertahan.

Aku tertegun. Benarkah ia akan melakukannya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 30: Perubahan Drastis

    Aku menatap lembar soal yang terbuka di depanku. Nomor lima, yang tadi dijelaskan Bu Susi, kini terasa seperti terpatri jelas di kepalaku. Bukan karena aku memahaminya dengan baik, tapi karena aku… membaca semua itu dari pikirannya.Aku tahu itu tidak sepenuhnya benar. Tapi juga… tidak sepenuhnya salah, kan?Tanganku mulai bergerak pelan, menuliskan rumus percepatan, massa, gaya, dan angka-angka yang muncul dalam pikiran Bu Susi. Semuanya mengalir lancar seolah aku benar-benar mengerti. Padahal tidak.Perasaan bersalah mulai mengintip dari sudut hati. Tapi aku menekannya."Aku hanya… menggunakan kemampuan yang ku miliki. Aku tak merugikan siapapun.” bisikku dalam hati.Beberapa soal berikutnya bisa kujawab sendiri. Tapi begitu sampai ke soal yang lebih sulit, yang aku benar-benar tidak tahu, aku mulai melirik ke kanan dan ke kiri. Sekilas saja. Tidak lama. Cukup untuk menangkap sepotong pikiran dari teman-temanku.Mereka berpikir keras, mengingat rumus, mengaitkan teori dengan contoh

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 29: Apakah Ini Curang?

    Aku masih duduk di kursi, pura-pura fokus pada tugas biologi, meskipun pikiranku masih bercampur aduk. Tedi sudah sedikit lebih tenang, meski sesekali aku bisa merasakan tatapan tak puasnya. Rossi asyik mencatat, sementara Nina…BRAK!Pintu depan terbuka, dan nenek muncul dengan beberapa kantong belanjaan yang hampir jatuh dari tangannya. Nafasnya sedikit tersengal, kacamata hitamnya agak miring."Aduh, berat juga ini…" gumam nenek.Tanpa pikir panjang, Nina langsung berdiri dan bergegas menghampiri nenek. "Biar aku bantu, Nek!" katanya sigap, mengambil sebagian kantong belanjaan dari tangan nenek sebelum sempat ditolak.Nenek terkejut, tapi akhirnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Nak. Wah, kamu cekatan juga, ya?"Aku hanya bisa menatap mereka. Ini pertama kalinya ada orang lain yang masuk begitu saja ke kehidupanku dan berinteraksi dengan nenek seperti ini. Biasanya, hanya aku dan nenek yang ada di rumah ini.Setelah semua belanjaan diletakkan di dapur, Nina langsung menggulung leng

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 28: Antara Tedi dan Nina

    Aku mendengar suara langkah nenek dari dapur. Langkah nenek terhenti mendadak. Di bawah pencahayaan ruang tamu, aku bisa melihat tubuhnya menegang. Ia mengenakan celemek lusuh dengan sedikit noda kuah di ujungnya. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah kacamata hitam yang terus ia kenakan—bahkan di dalam rumah.Aku menahan napas. Nenek memandangi kami satu per satu, meski matanya tersembunyi di balik kacamata hitam itu. Nina, Rossi, dan Tedi, yang tadi masih tertawa, kini ku lihat mereka semua diam. Mereka pasti merasakan perubahan atmosfer yang mendadak ini."Thomas..." suara nenek terdengar datar, tapi ada ketegangan di baliknya. "Siapa mereka?"Aku menelan ludah. Aku tahu nenek pasti akan bereaksi seperti ini."Teman-teman sekolahku, Nek." jawabku pelan.Nenek diam. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata itu, membuatku tidak bisa membaca ekspresinya. Tapi dari bibirnya yang sedikit mengerut dan cara jemarinya meremas celemek, aku tahu ia tidak menyukai ini."Tumben kamu b

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 27: Perasaan yang Tersembunyi

    Aku terdiam beberapa saat. Seolah tenggelam dalam lamunan. Aku masih tak percaya akhirnya akan ada teman yang main ke rumahku. Ku lirik ke dapur. Nenek sedang asik memasak. Aku belum memberi tahu nya tentang teman-temanku yang akan datang ke sini. Tapi nanti saja ah memberi tahunya pas mereka datang.Tiba-tiba ponselku berdering lagi.“Halo?” suaraku terdengar agak pelan.“Thomas! Aku sama Tedi dan Rossi udah sampai jalan yang tadi kamu kasih tahu. Tapi rumah kamu tuh di sebelah mana sih? Kita udah muter-muter dari tadi.”“Kalian di mana sekarang?” tanyaku.“Di depan warung kelontong yang catnya warna biru”Aku langsung paham lokasi yang dimaksud.“Yaudah, tunggu di situ. Aku jemput sekarang.”Tanpa pikir panjang, aku keluar rumah. Udara siang masih panas. Aku jalan cepat ke ujung gang.Begitu sampai di pinggir jalan, aku langsung melihat mereka bertiga duduk di atas motor masing-masing. Nina melambaikan tangan heboh, sementara Rossi duduk manis di belakang Tedi. Tedi malah nyender sa

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 26: Ada Apa Dengan Rumahku?

    Aku tertegun beberapa saat. Ku rasakan tubuhku agak lengket perpaduan keringat dan hujan yang tadi membasahiku. Akhirnya aku memilih menurut perkataan nenek. Aku berjalan menuju kamar mandi dengan kepala penuh pikiranku sendiri.Air dingin menyentuh kulitku membuatku sedikit menggigil.Ku rasakan air mengalir membasahi tubuhku, menyapu keringat, debu, dan sisa hujan yang menempel di kulit. Tapi air itu tak bisa membilas semua keresahan yang berkecamuk di kepalaku. Suara dari kamar kosong. Nenek yang muncul tiba-tiba. Kacamata hitam. Semua hal itu berputar-putar bagai pusaran air yang tak mau berhenti. Aku mencoba menenangkan diriku. Mungkin aku cuma terlalu capek. Terlalu paranoid. Tapi di dalam hati kecilku, aku tahu—ada sesuatu di rumah ini yang tidak aku ketahui, dan aku harus mencari tahu.Saat air mengalir membasahi wajahku, aku mencoba mengosongkan pikiran. Tapi gagal. Semua kembali berputar seperti film yang diputar ulang di kepala.Selesai mandi, aku mengeringkan rambutku yang

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 25: Jelaskan Padaku Nek!

    Aku mendapati nenek berdiri di ambang pintu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Nenek memakai kacamata hitam. Aku mengerutkan kening. Seingatku, aku belum pernah melihat nenek memakai kacamata hitam. Buat apa nenek memakai kacamata hitam? Dari mana ia mendapatkannya? Apa nenek sengaja membelinya? "Thomas? Kok sudah pulang?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Aku masih menatapnya, berusaha mencerna situasi ini. "Sekolah hari ini diliburkan. Jadi aku pulang lebih cepat." Nenek mengangguk pelan. Tapi aku masih merasa ada yang aneh. Kenapa nenek masih memakai kacamata hitam di dalam rumah? Apakah nenek sudah tahu kalau aku bisa membaca pikiran? Apakah dia sedang berusaha menghalangi matanya dariku. Aku mencoba menepis pikiranku dan bertanya dengan nada biasa, "Nenek dari mana?" "Tadi habis dari warung," jawabnya cepat. "Sekalian jalan-jalan sekedar melihat-lihat keadaan sekitar." Aku memperhatikan nenek lebih saksama. Pakaiannya rapi, tidak ada tanda-tanda kehujanan atau basah, padah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status