Thomas memiliki penampilan yang berbeda dari teman-temannya, ia berambut pirang serta sepasang mata unik—satu biru dan satu hijau. Ia kemudian menyadari bahwa ia memiliki kemampuan membaca pikiran orang lain hanya dengan menatap mata mereka. Kekuatan ini membuat Thomas semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tersembunyi tentang masa lalunya. Thomas memulai pencarian untuk mengungkap kebenaran di balik asal-usulnya.
Lihat lebih banyakBel pulang sekolah berdering, dan aku yang sejak jam pelajaran terakhir terbaring memejamkan mata di ruang UKS, akhirnya terbangun. Kepalaku masih terasa berat, mataku perih, dan penglihatanku kabur. Aku berkedip beberapa kali, berusaha memulihkan fokusku. Benda-benda di sekitarku mulai tampak jelas lagi. Syukurlah, pandanganku mulai normal kembali, meski sedikit buram. Tadinya ku kira aku akan menjadi buta selamanya.
Dengan langkah lemah, aku berjalan keluar dari ruang UKS, menuju kelasku untuk mengambil tasku yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah, seseorang mendekatiku, membawa tas itu di tangannya. Tedi. "Ini tasmu," katanya, sambil menyerahkan tas itu padaku. Wajahnya murung, seolah ada beban berat yang ia pikul. "Terima kasih, Tedi," jawabku sambil mengamati raut wajahnya. Namun, saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada aliran energi yang tak terlihat menghubungkan kami, lalu tiba-tiba, pikiranku dipenuhi suara-suara asing. Suara yang bukan milikku. "Aku sudah nggak kuat lagi. Aku akan mengakhiri semuanya hari ini," suara itu bergema dalam pikiranku—suara Tedi. Kata-kata itu menghantamku seperti petir di siang bolong, membuat jantungku berdegup kencang. Aku baru menyadari bahwa rambut dan baju Tedi basah. Saat aku kembali menatap matanya, ku lihat bayangan yang terjadi tadi sebelum pulang, ku lihat Tedi disiram sebotol air oleh Bobi. Bobi memang selalu usil pada kami. “Tedi, kamu baik-baik aja kan?” tanyaku, meski di dalam hati aku tahu jawabannya tidak. Tedi menoleh, tetapi tatapannya kosong, penuh dengan keputusasaan. “Aku… Aku nggak apa-apa,” ucapnya datar. Namun aku tahu, itu bohong. Tatapan matanya kembali bertemu dengan mataku, dan sekali lagi pikiranku terisi dengan suara-suara yang tak kumengerti. "Aku akan ke jembatan itu... Biar semua selesai hari ini." Hatiku tersentak. Suara-suara ini... apa mungkin aku benar-benar bisa membaca pikiran Tedi? Ini tidak masuk akal. Aku menggeleng, berusaha menepis apa yang baru saja terjadi. Ini pasti hanya halusinasi—mungkin karena kepalaku yang masih pusing. Tapi bagaimana kalau ini benar? Bagaimana kalau Tedi sungguh berniat mengakhiri hidupnya? Aku tak bisa diam saja. Kalau besok ada kabar buruk tentang Tedi, aku pasti akan menyesal seumur hidup karena tidak berbuat apa-apa. Kegelisahan menyergapku. Aku memutuskan untuk mengikuti Tedi diam-diam, berharap bisa membuktikan bahwa semua ini hanya imajinasiku. Tapi baru saja aku melangkah, perutku mendadak melilit. Rasa mulas yang tak tertahankan menyerang. Sial! Di saat seperti ini pula aku harus ke toilet! Aku terjebak antara mengikuti Tedi atau menuruti panggilan alam ini. Tapi perutku sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Dengan tergesa-gesa, aku lari menuju toilet. Setelah selesai, aku keluar dengan perasaan panik. Tedi sudah tidak ada. Dia menghilang. Aku berlari ke sana kemari, mencari Tedi di setiap sudut sekolah, tapi dia benar-benar lenyap. Ingatanku kembali pada suara di kepalaku tadi. Jembatan. Tedi akan ke jembatan yang tidak jauh dari sini. Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju jembatan itu. Sambil berlari, aku dihantui pikiran, apakah harus kuberitahukan ini pada orang lain? Apa yang harus kukatakan? Kalau aku bilang aku bisa membaca pikirannya, mereka pasti akan menganggapku gila. Lagipula, aku sendiri masih bingung dengan semua ini. Namun, aku tahu satu hal: tidak ada waktu lagi. Jika semua pikiran Tedi itu benar, Tedi mungkin sudah berada di jembatan itu sekarang... bersiap-siap untuk melompat. Aku berlari sekuat tenaga, napasku tersengal-sengal, hatiku berdebar kencang. Takut semuanya terlambat. Ketika aku sampai di jembatan, pemandangan itu menghantamku—Tedi berdiri di tepi, seolah siap melepaskan segalanya. Tubuhnya tampak rapuh, begitu kecil dibandingkan dunia yang luas di sekelilingnya. Waktu serasa melambat. Dalam sepersekian detik, aku melihat tubuhnya melayang di udara. "Tedi!" jeritanku menggema di udara, dan entah bagaimana, jari-jariku berhasil mencengkeram tangannya yang dingin, hanya beberapa inci dari kematian. “Tedi, jangan!” teriakku dengan napas tercekik, memegang tangannya erat, seolah hidupnya bergantung pada genggaman itu. "Lepaskan aku, Thomas! Biarkan aku pergi!" Tedi menjerit, suaranya pecah oleh kemarahan dan putus asa. Tangannya bergetar hebat, berusaha melepaskan diri dari genggamanku. Dia menatapku dengan tatapan penuh kebencian, seolah aku penghalang bagi akhir yang ia idamkan. "Apa yang kau lakukan di sini? Pergi! Ini hidupku! Jangan ikut campur!" Tedi mengguncangkan tubuhnya semakin kuat, membuat tubuhku ikut terguncang. Tanganku yang lain berpegangan erat pada pagar besi jembatan, sementara tubuhku tertarik oleh beban beratnya. Jantungku berdetak tak keruan. Sementara Tedi terus berontak, setiap guncangannya mengancam akan melepaskan kami berdua ke dalam jurang. “Kamu nggak tahu apa yang kamu lakukan, Tedi!” teriakku, suaraku nyaris pecah oleh emosi. "Hidupmu lebih berharga dari ini! Kamu mungkin merasa sendirian, tapi aku peduli. Ada banyak orang yang peduli padamu, Tedi!" “Kamu nggak ngerti apa-apa!” Tedi balas berteriak, tangisnya mulai pecah di tengah guncangan tubuhnya. “Kamu nggak tahu betapa sakitnya! Aku nggak punya siapa-siapa. Ini satu-satunya jalan keluar bagiku!” “Aku ngerti lebih dari yang kamu kira!” kataku, suaraku tersendat oleh emosi yang mulai menguasai. “Aku juga dibuli, Tedi! Aku tahu rasanya! Rambut pirang ini, kulitku yang berbeda. Mataku yang berbeda warna. Semua itu jadi alasan mereka untuk menjadikanku bahan ejekan. Tapi aku tidak putus asa." Tanganku semakin erat mencengkeram tangannya, saat tubuhnya mulai goyah lagi. Aku menariknya sedikit lebih dekat. "Kamu nggak paham, Thomas!" Tedi berteriak, matanya kini basah dengan air mata yang mengalir deras. "Aku nggak bisa lagi! Orangtuaku... mereka selalu bertengkar. Setiap hari aku mendengar mereka menjerit satu sama lain. Dan aku... aku cuma jadi pelampiasan! Mereka nggak peduli sama aku! Aku nggak berarti apa-apa di rumah. Sementara di sekolah, aku cuma jadi sasaran bully. Aku muak! Semua ini nggak ada gunanya lagi!” Aku merasakan perih yang mendalam dalam suaranya, tapi aku tidak bisa menyerah. Aku harus melawan demi dirinya, meski ia sudah kehilangan harapan. “Kau pikir hidupku mudah?” Aku berteriak balik, suaraku pecah oleh kemarahan dan kesedihan yang menumpuk. “Setidaknya, kau tahu siapa orangtuamu, meski mereka bertengkar. Aku bahkan tidak tahu siapa orangtuaku! Aku ditinggalkan saat masih bayi. Aku tidak tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati, bahkan di mana mereka berada—aku nggak tahu apa-apa soal mereka! Jadi, jangan bicara soal kesepian seolah-olah kau satu-satunya yang merasakannya!” Tedi terdiam, air matanya mengalir deras. Pegangan tanganku mulai melemah, tenagaku sudah terkuras habis menahan bobot tubuhnya. Tangan Tedi hampir terlepas dari genggamanku, ia siap terjun ke aliran deras sungai yang menunggu di bawah jembatan. Badanku mulai bergeser, tertarik oleh berat Tedi yang melayang layang di tepi jembatan. Dalam detik-detik yang mengerikan itu, hatiku bergetar dalam kebimbangan: akankah aku bisa menyelamatkan Tedi, atau akankah aku terpaksa melepaskannya agar tidak ikut terjatuh? Atau mungkin, kami berdua akan terhempas ke dalam arus yang menanti di bawah sana.Aku menatap lembar soal yang terbuka di depanku. Nomor lima, yang tadi dijelaskan Bu Susi, kini terasa seperti terpatri jelas di kepalaku. Bukan karena aku memahaminya dengan baik, tapi karena aku… membaca semua itu dari pikirannya.Aku tahu itu tidak sepenuhnya benar. Tapi juga… tidak sepenuhnya salah, kan?Tanganku mulai bergerak pelan, menuliskan rumus percepatan, massa, gaya, dan angka-angka yang muncul dalam pikiran Bu Susi. Semuanya mengalir lancar seolah aku benar-benar mengerti. Padahal tidak.Perasaan bersalah mulai mengintip dari sudut hati. Tapi aku menekannya."Aku hanya… menggunakan kemampuan yang ku miliki. Aku tak merugikan siapapun.” bisikku dalam hati.Beberapa soal berikutnya bisa kujawab sendiri. Tapi begitu sampai ke soal yang lebih sulit, yang aku benar-benar tidak tahu, aku mulai melirik ke kanan dan ke kiri. Sekilas saja. Tidak lama. Cukup untuk menangkap sepotong pikiran dari teman-temanku.Mereka berpikir keras, mengingat rumus, mengaitkan teori dengan contoh
Aku masih duduk di kursi, pura-pura fokus pada tugas biologi, meskipun pikiranku masih bercampur aduk. Tedi sudah sedikit lebih tenang, meski sesekali aku bisa merasakan tatapan tak puasnya. Rossi asyik mencatat, sementara Nina…BRAK!Pintu depan terbuka, dan nenek muncul dengan beberapa kantong belanjaan yang hampir jatuh dari tangannya. Nafasnya sedikit tersengal, kacamata hitamnya agak miring."Aduh, berat juga ini…" gumam nenek.Tanpa pikir panjang, Nina langsung berdiri dan bergegas menghampiri nenek. "Biar aku bantu, Nek!" katanya sigap, mengambil sebagian kantong belanjaan dari tangan nenek sebelum sempat ditolak.Nenek terkejut, tapi akhirnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Nak. Wah, kamu cekatan juga, ya?"Aku hanya bisa menatap mereka. Ini pertama kalinya ada orang lain yang masuk begitu saja ke kehidupanku dan berinteraksi dengan nenek seperti ini. Biasanya, hanya aku dan nenek yang ada di rumah ini.Setelah semua belanjaan diletakkan di dapur, Nina langsung menggulung leng
Aku mendengar suara langkah nenek dari dapur. Langkah nenek terhenti mendadak. Di bawah pencahayaan ruang tamu, aku bisa melihat tubuhnya menegang. Ia mengenakan celemek lusuh dengan sedikit noda kuah di ujungnya. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah kacamata hitam yang terus ia kenakan—bahkan di dalam rumah.Aku menahan napas. Nenek memandangi kami satu per satu, meski matanya tersembunyi di balik kacamata hitam itu. Nina, Rossi, dan Tedi, yang tadi masih tertawa, kini ku lihat mereka semua diam. Mereka pasti merasakan perubahan atmosfer yang mendadak ini."Thomas..." suara nenek terdengar datar, tapi ada ketegangan di baliknya. "Siapa mereka?"Aku menelan ludah. Aku tahu nenek pasti akan bereaksi seperti ini."Teman-teman sekolahku, Nek." jawabku pelan.Nenek diam. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata itu, membuatku tidak bisa membaca ekspresinya. Tapi dari bibirnya yang sedikit mengerut dan cara jemarinya meremas celemek, aku tahu ia tidak menyukai ini."Tumben kamu b
Aku terdiam beberapa saat. Seolah tenggelam dalam lamunan. Aku masih tak percaya akhirnya akan ada teman yang main ke rumahku. Ku lirik ke dapur. Nenek sedang asik memasak. Aku belum memberi tahu nya tentang teman-temanku yang akan datang ke sini. Tapi nanti saja ah memberi tahunya pas mereka datang.Tiba-tiba ponselku berdering lagi.“Halo?” suaraku terdengar agak pelan.“Thomas! Aku sama Tedi dan Rossi udah sampai jalan yang tadi kamu kasih tahu. Tapi rumah kamu tuh di sebelah mana sih? Kita udah muter-muter dari tadi.”“Kalian di mana sekarang?” tanyaku.“Di depan warung kelontong yang catnya warna biru”Aku langsung paham lokasi yang dimaksud.“Yaudah, tunggu di situ. Aku jemput sekarang.”Tanpa pikir panjang, aku keluar rumah. Udara siang masih panas. Aku jalan cepat ke ujung gang.Begitu sampai di pinggir jalan, aku langsung melihat mereka bertiga duduk di atas motor masing-masing. Nina melambaikan tangan heboh, sementara Rossi duduk manis di belakang Tedi. Tedi malah nyender sa
Aku tertegun beberapa saat. Ku rasakan tubuhku agak lengket perpaduan keringat dan hujan yang tadi membasahiku. Akhirnya aku memilih menurut perkataan nenek. Aku berjalan menuju kamar mandi dengan kepala penuh pikiranku sendiri.Air dingin menyentuh kulitku membuatku sedikit menggigil.Ku rasakan air mengalir membasahi tubuhku, menyapu keringat, debu, dan sisa hujan yang menempel di kulit. Tapi air itu tak bisa membilas semua keresahan yang berkecamuk di kepalaku. Suara dari kamar kosong. Nenek yang muncul tiba-tiba. Kacamata hitam. Semua hal itu berputar-putar bagai pusaran air yang tak mau berhenti. Aku mencoba menenangkan diriku. Mungkin aku cuma terlalu capek. Terlalu paranoid. Tapi di dalam hati kecilku, aku tahu—ada sesuatu di rumah ini yang tidak aku ketahui, dan aku harus mencari tahu.Saat air mengalir membasahi wajahku, aku mencoba mengosongkan pikiran. Tapi gagal. Semua kembali berputar seperti film yang diputar ulang di kepala.Selesai mandi, aku mengeringkan rambutku yang
Aku mendapati nenek berdiri di ambang pintu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Nenek memakai kacamata hitam. Aku mengerutkan kening. Seingatku, aku belum pernah melihat nenek memakai kacamata hitam. Buat apa nenek memakai kacamata hitam? Dari mana ia mendapatkannya? Apa nenek sengaja membelinya? "Thomas? Kok sudah pulang?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Aku masih menatapnya, berusaha mencerna situasi ini. "Sekolah hari ini diliburkan. Jadi aku pulang lebih cepat." Nenek mengangguk pelan. Tapi aku masih merasa ada yang aneh. Kenapa nenek masih memakai kacamata hitam di dalam rumah? Apakah nenek sudah tahu kalau aku bisa membaca pikiran? Apakah dia sedang berusaha menghalangi matanya dariku. Aku mencoba menepis pikiranku dan bertanya dengan nada biasa, "Nenek dari mana?" "Tadi habis dari warung," jawabnya cepat. "Sekalian jalan-jalan sekedar melihat-lihat keadaan sekitar." Aku memperhatikan nenek lebih saksama. Pakaiannya rapi, tidak ada tanda-tanda kehujanan atau basah, padah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen