"Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku.
Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu. Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan. Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima. Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak duduk dulu dan berpura-pura menghapus papan tulis. Bobi melangkah menuju kursinya. Dia duduk tanpa ragu, dan seketika terdengar suara “brak!” yang menggema di seluruh ruangan. Kursi itu ambruk, dan dia terjatuh dengan keras di lantai. Semua orang menoleh padanya, dan seketika tawa meledak di dalam kelas. Aku lalu duduk ke kursiku menahan senyum, sementara teman-teman sekelas tertawa terbahak-bahak melihat Bobi yang terjatuh dengan wajah terkejut dan penuh malu. Wajahnya yang biasanya dipenuhi dengan rasa percaya diri kini berubah menjadi merah padam, seakan darah yang mengalir di wajahnya tak mampu menutupi rasa malu yang mendalam. Di dalam hati, ada rasa puas yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Akhirnya, Bobi merasakan hal yang dia coba lakukan padaku—rasa malu di hadapan teman-teman sekelas. Namun, meskipun ada kepuasan kecil di dalam diriku, ada bagian lain dari diriku yang merasa tak nyaman. Mungkinkah aku sama jahatnya dengan Bobi? Pak Luki, guru biologi masuk ke kelas, melihat ke arah Bobi yang masih terduduk, “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan senyum tertahan. Bobi mencoba berdiri, wajahnya merah. Pak Luki lalu berkata, “Bobi, ambil kursi lain dari belakang,” Pak Luki lalu memulai pelajarannya. Pak Luki berdiri di depan kelas dengan wajah penuh semangat, berusaha menghidupkan suasana dengan penjelasan materi pelajaran yang mendetail. Tiba-tiba, ketukan keras terdengar dari arah pintu kelas, memecah perhatian semua orang. Pintu terbuka lebar, dan di sana berdiri Bu Rini, dengan ekspresi serius yang langsung menarik perhatian semua siswa. Bu Rini melangkah masuk dengan wajah serius. Meskipun langkahnya tenang, aura yang dibawanya membuat suasana kelas menjadi mencekam. Dengan gerakan mantap, dia berjalan menghampiri Pak Luki yang sedang mengajar. “Pak Luki, bolehkah saya meminta waktu sebentar?” ujarnya, suaranya mengandung nada tegas namun penuh rasa ingin tahu. Semua siswa menahan napas, merasa ada sesuatu yang tidak biasa terjadi. “Silakan, Bu Rini,” jawab Pak Luki, menghentikan penjelasannya. “Ibu menemukan sebuah anting di kolong meja ibu,” kata Bu Rini sambil mengeluarkan sebuah anting dari sakunya. Anting itu berkilau mencuri perhatian semua murid. Saat Bu Rini mengangkatnya ke udara, suasana hening. Semua murid tertegun, menatap anting itu seolah-olah itu adalah benda langka. Mata Bu Rini menyusuri setiap wajah kami, seolah mencari seseorang yang ia tahu sebagai pemilik anting itu. Beberapa siswa saling berbisik, saling bertukar pandang, cemas dengan situasi yang tiba-tiba membingungkan ini. "Nina, antingmu ke mana? Biasanya kau selalu memakainya. Kok sekarang tumben tidak pakai anting?” Tanya Bu Rini, suara sinisnya menggema di dalam ruangan. “Oh... anu, Bu. Antingku... ada di rumah. Hari ini aku memang tidak memakainya,” jawab Nina, suaranya bergetar dan wajahnya pucat. Aku merasakan ketegangan yang meningkat di antara kami. Semua mata kini tertuju pada Nina. Wajahnya yang biasanya ceria kini dipenuhi ketakutan, seolah dia sedang berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar anting yang hilang. “Kalau aku tidak salah, seingatku, anting yang ada di tanganku ini mirip, bahkan sama persis modelnya dengan yang kau sering pakai. Jangan-jangan ini antingmu yang jatuh di ruang guru,” ucap Bu Rini, penekanan di akhir kalimatnya membuat suasana semakin mencekam. Nina terdiam. Matanya mulai basah, dan wajahnya seolah ingin menangis. “Bu, anting model seperti itu kan banyak dijual di toko emas. Jangan asal menuduh dong, Bu,” ucap Rossi, teman sebangku Nina. Ia tidak terima jika Bu Rini mulai mencurigai Nina sebagai pelaku pencurian itu. Suara Rossi bergetar, mencerminkan kepanikan yang ada di dalam hatinya. “Ibu tidak sedang menuduh siapapun. Ibu hanya heran kenapa anting ini bisa ada di kolong meja ibu. Itu saja,” ucap Bu Rini, suara tegasnya menambah ketegangan di ruangan. Pandangan setiap siswa saling berpindah, mengamati reaksi satu sama lain. “Iya, tapi kata-kata ibu seolah Nina adalah yang mengambil HP dan uang ibu, dan antingnya terjatuh di sana,” balas Rossi yang terus membela sahabatnya, suaranya penuh keberanian meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang mendera. “Kenapa kau sepertinya gugup, Nina?” ucap Bu Rini sambil memandang Nina yang sejak tadi terdiam, wajahnya gelisah, menahan gejolak di dadanya. Mata Nina berbinar, dan air matanya siap untuk mengalir. “Dia pasti kaget dan takut, takut dituduh sebagai pencuri yang sedang ibu cari,” jawab Rossi, berusaha melindungi Nina dengan segenap hatinya. “Kami berdua tidak tahu apapun tentang hilangnya uang dan hp ibu.” “Tapi mengapa kamu terus membela Nina, Rossi? Apa jangan-jangan kamu tahu sesuatu?” ucap Bu Rini, berbalik memojokkan Rossi dengan tatapan tajam. “Apa? Ibu jangan menuduh sembarangan!” jawab Rossi, suaranya mulai meninggi, tidak mau menyerah dalam pembelaan terhadap sahabatnya. “Nina, nanti sore setelah jam pulang, ibu tunggu di ruangan kepala sekolah. Ibu mau penjelasanmu,” ucap Bu Rini sambil meninggalkan ruangan kelas. Suasana terasa berat saat Bu Rini melangkah pergi, meninggalkan ketegangan yang melingkupi kami. Setelah Bu Rini pergi, suasana kelas semakin sunyi. Semua siswa terdiam, memikirkan situasi yang baru saja terjadi. "Nina, apakah anting tadi milikmu?" ucap Pak Luki memecah keheningan. Nina hanya terisak, matanya memandang sekelilingnya dengan ketakutan. Namun tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Karena tak juga mendapat jawaban, Pak Luki kembali bertanya dengan nada yang lebih serius dari sebelumnya, "Nina, jawab dengan jujur. Apakah anting tadi itu punyamu?" Dengan napas berat, Nina akhirnya mengangguk pelan. "Iya, Pak. Itu anting saya." suaranya terbata bata terpotong oleh isak yang mencekik di tenggorokannya. Seketika, semua orang tersentak. Suasana kelas menjadi mencekam, bisikan penasaran mulai menggema di antara kami. Tatapan tajam Pak Luki menyelidik, dan wajah Nina semakin memucat. Apakah ini berarti Nina adalah pelaku pencurian itu?Aku menatap lembar soal yang terbuka di depanku. Nomor lima, yang tadi dijelaskan Bu Susi, kini terasa seperti terpatri jelas di kepalaku. Bukan karena aku memahaminya dengan baik, tapi karena aku… membaca semua itu dari pikirannya.Aku tahu itu tidak sepenuhnya benar. Tapi juga… tidak sepenuhnya salah, kan?Tanganku mulai bergerak pelan, menuliskan rumus percepatan, massa, gaya, dan angka-angka yang muncul dalam pikiran Bu Susi. Semuanya mengalir lancar seolah aku benar-benar mengerti. Padahal tidak.Perasaan bersalah mulai mengintip dari sudut hati. Tapi aku menekannya."Aku hanya… menggunakan kemampuan yang ku miliki. Aku tak merugikan siapapun.” bisikku dalam hati.Beberapa soal berikutnya bisa kujawab sendiri. Tapi begitu sampai ke soal yang lebih sulit, yang aku benar-benar tidak tahu, aku mulai melirik ke kanan dan ke kiri. Sekilas saja. Tidak lama. Cukup untuk menangkap sepotong pikiran dari teman-temanku.Mereka berpikir keras, mengingat rumus, mengaitkan teori dengan contoh
Aku masih duduk di kursi, pura-pura fokus pada tugas biologi, meskipun pikiranku masih bercampur aduk. Tedi sudah sedikit lebih tenang, meski sesekali aku bisa merasakan tatapan tak puasnya. Rossi asyik mencatat, sementara Nina…BRAK!Pintu depan terbuka, dan nenek muncul dengan beberapa kantong belanjaan yang hampir jatuh dari tangannya. Nafasnya sedikit tersengal, kacamata hitamnya agak miring."Aduh, berat juga ini…" gumam nenek.Tanpa pikir panjang, Nina langsung berdiri dan bergegas menghampiri nenek. "Biar aku bantu, Nek!" katanya sigap, mengambil sebagian kantong belanjaan dari tangan nenek sebelum sempat ditolak.Nenek terkejut, tapi akhirnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Nak. Wah, kamu cekatan juga, ya?"Aku hanya bisa menatap mereka. Ini pertama kalinya ada orang lain yang masuk begitu saja ke kehidupanku dan berinteraksi dengan nenek seperti ini. Biasanya, hanya aku dan nenek yang ada di rumah ini.Setelah semua belanjaan diletakkan di dapur, Nina langsung menggulung leng
Aku mendengar suara langkah nenek dari dapur. Langkah nenek terhenti mendadak. Di bawah pencahayaan ruang tamu, aku bisa melihat tubuhnya menegang. Ia mengenakan celemek lusuh dengan sedikit noda kuah di ujungnya. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah kacamata hitam yang terus ia kenakan—bahkan di dalam rumah.Aku menahan napas. Nenek memandangi kami satu per satu, meski matanya tersembunyi di balik kacamata hitam itu. Nina, Rossi, dan Tedi, yang tadi masih tertawa, kini ku lihat mereka semua diam. Mereka pasti merasakan perubahan atmosfer yang mendadak ini."Thomas..." suara nenek terdengar datar, tapi ada ketegangan di baliknya. "Siapa mereka?"Aku menelan ludah. Aku tahu nenek pasti akan bereaksi seperti ini."Teman-teman sekolahku, Nek." jawabku pelan.Nenek diam. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata itu, membuatku tidak bisa membaca ekspresinya. Tapi dari bibirnya yang sedikit mengerut dan cara jemarinya meremas celemek, aku tahu ia tidak menyukai ini."Tumben kamu b
Aku terdiam beberapa saat. Seolah tenggelam dalam lamunan. Aku masih tak percaya akhirnya akan ada teman yang main ke rumahku. Ku lirik ke dapur. Nenek sedang asik memasak. Aku belum memberi tahu nya tentang teman-temanku yang akan datang ke sini. Tapi nanti saja ah memberi tahunya pas mereka datang.Tiba-tiba ponselku berdering lagi.“Halo?” suaraku terdengar agak pelan.“Thomas! Aku sama Tedi dan Rossi udah sampai jalan yang tadi kamu kasih tahu. Tapi rumah kamu tuh di sebelah mana sih? Kita udah muter-muter dari tadi.”“Kalian di mana sekarang?” tanyaku.“Di depan warung kelontong yang catnya warna biru”Aku langsung paham lokasi yang dimaksud.“Yaudah, tunggu di situ. Aku jemput sekarang.”Tanpa pikir panjang, aku keluar rumah. Udara siang masih panas. Aku jalan cepat ke ujung gang.Begitu sampai di pinggir jalan, aku langsung melihat mereka bertiga duduk di atas motor masing-masing. Nina melambaikan tangan heboh, sementara Rossi duduk manis di belakang Tedi. Tedi malah nyender sa
Aku tertegun beberapa saat. Ku rasakan tubuhku agak lengket perpaduan keringat dan hujan yang tadi membasahiku. Akhirnya aku memilih menurut perkataan nenek. Aku berjalan menuju kamar mandi dengan kepala penuh pikiranku sendiri.Air dingin menyentuh kulitku membuatku sedikit menggigil.Ku rasakan air mengalir membasahi tubuhku, menyapu keringat, debu, dan sisa hujan yang menempel di kulit. Tapi air itu tak bisa membilas semua keresahan yang berkecamuk di kepalaku. Suara dari kamar kosong. Nenek yang muncul tiba-tiba. Kacamata hitam. Semua hal itu berputar-putar bagai pusaran air yang tak mau berhenti. Aku mencoba menenangkan diriku. Mungkin aku cuma terlalu capek. Terlalu paranoid. Tapi di dalam hati kecilku, aku tahu—ada sesuatu di rumah ini yang tidak aku ketahui, dan aku harus mencari tahu.Saat air mengalir membasahi wajahku, aku mencoba mengosongkan pikiran. Tapi gagal. Semua kembali berputar seperti film yang diputar ulang di kepala.Selesai mandi, aku mengeringkan rambutku yang
Aku mendapati nenek berdiri di ambang pintu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Nenek memakai kacamata hitam. Aku mengerutkan kening. Seingatku, aku belum pernah melihat nenek memakai kacamata hitam. Buat apa nenek memakai kacamata hitam? Dari mana ia mendapatkannya? Apa nenek sengaja membelinya? "Thomas? Kok sudah pulang?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Aku masih menatapnya, berusaha mencerna situasi ini. "Sekolah hari ini diliburkan. Jadi aku pulang lebih cepat." Nenek mengangguk pelan. Tapi aku masih merasa ada yang aneh. Kenapa nenek masih memakai kacamata hitam di dalam rumah? Apakah nenek sudah tahu kalau aku bisa membaca pikiran? Apakah dia sedang berusaha menghalangi matanya dariku. Aku mencoba menepis pikiranku dan bertanya dengan nada biasa, "Nenek dari mana?" "Tadi habis dari warung," jawabnya cepat. "Sekalian jalan-jalan sekedar melihat-lihat keadaan sekitar." Aku memperhatikan nenek lebih saksama. Pakaiannya rapi, tidak ada tanda-tanda kehujanan atau basah, padah