Home / Sci-Fi / Mata Ajaib Pembaca Pikiran / Bab 9: Hadiah Dari Nenek

Share

Bab 9: Hadiah Dari Nenek

Author: kafhaya
last update Last Updated: 2025-01-21 00:24:17

Aku mencoba memandang wajah pria itu, namun topi yang dipakainya menutupi sebagian besar wajahnya. Apalagi dia mengenakan kacamata hitam. Dia kemudian mendongak, menatapku sejenak, lalu tersenyum.

"Pak Dodo...?" tanyaku ragu, tapi aku mulai mengenali sosoknya. Dia adalah Pak Dodo, petugas kebersihan dan penjaga gudang sekolah.

"Hehe, iya, ini saya," jawab Pak Dodo, suaranya penuh keakraban.

"Ih, kirain siapa! Kenapa topinya sampai nutupin wajah? Udah mah Pak Dodo itu selalu pakai kacamata hitam. Jadinya susah lihat mukanya," protesku setengah bercanda. Pak Dodo terkekeh kecil, "Kan biar bikin penasaran kalian semua. Hehe..." jawabnya.

"Ini, tadi Bu Rini nitipin ini ke saya, katanya disuruh kasih ke kalian. Katanya ketinggalan di ruang kepala sekolah. Makanya tadi saya cepat-cepat ngejar" Aku melihat lebih dekat, dan benar saja, itu anting milik Nina—anting yang tadi dipegang Bu Rini. Nina pun tampak sedikit terkejut. "Oh, iya. Terima kasih, Pak Dodo. Tadi saya lupa buat ngambil anting itu," ucap Nina sambil mengambil anting itu dari tangan Pak Dodo.

Pak Dodo tersenyum lebar, "Iya, sama-sama," katanya sebelum berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan kami.

Setelah itu, kami pun berpisah, pulang ke rumah masing-masing meski dengan pikiran yang masih penuh dengan kebimbangan.

Setibanya di rumah, aku membuka sepatuku. Sepatu lusuh yang telah menemani langkahku sejak SMP. Kulitnya yang mengelupas dan robekan di bagian samping adalah pertanda bahwa sepatu ini sudah berumur.

Aku menyimpan sepatu lusuh itu di rak di pinggir pintu, lalu melangkah masuk ke kamarku. Saat pintu terbuka, mataku terbelalak. Di atas meja, sudah ada kardus sepatu yang masih disegel, dan sebuah tas baru. Kejutan ini membuatku terdiam sejenak. Apakah nenek yang membelikannya untukku? Kebingungan dan rasa senang bercampur aduk dalam hatiku. Rasa penasaran membakar semangatku untuk segera mencari nenek.

Setelah kucari, ternyata, ia sedang berada di halaman belakang rumah, merawat sayuran yang tumbuh subur.

"Nenek!" panggilku, suaraku penuh semangat. Nenek menoleh, senyumnya merekah seolah sinar matahari menerangi hari yang cerah. Sementara matanya tertutup kacamata hitam yang selalu dipakainya. Bahkan dalam rumahpun nenek selalu memakai kacamata hitamnya. Kata nenek, matanya sangat sensitif sehingga selalu terasa perih dan silau jika tidak pakai kacamata hitam.

"Thomas, kamu sudah pulang, nak?" Tanya nenek sambil memandangi tanganku yang membawa barang-barang itu. Aku merasa seperti anak kecil yang kegirangan karena menemukan mainan baru.

"Tadi waktu aku masuk ke kamar, aku menemukan barang-barang ini di kamarku. Ini nenek yang belikan?" tanyaku dengan wajah penuh harapan, sambil mengangkat barang-barang yang ku genggam menjadi sedikit lebih tinggi.

"Ya, itu nenek belikan untukmu, Thomas, sengaja nenek langsung menaruhnya di kamarmu agar jadi kejutan kecil buat kamu." ucap nenek, sambil beranjak dari duduknya, melangkah mendekat. Dengan setiap langkahnya, aku bisa melihat betapa penuh kasihnya ia pada diriku. Wajahnya yang berkerut oleh usia terlihat sangat bersemangat, seolah-olah semua lelahnya terbayar dengan senyumanku. Aku lalu memasang wajah cemberut dan memalingkan wajahku.

"Kenapa kamu malah terlihat cemberut, Thomas? Apa kamu tidak suka?" tanya nenek, ekspresi wajahnya berubah menjadi cemas, seolah memikirkan kesalahannya.

"Aku tidak suka, Nek! Tak suka" jawabku. Mendengar itu, wajah nenek berubah. "Oh, kenapa? Kamu tidak suka modelnya? Atau warnanya? Maafkan nenek jika salah memilih warna dan modelnya. Harusnya nenek tanyakan dulu padamu ya," ucapnya dengan nada yang penuh penyesalan. Wajahnya menunjukkan ekspresi penuh penyesalan. Hatiku bergetar mendengar kata-kata nenek.

"Aku tidak suka membebani nenek, dan membuat nenek memaksakan diri untuk membelikan semua ini untukku. Aku tidak suka itu, Nek." Suaraku semakin pelan. Nenek tersenyum, namun senyumnya itu tampak menyimpan kehangatan yang dalam.

"Thomas... Kau ini cucu kesayangan nenek. Nenek mengurusmu dari kecil, dari semenjak bayi. Apapun akan nenek berikan untukmu. Bahkan nyawa sekalipun," ujarnya, walaupun terhalang kacamata hitam, namun aku tahu ia menatapku dengan tatapan yang penuh kasih.

"Kemarin, kebetulan sayur yang nenek panen cukup melimpah dan laku di pasar, sehingga nenek punya uang lebih." ucap nenek menjelaskan.

“Nenek melihat tas dan sepatumu sudah mulai rusak. Karena itu, nenek memutuskan untuk membelikan yang baru. Semoga kamu menyukainya. Selama ini, setiap kali nenek menawarkan untuk membelikanmu tas atau sepatu, kamu selalu menolak. Tapi kali ini, kamu tidak boleh menolaknya, ya. Nenek membelikannya spesial untukmu.” lanjut nenek.

Aku tak bisa berkata-kata, hanya mata yang sedikit berkaca-kaca. Aku terharu. Aku sayang nenek.

"Ayo coba buka, dan lihat apakah kamu suka sepatunya," ucap nenek sambil mengajakku ke ruang tengah. Dengan perlahan, aku membuka kardus sepatu itu. Di dalamnya, sepatu berwarna hitam yang tampak keren, dengan desain modern yang pasti mahal. Namun, aku tidak berani menanyakan harganya, takutnya itu tidak sopan.

"Bagaimana? Bagus gak? Apa kau suka?" tanya nenek, wajahnya penuh harap. Aku tersenyum. Aku tak mau lagi membuat wajah nenek jadi murung seperti tadi. "Suka, Nek," jawabku dengan sepenuh hati, berusaha menyembunyikan gejolak emosiku.

"Bagaimana dengan tasnya? Apa kamu juga suka?" tanya nenek lagi, suaranya lembut dan penuh perhatian. "Aku juga suka, Nek. Makasih ya, Nek," kataku sambil memeluk nenek dengan erat. Air mataku hampir menetes, menahan rasa haru yang tak tertahankan.

Ketika pelukan kami terlepas, aku merasakan kehangatan yang mengalir dalam diriku. Dalam momen itu, aku menyadari betapa berharganya hubungan kami.

Aku menatap nenek, mencoba menemukan kedamaian di balik wajahnya yang teduh dan penuh kehangatan. Dari tadi, mataku hanya tertuju pada bibirnya yang sesekali tersenyum penuh cinta, sementara matanya terhalang kacamata hitam yang selalu ia pakai. Namun, kali ini, tanpa sengaja, kacamata hitam itu sedikit melorot saat ia menunduk. Sekilas, kedua bola matanya terlihat… dan saat pandangan kami bertemu, pikirannya tiba-tiba terbuka di hadapanku, seperti lembaran rahasia yang tak pernah kubaca sebelumnya.

"Sungguh kasihan... kau, Thomas... kau harus terpisah dari ayah dan ibumu..."

Jantungku seakan berhenti. Ayah? Ibu? Suara itu begitu jelas di kepalaku, meski bibir nenek tak mengucapkan sepatah kata pun. Dadaku terasa semakin sesak.

Selama ini, setiap kali aku bertanya tentang siapa dan di mana orang tuaku, nenek selalu memberi jawaban yang sama—dia tak tahu apa-apa. Dia sudah lupa. Katanya, yang dia ingat hanyalah bahwa dia merawatku sejak aku masih bayi. Namun sekarang...

Apakah sebenarnya banyak rahasia yang aku tidak tahu. Apa yang sebenarnya nenek sembunyikan selama ini dariku? Aku berkali menggelengkan kepalaku yang tiba-tiba terasa berat. Aku merasa aku harus mulai mencari kebenaran. Mengungkap semua rahasia yang selama ini tersembunyi dan tertutup rapat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 30: Perubahan Drastis

    Aku menatap lembar soal yang terbuka di depanku. Nomor lima, yang tadi dijelaskan Bu Susi, kini terasa seperti terpatri jelas di kepalaku. Bukan karena aku memahaminya dengan baik, tapi karena aku… membaca semua itu dari pikirannya.Aku tahu itu tidak sepenuhnya benar. Tapi juga… tidak sepenuhnya salah, kan?Tanganku mulai bergerak pelan, menuliskan rumus percepatan, massa, gaya, dan angka-angka yang muncul dalam pikiran Bu Susi. Semuanya mengalir lancar seolah aku benar-benar mengerti. Padahal tidak.Perasaan bersalah mulai mengintip dari sudut hati. Tapi aku menekannya."Aku hanya… menggunakan kemampuan yang ku miliki. Aku tak merugikan siapapun.” bisikku dalam hati.Beberapa soal berikutnya bisa kujawab sendiri. Tapi begitu sampai ke soal yang lebih sulit, yang aku benar-benar tidak tahu, aku mulai melirik ke kanan dan ke kiri. Sekilas saja. Tidak lama. Cukup untuk menangkap sepotong pikiran dari teman-temanku.Mereka berpikir keras, mengingat rumus, mengaitkan teori dengan contoh

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 29: Apakah Ini Curang?

    Aku masih duduk di kursi, pura-pura fokus pada tugas biologi, meskipun pikiranku masih bercampur aduk. Tedi sudah sedikit lebih tenang, meski sesekali aku bisa merasakan tatapan tak puasnya. Rossi asyik mencatat, sementara Nina…BRAK!Pintu depan terbuka, dan nenek muncul dengan beberapa kantong belanjaan yang hampir jatuh dari tangannya. Nafasnya sedikit tersengal, kacamata hitamnya agak miring."Aduh, berat juga ini…" gumam nenek.Tanpa pikir panjang, Nina langsung berdiri dan bergegas menghampiri nenek. "Biar aku bantu, Nek!" katanya sigap, mengambil sebagian kantong belanjaan dari tangan nenek sebelum sempat ditolak.Nenek terkejut, tapi akhirnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Nak. Wah, kamu cekatan juga, ya?"Aku hanya bisa menatap mereka. Ini pertama kalinya ada orang lain yang masuk begitu saja ke kehidupanku dan berinteraksi dengan nenek seperti ini. Biasanya, hanya aku dan nenek yang ada di rumah ini.Setelah semua belanjaan diletakkan di dapur, Nina langsung menggulung leng

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 28: Antara Tedi dan Nina

    Aku mendengar suara langkah nenek dari dapur. Langkah nenek terhenti mendadak. Di bawah pencahayaan ruang tamu, aku bisa melihat tubuhnya menegang. Ia mengenakan celemek lusuh dengan sedikit noda kuah di ujungnya. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah kacamata hitam yang terus ia kenakan—bahkan di dalam rumah.Aku menahan napas. Nenek memandangi kami satu per satu, meski matanya tersembunyi di balik kacamata hitam itu. Nina, Rossi, dan Tedi, yang tadi masih tertawa, kini ku lihat mereka semua diam. Mereka pasti merasakan perubahan atmosfer yang mendadak ini."Thomas..." suara nenek terdengar datar, tapi ada ketegangan di baliknya. "Siapa mereka?"Aku menelan ludah. Aku tahu nenek pasti akan bereaksi seperti ini."Teman-teman sekolahku, Nek." jawabku pelan.Nenek diam. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata itu, membuatku tidak bisa membaca ekspresinya. Tapi dari bibirnya yang sedikit mengerut dan cara jemarinya meremas celemek, aku tahu ia tidak menyukai ini."Tumben kamu b

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 27: Perasaan yang Tersembunyi

    Aku terdiam beberapa saat. Seolah tenggelam dalam lamunan. Aku masih tak percaya akhirnya akan ada teman yang main ke rumahku. Ku lirik ke dapur. Nenek sedang asik memasak. Aku belum memberi tahu nya tentang teman-temanku yang akan datang ke sini. Tapi nanti saja ah memberi tahunya pas mereka datang.Tiba-tiba ponselku berdering lagi.“Halo?” suaraku terdengar agak pelan.“Thomas! Aku sama Tedi dan Rossi udah sampai jalan yang tadi kamu kasih tahu. Tapi rumah kamu tuh di sebelah mana sih? Kita udah muter-muter dari tadi.”“Kalian di mana sekarang?” tanyaku.“Di depan warung kelontong yang catnya warna biru”Aku langsung paham lokasi yang dimaksud.“Yaudah, tunggu di situ. Aku jemput sekarang.”Tanpa pikir panjang, aku keluar rumah. Udara siang masih panas. Aku jalan cepat ke ujung gang.Begitu sampai di pinggir jalan, aku langsung melihat mereka bertiga duduk di atas motor masing-masing. Nina melambaikan tangan heboh, sementara Rossi duduk manis di belakang Tedi. Tedi malah nyender sa

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 26: Ada Apa Dengan Rumahku?

    Aku tertegun beberapa saat. Ku rasakan tubuhku agak lengket perpaduan keringat dan hujan yang tadi membasahiku. Akhirnya aku memilih menurut perkataan nenek. Aku berjalan menuju kamar mandi dengan kepala penuh pikiranku sendiri.Air dingin menyentuh kulitku membuatku sedikit menggigil.Ku rasakan air mengalir membasahi tubuhku, menyapu keringat, debu, dan sisa hujan yang menempel di kulit. Tapi air itu tak bisa membilas semua keresahan yang berkecamuk di kepalaku. Suara dari kamar kosong. Nenek yang muncul tiba-tiba. Kacamata hitam. Semua hal itu berputar-putar bagai pusaran air yang tak mau berhenti. Aku mencoba menenangkan diriku. Mungkin aku cuma terlalu capek. Terlalu paranoid. Tapi di dalam hati kecilku, aku tahu—ada sesuatu di rumah ini yang tidak aku ketahui, dan aku harus mencari tahu.Saat air mengalir membasahi wajahku, aku mencoba mengosongkan pikiran. Tapi gagal. Semua kembali berputar seperti film yang diputar ulang di kepala.Selesai mandi, aku mengeringkan rambutku yang

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 25: Jelaskan Padaku Nek!

    Aku mendapati nenek berdiri di ambang pintu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Nenek memakai kacamata hitam. Aku mengerutkan kening. Seingatku, aku belum pernah melihat nenek memakai kacamata hitam. Buat apa nenek memakai kacamata hitam? Dari mana ia mendapatkannya? Apa nenek sengaja membelinya? "Thomas? Kok sudah pulang?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Aku masih menatapnya, berusaha mencerna situasi ini. "Sekolah hari ini diliburkan. Jadi aku pulang lebih cepat." Nenek mengangguk pelan. Tapi aku masih merasa ada yang aneh. Kenapa nenek masih memakai kacamata hitam di dalam rumah? Apakah nenek sudah tahu kalau aku bisa membaca pikiran? Apakah dia sedang berusaha menghalangi matanya dariku. Aku mencoba menepis pikiranku dan bertanya dengan nada biasa, "Nenek dari mana?" "Tadi habis dari warung," jawabnya cepat. "Sekalian jalan-jalan sekedar melihat-lihat keadaan sekitar." Aku memperhatikan nenek lebih saksama. Pakaiannya rapi, tidak ada tanda-tanda kehujanan atau basah, padah

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 24: Apakah Aku Berhalusinasi Lagi?

    Aku berjalan menyusuri trotoar, langkahku sedikit tergesa. Langit yang tadi terlihat cerah kini mendadak dipenuhi awan kelabu, sebuah pertanda bahwa hujan akan segera turun. Benar saja, beberapa saat kemudian, rintik-rintik hujan mulai berjatuhan membasahi kepala, pundak dan tubuhku. Aku mempercepat langkah, bahkan mulai berlari kecil agar cepat sampai ke rumah.Pikiranku masih dipenuhi kejadian yang tadi ku alami. Bobi yang tiba-tiba datang meminta maaf. Riko dan Jejen yang terlihat masih ragu-ragu untuk mengakui kesalahan mereka. Tedi yang bersikeras mengingatkanku untuk tidak terlalu percaya pada Bobi. Dan kucing hitam itu… tatapannya yang misterius dan tajam masih terasa seolah menembus pikiranku. Semua itu bercampur menjadi satu, membuatku semakin ingin segera sampai di rumah, ku ingin menenangkan diri.Biasanya, jam segini aku masih berada di sekolah, dan sore hari baru pulang. Nenek pasti akan terkejut melihatku pulang lebih cepat hari ini. Aku membayangkan ekspresi herannya sa

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 23: Sebuah Tatapan Tajam

    Seekor kucing hitam menatapku tajam. Matanya berkilat, pupilnya sedikit menyempit seolah sedang meneliti sesuatu yang mencurigakan. Aku mengernyit. Ada sesuatu yang aneh. Biasanya, setiap kucing yang melihatku akan langsung berlari menjauh sambil mendesis penuh kemarahan. Tapi kucing ini… tidak. Ia tidak berlari, tidak mendesis, hanya diam dan menatapku lekat-lekat seakan penuh dengan tanya.Rasa penasaran menjalar di benakku. Aku menatap balik kucing itu, mempertanyakan sesuatu yang tak bisa kuutarakan dengan kata-kata. Lalu, sebuah pikiran terbersit—apakah aku juga bisa membaca pikiran kucing? Sejauh ini, aku hanya pernah membaca pikiran manusia, karena manusia memiliki bahasa yang bisa kutangkap dalam bentuk kata dan kalimat di dalam benak mereka. Tapi hewan? Mereka tidak memiliki bahasa seperti manusia.Aku memfokuskan pandanganku pada mata kucing itu, mencoba masuk ke dalam pikirannya seperti yang biasa kulakukan pada manusia.Dunia di sekitarku tiba-tiba bergetar. Ada sensasi an

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 22: Amarah Tedi

    Aku terbelalak kaget. Bobi tersungkur, dan sosok yang menyerangnya kini berada di atasnya, mencengkeram kerah bajunya dengan penuh emosi."Kau pikir kau bisa menjahili kami lagi?!" teriak orang itu, suaranya penuh amarah.Riko dan Jejen berusaha menarik orang itu, namun Ia berhasil menepis tangan Riko dan Jejen. Aku masih terlalu terkejut untuk bereaksi, tetapi saat aku melihat wajah orang itu dengan jelas, dadaku langsung terasa sesak.Itu Tedi.Tedi, yang selama ini terlihat lemah dan hanya selalu bisa pasrah ketika dijahili oleh mereka bertiga tanpa bisa sedikitpun melawan, kini berada di atas Bobi dengan wajah penuh amarah. Matanya menyala, rahangnya mengeras, dan tangannya mencengkeram erat kerah baju Bobi seakan ingin meremukkannya. Entah apa yang merasukinya hingga ia sampai bisa bersikap seperti itu. "Tedi, berhenti!" suaraku serak, tapi aku tidak bergerak. Kakiku seperti tertanam di tanah, sementara mataku terpaku pada apa yang sedang terjadi di hadapanku.Namun, Tedi tidak

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status