"Tedi?" Ucapku sedikit kaget, "Sedang apa kau di sini? Kenapa belum pulang?" Tanyaku dengan nada heran, tapi sedikit merasa lega.
"Aku tahu bagaimana rasanya berada dalam keterpurukan. Saat di mana kita butuh seseorang yang memberi dukungan dan semangat." Ucap Tedi dengan wajah meyakinkan, "Aku juga akan mengantar Nina ke ruang kepala sekolah." Tambah Tedi. Wajah Nina mulai berbinar. Meskipun ketakutan itu masih ada, setidaknya ada cahaya kecil di tengah kegelapan yang melingkupinya. “Terima kasih teman-teman. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana jika kalian tidak ada di sini.” Kami pun memutuskan untuk pergi bersama menuju ruang kepala sekolah. Langkah kami terasa berat, setiap detik terasa seolah dunia berputar lebih lambat, menambah beratnya beban pikiran yang kini terus berputar dalam otak. Di sepanjang lorong, aku bisa merasakan tatapan teman-teman yang lain yang menyadari bahwa kami sedang menuju suatu tempat penting. Setibanya di ruang kepala sekolah, Bu Rini sudah berada di sana, menunggu dengan wajah yang tampak serius. Ketika ia melihat kami berempat datang, ekspresi heran melintas di wajahnya. Ia mengernyitkan dahi. Sementara Pak Kepala sekolah hanya duduk memperhatikan. Ia terlihat lebih tenang dibanding Bu Rini. “Yang disuruh ke sini adalah Nina seorang. Tapi kenapa kalian ikut?” Tanya Bu Rini dengan nada sinis, matanya menatap kami satu per satu dengan tajam, seolah mempertanyakan niat kami. Aku menatap Nina yang tampak semakin gugup, lalu memutuskan untuk berbicara. “Nina sangat shock dengan adanya anting yang ditemukan di kolong meja ibu. Saya hanya ingin menemaninya agar dia tidak semakin tertekan.” jawabku dengan tenang, mencoba mengatasi ketegangan yang mulai menyelimuti ruangan. “Jadi benar anting ini punyamu, Nina?” tanya Bu Rini, sambil mengeluarkan anting dari dalam sakunya dan memperlihatkannya pada kami. Nina menelan ludah, suaranya bergetar saat menjawab, “Iya, Bu. Sepertinya itu memang anting saya yang jatuh.” “Kalau begitu, kenapa tadi kamu berbohong kalau antingmu ada di rumah. Kenapa tadi kau tidak mengakuinya?” Nada suara Bu Rini semakin menekan, membuat suasana semakin mencekam. “Aku... aku takut, Bu,” jawab Nina terbata-bata. Matanya mulai kembali memerah. “Aku takut dicurigai sebagai pencuri HP dan uang ibu. Aku sangat takut Bu. ” Suara Nina semakin pelan, seolah ada rasa putus asa yang jelas terasa di balik kata-katanya. Bu Rini menghela napas panjang, wajahnya tampak tidak terkesan dengan jawaban Nina. Sambil menggelengkan kepalanya, ia kemudian berkata, “Nina, ini bukan tentang takut atau tidak. Ini soal kejujuran. Jika antingmu jatuh di ruang guru, kenapa kamu tidak mengaku dari awal? Mengapa kamu harus berbohong. Kebohonganmu hanya akan memperkeruh suasana, dan hanya akan menambah kecurigaan kami kepadamu. Apa kau tak terpikirkan hal itu?” Nina terdiam, air matanya kembali menggenang di pelupuk matanya. Aku bisa merasakan betapa beratnya beban yang ia tanggung saat ini. Rossi yang sejak tadi diam, tiba-tiba berbicara, “Bu, kemarin Nina memang ke ruang guru, tapi dia tidak mencuri HP dan uang ibu. Kami berdua ada di sana waktu itu, dan Nina cuma menjatuhkan pulpen. Mungkin saat itu antingnya jatuh tanpa sengaja. Ruang guru memang sedang kosong waktu itu. Tidak ada siapa-siapa di sana. Itu yang kami tahu saat kemarin sore sebelum pulang. Tapi terkait hp dan uang ibu, kami sama sekali tidak tahu.” Tambah Rossi. Bu Rini memandangi kami dengan tatapan ragu, seolah mempertimbangkan kata-kata kami. Aku bisa merasakan bahwa meskipun kami berusaha keras membela Nina, Bu Rini masih merasa tidak puas dengan penjelasan kami. “Nina, apa benar itu yang terjadi?” tanya Bu Rini lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang. “Iya, Bu. Itu yang terjadi. Aku benar-benar tidak tahu kenapa antingku bisa jatuh di sana,” jawab Nina dengan penuh kesungguhan. “Lalu, bagaimana dengan barang-barang yang hilang? Apa kau yakin tidak tahu apa-apa soal itu?” Bu Rini melanjutkan pertanyaannya, masih mencoba menggali lebih dalam. Nina menggeleng lemah, “Aku tidak tahu apa-apa, Bu. Yang aku tahu, aku hanya menyimpan lembar tugas dan mengambil pulpenku yang jatuh. Bahkan aku sama sekali tidak memperhatikan meja Ibu, aku tidak tahu apakah di meja ibu masih ada hp dan uang itu, atau sudah hilang.” Bu Rini lalu berkata lagi, "Apa kalian melihat sesuatu yang mencurigakan saat itu? Barangkali ada hal yang kalian lihat yang bisa menjadi petunjuk." Nina dan Rossi saling pandang, lalu terdiam seolah sedang berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepala hampir bersamaan. Bu Rini terdiam sejenak, tampak merenung. Suasana di ruangan itu semakin tegang. Rasanya seperti menunggu keputusan besar yang akan memengaruhi segalanya. Aku bisa melihat wajah Nina yang semakin pucat, matanya yang basah dan penuh harap, berharap agar semua tuduhan ini segera berakhir. Setelah beberapa saat yang terasa sangat lama, Pak Amin yang dari tadi diam, akhirnya berbicara. “Baiklah. Sekolah kita memang tidak memasang CCTV. jadi kita tidak bisa mengecek siapa sebenarnya yang telah melakukannya. Tapi setelah bapak melihat penjelasan dari Nina dan Rossi, bapak rasa kalian berkata jujur. Kami akan mengecek lagi ruang guru. Barangkali ada hal bisa dijadikan petunjuk." Bu Rini setelah mendengar Pak Amin berkata seperti itu, iapun berkata, "Baik jika memang seperti itu, kalian boleh pergi sekarang. Tapi ingat, jangan sampai ada yang mencoba berbohong lagi, atau hukumannya akan semakin berat,” ucapnya dengan penuh penekanan. Kami hanya bisa mengangguk. Nina, yang masih berusaha menahan tangisnya, berdiri dengan goyah. Rossi memegang tangan Nina, kamipun keluar dari ruang kepala sekolah. Setelah kami melangkah keluar dari ruangan kepala sekolah, suasana terasa berat. Lorong sekolah yang biasanya ramai kini seperti dunia lain, sunyi dan penuh ketegangan. Rossi masih menggenggam tangan Nina, berusaha menenangkan sahabatnya yang terlihat begitu rapuh. Aku dan Tedi mengikuti mereka dari belakang. Tak ada kata yang keluar dari kami berempat. Seolah semuanya tertahan berat di tenggorokan. Tiba-tiba, saat kami sampai di ujung lorong, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Langkah yang cepat, tergesa-gesa, dan terdengar semakin mendekat. Kami semua berhenti, menoleh ke arah sumber suara. Sosok seseorang muncul dari balik sudut, berjalan dengan cepat menuju kami. Itu bukan guru, bukan juga siswa lain yang kami kenal. Kami tak bisa melihat wajahnya, karena terhalang di balik topi hitam yang sengaja ditarik rendah, bayangan dari lorong gelap menyembunyikan ekspresinya. Kami semua terdiam, napas tertahan. Sosok itu berhenti tepat di depan kami, lalu mengulurkan tangannya yang menggenggam sesuatu. Kami berempat secara bersamaan memandang kepalan tangan itu dengan wajah keheranan.Aku menatap lembar soal yang terbuka di depanku. Nomor lima, yang tadi dijelaskan Bu Susi, kini terasa seperti terpatri jelas di kepalaku. Bukan karena aku memahaminya dengan baik, tapi karena aku… membaca semua itu dari pikirannya.Aku tahu itu tidak sepenuhnya benar. Tapi juga… tidak sepenuhnya salah, kan?Tanganku mulai bergerak pelan, menuliskan rumus percepatan, massa, gaya, dan angka-angka yang muncul dalam pikiran Bu Susi. Semuanya mengalir lancar seolah aku benar-benar mengerti. Padahal tidak.Perasaan bersalah mulai mengintip dari sudut hati. Tapi aku menekannya."Aku hanya… menggunakan kemampuan yang ku miliki. Aku tak merugikan siapapun.” bisikku dalam hati.Beberapa soal berikutnya bisa kujawab sendiri. Tapi begitu sampai ke soal yang lebih sulit, yang aku benar-benar tidak tahu, aku mulai melirik ke kanan dan ke kiri. Sekilas saja. Tidak lama. Cukup untuk menangkap sepotong pikiran dari teman-temanku.Mereka berpikir keras, mengingat rumus, mengaitkan teori dengan contoh
Aku masih duduk di kursi, pura-pura fokus pada tugas biologi, meskipun pikiranku masih bercampur aduk. Tedi sudah sedikit lebih tenang, meski sesekali aku bisa merasakan tatapan tak puasnya. Rossi asyik mencatat, sementara Nina…BRAK!Pintu depan terbuka, dan nenek muncul dengan beberapa kantong belanjaan yang hampir jatuh dari tangannya. Nafasnya sedikit tersengal, kacamata hitamnya agak miring."Aduh, berat juga ini…" gumam nenek.Tanpa pikir panjang, Nina langsung berdiri dan bergegas menghampiri nenek. "Biar aku bantu, Nek!" katanya sigap, mengambil sebagian kantong belanjaan dari tangan nenek sebelum sempat ditolak.Nenek terkejut, tapi akhirnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Nak. Wah, kamu cekatan juga, ya?"Aku hanya bisa menatap mereka. Ini pertama kalinya ada orang lain yang masuk begitu saja ke kehidupanku dan berinteraksi dengan nenek seperti ini. Biasanya, hanya aku dan nenek yang ada di rumah ini.Setelah semua belanjaan diletakkan di dapur, Nina langsung menggulung leng
Aku mendengar suara langkah nenek dari dapur. Langkah nenek terhenti mendadak. Di bawah pencahayaan ruang tamu, aku bisa melihat tubuhnya menegang. Ia mengenakan celemek lusuh dengan sedikit noda kuah di ujungnya. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah kacamata hitam yang terus ia kenakan—bahkan di dalam rumah.Aku menahan napas. Nenek memandangi kami satu per satu, meski matanya tersembunyi di balik kacamata hitam itu. Nina, Rossi, dan Tedi, yang tadi masih tertawa, kini ku lihat mereka semua diam. Mereka pasti merasakan perubahan atmosfer yang mendadak ini."Thomas..." suara nenek terdengar datar, tapi ada ketegangan di baliknya. "Siapa mereka?"Aku menelan ludah. Aku tahu nenek pasti akan bereaksi seperti ini."Teman-teman sekolahku, Nek." jawabku pelan.Nenek diam. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata itu, membuatku tidak bisa membaca ekspresinya. Tapi dari bibirnya yang sedikit mengerut dan cara jemarinya meremas celemek, aku tahu ia tidak menyukai ini."Tumben kamu b
Aku terdiam beberapa saat. Seolah tenggelam dalam lamunan. Aku masih tak percaya akhirnya akan ada teman yang main ke rumahku. Ku lirik ke dapur. Nenek sedang asik memasak. Aku belum memberi tahu nya tentang teman-temanku yang akan datang ke sini. Tapi nanti saja ah memberi tahunya pas mereka datang.Tiba-tiba ponselku berdering lagi.“Halo?” suaraku terdengar agak pelan.“Thomas! Aku sama Tedi dan Rossi udah sampai jalan yang tadi kamu kasih tahu. Tapi rumah kamu tuh di sebelah mana sih? Kita udah muter-muter dari tadi.”“Kalian di mana sekarang?” tanyaku.“Di depan warung kelontong yang catnya warna biru”Aku langsung paham lokasi yang dimaksud.“Yaudah, tunggu di situ. Aku jemput sekarang.”Tanpa pikir panjang, aku keluar rumah. Udara siang masih panas. Aku jalan cepat ke ujung gang.Begitu sampai di pinggir jalan, aku langsung melihat mereka bertiga duduk di atas motor masing-masing. Nina melambaikan tangan heboh, sementara Rossi duduk manis di belakang Tedi. Tedi malah nyender sa
Aku tertegun beberapa saat. Ku rasakan tubuhku agak lengket perpaduan keringat dan hujan yang tadi membasahiku. Akhirnya aku memilih menurut perkataan nenek. Aku berjalan menuju kamar mandi dengan kepala penuh pikiranku sendiri.Air dingin menyentuh kulitku membuatku sedikit menggigil.Ku rasakan air mengalir membasahi tubuhku, menyapu keringat, debu, dan sisa hujan yang menempel di kulit. Tapi air itu tak bisa membilas semua keresahan yang berkecamuk di kepalaku. Suara dari kamar kosong. Nenek yang muncul tiba-tiba. Kacamata hitam. Semua hal itu berputar-putar bagai pusaran air yang tak mau berhenti. Aku mencoba menenangkan diriku. Mungkin aku cuma terlalu capek. Terlalu paranoid. Tapi di dalam hati kecilku, aku tahu—ada sesuatu di rumah ini yang tidak aku ketahui, dan aku harus mencari tahu.Saat air mengalir membasahi wajahku, aku mencoba mengosongkan pikiran. Tapi gagal. Semua kembali berputar seperti film yang diputar ulang di kepala.Selesai mandi, aku mengeringkan rambutku yang
Aku mendapati nenek berdiri di ambang pintu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Nenek memakai kacamata hitam. Aku mengerutkan kening. Seingatku, aku belum pernah melihat nenek memakai kacamata hitam. Buat apa nenek memakai kacamata hitam? Dari mana ia mendapatkannya? Apa nenek sengaja membelinya? "Thomas? Kok sudah pulang?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Aku masih menatapnya, berusaha mencerna situasi ini. "Sekolah hari ini diliburkan. Jadi aku pulang lebih cepat." Nenek mengangguk pelan. Tapi aku masih merasa ada yang aneh. Kenapa nenek masih memakai kacamata hitam di dalam rumah? Apakah nenek sudah tahu kalau aku bisa membaca pikiran? Apakah dia sedang berusaha menghalangi matanya dariku. Aku mencoba menepis pikiranku dan bertanya dengan nada biasa, "Nenek dari mana?" "Tadi habis dari warung," jawabnya cepat. "Sekalian jalan-jalan sekedar melihat-lihat keadaan sekitar." Aku memperhatikan nenek lebih saksama. Pakaiannya rapi, tidak ada tanda-tanda kehujanan atau basah, padah