Anja tak sempat menerkam Gugun atau Suster Ana yang dengan cepat bersembunyi di dalam toilet. Anja lantas mengejar seorang pria berusia lima puluh tahun yang berlari ke balik tirai ranjang pasien. Anja menerjang pria itu, sehingga tirai terlepas dari anternit dan menimbulkan suara gedebuk karena pria itu tertubruk. Dengan ganas Anja menarik-narik tirai sampai mendapati wajah pria yang ditindihnya itu.
“To-tolong, jangan bunuh saya,” pinta pria paruh baya itu mengiba.
Anja menggeram dan semakin menguatkan tindihan kedua tungkainya. Darah menetes dari sela mulutnya yang menganga.
Pria itu mencoba berontak, tapi gerakannya tak bisa menyingkirkan Anja dari atas tubuhnya.
Anja memegang kedua lengan pria itu dengan kuat seraya membenamkan wajahnya ke leher pria tersebut.
“AAAAA…!” pekik pria itu semakin membuat semua orang yang berada di IGD ketakutan.
Seorang gadis usia belasan yang telentang di ranjang pasien dihantam kegentaran dengan tubuh gemetar. Dia sempat melihat bagaimana Anja menggigit leher si pria paruh baya yang diserang di dekat ranjangnya. Saking takutnya, dia sampai tak kuasa untuk beranjak pergi.
Sementara itu, seorang perempuan yang bersembunyi di sudut ruangan langsung bergerak keluar IGD. Dia meninggalkan ibunya yang tadi sedang tidur di ranjang pasien. Karena mendapati perempuan itu berani pergi, yang lain pun bergegas melarikan diri.
Anja berdiri setelah pria paruh baya yang diserangnya itu kejang-kejang dan kemudian mati. Dia menoleh ke gadis yang kini terduduk di ranjang pasien dengan sorot mata ngeri. Belum sempat dia menyerang, gadis itu memberanikan diri melompat turun ke lantai.
Gadis itu terjatuh bukan hanya karena kondisinya yang lemah, tapi juga lantaran lengan kirinya tertarik akibat jarum infus yang masih menancap. Selang infusan itu pun seketika terlepas, sehingga lengannya mengeluarkan darah. Belum sempat dia bangkit berdiri untuk bergegas pergi, dengan cekatan Anja menaiki ranjang dan lansung menerjangnya.
Sementara itu, air liur Anja dalam darah Dokter Idrus terus bercampur dan semakin memasuki arteri karotid dan vena jugularis. Air liur yang sudah dicemari sari pati jamur itu terus menyebar ke seluruh organ internal dan mengacaukan otak Dokter Idrus. Sampai kemudian jantungnya kembali berdetak dan mengedarkan darah yang sudah tercemar air liur Anja ke seluruh tubuhnya. Dia pun membuka matanya yang merah dan nyalang.
Dokter Idrus berdiri dengan gerakan patah-patah seperti robot. Persendian lengan, leher, dan tungkainya berbunyi. Dia merentangkan kedua tangannya ke depan seraya berjalan sempoyongan. Matanya yang semerah darah menatap dengan sorot pemangsa. Urat-urat di leher dan wajahnya menyembul seakan-akan hendak pecah. Dia menyibakkan tirai dan mendapati seorang perempuan paruh baya yang telentang di ranjang pasien.
Perempuan tua itu baru saja terbangun dari tidurnya karena suara berisik. Dia sangat kaget mendapati Dokter Idrus yang berdiri di dekatnya dengan kondisi yang menyeramkan. Seketika itu dia ketakutan. Belum sempat dia menyelamatkan diri, Dokter Idrus langsung menaiki ke ranjang dan menindihnya. Dia tak bisa berbuat apa-apa ketika Dokter Idrus menggigit lehernya selain berteriak dengan suara serak, “Aaaa !!!”
Anja menggeram dengan darah dan air liur menetes dari ujung bibirnya. Dia yang mendapati gadis itu kesakitan akibat terjangannya, kemudian kembali menerkam dari belakang. Dia berhasil membuat gadis itu tertelungkup. Belum sempat dia menindihnya, gadis itu membalikkan badan seraya melayangkan tendangan, sehingga dia terdorong ke belakang. Alih-alih kembali menyerang, Anja justru memiringkan kepalanya melihat ke arah belakang si gadis, di mana ada Dokter Idrus berdiri di sana.
Karena pandangan Anja mengarah ke balik tubuhnya, gadis itu jadi sadar ada yang berdiri di belakangnya. Seketika dia memutar badannya, dan mendapati Dokter Idrus yang langsung menyerangnya. Dia tidak sempat menghindar atau melawan ketika Dokter Idrus menabraknya sampai terjatuh. Dia sempat melihat seorang lelaki berusia 30 tahun yang bersembunyi di kolong ranjang pasien. “Tolonggg …!” teriaknya mengiba, tetapi lelaki itu tak berani bergerak menolongnya.
Gadis itu semakin tidak berdaya ketika Dokter Idrus menekan kedua lengan dan tungkainya. Leher kanannya langsung digigit oleh Dokter Idrus. Sementara leher kirinya digerogot oleh Anja.
Pria paruh baya yang mati tergeletak di lantai hidup lagi. Kedua matanya yang terbuka mengeluarkan darah. Wajahnya yang mengarah ke kolong ranjang langsung mendapati seorang lelaki. Dia menggeram sembari merangkak dengan cepat menuju lelaki itu.
Si lelaki spontan merangkak ke arah lain demi menyelamatkan diri. Karena ketakutan yang meremas jantungnya, dia jadi gemetar dan membuat gerakannya kalah cepat oleh pria paruh baya itu. Ketika mengolongi ranjang kedua, kaki kanannya ditertahan sehingga dia berhenti. Dia membalikkan badan. Didapatinya pria paruh baya itu mencengkeram kakinya dan menggeram hendak menggigit. Dengan cepat kaki kirinya menendang wajah pria paruh baya itu. “Bangsat lu!” makinya kesal bercampur gentar.
Krak!
Si lelaki menelan ludahnya. Dia mendapati wajah pria paruh baya itu mendongak dengan posisi ganjil. Dia tidak menyangka tendangannya sampai membuat leher pria paruh baya itu patah. Belum sempat dia menarik kaki kanannya, pria paruh baya itu kembali menatapnya dengan tulang leher yang kembali berbunyi. Dia refleks kembali menendang muka pria paruh baya itu sampai kaki kanannya terlepas dari cengkeraman si pria tua tersebut.
Si lelaki kini bergerak ke sela ranjang. Dia berdiri sambil mengamati situasi. Dia harus segera pergi dari ruangan ini. Kalau hanya merangkak dari kolong ranjang ke kolong ranjang lainnya, dia yakin akan mati. Namun, dia mendapati Dokter Idrus dan Anja yang berdiri di tengah ruangan menatap ke arahnya. Sementara itu, di sisi kanan ada si pria paruh baya tadi yang juga sudah berdiri. Sedangkan di sebelah kiri ada gadis dan perempuan tua yang juga sudah bangkit dari kematian dan kini melihat ke arahnya. Akhirnya dia mundur ke sudut ruangan. Sementara para mayat hidup itu bergerak perlahan mendekatinya.
***
Lelaki bernama Adi itu makin tersudut di pojok ruangan IGD. Dia kembali menoleh ke arah kiri, di mana seorang gadis menatapnya dengan sorot mata merah yang tajam. Dia menelan ludahnya dengan perasaan sedih karena adiknya itu telah menjadi mayat hidup. Belum lama ini dia mendampingi gadis bernama Rara itu ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata Rara terkena demam berdarah dan harus dirawat. Belum sempat Rara dipindahkan ke ruang rawat inap, malapetaka ini datang. Adi menyesal kenapa tadi tidak menolong Rara, padahal dia tahu bahwa Rara butuh pertolongan. Dia jadi kesal pada dirinya sendiri karena terlalu pengecut. Alih-alih bisa menjaga Rara dengan baik, dia malah berupaya bersembunyi dan menyelamatkan dirinya sendiri. Kini, tidak ada pilihan lagi selain mencari celah untuk menghindar dari terkaman para mayat hidup, termasuk adiknya itu. Adi sontak menoleh ke Anja dan Dokter Idrus karena suara geraman kedua mayat hidup itu. Dia kembali waspada da
Di ujung pertigaan koridor banyak pasien rawat jalan yang duduk di depan farmasi sedang menunggu obat. Di sebelah kiri ada tiga petugas perempuan yang duduk di balik meja, yang salah satunya sedang memberi informasi mengenai pendaftaran rawat inap pada seorang pemuda. Sementara itu, beberapa orang melangkah dari dan ke arah IGD. Suster Ana dan Gugun muncul dari IGD. Keduanya berlari secepat yang mereka bisa. Dengan panik dan jantung berdebar-debar, Suster Ana terus bergerak diikuti Gugun yang juga gugup dan takut. “Lariii …!” seru Suster Ana kepada orang-orang yang dia lewati. “Jangan ke IGD!” teriak Gugun kepada semua orang yang berpapasan dengannya. &
Pak Hadi menghentikan mobilnya di depan rumah Anja. Tadinya, dia diminta Kiman untuk mengantar sampai di warkop Mbak Eli di gang depan dekat jalan raya. Namun, karena harus segera menemui Pak Diko, dia akhirnya memilih menurunkan Kiman dan Candra di depan rumah orang tua Anja itu. Kini dia membantu Kiman dan Candra menurunkan empat tas gunung dan menaruhnya bersandar pada bangku plesteran. Setelah beres, dia pergi. Seusai mobil Pak Hadi berlalu, Kiman dan Candra masuk ke halaman depan rumah Anja. Keduanya melihat gerobak bakso milik Pak Diko, itu artinya bapaknya Anja hari ini tidak berdagang. Belum sempat memberi salam, keduanya mendapati Pak Diko membuka pintu dengan wajah agak kesal. “Mana si Anja?” Pak Diko berjalan tertatih. &n
Suster yang menggelepar di luar ruangan di bawah pintu kaca akhirnya berhenti bergerak-gerak. Bisa dipastikan kehidupan baru saja hilang dari dirinya. Sementara darah terus keluar dari luka menganga di lehernya, mengalir masuk ke ruang rawat inap melalui celah bawah pintu. “Mundur … mundur,” kata Gugun kepada Suster Ana, Pak Sapto, dan Bu Novi. “Lebih baik kita ngumpet. Jangan sampe mayat suster itu hidup lagi dan melihat kita. Bisa-bisa dia mendobrak pintu itu.” Tanpa banyak cakap lagi Pak Sapto kembali ke anak gadisnya yang masih tertidur. Bu Novi pun yang takut dan bingung mendekati suaminya yang juga tengah terlelap. Sementara Gugun dan Suster Ana memilih ke ranjang paling ujung untuk bersembunyi. Tanpa bersepakat sebelumnya mereka kompak tidak mau menimbulkan suara, terutama Pak Sapto dan Bu Novi yang langsung merapatkan mulut mereka. Gugun dan Suster Ana duduk di tepi ranjang dengan cemas. Sadar akan bahaya yang tengah terjadi dan bisa saja mendekati teman-temannya, Gugun
Gugun turun bersama beberapa karyawan dari bus jemputan yang berhenti di perempatan jalan raya. Dia lantas menyeberang jalan dan memasuki warung kopi bertuliskan WARKOP ELI. Pukul delapan pagi ini dia baru saja pulang bekerja. Kendati tubuhnya lelah, tetapi dia merasa senang. Pasalnya, besok sudah memasuki libur akhir pekan. “Waduhhh … masih pagi udah pada nongkrong aja lu pada.” Gugun mendapati Anja, Kiman, dan Candra yang sedang mengopi di meja pojok. “Lu pada kagak sekolah?” tanyanya sembari mendaratkan bokong di kursi sebelah Anja. “Udah libur,” sahut Kiman. “Kan gue udah ujian,” kata Candra menambahkan.
Menjelang jam dua siang Anja pulang dari warkop. Dia berpisah dengan Kiman dan Candra yang tinggal di RT sebelah. Anja masuk ke rumahnya tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu, padahal di teras depan ada Pak Diko yang baru saja mau jualan bakso dengan gerobak. “Dari mana lu?” tanya Pak Diko dengan raut wajah yang kesal. “Ngopi di warkop, Pak,” sahut Anja. “Habisnya di rumah kagak ada kopi.” “Bukannya masih ada di dapur.” “Udah abis, Pak. Gula pasir juga udah tinggal dikit.” “Boros banget
Jam sepuluh malam ini Gugun sudah berada di Warkop Eli. Setelah menyandarkan tas gunungnya pada tembok dekat meja pojok, dia menghampiri Mbak Eli yang sedang mengaduk kopi pesanan seorang sopir yang tengah beristirahat. “Mbak, anak-anak belum ada yang nongol, ya?” “Siapa? Si Anja?” “Iya, si Kiman dan Candra juga.” “Belum ada, tuh.” Gugun mengangguk pelan sebagai tanda bahwa dia paham dengan penjelasan Mbak Eli. “Saya kopi itemnya satu, ya,” pesannya kemudian. 
Hampir pukul dua belas malam Gugun dan teman-temannya menunggu dijemput sopir Travel Backpacker. Gugun dan sopir bernama Hadi itu memang sudah sepakat untuk berangkat sekitar jam dua belas dari titik penjemputan. “Jadi rencananya kita berangkat dari sini jam dua belasan, gitu?” Anja menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Gugun mengangguk. “Kata Pak Hadi, biasanya dia emang ngantar tengah malam gitu. Jadi, pas sampe basecamp udah pagi, lalu bisa pendakian, dah,” jelasnya kemudian. “Ya gak apa-apa, sih, kita juga masih bisa tidur di mobil, ‘kan?” timpal Kiman. “Paling nyampe sana sebelum subuh,” kata Candra. Sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan Warkop Eli. Ponsel Gugun berdering. Dia lantas mengangkat panggilan telepon itu, “Halo, Pak?” “Halo, Mas Gun. Saya udah sampe di Warkop Eli.” “Iya, Pak, saya juga udah ada di dalam warkop.” “Oh ya udah saya ke situ.” Gugun menutup sambungan telepon itu. Dia dan teman-temannya melihat seorang lelaki berusia 40 ta