Penemuan mayat di apartemennya membuat Chaaya Adhisti harus mendekam di balik jeruji besi. Chaaya Adhisti Pramagya ialah salah satu agen penyelundup film ke salah satu situs ilegal yang hidup serba pas-pasan bersama sang kakak—Rafandra. Kehidupan Adhisti yang tak penuh kebahagiaan kini semakin diperparah dengan ditemukannya mayat yang menyeret namanya sebagai pelaku pembunuhan mayat tersebut. "Semua bukti telah kami dapatkan! Sidik jari anda terdapat pada pisau yang berlumur darah korban, Nona Adhisti! Jangan mengelak dan akui saja perbuatan anda!"
View More“Aaa!! Bang Rafa!! Ada belatung!!” teriak Adhisti gadis yang kala itu tengah asik berbaring di ranjang kamarnya sambil mengutak-atik benda pipih bercasing coklat itu.
“Bang Rafa!!” Kini dengan cepat ia melompat dari singgasana ternyamannya itu lalu menatap ngeri ke kasur juga selimut yang tergeletak sembarangan.
Puluhan hewan kecil putih cenderung cream tampak menggeliat di atas seprai putih bercorak kotak milik Adhisti. Napas gadis itu langsung terengah-engah saat melihat ranjangnya menjadi tempat puluhan belatung berwisata.
“Bang Rafa sialan!! Lo budeg ya?!” sergah Adhisti sembari langsung menukikkan badannya ke kiri dan berlari ke arah luar kamarnya. Namun di saat yang bersamaan rupanya Rafa tengah berlari ke arah kamar Adhisti. Alhasil keduanya mengalami benturan.
“Bego banget, sih! Bisa jalan pake mata gak sih lo?!” sergah Rafa sambil mencekal kedua bahu adiknya itu.
“Lo yang bego, Bang! Dari tadi gue manggil kenapa baru muncul sekarang?! Kalau gue lagi disekap pembunuh udah mati duluan gue! Mau lo dihantuin arwah abah gegara gagal jaga anak perempuan semata wayangnya?!” omel Adhisti malah tampak lebih berapi-api dibanding Rafa.
Bukannya segera membalas omelan sang adik, Rafa malah tampak mengibaskan kedua tangannya di depan hidung sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Adhisti.
“Heh, lo nyimpen bangkai tikus atau kucing di sini?! Kamar lo busuk banget, Chaay!” sergah Rafa langsung menatap tajam ke arah Adhisti.
“Cih! Ngapain gue nyimpen bangkai, Bang! Ngaco lo! Yang ada, mereka yang sengaja mati di kamar gue dan bikin bau busuk kaya gini! Lo liat tuh kasur gue! Penuh belatung!” sergah Adhisti alias Chaaya sambil menunjuk ke arah ranjangnya.
“Belatung?!” Rafa langsung berjalan mendekat ke arah ranjang Adhisti. Matanya langsung membulat sempurna saat melihat hewan-hewan kecil itu menggeliat.
“Chaay! Gila lo! Lo tidur sama hewan kaya gini?! Manusia apa mayat hidup sih lo?! Nggak bisa apa berteman sama hewan yang wajar aja?!” Rafa langsung menyingkap selimut tebal Adhisti dan mengibaskannya ke sisi lain kamar.
Tak tunggu aba-aba lain, seluruh belatung yang ada di atas selimut itu langsung berjatuhan ke lantai. Dan seperti yang keduanya lihat, kini jumlahnya malah bertambah dua kali lebih banyak saat berjatuhan di lantai berwarna cokelat itu.
“Gila! Sebanyak itu?! Jadi sedari tadi gue tiduran sama para belatung itu?! Bajingan! Huwekk!!” Adhisti langsung berlari keluar kamarnya sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya rapat-rapat.
Rafa yang kala itu ditinggalkannya di kamar langsung memeriksa plafon kamar sang adik. Sebuah celah hadir di sana membuat tampak seperti lubang hitam.
“Pasti jatuh dari sana! Dasar! Chaaya manusia apa bukan sih?! Dia kena covid?! Kamar bau busuk kaya gini bisa gak bau! Dasar jorok!” gerutu Rafa lalu langsung melepaskan pegangannya pada selimut itu dan menyusul sang adik.
Adhisti tampak mengeluarkan semua isi mulutnya yang hanya cairan encer itu di wastafel dapur mereka. Rafa berdiri di sebelahnya sambil memangku dagu mengamati Adhisti.
“Dari pada ngeliatin gue kaya gitu mending bikinin gue teh anget, Bang!” Tangan kiri Adhisti langsung menampol wajah kakaknya yang asik mengamatinya itu.
Seperti seorang kakak yang sangat menyayangi sang adik, Rafa langsung menjalankan permintaan sang adik dan membuatkannya teh hangat.
“Nih, minum! Gue perlu tanya banyak hal sama lo setelah ini! Awas sampe pura-pura pingsan!” sergah Rafa. Tanpa menunggu omelan lain, Adhisti segera meraih gelas itu dan meneguknya kasar. Seketika wajah Adhisti tampak lebih glowing akibat paparan uap yang menimpa wajahnya itu.
“Lo sakit?! Hidung lo udah bebal?! Nggak bisa bau aroma busuk kamar lo itu?!” Rafa menatap tajam sambil mengetuk-ketukkan telunjuknya ke meja makan.
“Bang, satu-satu kalau nanya! Okey? Gue nggak sakit! Hidung gue juga bisa bau tuh aroma busuk kok! Cuma gimana lagi? Masa gue harus manjat plafon?! Ya udah gue biarin aja! Eh, ternyata lama-lama gue terbiasa, ya udah, gue berharap tuh bau hilang! Lagian kucing atau tikus ‘kan nggak sebesar manusia! Keringnya juga bakalan cepet!” papar Adhisti.
“Bego lo, Chaay! Sekarang liat! Kelar ga masalah lo?! Yang ada makin-makin ‘kan?! Tuh pasti di balik plafin lo lebih banyak belatung lagi! Kalau udah gini ini siapa suruh bersihin? Gue?!” Rafa mengubah posisi duduknya, tangannya dengan lantang menunjuk ke arah kamar Adhisti.
“Ya maaf, Bang! Niat Adhis awalnya ‘kan nggak mau nyusahin. Terus sekarang gimana? Abang mau biarin Adhisti tidur di kamar itu bareng semua belatungnya??” Adhisti dengan mahir dan tanpa rasa bersalah sekarang malah memberikan puppy eyes untuk Rafa.
“Terus? Lo nyuruh gue tidur di sofa dan lo pakai kamar gue?! Ogah! Sudah gede masih aja hobi nyusahin! Siapa suruh bikin huru-hara malem-malem kaya gini?!” sergah Rafa lalu langsung bangkit dari kursi meja makan dan berjalan ke arah kamarnya.
“Lho, Bang! Bang! Mau ke mana?! Ini gimana sama kamar Adhis??” pekik Adhisti yang ikut menyusul langkah cowok yang tingginya lima senti di atasnya itu.
“Bodo amat! Urus aja sendiri! Gue ngantuk!” sergah Rafa lalu langsung masuk ke kamarnya dan menggebrak pintu kamar tepat sebelum Adhisti masuk.
“Bang Rafa jahat!! Dasar tua menyebalkan!!” teriak Adhisti hingga menghantamkan kepalan tangannya ke pintu kayu itu.
Dengan langkah penuh emosi dan hentakan, Adhisti berjalan menuju pintu utama unit apartemen itu.
Satu tujuannya saat ini, salah satu kios kawan dekat Rafa bernama Rio yang ada di bawah lantai apartemennya.
Baru beberapa anak tangga ia pijak, ponsel yang ia masukkan ke saku jeans belakangnya bergetar. Saat dilihatnya layar ponsel itu dua buah kata nama kontak langsung membuatnya mendengus kesal.
“Bajingan! Lintah darat ini! Kenapa selalu muncul di saat yang gak tepat!” gerutunya sembari menyeret tombol terima telepon itu.
“Halo! Kenapa lagi?!” sergah Adhisti.
[“Kenapa lagi, kenapa lagi!! Lo buta? Nggak bisa liat sekarang jam berapa?! Atau pikun?! Lo belum upload film terbaru yang lo janjiin ke gue hari ini, Dhis! Kalau sampai malam ini lo nggak buruan kirim film itu! Lihat aja! Gaji lo nggak bakalan cair bulan ini!”] sergah Guntur—pemilik Guntur Corporation yang menaungi bisnis gelap Adhisti.
“Eh, jangan Bos! Duh, Bos! Kasih waktu dikit lagi! Ada insiden di kamar kerja gue, Bos! Gue janji deh sebelum jam delapan pagi gue upload!” bujuk Adhisti.
[“Kenapa sama kamar kerja lo?! Ada orang mati di sana?! Atau ada tsunami?!”]
“Nah itu, Bos! Ada mayat manusia di kamar gue! Gue mesti urus dulu ‘kan?!” sahut Adhisti tanpa rasa bersalah.
“Mayat manusia apa, Dhis?!” celetuk suara pria lain.
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments