Seorang pemuda yang baru masuk ke IGD rumah sakit dinyatakan meninggal dunia. Namun, sepuluh menit kemudian dia hidup lagi dan mengamuk. Celakanya, pemuda tersebut menyerang dan membunuh siapa pun, sehingga menimbulkan kekacauan. Petaka itu kian menjadi ketika orang-orang yang dibunuh si pemuda mendadak hidup lagi dan membunuh orang-orang lainnya. Rumah sakit menjadi lumpuh, berantakan, dan tak berhasil diisolasi. Mayat-mayat hidup itu tarus menyerang orang-orang dengan buas dan tak terkendali. Kini, kota terancam hancur, dan berpotensi memorakporandakan satu provinsi, bahkan bisa jadi memusnahkan satu negeri.
view moreArus kendaraan Jalan Tol Jakarta-Cikampek siang ini ramai lancar. Dari arah Bekasi ke Jakarta maupun sebaliknya didominasi kendaraan pribadi. Cahaya matahari cukup terik menyinari sehingga aspal jalanan tampak panas, terlebih suhu di kota ini mencapai 34 derajat celcius.
Sebuah mobil berwarna hitam berpindah dari lajur cepat ke lajur lambat. Sang sopir kemudian mengarahkan mobilnya keluar dari tol menyusuri jalur menuju Gerbang Tol Bekasi Barat. Sopir bernama Hadi ini menghentikan mobilnya karena harus mengantre lima mobil di depan gerbang tol tersebut.
Gugun yang duduk di sebelah Pak Hadi menoleh ke belakang karena mendengar Anja terbatuk-batuk. “Nanti pas sampe rumah, lu harus istirahat total,” tegurnya kemudian. Laki-laki berkulit putih dan bermata sipit ini tampak khawatir pada Anja, terlebih dia yang paling dituakan dalam kelompok pertemanan.
Anja tidak menyahut. Cowok berkulit sawo matang berusia 18 tahun ini menatap Gugun dengan mata kuyu. Di lengan, kaki, dan wajahnya terdapat beberapa luka gores. Kulit kening kirinya yang robek sudah dijahit dan ditutupi kain kasa. Sementara di bagian kedua tulang pipinya memar membiru. Dia pun terlihat lemah dan pucat. Meski AC mobil aktif, dia berkeringat.
“Kenapa lu keringatan gitu?” Kiman yang duduk di sebelah kanan Anja makin bingung. Sedari tadi dia memperhatikan Anja yang kian aneh dan terlihat tak sehat.
Alih-alih menjawab, Anja kembali terbatuk-batuk. Dia demam. Tenggorokannya terasa kering. Sementara kepalanya begitu pening.
Pak Hadi sekilas melihat Anja melalui kaca spion tengah, lalu memfokuskan pandangannya kembali ke kaca depan. Dia menjalankan mobil melewati gerbang tol.
Candra yang duduk di sebelah kiri Anja jadi ngeri menyaksikan kondisi temannya itu yang semakin parah. Saking takutnya, dia sampai tidak berkomentar. Dia hanya memperbaiki posisi topinya, sikap itulah yang menandakan bahwa dia tengah gugup.
Secara mendadak, Anja memuntahkan darah, sehingga cairan merah itu membasahi dagu dan bajunya. Kedua matanya tertutup. Dia menggigil sampai giginya bergemelutuk. Keadaan itu sontak membuatnya dipegangi Candra dan Kiman.
“Pak, tolong langsung ke rumah sakit aja,” kata Gugun dengan panik.
“Rumah sakit terdekat di mana, Mas Gun?” tanya Pak Hadi yang juga ngeri mendapati kondisi Anja.
“Belok kiri aja,Pak.”
Di pertigaan dekat mal, Pak Hadi lantas mengarahkan mobil ke jalur kiri.
“Lurus terus aja, Pak,” kata Gugun lagi. “Sebelum stadion ada rumah sakit.”
“Cepatan, Pak!” seru Kiman.
Pak Hadi tidak menimpali ucapan Kiman. Dia menginjak pedal gas lebih dalam melewati perempatan Kali Malang.
Gugun kembali memerintah Pak Hadi, “Ambil jalur kiri aja, Pak.
Pak Hadi mengangguk seraya melihat spion kiri.
Sementara itu, Anja semakin menggigil. Darah bukan hanya keluar dari mulutnya, tetapi juga dari kedua lubang hidung dan telinganya.
Kiman dan Candra membuka mata mereka lebih lebar, sehingga biji mata mereka jadi terkesan membesar. Sementara itu, mimik keduanya menampilkan kengerian yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Kini, yang gemetar bukan hanya tubuh Anja, tetapi juga kedua tangan Kiman dan Candra.
Dengan bergegas dan panik, Pak Hadi mengarahkan mobil masuk ke area rumah sakit untuk langsung menuju IGD dan berhenti di depan ruangan itu.
Gugun keluar dari mobil dengan cepat. Dia bersama Pak Hadi, Kiman, dan Candra segera menggotong Anja masuk ke IGD.
“Langsung baringkan ke ranjang aja, Mas,” kata seorang suster yang melihat mereka.
Anja dibaringkan di baris kiri ranjang ketiga. Tubuhnya menggelepar-lepar seperti ayam yang baru saja disembelih. Dia terus dipegangi Gugun, Pak Hadi, Kiman, dan Candra supaya tidak terjatuh dari ranjang yang berderit-derit.
Suster bernama Ana merapatkan tirai. “Satu orang langsung ke pendaftaran yang ada di sebelah kiri.”
“Baik, Sus,” sahut Gugun yang segera berlalu.
Seorang dokter lelaki bernama Idrus masuk dan lantas mendekati Anja yang masih bergerak-gerak seperti kerasukan setan. “Ini kenapa?”
“Gak tahu, Dok,” sahut Kiman yang masih memegang lengan kiri Anja. “Tahu-tahu dia menggigil, terus kejang-kejang, muntah darah juga.”
“Dari hidung dan telinganya juga keluar darah. Dok,” kata Candra menambahkan. Dia terus memegangi lengan kanan Anja.
“Tolong segera ditanganin, Dok,” tegas Pak Hadi yang memegang kuat kedua kaki Anja.
Dokter Idrus lebih mendekati Anja seraya agak membungkuk. Belum sempat dia memeriksa, tiba-tiba saja wajahnya terkena semburan darah yang dimuntahkan Anja. Seketika dia terpukul. Ini kali pertama dia mengalami kejadian seperti itu. Dia mengusap darah di wajahnya dengan tangan gemetar, sementara jantungnya berdebar-debar.
Semua orang pun kaget, apalagi ketika Anja membuka mata yang merah. Sepertinya pembuluh-pembuluh halus di bola matanya telah pecah. Urat-urat saraf di leher dan mukanya pun menonjol, tampak membiru dan seakan-akan mau meledak.
Saking terkejutnya, Kiman dan Candra sampai sontak melepaskan cengkeraman tangan mereka dari lengan Anja. Keduanya mundur satu langkah sambil menelan ludah. Sementara dokter dan suster terpaku, seolah-olah terhipnotis dengan kejadian itu. Sedangkan Pak Hadi justru menguatkan cengkeraman tangannya pada kedua kaki Anja.
Anja kini bergerak duduk. Kedua tangannya menggapai-gapai ke depan. Gerakan tangan itu sulit diartikan, entah meminta tolong atau malah mau menyerang. Sampai kemudian, dengan mata yang melotot, seketika itu pula dia kembali terbaring dan bergeming.
Setelah beberapa detik dikuasi ketegangan, akhirnya Dokter Idris memberanikan diri memeriksa Anja. Bagaimanapun dia yang paling kompeten dalam hal ini. Meski nyalinya sudah menciut sejak tadi, tetapi dia harus menguasi dirinya sendiri.
Suster Ana tahu betul apa yang dirasakan Dokter Idrus. Pasalnya, dia pun mengalami ketegangan yang sama. Maka dari itu, dia berupaya mendekati Dokter Idrus untuk sekadar mendampingi, bahwa sang dokter tidak sendiri.
Kiman, Candra, dan Pak Hadi saling bersitatap diselimuti ketakutan dan kebingungan.
Setelah memeriksa dan memastikan kondisi Anja, Dokter Idrus pun berkata, “Dia udah meninggal dunia.”
Pak Hadi, Kiman, dan Candra makin terkejut. Ketiganya tak bisa berkata-kata. Meski tahu kondisi Anja sedang sakit, tetapi mereka tidak menyangka kalau Anja berpulang hari ini, terlebih dalam kondisi yang mengenaskan.
Tirai tersibak. Gugun masuk. “Gimana, Dok?”
Dokter Idrus membalikkan badan. Dia menatap Gugun dengan sorot mata tegang dan mimik penuh penyesalan. “Temanmu udah meninggal dunia.”
Bulu kuduk Gugun sontak berdiri, saat itu juga dia merasa semakin ngeri.
***
Zombi laki-laki dengan wajah penuh darah mendelik tajam ke ujung koridor. Dia berjalan tertatih-tatih dengan caping hidung kembang kempis. Dia mengendus bau seseorang yang berada beberapa meter darinya. Kedua tangannya terulur ke depan dengan sikap siap menerkam. Kendati langkahnya terhuyung, tetap saja dia tampak ganas dan mengancam.Setibanya di depan area suster, zombi ini mendapati seorang laki-laki yang baru saja memakan wafer. Seketika mata merahnya makin nyalang. Giginya bergemeletuk siap menerkam. Di ujung bibirnya air liur menetes bercampur darah. Dia menggeram siap menyerang, sehingga laki-laki itu terkejut dan menyadari kehadirannya. Dia mendapati ketakutan di wajah laki-laki itu. Dia bisa mencium kengerian yang terpancar dari sikap laki-laki tersebut. Dengan gerakan mendadak dia menyerang laki-laki itu sambil menggeram lebih keras.Kiman yang tak siap dengan serangan zombi itu menjadi syok dan tak bisa bergerak, sehingga dia diterjang zombi tersebut. Dia terjatuh ke bel
Pak Sapto mengusap wajah sembari mengembuskan napas panjang. Entah bagaimana sedari tadi dia memercayai Gugun sebagai teman curhat. Dia menceritakan semua keresahan hati atas masalah yang dihadapi dalam rumah tangganya. Meski menyisakan kekesalan dan kesedihan, tetapi kali ini dia merasa cukup lega, seolah-olah baru saja memuntahkan segala beban yang sudah lama tersimpan.Sementara Gugun tidak menyangka baru saja mendengar kisah Pak Sapto yang akhirnya bercerai dengan Bu Erna. Niatnya yang sekadar menemai waktu jaga Pak Sapto, malah mendapat cerita yang membuatnya semakin berhitung soal pernikahan. Diam-diam dia jadi khawatir unruk berumah tangga. Saat berpikir begitu, dia tersadar akan dua hal. Pertama, dia tidak punya pacar. Kedua, situasinya masih sangat berbahaya dan dia tidak tahu apakah bisa selamat, lalu bertemu perempuan yang dicintai sampai menikah. Dia merasa telah berpikir terlalu jauh akan hal itu. Kini dia menyadarkan diri sendiri untuk fokus pada keselamatan terlebih d
Penciumannya mendapati harum masakan. Otaknya lantas memerintahkan matanya terbuka perlahan. Dengan heran Pak Sapto terjaga dari tidurnya. Dia yang telentang di lantai ruang depan bergerak perlahan untuk duduk. Dia melihat Wati tersenyum padanya. Anaknya itu duduk dengan wajah segar sehabis mandi. Dia masih bingung telah tersaji nasi hangat, cah kangkung, telor ceplok diberi bumbu cabai, serta ikan bandeng goreng. Semua makanan itu jelas masih hangat dan menggugah selera. Dia menelan ludah karena perutnya mendadak minta diisi.Bu Erna datang dari ruang tengah sambil membawa seteko teh hangat. “Makan dulu,” katanya pada Pak Sapto dengan ramah. Dia duduk di sebelah Wati, lalu menuangkan teh hangat ke dalam gelas dan menaruhnya di dekat Pak Sapto.Pak Sapto tersenyum canggung. Dia meneguk teh hangat itu perlahan. Dia masih bingung dengan sikap Bu Erna yang mendadak baik. Dia jadi bertanya-tanya, apa yang membuat istrinya itu pulang, lalu bisa dan mau menyediakan makanan sebegini mewah
Sedari pagi Pak Sapto mengojek. Meski penghasilannya tetap sedikit, dia merasa lega. Pasalnya, nanti malam dia akan bertemu dengan pembeli motornya. Hari ini seperti menjadi hari perpisahan dengan motornya itu. Kendati lahir perasaan senang, tetapi dia juga sedih. Dia bahagia karena telah mendapat jalan keluar dari masalahnya. Dia sudah mendapatkan solusi terbaik meski risikonya harus merelakan motor yang sudah bertahun-tahun bersamanya.Dia sempat berpikir menemui Pak Hardi dan Mak Gaple untuk memberi tahu mereka bahwa akan membayar utangnya nanti malam. Namun, dia urung karena diserang perasaan malu. Dia pun memutuskan nanti saja setelah mendapat uang pembayaran motor, dia langsung menemui kedua orang itu dan melunasi utangnya. Meski tetap malu, tetapi membawa uang untuk melunasi semuanya tentu perasaannya jadi lebih lega. Uang akan membuatnya lebih percaya diri.Sudah seminggu ini pula dia tidak menghubungi Bu Erna dan Wati. Dia membiarkan istri dan anaknya itu tetap di rumah me
Pak Sapto terus berusaha melunasi utang-utangnya, terutama terhadap Pak Hardi dan Mak Gaple. Dia masih enggan ke pangkalan ojek karena malu bertemu kedua orang itu. Dia merasa bersalah telah menghancurkan kepercayaan orang-orang baik itu. Namun, upayanya masih sulit. Penghasilannya mengojek cuma bisa buat makan dan beli bensin. Yang paling menyebalkan, dia masih saja membeli rokok. Dia kesal pada diri sendiri karena sudah kecanduan rokok dan tak bisa—lebih tepatnya tak mau—berhenti, sehingga pendapatannya yang sedikit itu habis juga untuk membeli rokok. Dari hari ke hari penghasilan Pak Sapto bukan membaik, tetapi malah menurun. Sudah tahu begitu, dia tetap tidak mau berhenti merokok. Dibelinya juga gulungan tembakau itu. Bahkan, dia rela tidak makan siang asal bisa merokok. Perutnya yang lapar dia ganjal dengan minum kopi. Dalam keputusasaan yang kian mendalam, Pak Sapto menghentikan motornya di sisi jalan raya. Sementara itu, waktu sudah bakda isya. Di dekat taman kota itu dia me
Sementara di sore itu pula Wati hanya bisa menyimak percakapan Pak Sapto dan Bu Erna dari ruang tengah. Dia duduk di tepi ranjang dengan hati sedih dan gelisah. Dia khawatir Pak Sapto dan Bu Erna bertengkar dengan suara keras, tetapi batinnya lumayan melega karena perdebatan kedua orang tuanya bisa teredam. Sebelumnya, dia sangat khawatir Bu Erna marah-marah dengan suara meledak, tetapi kekhawatiran itu tidak terjadi. Namun, dia tahu pasti hati Bu Erna terlukai dengan sikap Pak Sapto. Dia paham betul kalau ibunya sangat kecewa terhadap bapaknya yang ternyata telah berutang ke beberapa orang. Wati sebenarnya juga kecewa kepada Pak Sapto, tetapi dia mau mencoba mengerti posisi bapaknya itu. Dia yakin sekali Pak Sapto terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan dia dan Bu Erna. Dia berpikir, mungkin Pak Sapto tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang supaya dia dan Bu Erna tetap bisa makan selain mendapat tambahan uang dari berutang. Dia paham sekali pendapatan mengojek ja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments