Hendi ingin bertanya lebih lanjut mengenai keluarga Karmila, tetapi urung. Dia bisa melihat tembok tebal yang sengaja dipasang Karmila untuk menghalanginya. “Setiap orang punya rahasia,” batinnya.Sepi sesaat yang kemudian pecah oleh bunyi-bunyi dari dalam perut Karmila. Hendi menoleh, wajah Karmila memerah.“Kamu pasti lapar, ya?” Hendi tersenyum geli. “Tungguin, deh, aku keluar dulu beli nasi padang.” Hendi beranjak keluar kamar.“Lauknya dua ya, Bang!” Karmila berseru.Hendi geleng-geleng kepala sambil tetap tersenyum geli. Saat itu di matanya, Karmila nampak seperti kucing liar yang kelaparan dan tidak punya rumah. “Bedanya cuma satu, kucing liar yang ini gundul,” kembali Hendi membatin sambil tertawa sendiri.Tidak lama kemudian Hendi sudah melaju dengan kendaraannya menuju restoran yang tidak jauh dari rumahnya. Dia mengambil jalan yang biasa, jalan yang sama dengan yang sering dia lewati. Awalnya tidak ada yang aneh, dia sudah hapal dengan pemandangan yang ada di kanan kiri jal
Keberadaan Karmila memang mengubah semuanya. Episode manik depresif Nurlaila semakin berkurang, nyaris hilang. Kondisi mental perempuan paruh baya itu jadi lebih stabil dari hari ke hari.“Karmila, kamu sedang apa?” Dari balik jendela kamarnya, Nurlaila menyapa Karmila yang tengah bermandikan peluh di kebun yang ada di samping jendela kamar Nurlaila.“Oh, aku sedang cabutin rumput, Mah, ternyata banyak harta karun di sini, ya?” Karmila menjawab sambil cengengesan.“Hah? Harta karun apa?”“Sini, Mah, aku tunjukkan!” Karmila melambaikan tangannya meminta Nurlaila untuk keluar dari kamarnya.Nurlaila tersenyum ragu. Sejak dari rumah sakit dia belum pernah sama sekali melangkahkan kakinya bahkan sekedar ke teras rumah. Sesuatu menahannya di rumah itu, atau lebih tepatnya lagi, sesuatu mengancamnya. Bayangan hitam yang membuntuti Nurlaila saat dia mengalami kecelakaan belum sepenuhnya hilang, setidaknya dari dalam pikirannya. Baik ketika dia terjaga atau tertidur, bayangan hitam yang sama
Karmila melongo, tidak mampu berkata-kata. Dia masih tidak dapat memercayai pendengarannya, apakah Hendi benar sedang melamarnya?Tawa Hendi seketika meledak. “Bercanda! Mukamu gitu amat, sih?”“Ck! Kalau Abang kayak gini ke cewek lain, udah pasti kena gampar!” Karmila cemberut.“Ikut aku, yuk!” Hendi berdiri, serta merta menarik tangan Karmila tanpa menunggu jawaban darinya.“Eh, ke mana?”Hendi meraih helm, memakaikannya pada Karmila, sambil menjawab, “Ke dukun.”“Hah? Mau ngapain ke dukun? Aku enggak ikutan, ah, serem amat!”Karmila berusaha menolak, tetapi Hendi tidak peduli, dia mendorong-dorong Karmila, memaksanya untuk membonceng motornya.“Sudahlah! Daripada bengong aja di rumah, kan? Entar malah kesambet uka-uka!” seloroh Hendi sambil naik ke atas motornya. “Sini, cepat!” Hendi menepuk-nepuk jok belakang motor.Karmila akhirnya menurut, dia melompat ke atas boncengan motor sambil menggerutu.“Pegangan, ya!” perintah Hendi lagi.Karmila melingkarkan tangannya ke pinggang Hendi
“Kamu ngomong apa?” Hendi berdiri dari kursinya, mendorong Dirga sekadar untuk mendapatkan perhatiannya.Dirga memalingkan wajahnya dari Karmila, ganti mendelik kepada Hendi. “Ada urusan apa kamu dengan Karmila?”“Aku yang harusnya tanya begitu!” Hendi kembali mendorong Dirga dengan kasar.“Kuingatkan, kau sudah dua kali mendorongku. Kau belum puas, ya, kubikin babak belur kemarin itu? Ayo, keluar! Aku enggak mau bikin keributan di sini.” Dirga menantang Hendi.Melihat situasi di antara keduanya semakin memanas, Karmila buru-buru menengahi. “Tolong, hentikan, Guys! Orang-orang pada lihat ke sini, tahu?”Dirga menghela napas panjang, lalu menarik kursi kosong, duduk di antara Hendi dan Karmila. “Aku menuntut sebuah penjelasan,” ujarnya dingin.Hendi menatap Karmila bingung.“Duduk, dulu, Bang,” pinta Karmila.“Bang? Kamu panggil si Brengsek ini dengan sebutan Abang, tapi kamu langsung memanggilku dengan sebutan nama?” Dirga memandang Karmila dengan gusar. “Kamu kira, berapa usia bocah
“Jangan membantahku, Karmila! Suka atau enggak, kamu harus ikut aku pergi!” Sekonyong-konyong Dirga mengangkat tubuh mungil Karmila, membopongnya begitu saja bagai membawa sekarung beras di atas pundaknya.“Dirga! Apa-apaan, sih, kamu!” Karmila mencoba melawan, tetapi kekuatannya tidak ada artinya dibandingkan dengan Dirga.Dirga membawa Karmila keluar dari kedai, Hendi cepat-cepat menyusulnya setelah sebelumnya dia meletakkan lembaran uang ke atas mejanya.“Kau mau bawa Karmila ke mana?” teriak Hendi.“Pulang! Aku akan mengurusmu nanti,” bentak Dirga. “Karmila!” Hendi kembali berteriak, memanggil nama Karmila.Karmila menepuk-nepuk pundak Dirga. “Hei, raksasa! Turunkan aku! Aku janji akan ikut denganmu, tapi aku enggak mau pergi begitu aja. Ada yang harus aku bicarakan dengan Bang Hendi.”“Apa aku bisa percaya sama kamu?” Dirga bertanya.“Oh, please, Dirga! Jangan bersikap seperti bocah!” Karmila memutar bola matanya kesal.Dirga pun menyerah dengan keinginan Karmila. Dia
Untuk kesekian kalinya darah bisa saja kembali tumpah di dalam kediaman almarhum Suroso, satu nyawa lagi bisa hilang, andai Hendi terlambat menghindar. Sedikit lagi, pisau Nurlaila akan menusuk tepat ke ulu hatinya. Hendi selamat, meski pisaunya sempat menggores lengannya.“Mama, maaf, tapi aku terpaksa harus menghentikan Mama.” Hendi menangkis serangan Nurlaila, menangkap tangan Nurlaila yang menggenggam pisau, lalu berusaha sedemikian rupa sampai Nurlaila menjatuhkan pisaunya itu.Pisaunya memang terlepas sudah, tetapi situasinya belum aman untuk Hendi. Nurlaila tidak dalam keadaannya yang wajar. Sesuatu yang ghaib telah merasuki pikirannya sehingga dia mampu melakukan hal-hal yang diluar akal sehat. Nafsu membunuhnya masih belum sirna. Mata Nurlaila yang hanya tinggal satu seakan-akan menyorotkan dendam membara yang berkobar bagai api, memberangus kewarasannya sekaligus.“Mati! Kau harus mati, anak durhaka!” Nurlaila menyerang Hendi dengan tangan kosong, membabi buta.Hendi hanya b
“Cowok sial itu pasti sudah menyihirmu!” sembur Dirga marah mengetahui betapa keras kepalanya Karmila membela Hendi.Karmila menyibak selimutnya, turun dari ranjang, berdiri di hadapan Dirga sambil berkacak pinggang. “Kali ini aku benar-benar akan membunuhmu!”Sebelum Dirga sempat bereaksi, Karmila sudah mengeluarkan jurusnya, dengan mudah dia membanting tubuh besar Dirga ke lantai. Dirga pun meraung kesakitan.“Dasar cewek sinting!” maki Dirga.Kandita yang sedari tadi asyik menikmati tehnya berdiri tertawa terpingkal-pingkal. “Ah, Ibu senang kamu kembali, Sayang. Rumah ini jadi ramai.” Setelah berkata demikian, perempuan anggun itu berdiri, lalu melangkah keluar kamar dengan santai.Sebelum Kandita benar-benar menghilang dari balik pintu, Karmila menjawab sapaan Kandita dengan teriakan. “Aku akan pergi lagi dari sini, Bu. Sungguhan! Kalau bukan karena raksasa satu ini, aku enggak akan mau pulang.” Karmila kembali mendelik kepada Dirga.Mendengar Karmila, Kandita tidak berkata apa-ap
Dirga tidak pernah mengatakan apa-apa kepada Karmila mengenai semua rasa sakit dan dendamnya atas kematian Maya. Karmila adalah satu-satunya orang yang perasaannya ingin dia lindungi, Dirga tidak mau mengecewakan Karmila. Karmila tidak boleh tahu bagian tergelap dari dirinya.Namun, saat Karmila menyebutkan bahwa dirinya adalah pembawa kematian, Dirga sadar kalau dia tidak bisa lagi menyembunyikan segalanya dari Karmila. Sama seperti Kandita, Karmila pun perempuan istimewa dengan bakat dan kemampuan spiritualnya yang unik, dia bisa melukis kematian sebelum itu benar-benar terjadi. “A-aku enggak ngerti sama sekali dengan omonganmu.” Dirga berkelit.Karmila bisa melihat kegelisahan Dirga. Dengan tampang serius dia berkata, “Apa ini ada hubungannya dengan perkataan Bang Hendi tentang kamu?”Emosi Dirga terpancing setiap kali mendengar nama Hendi keluar dari bibir Karmila. “Hendi, Hendi, Hendi terus! Apa pedulimu dengan cowok itu? Kamu ada utang apa sama dia sampai kamu segitunya belain