Nurlaila menemukan suaminya, Suroso, tewas bersimbah darah di atas ranjang. Kematian Suroso begitu mengerikan dan sulit diterima nalar. Entah makhluk apa yang telah membunuhnya, dan kenapa, sebab tak lama setelah Suroso tewas, satu per satu orang di sekitar Suroso juga mengalami nasib yang sama.
View MorePagi buta di kediaman Suroso, jeritan keras mengejutkan seluruh penghuni rumah. Jeritan panjang, histeris menggema tanpa putus dari balik pintu kamar utama di rumah berlantai dua itu. Asalnya dari Dahlia, perempuan yang baru saja menjadi istri muda Suroso.
Bik Yanti, pembantu rumah, tergopoh-gopoh keluar dari dapur menuju sumber suara. Karno, sopir pribadi Suroso, mengikutinya dari belakang sambil berlari kecil. Dari lantai dua, Hendi, putra semata wayang Suroso, menuruni tangga dengan langkah cepat.
“Bu? Pak? Ada apa?” Bik Yanti menggedor-gedor pintu dengan panik.
“Ada apa, Bik?” tanya Karno.
“Mbuh, No, aku, ya, ora paham, enggak tahu. Lah, ini pintunya dikunci dari dalam, aku enggak bisa buka. Piye, yo, No?”
Sekali lagi mereka menggedor-gedor pintu sambil memanggil-manggil Dahlia dan Suroso. Namun, yang dipanggil seakan-akan tidak mendengar dan terus menjerit histeris.
“Karno, ayo, kita dobrak saja pintu kamar Papah. Cepat!” Hendi berseru cemas. Hatinya gelisah, entah apa yang sedang terjadi di dalam kamar bapaknya itu. Suara jeritan Dahlia terdengar menakutkan sekaligus menyayat batinnya.
“Apa-apaan ini, heh? Subuh-subuh, kok, sudah jerit-jerit bikin ribut?” Nurlaila, istri pertama Suroso datang menghampiri. Dengan isyarat tangan, dia memerintahkan agar mereka semua mundur sehingga dia sendiri yang melangkah mendekati pintu dan menggedornya sambil berteriak marah, “Dahlia, apa sudah gila kamu? Berhenti teriak-teriak, buka pintunya! Heh, perempuan sundal! Cepat buka pintunya! Pah? Papah, sampeyan juga di dalam, kan? Ayo, buka pintunya!”
Jeritan Dahlia seketika berhenti. Orang-orang bergeming di depan pintu, menanti. Namun, hening, tidak ada tanda-tanda pergerakan apa pun. Sampai beberapa menit kemudian, Nurlaila dengan tak sabaran meraih gagang pintu, berusaha membukanya, tetapi tidak bisa. Pintunya masih terkunci, menyembunyikan segala apa yang sedang terjadi di dalamnya.
“Cukup!” Nyonya Nurlaila mendengkus kesal. “Karno, Hendi, jebol pintunya, pecahkan kaca jendelanya! Ini mesti ada apa-apa di dalam. Sudah kuduga, sundal itu pasti akan bawa masalah.”
Kesabarannya habis sudah. Sejak awal suaminya memperkenalkan Dahlia sebagai bakal madunya, Nurlaila punya firasat tidak enak; bukan sekadar firasat biasa layaknya seorang istri yang dikhianati oleh orang ketiga dalam rumah tangga mereka. Bukan itu! Sudah bukah hal yang baru jika suaminya, Suroso, tuan tanah paling kaya di kampung mereka, punya perempuan simpanan yang jumlahnya satu, atau dua, atau bahkan lebih. Nurlaila tahu semua kebejadan suaminya, tetapi tidak terlalu peduli.
Bagi Nurlaila, perempuan-perempuan itu hanyalah gundik bayaran sang suami, pemuas nafsu, penghangat ranjang belaka. Dia justru bersyukur karena tidak lagi harus repot-repot meladeni suaminya di atas ranjang dan bisa tidur nyenyak sepanjang malam di kamarnya sendiri.
Sudah belasan tahun ini mereka pisah ranjang. Nurlaila memindahkan semua barang-barang pribadinya ke kamar tamu, dan mengubahnya menjadi kamarnya sendiri. Kamar itu memang tidak sebesar kamar utama yang pernah dia tempati bersama suaminya, tetapi udaranya lebih segar, jendelanya bisa dia biarkan terbuka kapan saja. Kamar utama di rumah itu boleh saja menjadi ruangan paling besar dan mewah, dipenuhi koleksi-koleksi barang antik mahal milik suaminya, tetapi dia tidak pernah tahan dengan aromanya. Hidungnya senantiasa menangkap bau busuk yang menguar dari setiap pori dinding-dindingnya, menempel lengket di kulit suaminya. Dia tidak sanggup lagi kalaulah harus memeluk apalagi bergumul menuruti syahwat suaminya yang besar itu. Nurlaila bisa-bisa pingsan demi mencium kebusukan suaminya sendiri.
Dahlia, dan gundik-gundik yang lain, tidak mencium bau busuk apa pun dari Suroso selain aroma parfum bermerk yang dijual terbatas, dan dipromosikan mampu memikat lawan jenis. Namun, berbeda dengan perempuan lain yang rela dan sudah merasa cukup hanya dengan menjadi simpanan, Dahlia menuntut untuk dinikahi Suroso.
“Pah, aku enggak terima kalau perempuan gatel itu kamu nikahi lalu masuk ke rumah kita. Sampeyan silakan main dengan perempuan lain di luar sana, tapi tulung jangan dibawa pulang, apalagi sampai dinikahi. Eling, Pah, inget! Perempuan itu lebih pantas jadi menantumu ketimbang istrimu! Mau ditaruh di mana mukaku nanti di hadapan keluarga besar kita? Aku malu, Pah, maluuu!” seru Nurlaila, air mata turun membasahi wajahnya.
“Halah, diam kamu!” Suroso membentak istrinya itu. “Kamu itu sudah tua, sudah mandul, cuma bisa kasih aku satu anak saja, kok, ya, cerewetnya bukan main? Aku kepingin punya anak lagi dan Dahlia telah mewujudkan keinginanku.”
“Apa? Apa itu berarti Dahlia sudah kamu hamili? Ya, Gusti!” Tangisan Nurlaila semakin kencang. Tubuhnya luruh, dia menjatuhkan diri ke lantai, memukuli dadanya sendiri berkali-kali. “Ampuni aku, Gusti! Kenapa sial sekali nasibku memiliki suami seperti ini?”
Suroso yang sudah gelap mata hatinya tidak ambil pusing dengan penderitaan istrinya itu. Angan-angannya sudah disesaki oleh bayangan kecantikan Dahlia beserta tubuh moleknya yang membangkitkan gairah. Sekali, dia sudah pernah mencicipi tubuh Dahlia, mereguk wangi dari setiap lekuk dan lipatan tubuhnya, menikmati lenguhan manis yang keluar dari bibir mungilnya setiap kali tangannya menyentuh kulit mulusnya. Sekali tidak pernah cukup, meski dari yang hanya sekali itu telah berhasil membuat Dahlia berbadan dua.
Kurang dari satu bulan setelahnya, pernikahan kedua Suroso dengan Dahlia, gadis kembang desa yang usianya separuh dari usia Suroso, digelar besar-besaran. Warga satu kampung diundang ke acara resepsi yang dilangsungkan selama tiga hari tiga malam.
Dan, pagi itu ketika pintu kamar Suroso akhirnya berhasil dibuka paksa, sebuah pemandangan mengerikan terhampar. Pemandangan yang membuat Nurlaila menjerit ketakutan sebelum akhirnya roboh tak sadarkan diri. Hendi membeku, wajahnya sepucat kertas. Karno tidak henti-hentinya mengucap istighfar. Bik Yanti lari ke depan rumah sambil berteriak minta tolong.
Di kamar itu. Dahlia berdiri di sisi ranjang. Dia diam, tidak lagi menjerit-jerit. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Rambut panjangnya tergerai acak-acakan. Sosoknya seperti hantu dalam gaun tidur tipis berwarna putih. Dari tangannya yang terkulai lemas, menetes darah segar.
Darah itu bukanlah darahnya, melainkan darah dari Suroso yang jasadnya terbaring di atas ranjang dengan perut terkoyak, menganga terbuka, mempertontonkan ususnya yang terburai keluar.
“Bukan aku, bukan aku yang melakukannya.” Dengan pandangan kosong, Dahlia terus mengulang-ulang perkataannya.
Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai
Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera
Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka
Berjalan lurus ke timur, menyeberangi sungai ratapan, mendaki bukit raungan, menuruni lembah keputusasaan, itu semua adalah rute yang harus dilewati Nurlaila untuk bisa sampai ke tempat Anggita berada. Ki Gendeng memberitahu semua itu dengan begitu santainya seperti layaknya seorang guide sedang memberi informasi destinasi wisata apa saja yang akan mereka lalui.Nurlaila tahu, nama yang tersemat di semua tempat yang disebutkan Ki Gendeng itu bukanlah sekadar nama saja, melainkan kejadian sesungguhnya. Sungainya benar-benar sungai yang terbentuk dari air mata ratapan para makhluk pendosa, bukitnya benar-benar bukit yang berisik oleh raungan para jiwa yang tersesat, dan lembahnya benar-benar lembah yang berdasarkan keputusasaan, kegagalan, penyesalan. Hanya mereka yang punya jiwa berani dan tulus yang bisa melewati semua itu.“Bagaimana? Benar masih mau lanjut?” tanya Ki Gendeng lagi.Nurlaila mengangguk mantap. “Sudah kadung, Ki.”“Baiklah, ayo kita jalan!”Nurlaila dan Ki Gendeng mela
“Ki, tolong saya.” Nurlaila bersimpuh. “Tolong selamatkan putraku, Hendi. Aku yakin betul kalau dia terjebak di alam jin dan tergoda oleh para lelembut di sana sehingga tidak bisa kembali. Kalau dibiarkan terus seperti itu, aku takut selamanya Hendi akan berada di sana. Raganya tidak akan bisa bertahan terlalu lama tanpa kehadiran jiwanya.”Ki Gendeng manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak kasat mata sebab dagunya sendiri licin tanpa ditumbuhi sehelai bulu cambang. “Kalian ibu-anak, sukanya memang cari masalah saja. Kenapa sih kalian tidak hidup tenang dan baik-baik saja menjalani hidup tanpa harus berurusan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain? Makhluk-makhluk yang kalian sendiri tidak pahami. Toh, pada akhirnya justru kalian sendiri yang dimanfaatkan mereka, diperdaya habis-habisan. Tidak akan pernah ada seorang pun manusia yang sungguh-sungguh beruntung jika melakukan transaksi dengan para jin, setan, atau apalah istilah yang kalian sematkan itu.”“Termasuk Aki
Sosok yang berada di depan Nurlaila menyerupai seorang lelaki muda berparas tampan. Lelaki itu berdiri dengan gagah sambil tangannya bersidekap di depan dada.“Ini aku, kamu lupa kepadaku, ya?” tanyanya.Nurlaila memiringkan kepala, bingung. Meski dia yakin dari suaranya, sosok itu adalah Ki Gendeng, tetapi penampakannya amat sangat berbeda. Sejak kapan Ki Gendeng menyerupai manusia?“Aki?” jawab Nurlaila ragu.“Cih, aku sudah mengubah penampilanku sampai seperti ini masih juga kamu sebut aku Aki-aki?” Sosok pemuda itu mendengkus sebal.“Astaga! Benar ini kau, Ki Gendeng? Ganteng benar rupanya kau! Jadi, harus aku panggil apa sekarang? Gendeng, begitu? Tanpa ada sebutan Aki di depannya karena sekarang wujudmu tidak lagi ular tanah pendek gemuk?” Nurlaila cekikikan antara geli dan lega.“Ah, sudahlah lupakan! Panggil aku saja seperti biasanya. Ki Gendeng. Tapi apa lagi yang kamu lakukan di tempat ini, heh? Kamu apa sudah lupa betapa sulitnya aku membantumu untuk bisa keluar dari tempat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments