Kelas musim panas di Yogyakarta Multicultural University (YMU) telah mengantarkan Irene Yocelyn, Raka Januar, dan Lee Yo-han pada petualangan mistis di Situs Arkeologi Landheyan. Gangguan energi metafisika, pertukaran jiwa, sampai ditemukannya tulang belulang manusia dalam situs mengungkap fakta penting tragedi pembunuhan masal yang selama ini terkubur begitu saja.
Lihat lebih banyakSuara mesin pencetak terdengar sangat bising, mengisi setiap ruang kosong di sebuah paviliun bercorak arsitektur jawa kuno. Waktu baru menunjukkan pukul tiga pagi, tapi Januar sudah mulai beraktivitas, mengawali hari dengan mencetak hasil sketsa gambar digital yang dibuatnya sekitar dua jam lalu. Tidak ada alasan lain mengapa ia begitu sering melakukannya di waktu dini hari selain karena pikirannya yang bekerja tak terduga.
Meski paviliun yang ditempatinya sepi, Januar cukup beruntung karena ia tak pernah sendirian di dalam ruangan bercorak mistis itu. Banyak ‘orang’ menemaninya, mengajaknya berinteraksi lewat kata, gerak, dan sentuhan.
“Jan, kata gue sih kayaknya lo emang salah jurusan kuliah,” ujar Rayen. Sosok astral dengan hawa panas itu tiba-tiba sudah ada di sebelah kirinya. Ia memperhatikan Januar yang menggantung hasil cetak sketsa tadi di atas benang kasur seperti jemuran
“Salah jurusan gimana? Ngak mungkin gue galau jurusan tapi tetap ngelanjutin kuliah di jurusan yang sama sampai S3,” bantah Januar. Mahasiswa doktoral itu tidak pernah ragu soal pilihan hidup.
“Lo lebih cocok jadi anak desain atau arsitektur ketimbang komunikasi. Jual nih gambar-gambar gila lo,” lanjut Rayen. Dalam sekejap mata, sosok berpakaian gaya retro compang-camping itu sudah pindah ke atas lemari jati. Ia duduk di sana, mengayun-ayunkan kaki seperti sosok hantu anak kecil yang biasanya tidur di tempat itu setiap malam Rabu.
“Gue berkomunikasi lewat gambar-gambar itu. Gambar-gambar ini juga nggak gila.” Januar mengamati satu per satu sketsa yang tergantung. Banyak hal terlintas di benaknya, hingga ia tidak bisa membuat satu makna solid atas guratan tangannya sendiri.
“Bukan gambar lo yang gila, tapi pikiran lo,” sambung sesosok lagi. Ia menguasai kursi belajar, mengamati sketsa digital Januar di layar komputer. “Apa ini potongan skenario yang sama? Gue masih nggak ngerti teka-tekinya tentang apa.”
Yoel, sosok astral berwajah pucat, berpakaian ala-ala pendaki gunung, dan berhawa dingin itu memang sama pemikirnya dengan Januar.
Januar menghela, jenuh dengan apa yang dilihatnya setengah tahun terakhir. Setiap lewat tengah malam, ia akan terbangun dari mimpi buruk abstraknya yang terasa sangat nyata. Nafasnya menderu, dan tak jarang sekujur tubuhnya basah kuyup berkeringat akibat ketakutan. Pikirannya berputar, dan setelah itu tangannya terpaksa bergerak untuk melukiskan sesuatu di atas drawing pad, kertas, tablet, atau media gambar lainnya untuk merekam penglihatan mengerikan yang dialaminya.
“Gue kira semakin kesini penglihatan itu akan semakin jelas, nggak kabur dan sekilas-sekilas, tapi nyatanya sama aja. Satu-satunya yang berbeda hanya nuansanya.”
“Puitis juga bahasa lo.”
“Ya. Belakangan ini, gue bahkan lebih sering lumpuh tidur setiap kali penglihatan itu muncul. Kalau pakai istilah perfilman, intensitas cahaya, audio, dan plot sinematografi penglihatan itu semakin rumit mirip film horor.” Januar berusaha menjelaskan sebisanya.
Yoel terlihat semakin khawatir, penglihatan tidak baik pastinya adalah pertanda sesuatu yang tidak baik juga. “Apa sama sekali nggak ada titik terang atau konteks tertentu? Lo enggak kepikiran sesuatu?”
Januar menggeleng. “Nggak ada. Sama sekali nggak ada yang bisa gue simpulkan atau tebak. Benar kata lo tadi, Yoel, selama ini cuma potongan skenario.”
“Hmm, dari pengalaman-pengalaman sebelumnya waktu lo masih remaja, lo juga ngalamin hal serupa. Potongan-potongan penglihatan lo itu ternyata menjadi semacam …spoiler, ‘kan?” Rayen sukarela untuk sedikit berpikir. Biasanya ia akan sangat malas dan memilih tidur ketika dua orang pintar itu berdiskusi memecahkan teka-teki.
“Yang mana? Tsunami di Laut Selatan waktu itu?”
Rayen mengangguk, berpindah tempat ke meja di antara Yoel dan Januar. “Ya, tapi bedanya waktu itu lo menceritakan skenario yang lebih jelas. Beberapa bulan kemudian, hal yang persis terjadi. Gue pikir penglihatan lo kali ini lebih bertahap. Ada baiknya lo bersyukur karena itu nggak membuat lo kaget setengah mati kayak waktu itu.”
Januar dan Yoel kembali berpikir. “Kira-kira apa kali ini? Gue terus mendengar jeritan manusia. Banyak sekali manusia…” gumam Januar.
“Gimana cara mereka menjerit?” tanya Yoel. Pertanyaannya terdengar sepele, membuat Januar mengerutkan dahinya. “Ya …menjerit. Masa nggak tau gimana orang menjerit?”
“Butuh gambaran lebih jelas aja dari lo.” Yoel bersikeras.
Januar menggeleng. “Gak bisa, Yoel. Terlalu mengerikan. Gue sampai merinding kalau teringat apa yang gue lihat dan rasakan di penglihatan itu.”
“Halah, udahlah, enggak usah dipikirin. Biar aja mengalir seiring waktu.” Rayen turun dari lemari, pindah ke dekat jendela. “Mending kita ke sungai sekarang, Yoel. Gue mau ikut Januar ke kampus. Kita butuh energi banyak.”
“Kampus? Lo ngapain ke kampus? Ini libur semester, ‘kan?”
Januar membanting tubuhnya ke atas kasur, mencoba melanjutkan tidur sebelum matahari terbit. “Ada summer class.”
“Lah, sejak kapan di Indonesia ada musim panas?”
“Emang nggak ada musim panas, tapi program semester pendek kali ini dibarengin sama program buat mahasiswa internasional yang ikut program summer class di YMU. Baguslah, menambah relasi.”
“Lo serius mau ikut kelas arkeologi?”
“Hm. Udah nggak usah banyak tanya. Pergi sana lo berdua!” usir Januar, ingin menenangkan dirinya sejenak tanpa gangguan dua makhluk astral beda hawa itu.
“Heran gue. Ngapain anak komunikasi ngurusin artefak purba?” Yoel masih skeptis.
Januar yang katanya berpikiran lebih terbuka itu hanya mengedikkan bahunya. “Penasaran aja gimana rasanya jadi arkeolog. Katanya program itu banyak field trip ke situs arkeologi di hutan-hutan. Lumayan, ‘kan? Liburan gratis.”
“Masalahnya, apa Eyang Kakung bakal ngizinin lo pergi ke hutan begitu?” tanya Yoel ragu. “Gue sih enggak yakin.”
Ah, Eyang Kakung. Pria lewat paruh baya itu selalu melarang Januar pergi ke tempat yang tidak dikehendakinya. Semua itu karena kelebihan indra keenam Januar yang katanya dapat membahayakan diri sendiri jika sembarangan mendatangi tempat-tempat dengan energi nutfah alias alami seperti pegunungan, dan tempat eksotis terpencil.
“Bakal sulit, tapi gue akan tetap pergi. Selama ini Eyang terlalu takut gue kenapa-kenapa, padahal nyatanya gue baik-baik aja.”
Rayen menggeleng tak setuju. “Memang ada baiknya lo enggak pergi ke tempat-tempat begitu, Jan. Bahaya. Gue kapok juga kalau Eyang marah-marah lagi dan ngusir gue kayak dulu karena enggak bisa jagain lo. Gue mau tinggal di mana nanti?”
“Masih ada kolong jembatan atau kuburan. Santai.”
“Nih orang emang—”
“Nggak, Jan. Bener kata Rayen. Lo jangan ngelawan Eyang.” Yoel memperingatkan sekali lagi, tapi Januar keras kepala. “Gue harus bertanggung jawab atas kelebihan gue sendiri, Yoel. Gue juga penasaran dengan arti penglihatan itu, dan barangkali gue akan menemukan jawabannya kalau gue pergi ke tempat baru.”
“Penglihatan itu terlalu janggal. Gimana kalau memang akan terjadi sesuatu yang buruk dan seharusnya …bisa gue cegah?”
Januar kembali dari mengurus administrasi rumah sakit dengan membawa beberapa makanan di tangannya. Langkahnya sendiri lesu, bahkan tangannya masih sedikit gemetar setelah membawa Christian, Wendy, Deri, dan Yo-han keluar dari Landheyan. Januar yakin, ada hubungan antara gempa yang terjadi, energi Landheyan, serta Wendy dan Yo-han yang belum sadarkan diri sampai saat ini. Namun, baik Januar, Yoel, dan Rayen belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi sebelum dua orang itu setidaknya membuka mata. Januar juga tidak bisa mengatakan hal-hal yang membuat Irene bingung. Gadis itu sudah cukup histeris ketika dua teman dan profesornya hampir kehilangan nyawa di bunker situs itu. Oh, dan mungkin ada sentimen lain untuk sang profesor. Setidaknya itu yang ditangkap Januar ketika melihat Irene yang acak-acakan masih terus berdiri di sisi Christian sembari memandanginya iba. Tatapan itu bukan tatapan seorang mahasiswa pada dosennya, tapi lebih dari itu, lebih terlihat seperti wanita pada s
Irene, Januar, dan tim medis berlarian menuju Landheyan sepuluh menit usai gempa berhenti. Mereka mengambil jeda untuk mengantisipasi gempa susulan, tapi mereka pun tak bisa menunggu lebih lama ketika Christian, Wendy, Yo-han, dan Deri tak kunjung kembali dari situs. Itu sudah cukup menandakan bahwa mereka tidak baik-baik saja, dan kini, pemandangan Landheyan usai gempa pun semakin mengkhawatirkan.Masih di bawah guyuran hujan, situs itu berantakan. Puluhan tiang dan dinding dari bebatuan kuno itu patah, dengan retakannya yang berserakan tak beraturan. Sebagian besar tanah di sisi kiri amblas, dan kemungkinan itulah penyebab timbulnya suara suara gemuruh besar tadi.“Di mana tadi kita berhenti?”“Di sana!”Januar mendekat ke arah tunjuk Irene, ke tumpukan batu yang beberapa waktu lalu disebut Christian sebagai gerbang. Nahas, gerbang tumpukan batu itu kini sudah runtuh tak berbentuk.“Kemungkinan mereka ada di sana, di dalam bunker! Pintu aksesnya sudah dibuka,” seru Irene, mengingat
Januar membawa semangkuk nasi instan beserta lauk pauk instan seadanya untuk Irene. Gadis itu berbaring di tenda medis sembari terus memegang pelipisnya. Januar menyimpulkan bahwa sakitnya Irene memang disebabkan oleh kejutan energi dari Landheyan, ditambah ia belum sepenuhnya pulih dari insiden gas air mata semalam.Januar lantas duduk di kursi sebelah tempat tidur, mengipas-ngipas nasi instan agar tidak terlalu panas. Udara di sekitar Landheyan memang menjadi lebih dingin karena hujan yang baru saja mengguyur, tapi itu tak cukup. “Kalau nggak ada saya, lagi-lagi kamu udah celaka. Tadi bisa aja kamu malah terperosok ke jurang dan itu akan lebih merepotkan.”Irene memutar matanya malas, tapi Januar sebenarnya berlebihan. Memang ada jurang di kiri dan belakang mereka tadi, dan Irene pun baru sadar bahwa mereka telah gegabah dengan berdiri di atas tebing curam.“Udah agak dingin. Kamu bisa makan sendiri, atau …”“Nggak usah aneh-aneh.” Irene merebut mangkuk nasi instan yang masih sediki
Ini adalah hari kedua kelompok tiga berada di Landheyan, dan sudah saatnya mereka melakukan sesuatu. Ah, seharusnya mereka bisa bermain-main sehari lagi, tapi Januar yang semena-mena itu memaksa mereka untuk berpanas-panasan di atas tanah cadas berpasir.“Kenapa jauh sekali lokasinya? Aku kira dekat dari gerbang itu.” Lee Yo-han kembali mengeluh, karena Christian yang belum juga berhenti setelah lima belas menit mereka berjalan dari tenda.“Udah dekat, kok. Landheyan ini komplek, susunannya seperti perumahan. Jadi, hati-hati aja kalau kalian nyasar,” peringat Christian seraya menunjuk area Landheyan yang katanya memiliki luas lebih dari lima hektar.“Kalau nyasar gimana, Prof?” tanya Wendy.“Kalau nyasar Irene yang mau nyari.”Semua perhatian lekas tertuju pada Irene. Selain Januar yang dimusuhi karena memajukan jadwal, gadis itu juga ikut dicibir karena meminta Christian agar mereka bekerja lebih keras dibanding kelompok lain dengan dalih ‘kelompok spesial’. Ayolah, tidak semua anggo
Pensil, penghapus, dan marker berwarna-warni. Christian masih terus berkutat dengan perkamen besar berisikan peta situs yang perlu ia pastikan kesesuaiannya dengan pengamatan di lapangan. Ia sudah mengunjungi lebih dari setengah bagian situs itu sebanyak dua kali, tapi itu belum membuatnya mudah mengingat fitur dan jalur rumit di dalamnya. “How the fuck is …” “Profesor?” Christian lekas menoleh ke arah pintu tenda ketika seseorang menginterupsi kepusingannya. Ah, ia bahkan mengumpat, dan sialnya lagi yang memergoki itu adalah mahasiswanya sendiri, Irene. “Oh, kapan kamu datang?” tanya Christian cuek, lekas kembali lagi pada perkamennya. Ah, sejujurnya reaksi itu membuat Irene sedikit kecewa. “Baru tadi, Prof. Saya mau ngasih barang-barang yang Anda minta,” ujarnya seraya menaruh satu kotak kayu berisi perkakas penggalian dasar. “Boleh diperiksa kelengkapannya dulu, Prof.” “Oke. Gak perlu diperiksa, saya yakin kamu bukan orang pelupa. Silakan kembali dan bebas beraktivitas. Terima
Januar membasahi sapu tangannya dengan air mineral dalam botol yang ia beli dari minimarket terdekat. Irene masih tak sadarkan diri di mobil, dan wajahnya yang terkena gas air mata harus segera dibasuh sebelum efek samping gas air mata itu merusak wajahnya lebih parah. Rasanya Januar terbebani sekali karena harus mengurus Irene yang pingsan, tapi mana mungkin juga ia membiarkannya? Mau tak mau Irene menjadi tanggung jawabnya saat ini.“P—permisi, maaf …” Januar gemetar ketika tangannya harus menyentuh wajah pucat Irene. Sedikit demi sedikit ia menyeka bagian wajah gadis itu yang memerah. Mulai dari dahi, pipi, hidung, dan dagu.“Ck! Memar gini. Ketabrak-tabrak apa gimana? Dasar nggak hati-hati,” lanjut Janua kesal. Ia masuk kembali ke dalam mobil setelah menyeka bagian wajah sampai leher Irene. Itu yang paling penting, tapi luka-luka akibat berdesakan dan jatuh di kerumunan itu juga tidak bisa diabaikannya begitu saja.Januar menghela, memajukan tubuhnya guna melihat luka di bagian pe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen