Share

Penguntit

“Ayo, Ca,” kata Irsya yang sudah membukakan pintu mobil.

Setelah keluar dari mobil, gadis itu terdiam seperti memikirkan sesuatu.

“Kak, tapi Ica malu,” ucapnya.

Meskipun sering hadir di acara keluarga Rara, tapi selama ini hanya acara antar keluarga saja, tidak seperti sekarang. Yang sepertinya ini acara formal dengan rekan kerja orang tua Rara.

“Malu kenapa? Kita kan keluarga,” ujar Irsya mencoba meyakinkan Ica, “udah ditungguin papah sama mama loh, Ca.”

Baiklah. Tak ada lagi hal yang bisa ia gunakan untuk pergi dari acara ini.

Ica berjalan beriringan dengan Irsya masuk ke dalam hotel menuju ruang acara berlangsung.

MEWAH, satu kata yang mewakili tempat ini setelah Ica masuk ke dalam sana. Dekorasi dengan dominan warna gold yang terlihat elegan menghiasi ruangan ini.

“Caa,” sapa Rara. Kemudian berdiri dari duduknya menyambut Ica.

Banyak pasang mata yang tertuju padanya dan Irsya yang sedang berjalan bersama memasuki ruangan. Ica mempercepat jalannya ke arah Rara dan mencubit pipinya gemas. Bisa-bisanya dia berteriak padahal banyak orang di tempat ini.

“Aduh! Sakit, Ca,” keluh Rara mengusap bekas cubitan di pipinya.

“Makanya jangan teriak-teriak gitu. Aku malu, Ra, diliatin banyak orang.”

“Gak tau nih mulut susah banget dikendaliin.” Rara memang sering tidak lihat situasi dan berakhir dengan kespontanannya. “Iya deh iya maaf,” kata Rara dengan menunjukkan muka sedihnya.

“Kakak tinggal dulu, ya,” pungkas Irsya.

Sepeninggalan Irsya, mereka berdua duduk manis di salah satu meja yang tersedia di sana. Karena orang tua Rara masih harus menemui tamu undangan sehingga sedari tadi mereka berdua hanya membicarakan kegiatan yang akan mereka kerjakan di semester ini.

“Sholat isya dulu, yuk,” ajak Ica.

Rara mengangguk kemudian berkata, “yuk, acara juga belum dimulai.”

Mereka beranjak menuju musolah yang sudah disediakan. Selesai sholat Rara mengeluarkan peralatan make up miliknya.

“Sini aku dandanin.“ Rara menarik tangan Ica agar lebih dekat dengannya.

“Enggak atau aku pulang?” Ica memberikan pilihan.

Ica malas saja jika harus menggunakan make up, setiap hari dirinya hanya menggunakan basic skincare lalu ditutup dengan bedak tabur dan facemist. Itupun menurutnya masih terlalu ribet, tapi untuk menjaga kesehatan kulitnya maka mau tidak mau Ica kerjakan.

“Iya ... iya!” jawab Rara pasrah.

Rara memang sangat mahir dalam urusan perdandanan bahkan semua jenis make up dia punya. Karena Ica tetap menolak maka hanya dirinya yang berdandan dan Ica hanya menunggu Rara selesai dengan kegiatannya.

Tanpa mereka sadari, sedari tadi ada seseorang dari samping musolah yang mengamati Ica dan Rara yang akan kembali ke ruangan.

“Itu kan mahasiswa tadi sore,” ucap pria itu lirih. Ia merasa jika penampilan gadis itu berubah sangat drastis dibandingkan dengan penampilan sebelumnya. Apa gadis itu juga menghadiri acara yang sama dengannya?

Namun sebelum jauh memikirkan hal itu, yang terpenting sekarang adalah ia harus segera sholat isya setelah itu pergi mencari ruangan yang telah abi-nya kirimkan dikarenakan dirinya ada urusan alhasil ia tidak datang bersama orang tuanya. Dan tanpa membutuhkan waktu lama ia telah menemukan ruangan tersebut. Banyaknya orang dalam ruangan itu membuat pria itu kesulitan mencari keberadaan abi dan umi-nya.

Praankk. Pecahan gelas sudah berhamburan ke lantai.

“Maaf ... maaf saya gak sengaja,” ucap pria itu kemudian berjongkok menyetarakan perempuan yang tengah mengumpulkan pecahan gelas tadi. Saat perempuan itu mendongak, pria itu tertegur.

“Sekali lagi gue minta maaf,” ucapnya lagi.

“Permisi, Mas, Mbak. Biar saya bersihkan.” Seorang office boy datang untuk membersihkannya.

Untung saja kejadiannya jauh dari pusat keramaian sehingga hanya sedikit yang melihatnya. Andai saja hal itu terjadi di tengah-tengah acara maka Ica akan sangat bersalah kepada keluarga sahabatnya karena telah membuat kegaduhan di acaranya, walaupun kenyataannya ia sudah membuat kegaduhan.

“Iya gak masalah, permisi,” pamit Ica pada orang yang menabraknya dan segera pergi ke toilet untuk membersihkan noda pada pakaiannya.

“Huft, untung nodanya bisa dihilangkan,” katanya sembari membersikan noda dengan tisu, “jangan ceroboh lagi, Ca, jangan mengacaukan acara ini,” ucapnya pada diri sendiri di depan cermin.

Dirasa sudah beres, Ica keluar dari toilet tersebut.

“Ini buat bersihin nodanya.” Tiba-tiba sebuah tangan terulur di depan pintu toilet yang memegang sebuah sapu tangan. “Ini ambil dan maaf buat kecerobohan gue tadi.”

“Udah aku bersihin kok, Kakak simpen aja sapu tangannya. Permisi, Kak.” Ica berjalan meninggalkan pria itu.

Di taman ini kini Ica berada. Menengadahkan kepala ke arah langit yang terdapat bulan dengan dikelilingi oleh bintang-bintang. Sepertinya ia butuh angin malam terlebih dahulu.

Dulu saat orang tuanya masih ada mereka sering duduk di balkon rumah melihat ciptaan Allah SWT di malam hari dan Ica merindukan itu sekarang.

Tak terasa air matanya sudah lolos dan membasahi pipi putihnya.

“Ambil ini, hapus air mata lo,” ucap seseorang yang sudah berada di hadapannya dan menyodorkan kembali sapu tangan yang sama.

Ica spontan menghapus air matanya dengan tangan. Pria ini mengikutinya. Pikir Ica.

“Ngapain Kakak di sini?” tanya Ica.

Pria itu meletakkan sapu tangannya di atas tangan Ica, tak peduli akan digunakan atau tidak. “Hapus air mata lo pakai ini.” Ia ikut duduk di samping Ica dan tetap menjaga jarak.

“Gue suka malam, tapi untuk menikmati indahnya langit bukan untuk melihat orang nangis,” kata pria itu datar menengadahkan kepalanya ke atas.

“Siapa juga yang nangis? Ini tuh tadi cuma kelilipan,” balas Ica.

Pria itu balik bertanya, “siapa juga yang bilang lo nangis?”

“Tau ah nyebelin.”

Tanpa disadari senyum pria itu terukir melihat tingkah gadis di sampingnya. “Udah sana masuk. Pasti keluarga lo nyariin.”

Setelah dari musolah Rara dan Ica menemui keluarga Rara. Mereka banyak bercerita karena memang Ica sudah lama tidak bertemu dengan orang tua Rara. Cukup lama bercerita orang tua Rara pamit untuk menemui rekan kerjanya lagi dan Ica izin untuk suatu hal dan terjadilah kejadian gelas pecah.

Saat dirinya masuk lagi ke dalam ruangan ini, Ica langsung dihadang oleh Rara.

“Habis ke mana?” tanya gadis itu.

“Ada insiden, maaf,” jawab Ica dengan senyum tertahan.

“Ya udah, yuk gabung.”

Ica menarik salah satu kursi di meja tersebut. “ Om, Tante. Maaf sebelumnya, tapi Ica harus pamit pulang duluan. Gak papa kan, Om, Tante?”

Ica mengatakannya karena takut jika nanti saat Ica pulang tidak bisa berpamitan dengannya sebab setelah ini puncak acara.

“Loh, kok pulang sih? Acaranya kan belum selesai,” kata Rara.

“Setidaknya Ica udah nyempetin datang ke sini, Ra.” Irsya mencoba menengahi.

“Iya, Ra. Udah gak papa, masih ada kewajiban Ica yang harus dikerjakan.” Lita mencoba memberi pengertian pada putrinya itu yang disetujui juga oleh Herman.

“Maaf banget, Ra. Setelah kerjaan aku selesai kita jalan deh.” Ica mencoba memberikan tawaran.

“Iya oke,” balas Rara cuek.

“Senyum dong, Ra.”

“Nih.” Rara senyum dengan terpaksa.

“Makasih banyak ya, Om, Tante, atas undangannya. Ica pamit dulu, Assalamualaikum”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status