Share

Nganterin

Dari tempatnya duduk ia terus memperhatikan gerak-gerik seseorang yang sedari tadi tidak bisa ia alihkan dan selalu menuntun matanya untuk terus menatap pada gadis itu.

“Abi, tau gak keluarga yang di meja sana?” tanyanya pada pria paru baya di depannya.

“Itu keluarga Pak Herman dan Bu lita. Mereka yang menggelar acara ini.”

Pria itu hanya mengangguk tidak berniat merespon lagi.

“Ada apa?” tanya wanita yang dipanggilnya umi sedikit meledek.

“Kakak suka sama salah satu gadis di sana, ya?” lanjut wanita itu lagi.

Sedari tadi dirinya tidak memperhatikan perkataan uminya karena pandangannya terus memperhatikan interaksi dari keluarga Herman. Obrolan mereka terlihat sangat hangat menurutnya.

Melihat gadis itu beranjak dari tempatnya segera ia akan menyusul namun, tangannya dicekal uminya terlebih dahulu.

“Mau ke mana?”

“Cari angin sebentar setelah itu balik lagi, Mi. Assalamualaikum.” Dirinya berjalan cepat mengejar Ica yang keluar ruangan.

Ica terus berjalan keluar dari hotel berbintang itu. Awalnya tentu Irsya menawari Ica untuk pulang bersama namun, gadis itu menolak. Bagaimana mungkin Ica membiarkan Irsya keluar dari acara keluarganya sendiri. Jarak rumahnya dengan tempat ini lumayan jauh, jadi akan memakan waktu jika Irsya harus mengantarkannya.

Dan saat Ica sibut mencari ponselnya untuk memesan ojek online tiba-tiba.

“Ekhm,” deheman seseorang mengagetkannya.

Ica menoleh melihat siapa yang berada di sampingnya. “Kakak mau apa lagi sih?”

“Lo mau ke mana?” tanyanya balik.

“Orang ditanya malah balik nanya,” ketus Ica membuang pandangannya ke arah lain. Ica menghela nafas panjang lalu melanjutkan aktivitasnya kembali.

Pria itu tetap berdiri di samping Ica walaupun sedari tadi keberadaannya tak dihiraukan. Tidak memperhatikan aktivitas gadis itu, pandangannya hanya lurus ke depan.

“Aduh, mana sih,” lirih Ica.

“Cari apa?”

Mendengar masih ada suara pria itu, Ica menghadap ke arahnya. “Tenang aja, Kak. Besok aku gak akan telat dateng.”

Ica sudah sedikit kesal dengan keberadaan pria itu yang terus-menerus mengikutinya. Dirinya tidak mungkin melupakan kegiatan mereka besok, lalu apalagi yang pria itu cari hingga masih saja berada di sini.

Eits tunggu, Ica baru mengingat sesuatu. Ponselnya masih ia charger dan pastinya Ica tidak memasukkannya ke dalam tas. Bisa-bisanya ia melupakan benda penting di saat keluar malam hari seperti ini. “YaAllah Ica, ceroboh banget sih! Kalo udah kaya gini gimana kamu mau pulang?” ucapnya dalam hati.

Ica menarik nafas dan membuangnya kasar.

“Kenapa?” tanya pria itu lagi.

Bukannya menjawab, Ica justru berjalan menjauh dari tempatnya berdiri.

Kepalang geram karena Ica tidak menjawab pertanyaan darinya dan sepertinya tidak ada acara lain lagi, jadilah pria itu berdiri di depan Ica agar gadis itu menghentikan langkahnya.

Ica yang terkejut jelas melempar tatapan tidak bersahabat pada pria itu. “Aku harus pulang sekarang, Kak.”

“Sama siapa?”

“Sendirian,” jawab Ica.

“Lo gak liat ini udah malem!” Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran gadis di depannya itu. Keluarganya masih ada di acara itu tapi dia justru ingin pulang terlebih dahulu dan parahnya lagi sendirian. Sepertinya Ica tidak paham risiko jika seorang gadis pergi malam hari sendirian.

“Tetep mau nekat?” tanyanya lagi.

Ica tidak segera menjawab pertanyaan tersebut.

“Sedikit pesan aja, di jalanan depan banyak preman nongkrong. Hati-hati,” katanya serius dengan memelankan suaranya pada kata terakhir.

Mendapati hal tersebut, Ica semakin bimbang. Tidak mungkin kan dirinya kembali lagi ke pesta itu, tapi jika tidak ia tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa.

“Kak,” ucapnya pelan, “tolongin aku,” katanya lagi penuh keraguan.

“Mmm.” Pria itu seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu.

Pria itu sudah menduga hal ini. Gadis keras kepala itu tidak akan kembali ke dalam pesta ataupun nekad pulang sendiri. Ia belum juga menjawab permintaan tolong Ica, seolah menginginkan gadis itu mengatakannya sekali lagi.

“Kak.”

“Ayo ikut gue.”

Dengan ajakan tersebut jelas Ica tidak langsung menurutinya. Untuk apa mereka harus pergi dari sini? Ica hanya ingin meminjam ponsel, jadi mereka tidak perlu beranjak dari sini.

“Aku cuma mau pinjam hp aja buat pesan ojol, jadi di sini aja.”

“Gue gak bawa hp,” katanya dengan melenggang pergi dari sana.

Mau tidak mau Ica mengikuti pria itu. Ica pikir mungkin pria itu akan mengambil ponsel untuknya. Setelah berjalan beberapa meter dari tempat sebelumnya, mereka berhenti di samping mobil warna hitam yang bertengger rapi di parkiran. Kemudian pria itu membuka pintu belakang mobil.

“Masuk.” Pria itu mempersilahkan Ica untuk masuk ke dalam mobil.

Ica menatap bingung pada pria itu lalu berujar, “untuk apa?”

“Anterin lo pulang.”

Melihat raut wajah Ica yang masih terlihat bingung, pria itu berkata lagi, “udah buruan masuk sebelum gue berubah pikiran.”

Tak lama pria  itu berujar lagi, “atau lo mau digangguin preman gara-gara jalan sendirian malam hari?”

Pertanyaan konyol macam apa? Tentu saja dirinya tidak mau. Mana ada orang yang mau diganggu preman. Dasar pria aneh. Lalu menggelengkan kepala.

“Ya udah masuk.”

Ica sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya ia pulang, sehingga Ica memutuskan untuk masuk ke dalam mobil pria itu. Setelahnya pria itu menjalankan mobil keluar dari area hotel itu.

Di dalam mobil tentu saja tidak ada yang mengeluarkan kata sedikitpun. Rasa was-was terus Ica rasakan. Bagaimanapun dirinya dan pria itu belum saling mengenal. Mereka baru sekali bertemu, itu pun tadi siang.

“Perumahan Citra Puri,” kata Ica dan pria itu tak menghiraukannya. Ia terus saja fokus mengendari mobilnya.

Hingga beberapa menit kemudian, ternyata mereka sudah berada beberapa meter saja dari lokasi perumahan. “Berhenti di depan aja ya, Kak,” ujar Ica.

“Nomor berapa?” tanya pria itu.

“Di depan aja gak papa, Kak,” jawabnya.

“Nomor berapa?”

Mendengar pria itu melontarkan pertanyaan yang sama, Ica memutar bola matanya malah dengan menjawab, “nomor 12A.”

Mobil pria itu pun memasuki perumahan tersebut, mengantarkan Ica hingga depan rumah gadis itu. “Ayo turun.” Pria itu sudah terlebih dulu membukakan pintu mobil untuk Ica.

“Makasih ya, Kak. Hati-hati di jalan, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawabnya.

Ica pun membuka pintu gerbang dan menguncinya kembali.

“Oya, besok jangan sampai telat,” kata pria itu lagi, yang hanya ditanggapi Ica dengan senyuman.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status