Share

Pesta

Jika sudah seperti ini tidak ada yang bisa Irsya lakukan. Biarkan hal ini menjadi urusan kedua sahabat itu. Ia tak mau terlalu ikut campur atau lebih tepatnya Irsya diam dengan maksud ingin membantu Rara agar Ica bisa hadir, tapi ia tidak mau memaksa kehendak Ica. Apalagi jika alasannya karena pekerjaan. Irsya tidak mau gadis itu mengabaikan tanggung jawabnya hanya untuk hadir di acara orang tuanya.

“Pulang dulu, Ca, assalamualaikum,” ucap Irsya seorang karena Rara sudah berlari menuju mobil terlebih dahulu.

“Hati-hati ya, Kak, waalaikumsalam,” balas Ica.

Irsya hanya tersenyum membalas ucapan Ica dan bergegas masuk mobil. Kemudian Ica melambaikan tangan.

Rumah bernomor 12A merupakan peninggalan satu-satunya dari kedua orang tua Ica. Walaupun rumah ini tidak berlalu besar dan hanya ada dua kamar tidur saja, tetapi rumah ini selalu membawa kebahagiaan untuk keluarganya dan kini hanya dirinya seorang. Namun, suasana rumah selalu mengantarkannya pada suasana dulu saat kedua orang tuanya masih ada. Terkadang Ica rindu pada masa-masa ia dan ayah bundanya menghabiskan waktu bersama menunggu panggilan indah dari Allah SWT pada seluruh hambanya untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Ica selalu menyakini bahwa Allah SWT selalu memberikan jalan yang terbaik untuknya dan sekarang pasti ayah bundanya sudah bahagia di akhirat.

Semua keluarga dari kedua orang tuanya sudah menawarkan agar Ica ikut tinggal bersama mereka, tetapi tidak di kota ini. Kedua orang tua Ica memang tidak berasal dari kota ini namun, setelah pernikahannya mereka kembali ke sini karena tuntutan pekerjaan sang ayah. Itulah alasan Ica tidak mau meninggalkan rumah yang terdapat banyak kenangan indah di antara mereka.

Walaupun ia tidak ikut tinggal bersama saudara. Namun, setiap kali ada kesempatan pasti Ica akan berkunjung ke sana untuk bersilaturahmi. Ica juga akrab dengan semua sepupunya baik dari keluarga ayah maupun bundanya.

Setelah menunaikan sholat ashar, Ica langsung berlanjut membereskan rumah. Mulai dari menyapu, mengepel, membersihkan debu-debu, dan lain sebagainya. Ia sudah terbiasa dengan semua kegiatan ini sehingga ia selalu gesit dalam mengerjakannya.

Setiap hari Ica selalu membiasakan untuk menyalakan murotal al-quran di rumahnya. Sembari ia menjahit atau melakukan hal apapun, ia juga bisa menambah hafalan al-qurannya. Menurutnya menghafal dengan metode mendengarkan lebih efektif untuk Ica terapkan.

"Alhamdulillah beres, saatnya lanjut jahitan,” kata Ica.

Sambil menunggu waktu maghrib sekarang Ica tengah mengerjakan pesanan yang akan ia antar besok pagi sebelum menemui kakak tingkat tadi siang dan melakukan observasi.

Mengingat pesanan yang harus dirinya selesaikan. Ica tak tahu butuh waktu berapa lama untuknya merampungkan semua jahitan ini. Inilah akibat jika ia tidak memanajemen waktu dengan baik. Itu mengapa manajemen waktu sangatlah penting. Walaupun terkadang tidak berjalan mulus, tapi setidaknya waktu yang kita punya lebih efektif.

"Ayok, Ca. Semangat!" serunya lantang. Sepertinya malam ini akan menjadi malam dengan lemburan terpanjang untuknya.

Menjahit adalah hobi yang Ica jadikan sebagai ladang usaha saat ini atau mungkin saja untuk masa-masa yang akan datang. Selain Ica suka menjahit di sisi lain ia juga bisa menghasilkan uang, kenapa tidak? Itu menguntungkannya bukan?

Sebelumnya bunda Ica memang seorang penjahit rumahan seperti dirinya sekarang dan Ica banyak belajar dari beliau. Saat dirinya memasuki umur 12 tahun, di sini lah momen pertama Ica mulai mempraktikan apa yang setiap hari ia lihat. Kemudian saat Ica duduk di bangku kelas 8 SMP dari situ lah ia mulai ketat mengasah bakatnya. Terkadang dirinya juga membantu menyelesaikan pekerjaan bundanya sampai akhir usia beliau.

Awal Ica memutuskan untuk meneruskan usaha ini ia tidak membutuhkan modal banyak karena memang sudah tersedia lengkap. Dirinya hanya perlu membeli peralatan menjahit yang sudah habis, seperti benang, manik-manik, renda, dan lain sebagainya.

Mengawali dengan belajar secara otodidak, Ica tak percaya bisa sampai pada titik sekarang ini. Ica sangat bersyukur karena sekarang usaha ini sangat bermanfaat untuknya. Ia selalu yakin jika hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha. Sebarapa besar usahamu sebesar itu pula hasil yang akan kamu dapatkan.

“Ayo, Ca, selesaiin secepatnya karena besok gak boleh sampai telat,” ucapnya pada diri sendiri.

Allahu akbar

Allahu akbar

Suara adzan sudah berkumandang, tak terasa kini sudah memasuki waktu maghrib. Ica merapikan peralatan menjahitnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah itu ia melaksanakan sholat maghrib di musolah yang berada dalam rumahnya.

Selesai khusyu berdoa kepada Sang Khalik. Ica kemudian beranjak menuju kamar untuk mencari ponsel miliknya, ia baru ingat kalo ponselnya belum ia charger. Segera Ica menghubungkannya dengan stop kontak. Jangan sampai kejadian seperti tadi siang terulang lagi karena besok dirinya akan ke suatu tempat yang belum ia ketahui di mana tempat itu berada dan seperti apa keadaan di sana. Ica mempercayakan sepenuhnya pada pria itu.

Sebelum kembali menjahit, Ica memutuskan untuk membuat materi untuk besok agar lebih terstuktur dan tidak membuang banyak waktu nantinya.

Tok tok tok

“Assalamualaikum,” ucapan salam dari seseorang.

Jika sampai mengetuk pintu rumah berarti itu orang yang dekat dengannya karena gerbang rumah selalu Ica tutup dan semua orang akan menggunakan bel rumah terlebih dahulu tidak berani masuk sampai pintu rumah. Segera Ica memakai rok panjang dan jilbabnya karena memang di rumah ia selalu memakai baju lengan panjang. Di rumah ini dirinya tinggal sendiri, itulah kenapa Ica memilih untuk berjaga-jaga semisal ada tamu. Jadi, ia tidak tergesa-gesa menyiapkan semuanya. Berbeda saat masih ada kedua orang tuanya di sini.

Ica membuka pintu rumah dan melihat siapa yang berkunjung.

“Waalaikumsalam,” balasnya.

Saat orang di depannya berbalik. “Kak Irsya?” Matanya menelusuri ke sekitar rumah.

Irsya yang menyadari tingkah Ica segera buka suara, “kakak ke sini sendirian, disuruh Rara buat jemput kamu.”

Bukankah tadi dirinya sudah bilang tidak bisa ikut? Lalu kenapa Irsya tetap ke rumahnya?

“Kan Ica ...”

“Kakak tunggu di sini, jangan lupa pake gaun yang tadi Rara bawa,” kata Irsya memotong dan Ica hanya menurut, percuma saja dirinya menolak. Biarkan ini menjadi urusannya dengan Rara, di sini Irsya hanyalah korban.

Hanya dengan polesan bedak tabur dan lipblamnya, Ica sudah terlihat sangat cantik memakai gaun warna putih dengan perpaduan biru tua dan pasmina oversize yang senada. Setelah dirasa sudah selesai dengan penampilannya, Ica menghampiri Irsya di bangku depan rumah.

“Ayo, Kak,” katanya sembari mengunci pintu rumah.

Irsya menutup ponselnya dan beralih menatap Ica. Irsya tertegur melihat penampilan sahabat adiknya itu.

“Ayo.” Segera Irsya berjalan terlebih dahulu ke arah mobil membukakan pintu belakang untuk Ica. Mereka menjaga agar tidak menimbulkan fitnah karena mereka berdua bukan mahrom.

Sepanjang perjalanan hanya ada suara mesin mobil yang mengiringinya. Ica dan Irsya hanya saling terdiam dengan pikirannya masing-masing. Mereka memang jarang bertemu dikarenakan Irsya yang kuliah di luar kota dan hanya pulang sebulan sekali itupun jika tidak ada tugas. Jadi, setiap kali Ica dan Irsya disatukan dalam satu situasi seperti sekarang pasti akan ada kecanggungan di antara mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status