"Duduk di sana, ada suatu hal yang akan saya bicarakan," titah Aarav kala keduanya sudah berada di kamar hotel.Kinara menurut, segera duduk di sebuah ruangan yang entah apa itu. Karena kebanyakan di sini hanya dipenuhi oleh berbagai buku.Ah tidak, pajangan buku di balik lemari besar begitu tersimpan rapi di dalamnya. Terdapat kaca besar dibalik jendela yang mengarah langsung ke Ibukota Jakarta. Di sisi-sisi jendela tersebut terdapat sebuah bunga hiasan, berjejer rapi dengan warna-warni. Ruangan yang begitu rapi, indah, nyaman nan sejuk membuat Kinara merasakan adem. Apalagi AC ruangan ini yang juga menyala, menambah kesejukan yang ada. Ia baru tahu kalau ruangan ini ternyata bukan hanya ada kamar, ruang tamu dan toilet, ternyata di sini ada ruangan lain.Kinara menatap lurus ke depan di mana ada sebuah kursi putar yang berukuran besar. Kursi yang hanya di gunakan oleh mereka sang pengusaha-pengusaha.Seulas senyum terbit kala Kinara menatap kursi tersebut dengan seksama."Hahaha, A
"Karena saya ... perempuan yang sudah tua Pak. Saya, perawan tua."Kinara benar-benar menunduk. Malu sudah mukanya untuk menatap pria muda di depannya ini. Perbedaan usia yang begitu jauh membuat Kinara cukup sadar diri. Bahwa ia tak lain hanyalah sebuah batu dihamparan debu. Sedang perempuan di luaran sana? Mereka bagaikan berlian di tengah bebatuan yang ada. Indah, begitu memikat dalam pandangan. Sedang ia? Begitu kumuh, jelek dan ... tidak enak dipandang. "Seharusnya Bapak tidak menikahi saya, Pak ... saya hanya akan memalukan Bapak saja. ah atau tidak, Bapak bisa kok langsung ceraikan saya." Kinara memberanikan dirinya dalam menatap Aarav, terdapat rona merah di pipinya. Bukan marah, hanya saja Kinara merasa bahwa memang dirinya tidak pantas untuk siapapun, membuatnya ingin menangis saja. Apalagi untuk pria muda di depannya ini. "Saya akan menerima dengan ikhlas kalau Bapak mentalak saya. Karena saya sadar, seharusnya perempuan seperti saya tidak bersanding dengan Bapak. Seharus
"Mau ke mana kamu?" tanya Vanzo menatap cucunya yang hendak pergi. Aarav menoleh pada Vanzo yang diikuti pengawalnya itu. "Aku mau pulang Kek, capek," ujarnya dengan datar. "Pulang ke rumah kakek. Kamu sudah lama tidak berkunjung ke rumah. Mana besok saudara kembar kamu bakal datang ke sini," ucap Vanzo memberitahukan. "Aavar?" Vanzo mengangguk. "Masa peresmian kamu dia tidak datang. Bukankah terasa kurang?""Kalau begitu besok saja, besok aku bakal ke rumah Kakek," ucap Aarav pada akhirnya. Dia kemudian melengos pergi. "Aarav? Kau tidak punya sopan santun yah?!" teriak sang kakek. Darah di atas ubun-ubunnya naik saja karena sang cucu yang selalu main pergi-pergi saja. Namun darah itu seketika turun kembali kala Aarav berbalik dan berjalan ke arah Vanzo. Ada apa tuh cucu balik lagi? "Kek, ada hal penting yang ingin Aarav katakan," ujar pria jangkung itu. Membuat alis Vanzo naik sebelah. "Apa? Jangan bilang---""Jangan di sini," ucap Aarav menarik Vanzo agar ikut dengannya. Sa
Pagi-pagi begini Kinara dibuat bingung untuk memilih baju yang akan ia pakai hari ini. Karena selain pakaian baju gamis Kinara juga hanya dipenuhi dengan pakaian yang itu-itu saja. Tidak ada yang aneh, terlihat kumuh dan yah ... seperti orangnya. Kinara sebelumnya memang membawa sebagian barang-barang yang tersimpan di rumahnya dulu. Rumah itu masih haknya, soalnya yah ... dia membelinya dengan harga yang lumayan mahal. Tentu semua itu karena pemilik kontrakan menawarkan untuk dijual saja. Dan sekarang yang ia bawa hanya sebagian pakaian milik Lusi dan sebagian kecil miliknya. Sekarang ia bingung mau memakai baju yang mana, pasalnya semua baju ini sering ia gunakan. "Kenapa tidak sekolah, Lusi?" Suara bariton Aarav membuat fokus Kinara teralihkan. Dia menoleh ke belakang di mana Aarav duduk di tepi ranjang. Melihat sang adik yang terbaring dengan selimut. "Dia sedang sakit, Pak," jawab Kinara langsung. Kedua mata itu akhirnya bertemu, namun sedetik kemudian Aarav membuang mukanya
"Kita harus bisa lari dari sini, Kak," ucap Lusi. Keduanya menatap Aarav yang masih setia tersenyum miring. Kinara mengangguk, menggenggam erat pegangan tangannya pada lengan Lusi. Bersiap untuk lari dari pria gila itu. "Sekarang, Lus. Satu ... dua ... tiga ....""Lariiii!""Aaaaaa!""Kau kenapa?" Deg! Nyali Kinara langsung menciut kala ia mendengar sebuah seruan suara. Melirik pada Aarav yang sudah duduk manis di kursi kemudi. Dia menyimpan terlebih dahulu sebuah barang yang tadi dia bawa. Kinara mengedipkan mata untuk beberapa saat. "Bapak dari mana? Dan itu," tunjuk Kinara pada benda berbentuk panjang yang masih setia di dalam sarungnya. "Oh itu, itu buat Kakek saya. Dia nitip untuk bawa alat ini ke rumahnya," jawab Aarav menatap Kinara yang nampak berkeringat. "Kau baik-baik saja? Kenapa berkeringat seperti itu?" tanya Aarav merasa heran. Kinara menghela nafas lega. 'Hah, ku kira hidupku tidak akan lama lagi. Ternyata itu cuman bayanganku saja,' ucap Kinara di dalam hati
Kini mobil itu kembali melaju membelah jalan. Melewati kendaraan lain dengan cepat. Sampai di sebuah belokan, Aarav membelokkan mobil tersebut untuk masuk ke jalan sana. "Kinar?""Iya, Pak?" jawab Kinara langsung. Dia menoleh pada Aarav yang fokus mengemudi. "Nanti kalau sudah di rumah, kau panggil saya Mas, ya? Jangan Bapak," ucapnya membuat kening Kinara mengernyit. "Kenapa, Pak? Saya belum terbiasa memanggil Bapak dengan sebutan selain, Pak!""Turuti saja perintahku! Lagian saya masih muda, sangat tidak pantas kau panggil Bapak," tutur Aarav tanpa mengalihkan fokusnya. Sekali saja lihat wajah Kinara, maka fokus Aarav akan terbuyarkan karenanya. "Tapi Bapak kan atasan saya, dan---""Kau ingin ngebantah saya?""Eh tidak, tidak Pak! Maksud saya, saya belum terbiasa, jadi ... paling saya bakal pelan-pelan untuk belajar manggil Bapak dengan nama 'Mas?"Aarav terdiam saat Kinara mengatakan Mas padanya. Ingin sekali tersenyum namun ia harus tetap berdiri dalam pendiriannya. Sebenarn
"Jadi, perempuan ini yang kamu nikahi, Aarav?" Suara penuh tegas nan intimidasi membuat Aarav mengangguk yakin. Sedang Kinara menunduk takut.Selepas Kinara puas menertawakan Aarav yang sama groginya, kini pasangan itu harus di hadapkan dengan sang Kakek. Kakek dari Aarav. Dan keduanya kini benar-benar grogi. Ah tidak, mungkin hanya Kinara yang merasakan kecanggungan, berbeda dengan Aarav yang hanya menampilkan raut datarnya. "Kenapa kalian harus menyembunyikan pernikahan ini, ha?""Kami tidak menyembunyikannya, Kek. Bukankah aku sekarang ada di hadapan kakek?" jawab Aarav membalas tatapan Vanzo. "Dalam keadaan seperti ini kau masih merasa tidak takut?" tanya Vanzo melihat Aarav yang hanya duduk tenang saja. Padahal ia sudah menunjukkan raut marahnya akan informasi mendadak ini. "Untuk apa aku takut, Kek. Untuk menikah apa harus takut?" jawab kembali Aarav membuat Vanzo kehabisan sabar nya. "Bukan seperti itu, Aarav! Tapi, jika saja kau memberitahukan pernikahan ini sejak awal pa
"Kalian harus makan yang banyak, biar kalian cepat besar dan tentu sehat," ujar Vanzo menatap kedua perempuan bawaan Aarav. Mereka tak lain Kinara dan Lusi. Mereka duduk di samping sedang Vanzo duduk di kursi paling ujung, tepat di kursi utama kepala keluarga. Kinara merasakan canggung saja. Vanzo—kakek Aarav begitu baik padanya, sampai-sampai apapun dia perlihatkan untuknya dan untuk sang adik. "Terima kasih Kakek, tapi, ini terlalu kebanyakan kek. Saya enggak bakal bisa menampungnya," ujar Kinara dengan sopan. Begitu banyak menu yang di sajikam di atas meja ini, berjejer dari ujung kiri sampai ke ujung kanan. Huh, padahal yang makan hanya tiga orang saja. Tapi makanan begitu banyak dihidangkan. Sekelebat akan orang-orang yang kurang mampu membuat Kinara merasa kasihan. Begitu banyak di luar sana yang tidak pernah mendapatkan makanan seenak dan semewah ini. Termasuk dirinya sendiri. Ya, bagi Kinara yang biasanya hanya bermakan lauk-pauk biasa tentu menjadi sebuah kesyukuran kala