"Serius, Mbak, mau memata-matai Mas Wisnu, cuman karena Kuintansi WO?" tanya Aish memastikan keputusanku yang mendadak.
"Yakin 100%," jawabku mantap sambil memanaskan motor.
Di rumah ini, hanya ada satu mobil. Sering dibawa Mas Wisnu bekerja. Biasanya, aku hanya menggunakan motor jika berpergian kemana-mana. Aku pernah minta dibelikan mobil, tapi Mas Wisnu menolak. Katanya, cukup satu saja. Uangnya lebih baik ditabung. Sampai saat ini, aku tidak tahu, berapa banyak tabungannya. Mas Wisnu hanya memberi jatah bulanan saja. Gaji bulanan, tidak sepenuhnya diberikan kepadaku. Bodohnya diriku, yang terlalu percaya.
"Tapi, Mbak, kecemburuan Mbak tidak beralasan. Masa cuman karena Kuintansi WO, langsung berpikir aneh-aneh. Bisa saja, Mas Wisnu hanya membantu temannya untuk membayarkan jasa WO."
"Mustahil, Aish." Mataku menatap tajam padanya. Heran, adikku kenapa lebih membela Mas Wisnu dibandingkan aku.
"Gak ada yang mustahil, Mbak. Mas Wisnu itu baik, dan setia. Gak mungkin macam-macam."
"Ih ...." Aku jitak kepala Aish. Dia membuatku geregetan saja.
"Aw ... sakit Mbak. Aduh, ribet nih, punya Kakak bar bar."
"Hust, jangan banyak komentar. Pokonya kamu harus memihak Mbak. Kita buktikan saja. Kalau Mas Wisnu macam-macam, habis dia di tanganku."
"Ih, serem juga punya istri kaya Mbak Elina," kekeh adikku yang tak berakhl*q.
"Buruan, kamu yang bawa motornya. Nanti kita gantian."
"Aduh, bisa encok bawa motor ke Bandung."
"Jangan banyak cingcong, buru."
Motor langsung melesat menuju rute Jakarta-Bandung. Angin sore, memberi kesejukan di wajahku. Meskipun, suasana hati tak menentu.
"Minum Mbak, jangan ngelamun, nanti edan."
Aish memberikan sebotol minuman dingin saat kami beristirahat di pom bensin. Entah kenapa, firasat buruk makin kuat. Membuat pikiran dan hati bertarung sengit. Di sisi lain, logikaku menolak kemungkinan buruk yang akan terjadi. Rumah tanggaku dan Mas Wisnu baik-baik saja. Kami bahagia meskipun tanpa anak. Mertuaku juga sangat sayang, kepadaku. Lalu, apa alasan Mas Wisnu, jika dia benar-benar selingkuh?
"Woy! malah ngelamun lagi.""Hust, ngagetin aja. Adik lakn*t, gak tahu Mbaknya lagi dilema apa, yah. Sakit nih, hati Mbak," sungutku geram.
Sebenernya aku dan Aish memang bar bar dan kocak. Kami selalu menganggap hidup ini penuh lelucon. Tidak suka hal yang terlalu serius. Akan tetapi, konteks kali ini sangat berbeda. Ini masalah hati, kesetiaan dan masa depan. Enggak ada kata bercanda jika menyangkut tiga hal tersebut. Pernikahan bukan permainan. Semua orang selalu memimpikan sekali menikah untuk sehidup dan semati sampai surga nanti.
"Sabar Mbak. Kalau Mas Wisnu terbukti mendua, Aish siap membombardir hidupnya. Kita buat dia nyesel. Ya, walaupun dia gak beruntung punya istri cerewet dan bar bar kaya Mbak.""Eh, songong." Kami tergelak bersama.
Setelah cukup untuk beristirahat. Kami bergantian melajukan motor menuju lokasi Kantor Wedding organizer Kusumadewi.
"Mbak, tunggu!" teriak Aish."Buruan, udah emosi nih."
Aish memang lelet kaya keong racun. Dia tidak memahami, kalau aku sudah tidak sabar. Lahar gunung Merapi, ingin meletus dari hatiku.
"Selamat malam, Mbak."
"Selamat malam, Bu. Apa ada yang bisa saya bantu."
"Tentu Mbak. Boleh atau tidak, saya melihat daftar calon mempelai pengantin yang memesan jasa WO Anda di bulan ini."
"Maaf, Bu. Untuk kepentingan apa yah. Soalnya, kami tidak bisa memberikan data para costumer sembarangan."
"Ini penting, Mbak. Antara hidup dan matinya rumah tangga saya. Tolong, mbak. saya hanya ingin tahu, apakah suami saya, menyewa jasa WO ini. Karena saya menemukan Kuintansi pembayaran dari WO Kusumadewi di dompetnya."
"Nama suami Ibu, siapa?"
"Wisnu Hardana."
"Maaf Bu, nama itu tidak ada. Saya 'kan sudah menjelaskan melalui telepon pada ibu pagi tadi."
"Saya yakin pasti ada, bacakan saja nama-nama mempelai yang menyewa jasa WO Anda bulan ini!" ucapku dengan intonasi tinggi.
"Mbak, santai. malu di kantor orang," bisik Aish.
"Diem Aish, harusnya kamu belain Mbak. Paksa dia untuk menunjukan datanya. Kita harus membuktikan kecurigaan Mbak!" bentakku pada Aish.
"Aduh ...." Aish hanya geleng-geleng sambil menepuk jidatnya.
"Cepat Mbak!"
"Tapi, Bu ka-"
"Ada apa ribut-ribut?" Seorang pria dengan jas rapi, menghampiri kami.
Pria itu terus memandangiku dengan tatapan yang aneh. Wajahnya memang tampan, berkulit putih, hidung mancung dan bibir tipis yang kemerahan. Rambutnya bergaya tipis di setiap sisinya.
"Maaf Pak Arka, Ibu ini meminta data-data klien kita bulan ini. Karena menemukan Kuintansi pembayaran jasa WO Kusumadewi di dompet suaminya."
"Oh, hanya itu. Berikan saja."
"Tapi Pak, Bukankah tidak boleh me-"
"Lakukan saja. saya pemilik Wedding organizer ini, jangan membantah."
pria itu terlihat sombong. Matanya terus mengamatiku. Rasanya risih, saat netra kami saling beradu."Mbak, pria itu ganteng banget," bisik Aish.
"Berisik."
"Ini Bu, silahkan dicek saja. Tidak ada nama Wisnu hardana."
Langsung aku ambil buku besar yang merupakan catatan manual para pengantin yang menyewa jasa WO Kusumadewi bulan ini.
"Ada nama Mas Wisnu nggak Mbak?" tanya Aish.
"Bantu cari mangkannya," jawabku kesal.
"Aida anandita dan Wijaya?"
"Siapa Mbak?"
"Ini Aish, nama ini seperti nama teman dekatnya Mas Wisnu, Aida Anandita. Alamatnya juga sama. Dekat rumah Mas Wisnu."
"Masa Mbak? oh iya, bukankah nama Wijaya itu, mirip nama almarhum bapaknya Mas Wisnu?"
"Iya Aish. Nama lengkap Mas Wisnu 'kan Wisnu hardana Wijaya. Jangan-jangan ...."
Aku menatap Aish meminta pendapat tentang kecurigaanku.
"Jangan dulu berspekulasi negatif Mbak, kita harus pastikan semuanya, benar adanya. Jangan hanya dugaan."
Benar juga perkataan Aish. Aku butuh banyak bukti untuk membuktikan kebenaran. Tidak boleh gegabah. Percuma jika bertanya langsung pada Mas Wisnu. Dia pasti tidak akan jujur.
"Betul Aish. Pak Arka, bolehkan saya melihat foto costumer pasangan pengantin bernama Aida dan Wijaya? pasti ada KTP-nya dong."
Pak Arka melirik pekerjanya. Dia seakan memberi kode untuk memberi segala info kepadaku.
"Maaf Pak, calon mempelai bernama Aida dan Wijaya, tidak memberikan KTP atau
foto -nya. Karena mereka hanya melakukan pernikahan secara siri. Tamu undangan pun, sangat dibatasi.""Mbak, jangan-jangan, Aida yang Mbak maksud benar-benar dia. Mana ada orang yang ngadain resepsi tapi cuman nikah sirih, kecuali perempuannya adalah istri kedua."
Kepalaku mencerna perkataan Aish. Pernyataannya memang sangat logis. Menambah kecurigaanku semakin kuat.
"Saya bisa membantu Anda untuk mendapatkan kebenaran dari kecurigaan yang ada."
Aku dan Aish saling bertatapan. Kemudian, menatap Pak Arka untuk melihat ketulusan dari tawarannya. Aneh sebenarnya, kenapa dia mau menawarkan bantuan kepada kami. Padahal, Kami baru saja saling mengenal.
"Apa Anda serius mau membantu kami, Pak Arka?" tanyaku penuh selidik."Tentu," jawab Pak Arka sambil menaikkan kedua alisnya."Baiklah, apa rencana Mas Arka?" tanya Aish antusias. "Tapi, Aish, kita jangan terlalu percaya sama dia. Kalau dia berbohong dan menutupi kebenarannya gimana?" bisikku pada Aish."Tenang saja, saya benar-benar akan membantu. Karena saya tida tega melihat istri yang dibohongi oleh suaminya," ujar Arka seakan mendengarkan ucapanku pada Aish."Mangkannya jangan suudzon," ujar Aish tepat di kupingku.Aku hanya melotot kepadanya. Dasar adik tidak sehati. Harusnya dia tidak memojokkanku. Agar aku tidak salah tingkah."Bagaimana, setuju dengan bantuan dan rencana saya?" tanya Arka sambil menyodorkan tangannya."Setuju," jawab Aish tanpa meminta persetujuan dariku.Gadis ingusan itu, malah cari perhatian kepada Arka. Dia terus tersenyum, sementara tangannya masih berjabatan."Aish." Aku senggol dia, agar melepaskan tangan Arka."Eh, hilaf Mbak." Tanpa merasa dosa, Ai
"Tenang, Mbak. Jangan ngamuk sekarang. Lebih baik kita pulang, dan persiapkan kado terindah untuk pernikahan mereka," lirih Aish."Ayok, kita keluar dari sini. Mbak butuh waktu menenangkan diri." Aish menarikku menuju kasir, dan mengajakku pergi."Ah! tega sekali Mas Wisnu menghianatiku. Apa kurangku selama ini, hah? tega sekali kamu, Mas!" teriakku.Aish sengaja mengajakku ke sebuah taman. Dia bilang, aku bebas mengekspresikan segala rasa sakit yang ada di hati pada tempat ini. Taman ini cukup luas, dengan pepohonan yang rindang. Cukup memberi ketenangan kepadaku. Untung saja, suasana tidak terlalu ramai, sehingga bebas berteriak. Meskipun, sesekali, ada beberapa orang yang menatap heran. Mungkin, dia pikir aku gila."Udah ngamuknya, Mbak?" tanya Aish enteng sambil duduk minum es teh."Ih, Aish, kamu kenapa tenang banget sih? harusnya ikut kesel dong. Mbakmu ini dikhianati, bahkan mau dipoligami. Edan, kamu malah setenang itu.""Hahaha, terus aku harus apa, Mbak? ngamuk-ngamuk di sin
"Sekarang," intruksiku. Aish langsung datang bersama gerombolan preman. Disusul tim pemadam membawa selang hydrant. Semua mata menatap tanpa berkedip. Pertunjukan spesial, akan dimulai. "Serang!" teriak Aish. "Apa-apaan, ini?" tanya Aida panik. Brak! Brak! Para preman langsung mengubrak-abrik meja, kursi dan merusak pelaminan serta hiasan pesta lainnya. Sedangkan para pemadam, menyemprotkan air berkekuatan tinggi. Menyiram para tamu undangan dan keluarga Mas Wisnu di pelaminan. Satu petugas lainnya, khusus menyiram Aida dan Mas Wisnu. "Arrgh!" Para tamu undangan berhamburan keluar tempat resepsi. "Arrgh! gila kamu Elina!" teriak Aida histeris saat terkena semprotan air. Aku sengaja menepi ke tempat yang aman dari penyemprotan. Menjauh dari mereka. Rasanya Puas melihat kericuhan ini. Ide Aish dan Arka memang luar biasa. Dibandingkan harus bersikap kriminal dengan cara mencekik atau mengancam mereka, lebih baik, mengacaukan acaranya dengan perbuatan konyol seperti ini. Tidak aka
"Oh, tentang uang itu. Tidak usah dikembalikan." Aku mengernyitkan dahi, mencerna ucapan Arka. Lalu, menatap Aish meminta pendapat atas kebingunganku. Aish hanya tersenyum santai. "Maksud anda gimana, yah? Maaf Pak, Anda pikir saya tidak mampu membayarnya? Saya bisa bayar sendiri. Jadi, Bapak gak usah repot-repot membayarkannya. Tolong, diterima. Jangan macam-macam," hardikku. "Bukan gitu maksud saya, Mbak Elin. Tolong jangan salah paham." "Terus maksud Bapak apa?" tanyaku dengan intonasi tinggi. "Saya tidak ingin, uangnya dikembalikan karena ingin menjalin kerja sama sama Mbak Elin. Jadi, anggap saja, uang itu modal awal saya." Kepalaku makin oleng mendengar penjelasan Arka. Sebenernya apa yang dia mau? ribet dan berbelit-belit. "Aduh, Mbak Elin Lola banget. Jadi, Mas Arka mau colab bisnis di bidang restoran sama Mbak Elin," papar Aish geregetan. "Kerja sama? Anda tahu dari mana saya punya bisnis restoran?" "Aish yang cerita. Saya jadi tertarik menjadi panter bisnis anda. Keb
"Mbak Elin!""Astagfirulloh, kenapa sih, teriak-teriak."Suara cetar Aish menyadarkanku dari lamunan. Kembali ke rumah, malah mengingatkanku pada memori indah selama enam tahun ini, bersama Mas Wisnu."Lagian ngelamun Mulu. Mulai di perjalanan, sampai di rumah, masih aja ngelamun. Tenang ajah, Mas Wisnu pasti pulang," tegur Aish.Sejak siang, sampai malam ini, bayangan Mas Wisnu dan kejadian kemarin, masih terekam jelas di ingatan. Rasanya seperti mimpi. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini, akan tetapi, semuanya memang sudah terjadi. Bukan khayalan apalagi bunga tidur."Apa iya, Aish?""Iya. Dia kelihatannya masih sayang sama Mbak. Tapi kenapa mendua, yah? sepertinya, ada misteri yang harus kita pecahkan, Mbak.""Misteri?""Iya. Dari ucapan dan tatapan Mas Wisnu sama Ibunya, Aish yakin, ada yang tidak beres tentang pernikahan Mas Wisnu dan Aida.""Hal yang tidak beres apa, Aish?""Ya, mana Aish tahu. Ini baru dugaan. Mangkanya, kita cari tahu.""Bener juga, sih. Terus Mbak harus apa
Aku hanya bisa geleng-geleng mendengar pengakuan Aish. Dia sangat cerdas. Meskipun, rasa tidak tega sangat kuat kepada Mas Wisnu."Aish, apa tidak bahaya? kenapa Mas Wisnu yang dikasih obat pencahar. Harusnya si Aida.""Aish sengaja melakukan itu, agar Mbak bisa caper sama Mas Wisnu. Biar dia sadar, kalau Mbak adalah perempuan yang sangat tulus mencintainya. Ya meskipun, pada waktu yang tepat, Aish berharap kalian bercerai."Perkataan Aish menampar hatiku. Cepat atau lambat, perasaan ini harus sirna. Aku sendiri tidak yakin, bisa kuat saat dipoligami. Walaupun Mas Wisnu berusaha adil, tetap saja, masalah hati tidak bisa dikontrol. Mas Wisnu akan sulit untuk berbuat sama rata menyikapi perasaanku dan Aida."Terus Mbak harus Apa?""Aduh, nanya mulu. Untung punya adik yang kesabarannya seluas sungai Amazon. Nih, kasih obat ini sama Mas Wisnu. Sebelumnya, bawakan teh hangat sama biskuit buat mengganjal perutnya yang kosong.""Ide luar biasa.""Iya dong, siapa dulu dalangnya, Aish.""Hahah
"Neng, Aida kenapa?" Aku hanya menautkan alis tanda tak tahu."Pergi kamu, Setan!""Ayok, kita liat."Drama apalagi yang dibuat madu baruku? pagi-pagi sudah bikin rusuh aja. Terpaksa, aku mengekor di belakang Mas Wisnu. Penasaran dengan apa yang menimpa Aida, sampai berteriak ketakutan."Ada ap-" Mas Wisnu tidak meneruskan ucapannya.Matanya mebelalak menatap Aida. Mas Wisnu menggeleng heran ke arah gundik yang biasanya nampak cantik, berubah bak nenek lampir. Senyum tipis, tersungging di bibirku. Di dalam hati, aku bersorak bahagia memperhatikan ekspresi kepanikan di wajah Aida."Mas, parasku jadi seram gini. Pasti perbuatan Elina. Dasar perempuan gila."Aida menghampirku, siap melayangkan tamparan. Tangan Mas Wisnu, sigap menangkisnya. "Jangan sembarangan nuduh. Dari tadi, Elina bersamaku. Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu coret-coret muka gitu.""Aku juga gak tahu, Mas. Pas bangun udah gini.""Mangkannya kalau tidur jangan kaya kebo," cibirku."Diam kamu. Pasti kamu 'kan yan
"Mas, aku juga mau dibelikan Mobil." Aida menerobos masuk. Emosi memicunya lupa diri. Hatiku bersorak girang memandang kecemburuan dari mukanya. "Ada yang ngintip, nih," sindirku. "Mas, kamu harus adil. Aku juga mau dibelikan mobil dan uang 500 juta. Masa Elina doang, aku lebih berhak. Kamu tau 'kan aku yang akan memberi keturunan untukmu?" "Maksud kamu?" tanyaku. Sudah beberapa kali, Aida mengungkapkan kata yang mengisyaratkan bahwa dia tengah mengandung darah daging Mas Wisnu. Apa Aida hamil? tak mungkin secepat itu. "Tidak Neng. Aida memang suka aneh." "Pokoknya, Mas harus memperlakukanku sama rata dengan Elin" "Baik-baik, aku akan adil." "Nah, gitu dong." Kesian sekali Mas Wisnu. Kalau begini, bisa jatuh miskin dia. Namun, biar terjadi seperti ini. Aku senang melihatnya. Mas Wisnu akan merasakan resiko punya dua istri. Satu saja tidak habis, dan ribet, malah nambah lagi. "Mas, aku juga mau dibelikan berlian, yah. Malu dong, pemilik restoran gak punya perhiasan." "Per