Share

Part 2

"Serius, Mbak, mau memata-matai Mas Wisnu, cuman karena Kuintansi WO?" tanya Aish memastikan keputusanku yang mendadak.

"Yakin 100%," jawabku mantap sambil memanaskan motor.

Di rumah ini, hanya ada satu mobil. Sering dibawa Mas Wisnu bekerja. Biasanya, aku hanya menggunakan motor jika berpergian kemana-mana. Aku pernah minta dibelikan mobil, tapi Mas Wisnu menolak. Katanya, cukup satu saja. Uangnya lebih baik ditabung. Sampai saat ini, aku tidak tahu, berapa banyak tabungannya. Mas Wisnu hanya memberi jatah bulanan saja. Gaji bulanan, tidak sepenuhnya diberikan kepadaku. Bodohnya diriku, yang terlalu percaya.

"Tapi, Mbak, kecemburuan Mbak tidak beralasan. Masa cuman karena Kuintansi WO, langsung berpikir aneh-aneh. Bisa saja, Mas Wisnu hanya membantu temannya untuk membayarkan jasa WO."

"Mustahil, Aish." Mataku menatap tajam padanya. Heran, adikku kenapa lebih membela Mas Wisnu dibandingkan aku.

"Gak ada yang mustahil, Mbak. Mas Wisnu itu baik, dan setia. Gak mungkin macam-macam."

"Ih ...." Aku jitak kepala Aish. Dia membuatku geregetan saja.

"Aw ... sakit Mbak. Aduh, ribet nih, punya Kakak bar bar."

"Hust, jangan banyak komentar. Pokonya kamu harus memihak Mbak. Kita buktikan saja. Kalau Mas Wisnu macam-macam, habis dia di tanganku."

"Ih, serem juga punya istri kaya Mbak Elina," kekeh adikku yang tak berakhl*q.

"Buruan, kamu yang bawa motornya. Nanti kita gantian."

"Aduh, bisa encok bawa motor ke Bandung."

"Jangan banyak cingcong, buru."

Motor langsung melesat menuju rute Jakarta-Bandung. Angin sore, memberi kesejukan di wajahku. Meskipun, suasana hati tak menentu. 

"Minum Mbak, jangan ngelamun, nanti edan." 

Aish memberikan sebotol minuman dingin saat kami beristirahat di pom bensin. Entah kenapa, firasat buruk makin kuat. Membuat pikiran dan hati bertarung sengit. Di sisi lain, logikaku menolak kemungkinan buruk yang akan terjadi. Rumah tanggaku dan Mas Wisnu baik-baik saja. Kami bahagia meskipun tanpa anak. Mertuaku juga sangat sayang, kepadaku. Lalu, apa alasan Mas Wisnu, jika dia benar-benar selingkuh?

"Woy! malah ngelamun lagi."

"Hust, ngagetin aja. Adik lakn*t, gak tahu Mbaknya lagi dilema apa, yah. Sakit nih, hati Mbak," sungutku geram. 

Sebenernya aku dan Aish memang bar bar dan kocak. Kami selalu menganggap hidup ini penuh lelucon. Tidak suka hal yang terlalu serius. Akan tetapi, konteks kali ini sangat berbeda. Ini masalah hati, kesetiaan dan masa depan. Enggak ada kata bercanda jika menyangkut tiga hal tersebut. Pernikahan bukan permainan. Semua orang selalu memimpikan sekali menikah untuk sehidup dan semati sampai surga nanti.

"Sabar Mbak. Kalau Mas Wisnu terbukti mendua, Aish siap membombardir hidupnya. Kita buat dia nyesel. Ya, walaupun dia gak beruntung punya istri cerewet dan bar bar kaya Mbak."

"Eh, songong." Kami tergelak bersama. 

Setelah cukup untuk beristirahat. Kami bergantian melajukan motor menuju lokasi Kantor Wedding organizer Kusumadewi.

"Mbak, tunggu!" teriak Aish.

"Buruan, udah emosi nih."

Aish memang lelet kaya keong racun. Dia tidak memahami, kalau aku sudah tidak sabar. Lahar gunung Merapi, ingin meletus dari hatiku.

"Selamat malam, Mbak."

"Selamat malam, Bu. Apa ada yang bisa saya bantu."

"Tentu Mbak. Boleh atau tidak, saya melihat daftar calon mempelai pengantin yang memesan jasa WO Anda di bulan ini."

"Maaf, Bu. Untuk kepentingan apa yah. Soalnya, kami tidak bisa memberikan data para costumer sembarangan."

"Ini penting, Mbak. Antara hidup dan matinya rumah tangga saya. Tolong, mbak. saya hanya ingin tahu, apakah suami saya, menyewa jasa WO ini. Karena saya menemukan Kuintansi pembayaran dari WO Kusumadewi di dompetnya."

"Nama suami Ibu, siapa?"

"Wisnu Hardana."

"Maaf Bu, nama itu tidak ada. Saya 'kan sudah menjelaskan melalui telepon pada  ibu pagi tadi."

"Saya yakin pasti ada, bacakan saja nama-nama mempelai yang menyewa jasa WO Anda bulan ini!" ucapku dengan intonasi tinggi. 

"Mbak, santai. malu di kantor orang," bisik Aish.

"Diem Aish, harusnya kamu belain Mbak. Paksa dia untuk menunjukan datanya. Kita harus membuktikan kecurigaan Mbak!" bentakku pada Aish. 

"Aduh ...." Aish hanya geleng-geleng sambil menepuk jidatnya.

"Cepat Mbak!"

"Tapi, Bu ka-"

"Ada apa ribut-ribut?" Seorang pria dengan jas rapi, menghampiri kami.

Pria itu terus memandangiku dengan tatapan yang aneh. Wajahnya memang tampan, berkulit putih, hidung mancung dan bibir tipis yang kemerahan. Rambutnya bergaya tipis di setiap sisinya.

"Maaf Pak Arka, Ibu ini meminta data-data klien kita bulan ini. Karena menemukan Kuintansi pembayaran jasa WO Kusumadewi  di dompet suaminya."

"Oh, hanya itu. Berikan saja."

"Tapi Pak, Bukankah tidak boleh me-"

"Lakukan saja. saya pemilik Wedding organizer  ini, jangan membantah."

pria itu terlihat sombong. Matanya terus mengamatiku. Rasanya risih, saat netra kami saling beradu.

"Mbak, pria itu ganteng banget," bisik Aish.

"Berisik."

"Ini Bu, silahkan dicek saja. Tidak ada nama Wisnu hardana."

Langsung aku ambil buku besar yang merupakan catatan manual para pengantin yang menyewa jasa WO Kusumadewi bulan ini.

"Ada nama Mas Wisnu nggak Mbak?" tanya Aish.

"Bantu cari mangkannya," jawabku kesal.

"Aida anandita dan Wijaya?"

"Siapa Mbak?"

"Ini Aish, nama ini seperti nama teman dekatnya Mas Wisnu, Aida Anandita. Alamatnya juga sama. Dekat rumah Mas Wisnu."

"Masa Mbak? oh iya, bukankah nama Wijaya itu, mirip nama almarhum bapaknya Mas Wisnu?"

"Iya Aish. Nama lengkap Mas Wisnu 'kan Wisnu hardana Wijaya. Jangan-jangan ...."

Aku menatap Aish meminta pendapat tentang kecurigaanku. 

"Jangan dulu berspekulasi negatif Mbak, kita harus pastikan semuanya, benar adanya. Jangan hanya dugaan."

Benar juga perkataan Aish. Aku butuh banyak bukti untuk membuktikan kebenaran. Tidak boleh gegabah. Percuma jika bertanya langsung pada Mas Wisnu. Dia pasti tidak akan jujur.

"Betul Aish. Pak Arka, bolehkan saya melihat foto costumer pasangan pengantin bernama Aida dan Wijaya? pasti ada KTP-nya dong."

Pak Arka melirik pekerjanya. Dia seakan memberi kode untuk memberi segala info kepadaku.

"Maaf Pak, calon mempelai bernama Aida dan Wijaya, tidak memberikan KTP atau 

foto -nya. Karena mereka hanya melakukan pernikahan secara siri. Tamu undangan pun, sangat dibatasi."

"Mbak, jangan-jangan, Aida yang Mbak maksud benar-benar dia. Mana ada orang yang ngadain resepsi tapi cuman nikah sirih, kecuali perempuannya adalah istri kedua."

Kepalaku mencerna perkataan Aish. Pernyataannya memang sangat logis. Menambah kecurigaanku semakin kuat.

"Saya bisa membantu Anda untuk mendapatkan kebenaran dari kecurigaan yang ada."

Aku dan Aish saling bertatapan. Kemudian, menatap Pak Arka untuk melihat ketulusan dari tawarannya. Aneh sebenarnya, kenapa dia mau menawarkan bantuan kepada kami. Padahal, Kami baru saja saling mengenal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status